Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

URGENSI PENDEKATAN INTERDISIPLINER

DALAM KAJIAN ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendekatan Ilmu KeIslaman (PIK)

Dosen Pengampu Dr. M. Rikza Chamami, MSi

Disusun Oleh :

1. Fenti Intan Cahyani ( 2203038005 )


2. Maslahah ( 2203038004 )

PROGRAM PASCA SARJANA

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

UNIVERSITAS NEGERI WALISONGO SEMARANG

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang Urgensi
Pendekatan Interdisipliner dalam Kajian Islam telah penulis susun dengan maksimal dan
mendapatakan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penulis mengakui bahwa penulis adalah manusia biasa yang
mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari susunan kalimat maupun tata bahasanya. Maka dari itu, penulis
bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah
ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Semarang, 28 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................................. 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
A. Pengertian Pendekatan Interdisipliner dalam kajian Islam ............................................ 3
B. Ruang Lingkup Kajian Islam Interdisipliner .................................................................. 4
C. Urgensi Pendekatan Interdisipliner dalam kajian Islam .............................................. 11
BAB III .................................................................................................................................... 18
PENUTUP................................................................................................................................ 18
Kesimpulan........................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk – petunjuk
agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber
ajarannya, Alqur’an dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan
kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi
kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial,
menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter,
kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan,
berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Kondisi ideal di atas jika dilihat secara teoritik nampak sangat sempurna, akan
tetapi ketika dipadankan dengan realitas yang ada justru terkesan bertolak belakang,
mengapa demikian?, karena semua agama khususnya Islam dipandang hanya sebagai
sebuah petunjuk doktrinal yang harus dipatuhi melalui ritual-ritual belaka, terbukti
syiar keagamaan nampak semarak, rutin dan tanpa absen, tapi di luar itu tindakan
asusila, kriminalitas, korupsi yang merajalela, pembakaran hutan, kekerasan antar
pelajar, dan masih banyak lagi. Sehingga pertanyaan yang sering muncul dalam
seminar-seminar, simposium atau perkuliahan apakah agamanya yang salah atau
penganut yang keliru memahami.
Untuk menanggapi masalah ini tentu tidak serta merta harus diawali dengan
tudingan ataupun menyalahkan pihak tertentu, karena jika terjadi justru akan
memungkinkan adanya klaim kebenaran, apalagi agama sebagai pedoman suci harus
menjadi kambing hitam atas segala persoalan yang muncul.
Sejalan dengan itu sejumlah cendikiawan Muslim kontemporer, seperti
Muhammad Arkoun, M. Abid Al Jabiri, dan Hasan Hanafi mengidentifikasi krisis
kesadaran ini sebagai kegagalan memaknai Islam secara autentik. Dengan kata lain
umat Islam gagal merespon perubahan dengan berangkat dari ajaran Islam yang
subtantif dan pengalaman kebudayaan Islam sendiri.1
Oleh karena itu sebuah kebijakan yang harus dimunculkan upaya-upaya
sistematis dalam merumuskan kembali teknik memahami dan mengamalkan serta
menjadikan agama bukan sesuatu yang bersifat teologis normatif dan ritual belaka,
melainkan agama menjadi sebuah ruh atau pedoman kehidupan yang akan
mengantarkan pemeluknya menuju kesejahteraan hidup yang abadi. Dengan
demikian memahami agama dari berbagai aspek nampaknya menjadi sebuah tuntutan
yang tidak perlu ditawar kembali.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Interdisipliner ?
2. Bagaimana Ruang lingkup Studi Islam Interdisipliner ?
3. Bagaiaman Urgensi pendekatan interdisipliner menurut para ahli dan apa saja
macam – macam pendekatannya ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menganalisis apa yang dimaksud dengan Interdisipliner
2. Untuk mengetahui dan menganalisis ruang lingkup Studi Islam Interdisipliner
3. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana urgensi dan macam – macam
pendekatan Interdisipliner menurut para ahli

1
Ziaudi Sardar, Kembali Ke Masa Depan ( Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah), (Jakarta:
Serambi, 2003), h.3

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan Interdisipliner dalam kajian Islam


Pendekatan interdisipliner ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah
dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang ilmu serumpun, yang relevan
atau tepat guna secara terpadu.2 Dalam pendekatan interdisipliner yang dimaksud
dengan ilmu serumpun adalah kajian keilmuan yang menggunakan sejumlah rumpun
ilmu tertentu, misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis, dan normatif
secara bersama.
Kata studi berasal dari bahasa inggris yang memiliki arti mempelajari,
mengkaji, menelaah pengetahuan. Studi Islam atau kajian Islam dalam etimologis
adalah terjemahan dari istilah dirasah Islamiyah (dalam bahasa arab) yang dalam
studi eropa disebut dengan Islamic studies.3 Studi Islam secara terminologis adalah
kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memaknai, dan menganalisis
secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan Islam, baik menyangkut pokok-
pokok ajaran Islam, sumber ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas
pelaksanaannya dalam kehidupan manusia, baik dikalangan muslim maupun non
muslim.4 Ruang lingkup studi Islam sangatlah luas, menyangkut segala hal yang
berkaitan dengan Islam.
Menurut Suleiman dan Shihadeh dalam Baidhawy mengemukakan dua
pendekatan mendasar mengenai definisi Islamic Studies yaitu definisi sempit dan luas.
Pendekatan pertama melihat Islamic Studies sebagai suatu disiplin dengan
metodologi, materi, dan teks-teks kuncinya sendiri, bidang studi ini dapat
didefinisikan sebagai studi tentang tradisi teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu
keagamaan klasik, memperluas rauang lingkupnya berarti akan mengurangi kualitas
kajiannya.5

2
Ratu vina rahmatika, “Pendekatan Interdisipliner Dan Multidisipliner Dalam Studi Islam”, al-adyan:
ejurnal radenintan 14 (2019): 117 , diakses pada 20 agustus 2022
3
Tim penulis IAIN sunan ampel, Pengantar Studi Islam, (surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2002), 1
4
Neneng Nurhasanah dkk., metodologi studi Islam, (jakarta: Amzah, 2018), 3
5
https://hasanuddinali.com/2015/02/07/generasi-millennial-indonesia-tantangan-dan-peluang-pemuda-
indonesia/ diakses pada 26/08/2022 pukul 14.20

3
Berdasarkan penjelasan di atas, pengertian studi Islam menurut penulis adalah
suatu usaha sistematis untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama
Islam, baik mengenai ajaran, sejarah, maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Pada abad modern ini, Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak
kalangan baik di Barat maupun Timur yang kemudian melahirkan studi Islam (kajian
Islam). Islam tidak hanya dipahami dalam pengertian normative dan doktriner, tetapi
telah menjadi kajian yang kompleks baik dari sistem budaya, peradaban, komunitas
politik, dan ekonimi. Mengkaji Islam, hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan
metode dan pendekatan interdisipliner dari ilmu-ilmu sosial lainnya.6
Pendekatan interdisipliner penting untuk dilaksanakan apalagi jika pendekatan
ini dipakai untuk memahami pesan-pesan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan
hadis. Pendekatan interdisipliner merupakan langkah pendekatan baru dalam rangka
melakukan kontekstualisasi pesan-pesan dalam Islam, agar pesan-pesan dalam kajian
Islam benar-benar sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi zaman (sholih li
kulli zaman wa al-makan). Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
berkembang pula pendekatan yang digunakan oleh para kalangan cendekiawan
pemerhati kajian keIslaman. Kemajuan ini berdampak pada luasnya kajian keilmuan
yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu lainnya, seperti
munculnya antropologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu-ilmu lainnya yang menambah
khazanah kajian Islam.

B. Ruang Lingkup Kajian Islam Interdisipliner


Pembahasan wawasan KeIslaman mengikuti wawasan dan keahlian para
pengkajinya, sehingga terkesan ada nuansa kajian mengikuti selera pengkajinya,
secara material, ruang lingkup Studi Islam dalam tradisi sarjana barat, meliputi
pembahasan mengenai ajaran, doktrin, teks sejarah dan instusi-instusi ke-Islaman
pada awalnya ketertarikan sarjana barat terhadap pemikiran Islam lebih, karena
kebutuhan akan penguasaan daerah koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya
adalah warga Negara yang banyak didomisili warga Negara yang beragama Islam,
sehingga mau tidak mau meraka harus faham budaya lokal. Kasus ini dapat dilihat
pada perang Aceh sarjana Belanda telah mempelajari Islam terlebih dahulu sebelum
diterjunkan dilokasi dengan asumsi ia telah memahami budaya lokal dan peradaban
masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam.

6
Muhaini, Pengantar Studi Islam, (banda aceh: penerbit pena, 2013), 9

4
Islam dipahami dari sisi ajaran, doktrin dan pemahaman masyarakat dengan
asumsi dapat diketahui tradisi dan kekuatan masyarakat setempat. Setelah itu
pemahaman yang telah menjadi input bagi kaum orentalis diambil sebagai dasar
kebijakan oleh penguasa kolonial yang tentunya lebih menguntungkan mereka
ketimbang rakyat banyak diwilayah jajahannya. Hasil studi ini sebenarnya lebih
menguntungkan kaum penjajah tatas dasar, masukan ini para penjajah mampu
membuat kekuatan sosial, masyarakat terjajah sesuai dengan kepentingan dan
keuntungannya. Setelah mengalami keterpurukan, dunia Islam mulai bangkit melalui
para pembaru yang telah dicerahkan. Dari kelompok ini munculah gagasan agar umat
Islam mengejar ketertinggalannya dari umat lain.
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi :
1 Agama sebagai Doktrin dari Tuhan
Agama sebagai dokrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya
sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya.7 Kata dokrin berasal dari
bahasa Inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian
dibentuk kata doktina yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat
ajaran.
Selain kata doctrine sebagaimana disebut di atas, terdapat kata doctrinaire
yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini
misalnya doctrainare ideas ini berarti gagasan yang tidak praktis.
Studi doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi
tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa tidak
praktis?, jawabannya adalah karena ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi
seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi
doktrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doktrinal yang di maksud adalah studi
tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh
Islam.
Islam didefinisikan oleh sebagian ulama sebagai “al- Islamu wahyun
ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-

7
http://elsya2389.blogspot.com/2022/08/metodologi-studi-Islam-pengertian-ruang.html

5
akhirah” (Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
sebagai pedoman untukkebahagiaan hidup di dunia dan akhirat).8
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana dikemukakan di atas, maka
inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah al-
Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk mushaf yang
terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah al-Nas,
yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan al-sunnah telah terkodifikasi sejak tahun 300 hijriyah.
Sekarang ini jika kita ingin lihat al-sunnah atau al-hadis, kita dapat lihat di
berbagai kitab hadis. Misalnya kitab hadis Muslim yang disusun oleh Imam
Muslim, kitab hadis Shaleh Bukhari yangditulis Imam al-Bukhari, dan lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, al-Qur`an dan al-Sunnah, ajaran Islam diambil.
Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana telah disebutkan di
atas, ternyata dalam realitasnya ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut
memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad.
Dengan ijtihad ini, maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang ada
di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang diajarkan
secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang berkembang kemudian yang
tidak secara terang disebut di dalam dua sumber itu di dapatkan dengan cara
ijtihad. Dengan demikian, maka ajaran Islam selain termaktub pula di dalam
penjelasan atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui ijtihad itu. Hasil ijtihad
tersebar dalam semua bidang dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab, ada kitab
fiqih, kitab ilmu kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain. Sampai di sini jelaslah, bahwa
ternyata ajaran Islam selain langsung diambil dari al-Qur`an dan al-Sunnah, ada
yang diambil melalui ijtihad. Bahkan kalau persoalan hidup ini berkembang dan
ijtihad terus dilakukan untuk mencari jawaban agama Islam terhadap persoalan
hidup yang belum jelas jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka
ajaran yang diambil dari ijtihad ini semakin banyak jadi sasaran studi Islam
doktrinal ini sangat luas.
2 Agama sebagai Gejala Budaya

8
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), h. 19.

6
Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati sebagai kenyataan, berbagai
aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang
dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang
melakukan studi.
Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua
golongan besar, yaitu model studi ilmu-ilmu sosial dan model studi budaya.
Tujuan mempelajari agama Islam juga dapat dikategorikan ke dalam dua macam.
Pertama, untuk mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan. Kedua,
untuk obyek penelitian. Artinya, kalau yang pertama berlaku khusus bagi umat
Islam saja, baik yang masih awam, atau yang sudah sarjana. Akan tetapi yang
kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk sarjana-sarjana bukan Islam, yaitu
memahami. Akan tetapi realitasnya ada yang sekedar sebagai obyek penelitian
saja.
Untuk memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus melalui
dua model, yaitu tekstual dan kontekstual. tekstual artinya memahami Islam
melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan kontekstual berarti
memahami Islam lewat realitas sosial, yang berupa perilaku masyarakat yang
memeluk agama bersangkutan. Studi budaya di selenggarakan dengan
penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan
yang bersangkutan.
Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT. Kepada Nabi
Muhammad SAW. sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat. Agama Islam disebut juga agama samawi. Selain agama Islam,
Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi. Sebab
keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dan Nabi Isa
sebagai utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian pendapat
Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa:
“agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup pada
prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya, masing-
masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling
berhubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan
penghidupan, manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam
hubungan erat antara suami dan istri, yang dapat melahirkan putra,

7
namun suami bukan merupakan bagian dari si sitri, demikian pula
sebaliknya”.
Atas dasar pandangan di atas, maka agama Islam sebagai agama samawi
bukan merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya
kebudayaan islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing
berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya. Menurut Faisal
Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar, asas pengendali,
pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam
pengembangan dan perkembangan kultural. Agama (Islam) yang menjadi
pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya,
sehingga menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam.
Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun memiliki keterkaitan,
Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga keduanya
bisa dilihat dengan jelas dan tegas. sholat misalnya adalah unsur (ajaran) agama,
selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga dapat
melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga menjadi pendorong dan
penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempatbsholat orang membangun
masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, membuat sajadah alas
untuk bersujud dengan berbagai desain, membuat tutup kepala, pakaian, dan lain
sebagainya. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua
kemungkinan, pertama adalah Islam mewarnai, megubah, mengolah, dan
memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan.
Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari dua entitas kebudayaan atau
entitas keIslaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul muatan-
muatan lokal dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas Islam
yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam.
Agama sebagai budaya juga dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol,
karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial, yang berfungsi sebagai
kontrol, terhadap institus-institus yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang pada
kaidah: al-muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded al ashlah,
artinya: memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk
budaya baru yang lebih baik.

8
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang
berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan, maka sistem
pertahanan Islam, sistem keuangan, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil
pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun ada perbedaannya dengan
kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak pada keadaan institusi-institusi
kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas dasar prinsip-prinsip yang
tersebut dalam al-Qur`an.
3 Agama sebagai Interaksi sosial
Islam dapat dipelajari melalui pendekatan antropologi hubungan agama
dengan berbagai masalah kehidupan manusia dan dengan itu pula agama terlihat
akrab dan fungsional dan berbagai fenomena kehidupan manusia.9
Islam sebagai sasaran studi sosial ini dimaksudkan sebagai studi tentang
Islam sebagai gejala sosial. Hal ini menyangkut masyarakat penganut agama
lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling
berkaitan.
Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai
sasaran studi sosial adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi
fenomena Islam. Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah menjadi dasar
dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek, bahwa ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan
dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture atau naskah-
naskah atau sumber-sumber dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau
pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku dan,
penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-
ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat,
organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul, seperti NU
dan lain-lain.10
Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala sosial, pada
dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama mempelajari
hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi

9
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), h. 38
10
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam..., h. 13-14

9
agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya, sosiologi
sekarang ini mempelajari bukan masalah timbal balik itu, melainkan lebih pada
pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama sebagai
sistem nilai mempengaruhi masyarakat. Meskipun kecenderungan sosiologi agama.
Beliau memberi contoh teologi yang dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-
orang khawarij, orang-orang ahli al-sunnah wal al-jannah dan lain-lain. Teologi-
teologi yang dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari
pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana kita melihat masalah Islam sebagai
sasaran studi sosial. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari
penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya
peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang hampir sama atau
dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
Jadi dengan demikian metodologi studi Islam dengan mengadakan
penelitian sosial berada diantara ilmu budaya mencoba memahami gejala-gejala
yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivism. paradigma
positivisme dalam ilmu ini adalah sesuatu itu dianggap sebagai ilmu jika dapat
diamati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable).
Sedangkan ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur
atau diverifikasi. Sedangkan ilmu sosial yang dianggap dekat dengan ilmu
kealaman berarti juga dapat diamati, diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi
sosial, maka harus mengikuti paradigma positivisme itu, yaitu dapat diamati
gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian kualitatif yang tidak
menggunakan paradigma positivisme. Ini berarti ilmu sosial itu dianggap tidak
dekat kepada ilmu kealaman. Jika halnya demikian, maka berarti dekat kepada
ilmu budaya ini berarti sifatnya unik. Lima hal sebagai gejala agama yang telah
disebut di atas kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan
menggunakan pendekatan ilmu sosial sebagaimana juga telah dungkap diatas.

10
C. Urgensi Pendekatan Interdisipliner dalam kajian Islam
Urgensi dari adanya pendekatan interdisipliner pada kajian Islam semakin
disadari di era sekarang ini, keterbatasan dari hasil penelitian yang tidak hanya
menggunakan satu pendekatan saja namun harus dilengkapi juga dengan
menggunakan sudut pandang lain yang relevan. Dimana kajian Islam dilengkapi juga
oleh berbagai sudut pandang keilmuan, sangatlah penting guna mengetahui kebenaran
Islam secara komprehensif, namun yang tidak kalah penting adalah bagaimana hasil
kajian Islam tersebut dapat diterima oleh para generasi sekarang ini, tidak hanya
sebagai perwujudan suatu studi keagamaan saja, namun dapat membangkitkan rasa
untuk ikut serta dalam melakukan studi Islam melalui berbagai disiplin ilmu
(interdisipliner).
Urgensi kajian Islam sebagai usaha untuk mempelajari secara mendalam
mengenai Islam dan segala seluk beluk yang berhubungan dengan Islam sudah barang
tentu memiliki tujuan yang jelas, yang dapat menunjukkan kemana kajian Islam akan
diarahkan. Dengan adanya arah yang jelas maka sengan sendirinya kajian Islam akan
tersusun secara sistematis.
Kajian Islam telah dilengkapi dengan berbagai sudut pandang keilmuan
penting, namun yang membuat tak kalah penting adalah bagaimana hasil kajian Islam
tersebut dapat diterima oleh generasi sekarang sebagai perwujudan memahami
kebenaran agama dari berbagai perspektif disiplin ilmu lain. Bagi umat Islam,
mempelajari Islam adalah hal yang sangat penting dalam rangka memantapkan
keimanan dan mengamalkan ajaran Islam, dan untuk umat non muslim, mempelajari
Islam hanya untuk diskursus ilmiah.
Berikut ini adalah beberapa pendekatan interdisipliner dalam kajian Islam dan
metodelogi ilmiah modern11, diantaranya adalah:
1 Kajian Islam Lewat pendekatan filsafat
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hak, dari
segala yang ada. Kata filsafat atau falsafah secara harfiah dari bahasa Arab yang
berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta kepada pengetahuan
atau cinta kepada kebijaksanaan. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari
hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan
pengalaman - pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,

11
Ratu vina rahmatika, “Pendekatan Interdisipliner Dan Multidisipliner Dalam Studi Islam”, al-adyan:
ejurnal radenintan 14 (2019): 118 , diakses pada 20 agustus 2022

11
Poerwardaminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan penyelidikan dengan
akal budi mengenai sebab sebab, asas - asas hukum dan sebagainya terhadap
segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya“
sesuatu. Pengertian filsafat umumnya digunakan adalah pendapat yang
dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara
mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran,
inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Orang yang cinta
kepada pengetahuan atau kebijaksanaan disebut philosophos atau dalam bahasa
Arab failosuf (filosof). 12
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik
objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti, hakikat,
atau hikmah mengenai sesuatu yang beradadi balik proyek formanya. Filsafat
mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifst
lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek holpoin dengan kualitas dan
harga berlainan, namun intinya sama, yaitu sebagai alat tulis. Ketika disebut alat
tulis, tercakuplah semua nama dan jenis bolpoin. Contoh lain, kita jumpai
berbagai bentuk rumah dengan kualitas yang berbeda tetapi intinya adalah
sebagai tempat tinggal. Kegiatan berpikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan
secara mendalam. Louis O. Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah
merenung. Akan tetapi, merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir secara
kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam,
radikal, sistematis dan universal.13 Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa
hingga dicari sampai batas bahwa akal tidak sanggup lagi. Radikal atinya sampai
ke akar-akarnya sehingga tidak ada lagi yang tersisa, sistematis maksudnya
adalah dilakukan secara teratur dengan nggunakan metode berpikir tertentu, dan
universal maksudnya tidak batasi hanya pada suatu kepentingan kelompok
tertentu, tetapi untuk seluruhnya.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam
memenuhi ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat, atau int dari
ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara saksama. Pendekatan

12
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, jilid 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1976. him 15
13
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, dari judul asli Element of Philosophy,
Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989, hlm. 6

12
filosofis sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Buku berjudul
Hikmah At-Tasyri wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhamad Al-Jurjawi
berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat dibalik ajaran-ajaran agama
Islam. Ajaran agama misalnya mengajarkan seorang agar melaksanakan shalat
berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmah hidup secara
berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya,
seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada
sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula, ibadah haji
dilaksanakan di kota Mekah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan
gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya dimaksudkan
agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasakan bersaudara dengan
sesama Muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang dikerjakan mengandung makna
bahwa hidup harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata. Mergerjakan
sa’i, yakni larilari kecil menggambrakan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus
mencoba. Sementara itu wukuf di arafh maksudnya adalah saling mengenal
sesame saudaranya dari berbagai belahan dunia. Demikian pula melompar
jamarat agar seseorang dapat membuang sifat-sifat negative yang ada dalam
dirinya untuk diganti dengan sifat-sifat positif. Mengenakan pakaian putih agar
seseorang mengutamakan kesederhanaan, kesehajaan, dan serba bersih jiwanya
sehingga tidak mengganggu hubungannya dengan Tuhan.
Demikian pula, kita membaca sejarah kehidupan para nabi terda
maksudnya bukan sekadar menjadi tontonan atau sekadar mengenalnya
hubunganya dengan Tuhan. Akan tetapi bersamaan dengan itu, perlu ada
kemampuan menangkap makna filosofis yang terkandung di belakang peristiwa
tersebut, Kisah Nabi Yusuf yang digoda seorang perempuan bangsawan, secara
lahiriah menggambarkan kisah yang bertema pornografi atau kecabulan
Kesimpulan itu terjadi manakala seseorang hanya memahami lahiriah dari kisah
tersebut. Akan tetapi, sebenarnya melalui kisah tersebut Tuhan ingin mengajarkan
kepada manusia agar memiliki ketampanan Jahiriah dan batiniah secara prima.
Nabi Yusuf as telah menunjukkan melalui pendekatan kesanggupannya dengan
mengendalikan farjinya dari berbuat maksiat Sementara secara lahiriah, ia tampan
dan menyenangkan orang yang bersilat filosofis. Dengan menggunakan
pendekatan filosofis ini, seseorang melihatnya. Makna demikian dapat dijumpai
dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula yang

13
menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara
demikian, ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah, ia tidak akan
merasakan kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan Semakin
mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama semakin menggali
makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap,
penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki sesorang.
2 Kajian Islam Lewat Pendekatan Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang memelajari mengenai hidup bersama dengan
masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai
hidupnya itu. Sementara itu, Soejono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang mematasi diri terhadap persoalan penilaian.14
Sosiologi Tidak menetapkan kearah mana seharusnya segala sesuatu berkembang
dalam arti memberi petunjuk – petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan
kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Didalam ilmu ini juga
dibahas tentang proses – proses sosial, mengingat bahwa ilmu pengetahuan
perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambar yang
nyata mengenai kehidupan yang bersama dari manusia.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
yang menggambarkan keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta
berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu
fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor – faktor yang mendorong terjadi
hubungan, mobilitas sosial, serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses
terjadinya tersebut.
Dari segi sosiologi ini pendekatan terhadap agama telah melahirlan
berbagai teori. Diantara teori – teori itu yang sangat terkenal adalah teori
tingkatan. Teori ini dikemukakan oleh August Comte pada tahun 1789 – 1857.
Dalam bukunya Cours de Philoshopie Positive, ia menerangka pandangannya
tengtang paham positivism yang alamiah dan menjabarkan tingkatan – tingkatan
dalam evolusi pemikiran manusia sebagai berikut :
Tingkatan pertama, yaitu yaitu tingkatan yang disebut tingkatan teologi,
yaitu semua kegiatan yang dialami manusia bersumber dari suatu kekuatan
ketuhanan atau suatu Dzat yang maha kuasa.

14
Hasan shadily, sosioogi untuk masyarakat indonesia, (jakarta: bina aksara, 1983), 1

14
Tingkatan kedua, yaitu tingkatan metafisika yang berarti manusia sudah
mulai memahami kejadian di lingkungan dan alam sekitarnya berdasarkan
kekuatan – kekuatan yang lebih abstrak dan tidak kelihatan.
Tingkatan ketiga, yaitu tingkatan positif artinya manusia sudah memahami
sesuatu sebab itu berdasarkan akal pikiran yang praktis.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan
dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti karena banyak kajian
agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila
menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam ajaran Islam dapat
dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi
penguasa di Mesir.
3 Kajian Islam Lewat Pendekatan Sejarah
Sejarah atau Historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan empat unsur tempat, waktu, objek, latar
belakang, dan pelaku peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala sesuatu bisa
dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa
yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan historis ini digunakan sebagai upaya untuk menelusuri asal-
usul serta pertumbuhan pemikiran dan lembaga kegamaan melalui periode
perkembangan sejarah tertentu, serta untuk memahami peranan kekuatan yang
diperlihatkan oleh agama dalam periode-periode tersebut. Penelitian semacam ini
harus dimulai dari masa yang paling awal yang dapat diketahui dalam sejarah
manusia.
Oleh karena itu, menurut Hasan Usman, metodologi sejarah adalah suatu
peridisasi atau tahapan – tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga
dengan kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat sejarah. Melalui
pendekatan sejarah ini. Adapun yang dimaksud kenyataan dan kebenran sejarah
bukanlah harus sampai pada kenyataan dan kebenaran mutlak. Karena hal itu
berada diluar kemampuan, juga hilangnya petunjuk. Karena hal itu berada diluar
kemampuan, juga hilangnya petunjuk, misalnya bekas peninggalan atau karena
ada tujuan dan kepentingan tertentu.15

15
Hasan Usman, Manhaj Al-Bahts At-Tarikh (Metodologi Penelitian Sejarah), diterjemahkan oleh Tim
Penerjemah Depag RI, 1986, hlm. 16.

15
Melalui pendekatan sejarah, seseorang diajak menukik dari alam idealis
ke alam yang bersifat empiris dan mendunia Dari keadaan in seseorang akan
melihat adanya terdapat dalam alam sdealis dengan yang ada di alam empiris dan
hustoris.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama,
karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan
dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah
melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam,
menurut pendekatan sejarah Ketika sa mempelajari Al-Quran, ia sampai pada
suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya, kandungan Al Quran itu terbagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah
kisal sejarah dan perumpamaan
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep kita mendapati banyak
sekali istilah Al-Quran yang merujuk pada pengertian pengertian normatif yang
khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran ajaran keagamaan
pada umumnya Istilah-istilah, atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu,
mungkin diangkat dari konsep konsep religius yang ingin diperkenalkannya.
Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia
Al-Quran, lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang
bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah. Malaikat, akhirat, ma'ruf,
munkar dan sebagainya, adalah konsep-konsep abstrak Sementara itu, juga
ditunjukkan konsep-konsep yang lebih menunjuk pada fenomena konkret dan
dapat diamati (observable). misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir),
dhuafa (orang lemah), mustadh afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran),
aghniya (orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor),
dan sebagainya.
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, Al-Quran
bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai
Islam, pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, Al Qur’an
ingin mengajak umat islman untuk melakukan perenungan untuk memperoleh
hikmah, melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peistiwa
historis ataupun menyangkut simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba,

16
Luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Tuhan, atau tentang
keganasan samudra yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui pendekatan sejarah ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan
yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristi Dari sini tidak akan
memahami agama keluar dari konisk borinya, karena pemahaman demikian akan
menyesatkan orang yang memahaminya Seseorang yang ingin memahami Al-
Quran secara be misalnya harus mempelajari sejarah turunnya Al-Quran atau
kejadia Lejadian yang mengiringi turunnya Al-Quran yang selanjutnya diseb Al-
Quran) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-Quran sebagai ilmu
arbabun nuzul (mu tentang sebab-sebab Dengan ilmu asbabun nuzul ini,
seseorang dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang
berkenaan dengan hukum tertentu dan dirujukan untuk memelihara syariat dari
kekeliruan memahaminya. 16

16
Manna Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Dar Ma’arif, Mesir, 1977, hlm. 79

17
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Pendekatan interdisipliner merupakan langkah pendekatan baru dalam rangka


melakukan kontekstualisasi pesan-pesan dalam Islam, agar pesan-pesan dalam kajian
Islam benar-benar sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi zaman (sholih li
kulli zaman wa al-makan). Pendekatan interdisipliner merupakan pendekatan yang
sangat penting untuk digalakan apalagi jika pendekatan ini dipakai untuk memahami
pesan-pesan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis.

Ruang lingkup studi Islam interdisipliner melihat Agama sebagai obyek studi
yang dapat dilihat dari segi sisi Agama sebagai Doktrin dari Tuhan, yang sebenarnya
bagi para pemeluknya sudah final dalam artian mutlak, dan diterima apa adanya.
Selanjutnya Agama sebagai Gejala Budaya proses interaksi Islam dengan budaya
dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama, adalah Islam mewarnai, mengubah,
mengolah, dan memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai oleh
kebudayaan dan Agama sebagai Interaksi sosial, mempelajari hubungan timbal balik
antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama
mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya, sosiologi sekarang ini mempelajari
bukan masalah timbal balik itu, melainkan lebih pada pengaruh agama terhadap
tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama sebagai sistem nilai mempengaruhi
masyarakat.

Urgensi dari adanya pendekatan interdisipliner pada kajian Islam semakin


disadari di era sekarang ini, keterbatasan dari hasil penelitian yang tidak hanya
menggunakan satu pendekatan saja namun harus dilengkapi juga dengan
menggunakan sudut pandang lain yang relevan. Dimana kajian Islam dilengkapi juga
oleh berbagai sudut pandang keilmuan, sangatlah penting guna mengetahui kebenaran
Islam secara komprehensif, namun yang tidak kalah penting adalah bagaimana hasil
kajian Islam tersebut dapat diterima oleh para generasi sekarang ini, tidak hanya
sebagai perwujudan suatu studi keagamaan saja, namun dapat membangkitkan rasa
untuk ikut serta dalam melakukan studi Islam melalui berbagai disiplin ilmu
(interdisipliner).

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan , Manna. 1977. Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Ma’arif, Mesir.

Gazalba, Sidi. 1976. Sistematika Filsafat, Jilid 1. Jakarta : Bulan Bintang.

Kattsof, Louis O. 1989. Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Dari Judul Asli
Element Of Philosophy. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mudzar, Atho. 2007. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhaini. 2013. Pengantar Studi Islam. Banda Aceh: Penerbit Pena.

Nata, Abuddin. 2012. Metodelogi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Nurhasanah, Neneng Dkk. 2018. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Amzah.

Sardar, Ziaudin. 2003. Kembali Ke Masa Depan (Syariat sebagai Metodelogi Pemecahan
Masalah), Jakarta: Serambi.

Shadily, Hasan. 1983. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Tim Penulis IAIN Sunan Ampel. 2002. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press.

Usman, Hasan. 1986. Manhaj Al-Bahts At-Tarikh (Metodologi Penelitian Sejarah), terj.
Tim Penerjemah Depag RI.
Rahmatika, Ratu vina. (2019). “Pendekatan Interdisipliner Dan Multidisipliner Dalam Studi
Islam”, al-adyan: ejurnal radenintan 14: 117 , diakses pada 20 agustus 2022

19

Anda mungkin juga menyukai