Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

SEJARAH PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar, M.Ag.

Disusun Oleh :

Maslahah

( 2203038004 )

PASCA SARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2022
A.  Latar Belakang

Sejarah penulisan Hadits sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan


sebagian kaum muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas Hadits
Nabi lantaran mereka berargumen bahwa Hadits Nabi ditulis dan dibukukan dua abad
sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu
sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna
Hadits yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional
semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh
syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisan dan pembukuan
dengan benar. Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual
menerima begitu saja Hadits Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan
ketidaksahihannya. Pada makalah ini penulis mencoba berusaha secara ringkas untuk
mengemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan pembukuan Hadits Nabi
sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad ke 7 H hingga sekarang.

Para ulama tidak sependapat dalam menyusun sejarah pertumbuhan dan


perkembangan hadits Nabi SAW. Ada yang membaginya pada tiga periode saja, yaitu
masa Rasulullah SAW, Shahabat dan Tabi’in, masa pentadwinan dan masa setelah
tadwin.1

Sejarah dan Periodesasi penghimpunan Hadits mengalami masa yang lebih


panjang dibandingkan dengan dialami oleh Al-Quran, yang hanya memerlukan waktu
relatife pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Penghimpunan dan penulisan (tadwin) Hadits
memerlukan waktu sekitar tiga abad.Yang dimaksud dengan Periodisasi penghimpunan
Hadits disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan
dan perkembangan Hadits, sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai terwujudnya
kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini.

Penyusunan kitab Hadits atau penulisan Hadits di dalam sebuah kitab belum
terjadi pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga belum ada pada masa Shahabat.
Pada masa Rasulullah SAW memang ada riwayat yang berasal dari Nabi yang
membolehkan untuk menuliskan Hadits, namun penulisan Hadits pada masa
Rasulullah SAW masih dilakukan oleh orang perorang yang sifatnya pribadi dan tertentu

1 Munzier, Supartam,  Ilmu Hadits, (Cet.3 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal,702

2
pada orang-orang yang membutuhkan menuliskannya atau diizinkan oleh
Rasulullah SAW  untuk menulisnnya.

Penulisan Hadits pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga pada masa
Shahabat belumlah bersifat resmi. Para Shahabat di masa pemerintahan Khulafa' al-
Rasyidin, pada umumnya, menahan diri dari melakukan penulisan Hadits. Hal
tersebut karena adanya larangan Rasulullah SAW untuk menulis Hadits-Hadits beliau.
Namun demikian, di samping adanya larangan, di sisi lain Rasulullah SAW juga
memberi peluang kepada para Shahabat untuk menuliskan Hadits-hadits beliau. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya kontroversi dalam hal penulisan Hadits antara adanya
larangan dan kebolehan dalam menuliskan Hadits.

Haditst adalah Segala ucapan perbuatan dan perilaku Rasulullah


SAW.2 Yang  merupakan salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan
hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke 2 (dua) setelah al-Quran.
Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa
prapembukuan (kodifikasi). Mudah-mudahan dengan mengetahui
sejarah pembukuan hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang
serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.

Dari latar belakang sejarah perkembangan hadits yang dikemukakan banyak


ulama tersebut, dari awal kedatangan agama islam periode Rasulullah SAW sampai
sekarang, penulis akan mencoba membahas sejarah pembukuan Hadits Nabi SAW
dengan rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana kondisi hadits Nabi SAW sebelum di bukukan ?


2. Bagaimana Perkembangan Hadits Pada Masa Shahabat,  Tabi’in Sampai
Terhimpunnya Kutub As-Ssittah ?

B. Kondisi Hadits Nabi SAW Sebelum di Bukukan

1.  Hadits Nabi SAW Sebelum di Bukukan.

Kondisi awal sejarah dan perkembangan Hadits yaitu pada masa Nabi SAW,
masa ini hanya 23 tahun dimulai pada tahun 13 sebelum hijriyah atau bertepatan pada
tahun 610 M sampai  pada tahun 11 H atau 623 M.
2 Qadir, Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Dipenegoro, 2007), hal. 17

3
Pada masa tersebut Hadits itu diterima hanya dengan mengandalkan hafalan
dari para shahabat-shahabat Nabi SAW  serta pada masa tersebut para shahabat belum
ada pemikiran secara besar-besaran untuk melakukan penulisan terhadap Hadits
Nabi SAW ini mengingat pada masa tersebut Rasulullah SAW masih sangat mudah
untuk dihubungi dan dimintai keterangan-keterangan tentang segala hal yang
berhubungan dengan ibadah dan muamalah keseharian umat Islam. pada masa inilah
Hadits lahir berupa aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi untuk
menerangkan Al-Qur’an dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk
mayarakat Islam.3

Munculnya Hadits itu mengalami proses yang memiliki keterkaitan dengan


beberapa hal, yang meliputi: Pertama, peristiwa tersebut terjadi dihadapan Nabi, yang
kemudian Nabi menjelaskan hukumnya dan menyebar luaskan kepda kaum
muslimin. Kedua, peristiwa yang terjadi dikalangan umat Islam yang kemudian
ditannyakan kepada Rasulullah SAW, baik kejadian yang menimpa pada diri orang
baik itu secara langsung  maupun peristiwa yang terjadi padaorang lain. Ketiga,
kejadian-kejadian yang disaksikan shahabat, mengenai apa yang diperbuat oleh
Rasulullah SAW, kemudian shahabat itu menanyakannya dan kemudian Nabi SAW
menjelaskannya.4

Dari sebab-sebab munculnya Hadits tersebut tergambar bahwa konteks


munculnya Hadits Rasulullah SAW itu dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama, Hadits
muncul dalam kepentingan menafsirkan ayat al-Qur’an yang masih bersifat
umum. Kedua, Hadits muncul dalam konteks memperkuat dan menetapkan hukum-
hukum yang telah ada di dalam al-Qur’an. Ketiga, kemunculan Hadits dikarenakan
adanya suatu persoalan atau peristiwa yang terjadi yang mengharuskan untuk di jawab
sementara belum ditemukan jawabanya dalam nash al-Qur’an.

Perbuatan, ucapan, tutur kata dan gerak-gerik Nabi SAW, menjadi perhatian
tersendiri bagi para shahabat dan kaum muslimin waktu itu, kesemuanya itu dijadikan
suatu pedoman hidup atau dijadikan suatu aturan-aturan dalam kebiasan sehari-
hari. kebanyakan shahabat untuk menguasai Hadits Nabi SAW, melalui hafalan tidak
melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan

3 Suryadilaga, Alfatih, dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 50


4 Sumbullah, Umi, Kajian Kritik Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal. 37

4
apabila Hadits ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran, 5 kecuali bagi mereka
yang kurang kuat hapalannya atau memiliki kecakapan tulis menulis tidak ada
kekahawatiran tercampur antara keduanya, maka diperbolehkan menulis Hadits.
Penulisan Hadits disini berfungsi untuk membantu hapalan mereka.

Ada beberapa cara penyampaian Hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW:

a. Melalui para jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majlis ilmi.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditstnya
melalui para shahabat tertentu, yang kemudian oleh para shahabat tersebut
disampaikannya kepada orang lain. hal ini karena terkadang ketika ia
mewurudkan suatu Hadits, para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja.
baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW sendiri atau secara kebetulan para
shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang.
c. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu
makkah.
d. Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para shahabatnya (jalan
musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan
muamalah.

 Para shahabat yang mengemukakan masalah secara langsung atau bertanya


dan berdialog kepada Nabi SAW. Kebiasaan para shahabat dalam menerima
Hadits yakni bertanya langsung kepada Nabi SAW. Contoh dalam problematika yang
dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh
imam Bukhari dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara
karena  radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para shahabat
bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya
kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium
istrinya dalam keadaan puasa.6

Setiap  shahabat  mempunyai  kedudukan  tersendiri  dihadapan  Rasulullah
SAW. Adakalanya yang disebut dengan “Ash-Shabiqunn Al-Awwaluun” yakni para
shahabat yang pertama-tama masuk Islam, seperti Abu Bakar As-Sidiq, Umar Bin

5 Mana’ al-Qathan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), hal. 106

6 Mushtafa al-Suba’i,  Assunnah, (Kairo: Dar-Assalam. 2003), hal. 67

5
Khattab, Usman Bian Affan, Ali Bin Abu Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud dan
Abdurrahman Bin Auf, RA. Ada  juga  shahabat  yang  sungguh-sungguh  menghafal
hadits Rasulullah SAW, misalnya Abu Hurairah. Ada juga shahabat yang usianya
lebih panjang dari shahabat lain, sehingga mereka lebih banyak menghafalkan Hadits,
seperi Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas. Demikian juga ada shahabat
yang  mempunyai hubungan erat dengan Nabi SAW, seperti istri-istrinya. Semakin
erat dan lama bergaul semakin banyak pula Hadits yang diriwayatkan
dan kebenarannya tidak diragukan.7

Namun  demikian, para  shahabat  juga adalah  manusia  biasa,  harus


mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka tidak
setiap kali lahir sebuah hadits disaksikan langsung oleh seluruh shahabat. Sehingga
sebagian shahabat menerima Hadits dari shahabat lain yang mendengar langsung
ucapan Nabi atau melihat langsung tindakannya. Apalagi shahabat yang berdomisili di
daerah yang jauh dari Madinah seringkali hanya memperoleh hadits dari sesama
shahabat.

Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan


kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus adanya Hadits. Keadaan ini sangat
menuntut keseriusan dan kehati-hatian para shahabat sebagai pewaris pertama ajaran
Islam.

2.  Larangan Tentang Pembukuan Hadits Nabi SAW

Hadits pada zaman Nabi Muhammad SAW belum ditulis secara


umum sebagaimana al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh dua faktor ;

a. Para shahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya,


disamping alat-alat tulis masih kurang.
b. Karena adanya larangan menulis hadits Nabi.
Dalam shaih muslim disebutkan yang di riwayatkan oleh Abu sa’id al-
khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:

7 Muhaimin, dan Abdul Mujib, dkk,  Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Cet 1, Jakarta: Kencana,


2005), hal. 148

6
‫ول‬ َّ ‫ي‬
َ ‫َأن َر ُس‬ ٍ ِ‫ي ح َّدثَنا مَهَّام عن زي ِد ب ِن َأسلَم عن عطَ ِاء ب ِن يسا ٍر عن َأيِب سع‬
ِّ ‫يد اخْلُ ْد ِر‬ ِ ْ ‫ح َّدثَنا هدَّاب بن خالِ ٍد‬
َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ْ َ ْ َ ٌ َ َ ُّ ‫اَأْلزد‬ َ ُْ ُ َ َ َ
ِ ِ ِ
‫ب‬ َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم قَ َال اَل تَكْتُبُوا َعيِّن َو َم ْن َكت‬
َ ‫ب َعيِّن َغْيَر الْ ُق ْرآن َفْليَ ْم ُحهُ َو َح ِّدثُوا َعيِّن َواَل َحَر َج َو َم ْن َك َذ‬ َ ‫اللَّه‬
‫ ِم ْن النَّا ِر‬%ُ‫َأح ِسبُهُ قَ َال ُمَت َع ِّم ًدا َفْليَتََب َّوْأ َم ْق َع َده‬
ْ ‫َعلَ َّي قَ َال مَهَّ ٌام‬

“Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang
menulis dariku hendaklah ia menghapusnya Ceritakan saja yang kalian terima
dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah ia menduduki tempat duduknya dari neraka.” (HR Muslim 5326).

Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya


hadits dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qur’an, atau larangan khusus
bagi orang yang dipercaya hafalannya.

Kesimpulan larangan penulisan hadits diantaranya:

a. Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya
masih sangat sederhana ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan
batu-batuan dan belum dibukukan.
b. Kemampuan tulis menulis bagi para shahabat pada awal Islam masih sangat
langka yang dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai
penulis Al-Qur’an.
c.  Ingatan orang-orang Arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis)
sangat kuat dan diandalkan Rasulullah SAW untuk mengingat Hadits.

Disamping Rasulullah SAW melarang menulis hadits, beliau juga


memerintahkan kepada beberapa orang shahabat tertentu untuk menulis hadits.
Misalnya hadits Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash, Rasulullah SAW bersabda:

)‫فوالذي َن ْف ِس ْي َما َخَر َج ِم ْن فَ ِمي ِإاَّل َح ٌّق (رواه ابو داود عن ابن عمر‬
ِّ ‫ب عيِّن‬
ْ ُ‫ُأ ْكت‬

“Tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar


dariku kecuali yang hak”. (Riwayat Abu Dawud dari ibn Umar).

Dengan melihat dua hadits yang kelihatannya terjadi kontradiksi, seperti hadits
dari Abu Sa’id Al-Hudri di satu pihak, dengan hadits dari Abdullah ibn Amr ibn Al-
Ash. Diantara mereka ada yang menggugurkan salah satunya, seperti dengan

7
jalan nasikh dan mansukh dan ada yang berkompromi keduanya sehingga keduanya
tetap digunakan (ma’mul) dengan alasan:

a. Bahwa larangan menulis haditst itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya
bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga
dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti
Abdullah bin Amr bin Ash.
b. Bahwa larangan menulis Haditst ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari
pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak
kuat hafalannya.8
Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan akn hafalannya, seperti yang
pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan Hadits bagi
shahabat tertentu diperbolehkan, seperti peristiwa Abu Syah shahabat yang meminta
di tuliskan Hadits Nabi  SAW: 

            

‫ ا ْكتُُب ْوا َأليِب ْ َش ٍاه‬: ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ ا ْكتُُب ْوا يِل يَا َر ُس‬: ‫َف َق َام َأبُو َش ٍاه َر ُج ٌل ِم ْن َْأه ِل الْيَ َم ِن َف َق َال‬
ِ ُ ‫ول اللَّ ِه َف َق َال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ

  “Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia
berkata: Tuliskan untukku, wahai Rasullullah ! Maka Rasulullah saw bersabda:
“Tuliskan untuk Abu Syah !” ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )

Menyikapi  dua riwayat Hadits Nabi SAW yang tampak saling bertentangan


tersebut di atas , para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Sebagian
menganggap bahwa larangan itu mutlak, tetapi  sebagian ulama yang lain berusaha
mengkompromikannya. Jadi duduk persoalannya dengan mengembalikan persoalan
tersebut kepada empat pendapat:

a. Sebagian ulama menganggap bahwa hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf,
maka tidak patut untuk dijadikan alasan, untuk melarang penulisan hadis;
b. Larangan penulisan hadis berlaku hanya pada masa awal-awal  Islam, karena
dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur’an;
c. Dengan adanya larangan penulisan hadis tersebut pada hakekatnya
Nabi SAW mempercayai kemampuan para shahabat untuk menghafalkannya, dan
Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada tulisan, sedang pemberian izin

8 Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Kairo: Maktabah wahbah, 1998), hal. 303

8
Nabi untuk menulis hadisnya,   pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa
Nabi SAW tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah,  dapat menghafalkannya
dengan baik.
d. Larangan  itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang
yang bisa baca tulis dengan baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada
Abdullah bin Umar.

Meskipun para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya


penulisan hadis ini, namun nyatanya para sahabat tetap memelihara dan melestarikan
hadits Nabi SAW. Hal ini dibuktikan dengan adanya hadits Nabi SAW yang
mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya, barang siapa sengaja berbohong atas nama
saya maka tempatnya di neraka”. Sehingga apabila menulis hadits menjadi praktek
yang dilarang, maka untuk mengantisipasi terjadinya ketidakotentikan hadits
ini, Nabi SAW juga memberikan peringatan atau ancaman neraka tersebut. Namun
kalau kita lebih bijaksana menilai dan mengkeritisinya maka disinilah letak
manajemen Rasulullah SAW, sebagi seorang Rasul, beliau mampu membedakan para
shahabatnya yang kira-kira tidak mampu membedakan mana hadits dan mana Al-
Qur’an, beliau juga mampu mengorgainisir para shahabat pada saat itu yang
notabenenya berwatak kera dan letak georgafis arab yang tandus.  Apa hikmah dari
dua hadits yang berbeda ini, disatu sisi melarang di satu sisi menganjurkan? tentu
hikmanya sangatlah banyak diantaranya: agar para shahabat tidak menyamakan
kedudukan hadits dengan Al-Qur’an, pada masa itu segala permasalahan diselesaikan
dengan turunya wahyu, dan segala masalah bertumpu pada Nabi SAW, tentu yang
terahir Nabi SAW tau hal-hal yang tidak diketahui para shahabat, karena beliau
sebagai seorang Rasul yang diutus oleh Allah SWT.

Itulah beberapa hikmah yang tersirat di balik anjuran dan larangan penulisan
Hadits Nabi SAW, yang kiranya dapat pemakalah simpulkan dari berbagi pendapat
para shahabat Rasulullah SAW dan para ulama hadits mengenai perselisihan seputar
larangan penulisan hadits Nabi SAW dimasa hidunya dan turunnya wahyu ilahi.

3.  Sejarah Pembukuan Hadits Nabi SAW

Membicarakan Hadits pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan


Hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung
dengan pribadi Rasulullah SAW sebagai sumber Hadits. Rasulullah SAW membina

9
umatnya selama 23 tahun dan Pembukuan Hadits baru dilakukan pada abad ke 2 H
pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, untuk itu ada sebagian yang
meragukan otentisitas Hadits.9 Namun hingga wafatnya Nabi SAW keyakinan umat
Islam terhadap hadits tidaklah berubah, karena keberadaan hadits sangat sentral
sebagai realisasi ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran.10 Oleh sebab itu
dengan adanya penjelasan tentang sejarah pembukuan dan perkembangan hadits Nabi
SAW dapat di pertanggungjawabkan kebenaran dan keontikannya sampai sekarang.

Pembukuan dalam bahasa inggris dikenal dengan kata codification yang


berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu. Sedangkan dalam bahasa Arab

dikenal dengan istilah tadwin (‫دوين‬%% % % %‫ )الت‬yang bermakna (‫وان‬%% % % %‫تت يف دي‬%% % % %‫ )املتش‬artinya:

“mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan) pada
suatu diwaan. Tadwin merupakan bentuk masdar dari ‫دوينًا‬%
ّ % % % % % % %‫ت‬-‫دون‬%
ّ % % % % % % %‫ي‬-‫دون‬
ّ  yang
berarti menulis dan mencatat.11 Dan “diwaan” (‫ديوان‬%% % % ‫)ال‬ yang merupakan kumpulan

kertas-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan
tertentu. Sehingga kata tadwin tidak semata-mata berarti penulisan, namun mencakup
penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kodifikasi diartikan sebagai perhimpunan berbagai peraturan menjadi
undang-undang, klasifikasi hukum penggolongan hukum dan undang berdasarkan
asas-asas tertentu di buku undang- undang yang baku, proses pencatatan norma yang
telah dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata bahasa, dan pemberian
nomor atau lambang pada perkiraan pos, jurnal, faktur, atau dokumen lain yang
berfungsi sebagai alat untuk membedakan pos yang satu dengan yang lainnya dan
termasuk satu golongan.

Sedangkan secara istilah yang dimaksud dengan kodifikasi dalam hal ini
adalah pembukuan secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan
shahabat yang ahli di bidangnya, bukan yang dilakukan secara perseorangan atau
untuk kepentingan pribadi seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.12

9 Ibrahim, Hadits Sesudah Zaman Sahabat Hingga Sekarang, (http://makalahmajannaii. blogspot.com,


diakses tanggal 24 September   2022 jam 06.00)
10 Soebahar, Erfan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap
Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2003),  hal. 4
11 Bisri, Adib dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia-Arab, Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999), hal. 214
12 Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 65

10
Penghimpunan Hadits Nabi SAW secara tertulis pertama kali di kemukakan
oleh Umar ibn Khatab (W 23 H atau 644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan
oleh Umar karena merasa khawatir umat Islam akan berpaling dari al-Qur’an. Dengan
demikian, pembukuan Hadits secara resmi terjadi pada masa Umar ibn ‘Abd Dari
pengertian diatas dapat dibedakan antara kodifikasi Hadits dengan penulisan Hadits.
Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:

a. Kodifikasi Hadits secara resmi dilakukan oleh oleh lembaga administratif yang
diakui oleh masyarakat, sedang penulisan Hadits dilakukan secara perseorangan.
b. Kegiatan kodifikasi tidak hanya menulis, melainkan juga mengumpulkan,
menghimpun dan mendokumentasikan.
c. Kodifikasi Hadits dilakukan secara umum dengan melibatkan seseorang yang
dianggap kompeten terhadapnya, sedangkan penulisan Hadits dilakukan oleh
orang-orang tertentu.
al-Aziz, (61-101 H) salah seorang khalifah bani Umayyah. Beliau
berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan:
a. Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau
khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum
adanya kodifikasi al-Hadits.
b.  Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari
hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan
ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik
Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal
berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c. Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah SAWullah saw. dan
khulafaurr asyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-
Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu
mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati
sanubari beribu-ribu umat Islam. \
Sejarah perkembangan penghimpunan dan pengkodifikasian Hadits disini
dibagi menjadi 5 periode diantaranya:
a. Periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H)
b. Periode Shahabat (12-98 H)

11
c. Periode Tabi’in (Abad ke 2 H)
d. Periode Tabi’ Tabi’in (abad ke 3 H )
e. Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (abad ke 4 H)
Pembagian periode pembukuan hadits ini dimaksudkan pertama untuk
memahami peroses perkembangan hadits Nabi SAW yang dimulai sejak awal sampai
periode penyempurnaannya bahkan sampai sekarang, kedua supaya mudah
memahami rentetan sejarah pembukuannya, ketiga hikmah larangan penulisan Hadits
Nabi SAW, artinya seandainya semua hadits nabi ditulis pada saat Nabi SAW masih
hidup tentu usaha usaha umat islam selanjutnya statis alias tidak berkembang di sisi
ilmu pengetahuan, keempat disinilah islam itu beda dengan umat-umat sebelumnya
kepedulian kepada hadits sangatlah tinggi, dan yang kelima peroses ini dimaksudkan
juga karena permasalahan yang ada selalu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman
namun hadits tidaklah usang, hilang ditelan gelombang zaman.

B.  Perkembangan Hadits Pada Masa Shahabat,  Tabi’in Sampai Terhimpunnya Kutub


As-Ssittah.

1. Periode Shahabat ( Khulafa al-Rasyidin, 12 H – 98 H)

Periode ini disebut “Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-riwayah”,yakni


masa pematerian dan penyedikitan riwayat.  Nabi Muhammad wafat pada tahun 11 H.
Kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman
hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits (al-Sunnah) yang harus dipegangi bagi
pengaturan seluruh aspek kehidupan umat.

Para khalifah dari khulafa al-rasyidin sejak Abu Bakar, ‘Umar, Ustman, dan
‘Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah setelah itu, menjunjung tinggi amanah
tersebut. Abu Bakar sebagai khalifah serta secara bersungguh-sungguh segera
mengadakan usaha pengumpulan al-Qur’an atas usul ‘Umar, yang pada masa Nabi
SAW ayat al-Qur’an sudah tertulis seluruhnya tetapi belum terkumpul.

Realisasinya ditangani oleh Zaid ibn Tsabit. Usaha ini disempurnakan pada
masa pemerintahan ‘Ustman ibn ‘Affan, yakni dengan membukukan al-Qur’an yang
disalin dari lembaran hasil penulisan pada masa Abu Bakar.

Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap Hadits pada dasarnya adalah:

12
a. Para khulafa al-rasyidin dan para shahabat berpegang bahwa Hadits adalah dasar
Tasyri’
b. Para shahabat berusaha mentabligkan segala Hadits yang diterima mereka. Hal ini
melaksanakan titah Rasulullah SAW yang menyatakan:

)‫َبلِّغُ ْوا َعيِّنِ َولَ ْو أيةً (رواه البخارى‬

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” (HR. Bukhari).

Namun periwayatan Hadits dipermulaan masa shahabat terutama pada masa


Abu Bakar dan ‘Umar, masih terbats sekali, disampaikan kepada yang memerlukan
saja, belum bersifat pelajaran.

Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan Hadits ada dua: dengan lafaz
asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal
benar. Dan dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan
dengan lafaznya karena tidak  hafal lafazh yang asli dari Nabi.

Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu Bakar
dan ‘Umar, pada umumnya baik dan tenteram. Namun timbul benih-benih kekacauan
yang biasa merusak agama Islam dan mengganggu pengamalan umat Islam terhadap
agamanya, yakni antara lain:

a. Murtadnya orang sepeninggal Nabi SAW di awal pemerintahan Abu Bakar, mereka
tidak mau membayar zakat. Gerakan ini dapat ditumpas oleh Abu Bakar, namun
sebagaimanapun kasus pembangkangan dan insiden ghazwah al-riddah dan aksi
penumpasan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pembinaan
masyarakat Islam.
b. Masuknya orang-orang Yahudi yang bermuka dua. Mereka menganut agama Islam
bukan atas keikhlasan, tapi malah bertujuan untuk menghancurkan Islam dari
dalam. Pelopornya adalah’Abdullah ibn Saba’.
c. Ekses dari kebijakan (policy) ‘Ustman ibn ‘Affan dalam mengangkat kerabatnya
untuk jabatan pemerintahan, menimbulkan ketidaksenangan rakyat.
Atas suasana tersebut di atas maka mendorong para Shahabat untuk berhati-
hati (ihtiyat) dalam soal periwayatan Hadits, baik dalam menerima maupun
menyampaikan Tindakan hati-hati para shahabat dalam periwayatan Hadits berupa:

13
a. Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan Hadits dalam batas kebutuhan
primer dalam pengajaran dan tuntunan pengalaman agama. Hal ini karena khawatir
akan dipergunakan oleh orang-orang munafik menjadi jalan membuat Hadits palsu.
b. Menepis dalam penerimaan Hadits, yakni meneliti keadaan rawi dan marwi setiap
Hadits, apakah rawinya cukup ‘adil dan dhabit atau masih meragukan, dan apakah
rawinya cukup falid dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits Mutawatir
atau Mashur. Terkadang kalau menerima Hadits yang meragukan, para shahabat
meminta saksi atau keterangan-keterangan yang bisa menimbulkan keyakinan.
Contoh Abu Bakar kedatangan seorang nenek yang meminta diberikan hak dan
harta peninggalan cucunya, beliau tidak mendapatkan dasar hukum dari al-Qur’an
dan tidak mendapatkan atau mengetahui adanya sabda Rasulullah SAW tentang hal
itu, maka berdirilah al-Mughirah dan menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah
memberikan seperenam kepada nenek dari harta peninggalan cucunya. Mendengar
hal itu Abu Bakar bertanya kepada shahabat yang lain, apakah ada orang lain yang
mendengar sabda Nabi SAW tersebut. Kemudian Muhammad ibn Maslamah yang
juga mendengar dari Nabi SAW mengakui kebenaran al-Mughirah. Setelah Abu
Bakar mendengar Hadits dari dua shahabat tadi, barulah memberikan seperenam
kepada nenek dari harta pusaka yang ditinggalkan cucunya.
c. Melarang meriwayatkan secara luas Hadits yang belum dapat dipahami umum.

Sikap kehati-hatian para shahabat ditujukan untuk menjaga kemurnian Hadits


agar terhindar dari sisipan-sisipan yang ditambahkan oleh orang-orang munafik. Sikap
ihtiyath terhadap Hadits, yang dilakukan oleh para shahabat di masa pertama
menimbulkan subhat, yakni ada anggapan seolah-olah para shahabat tidak
meriwayatkan Hadits, tidak memegangi Hadits Ahad, hanya berpegang pada al-Qur’an
dan sunnah yang Masyhur dan bertahkim kepada hasil ijtihad mengenai hukum-hukum
yang tidak terdapat padanya. Pandangan dan anggapan demikian adalah tidak benar,
sebab berlawanan dengan kenyataan yang berlaku di antara para shahabat:

a.    Para shahabat menyedikitkan riwayat adalah untuk menjaga agar tidak


meriwayatkan sesuatu yang sebenarnya sudah tidak ingat lagi secara baik, dan
untuk menghindari adanya sisipan-sisipan yang datang dari tujuan-tujuan hawa
nafsu para periwayatannya.

14
b.  Mengenai tindakan shahabat meminta saksi yang turut mendengar Hadits, atau
menyuruh perawi bersumpah adalah tidak setiap menerima Hadits. Hal ini terbatas
apabila menghadapi rawi yang masih diragukan kedhabitannya. jadi sebenarnya
para shahabatpun menerima Hadits Ahad untuk pengamalan urusan agama.

c.    Juga tidak benar kalau para shahabat lebih memegangi ijtihad meninggalkan
Hadits. Penggunaan ijtihad di kalangan para shahabat adalah sesudah meneliti
Hadits dan mencarinya ke sana ke mari.

d.   Adapun menulis Hadits masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi,
walaupun pernah khalifah ‘Umar mempunyai gagasan membukukan Hadits, namun
niat tersebut diurungkan setelah beliau beristikharah.

Para shahabat tidak melakukan penulisan Hadits secara resmi, karena


pertimbangan-pertimbangan:

a. Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian


shahabat masa khulafa al-rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada
urusan pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi mushaf.
b. Para shahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis Hadits.

Adapun penulisan hadis sebelum pengkodifikasian secara resmi berdasarkan


instruksi khalifah pada periode shahabat ini adalah:

a. Ash-Shahifah Ash Sadiqiyah, tulisan Abdullah bin Amr bin Al-Ash (65 H)
Tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran sesuai dengan namanya ash-
shahifah (lembaran), memuat kurang lebih 1000 hadis diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Musnad-nya dan kitab-kitab Sunan lain. Ash-Shahifah ini
didokumentasi penting, ilmiah, dan bersejarah, karena ditulis dengan tangannya
sendiri dan mendapat izin dari Rasulullah. Oleh karena itu dinamakan Ash-
Shadiqah yang berarti benar-benar diterima dari Nabi secara langsung tanpa ada
perantara.
b. Ash-Shahifah Jabir bin Abd Allah An-Anshari (78 H)
Hadis yang diriwayatkan oleh sebagian shahabat. Jabir mempunyai majlis atau
halaqah di Masjid Nabawi dan mengajarkan hadis-hadisnya secara imlak atau dikte.
c. Ash-Shahifah Ash-Shahihah, catatan salah seorang tabi’in Hammam bin Munabbih
(131 H)

15
Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan dari shahabat besar Abu Hurairah, berisikan
kurang lebih 138 buah hadis. Hadisnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhari dalam berbagai bab.
2. Periode Tabi’in ( abad ke 2 H )
Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”, yakni masa
berkembang dan  meluasnya periwayatan Hadits. Pada abad ini disebut masa
pengkodifikasian hadits yang dilakukan pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz (Khalifah kedelapan dari kekahlifahan Bani Umayyah, 61-101 H) yang hidup
pada awal abad 2 H. Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya ajaran-ajaran Nabi
SAW setelah wafatnya para ulama, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in.
Maka beliau instruksikan kepada para gubernur di seluruh wilayah Islam agar para
ulama dan ahli ilmu untuk menghimpun dan  membukukan hadits Nabi SAW.
Penghimpunan hadits pada abad ini masih tercampur dengan fatwa shahabat
dan tabi’in. Dengan demikian kitab hadits pada periode ini belum
diklasifikasi atau dipisah-pisah antara hadits-hadits marfu’,
mauquf, dan maqthu’. Selain itu penulisan hadits pada periode ini berbeda dengan
penulisan pada abad sebelumnya yang masih dalam bentuk lembaran-lembaran
(shuhuf) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara
tertib. Sedangkan pada periode ini sudah dihimpun perbab. Materi hadits dihimpun
dari shuhuf yang ditulis oleh para shahabat sebelumnya dan diperoleh melalui
periwayatan secara lisan baik dari shahabat atau tabi’in. Adapun kitab-kitab yang
muncul pada masa ini adalah:

a.    Al-Muwatha’ yang ditulis Imam Malik

b.    Al-Mushanaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani

c.    As-Sunnah ditulis Abd bin Manshur

d.   Al-Mushanaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah

e.    Musnad Asy-Syafi’i

Kitab-kitab hadits pada masa ini tidak sampai kepada kita kecuali
diantaranya Al-Muwatha’ yang ditulis oleh Imam Malik dan Musnad Asy-
Syafi’i yang ditulis Imam Asy-Syafi’i. Tulisan-tulisan hadits pada masa awal sangat

16
penting sebagai bukti adanya penulisan hadits sejak zaman Rasulullah SAW sampai
dengan pengkodifikasian ressmi dari Umar bin Abdul Aziz bahkan sampai sekarang.

Bagi pengamalan agama pada generasi setelah shahabat, yakni shahabat kecil
dan tabi’in, yang memerlukan untuk mengetahui Hadits-Hadits Nabi SAW, mereka
kemudian berangkat mencari Hadits, menanyakan dan belajar kepada para shahabat
besar yang sudah tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Dengan
demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan Hadits ke pelosok-
pelosok daerah Jazirah Arab, juga tentunya perlawatan untuk mencari Haditspun
menjadi ramai di perbincangakan. Sehingga terbentuklah atau tersusunlah lima kitab-
kitab para tabi’in yang disebutkan diatas tadi yang tidak lain karena jasa-jasa mereka
dalam mencari hadits sebagai pedoman dalam menjawab persoalan kehidupan sehari-
hari.

3.  Periode Tabi’ Tabi’in. ( abad ke 3 H )

Periode ini merupakan masa Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih (kodifikasi dan


filterasi keemasan dalam pembukuan hadits), karena kegiatan perjalanan mencari ilmu
dan hadits serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa,
sehingga pada periode ini dianggap seolah-olah hadits telah terhimpun semua dan
pada periode berikutnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Pada
periode ini para ulama hadits juga telah berhasil memisahkan hadits Nabi dari yang
bukan hadits atau dari perkataan shahabat dan fatwanya. Selain itu pada masa ini juga
telah mengadakan filterasi (penyaringan) yang sangat teliti tentang apa saja yang
dikatakan Nabi (dikatakan matan dan sanadnya),13 sehingga telah dapat dipisahkan
mana yang merupakan hadits shahih atau yang bukan hadits shahih. Oleh karena itu
pada periode ini disebut juga masa kodifikasi dan filterasi (Ashr Al-Jami’ wa At-
Tashhih).

Sebagian ulama pada periode ini juga mengkodifikasikan hadits berdasarkan


nama periwayat para shahabat yang diperolehnya yang kemudian disebut dengan
bentuk musnad seperti:

a.    Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi

b.    Musnad Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Humaidi

13 Masjfuk, Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadist, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1998), hal. 94

17
c.    Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal

d.   Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar Al-Bazzar

e.    Musnad Abi Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mustanna Al-Mushili

Kendatipun kitab-kitab hadits permulaan abad ketiga sudah menyisihkan


fatwa, namun masih mempunyai kelemahan yakni belum disisihkannya hadits-hadits
termasuk palsu yang sengaja disisipkan untuk kepentingan golongan tertentu. Oleh
karena itu pada abad ketiga pertengahan para ulama haditst hijrah untuk
menyelamatkan hadits. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk
menentukan suatu hadits. Dalam hubungan ini, para perawi menjadi sasaran penelitian
mereka untuk menyelidiki kejujuran, kehafalan dan lain sebagainya.

Sebagian hasil dari kerja keras para ulama munculah kitab-kitab hadits yang
terhindar dari hadits dhaif dan seterunya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:

a.    Shahih Al-Bukhary atau Al-Jami’ush Shahih 6.397 Hadits

b.    Shahih Muslim atau Al-Jami’us Shahih 7.273 Hadits

Kedua kitab tersebut sangat terkenal dikalangan masyarakat Islam di seluruh


dunia, dan dikenal dengan sebutan al-Shahihain dan sekarang ini sudah diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa di dunia.14 Selain itu kedua kitab tersebut merupakan bagian
dari buku induk hadits enam (Ummahat Kutub As-Sittah), yakni buku hadits Sunan,
Al-Jami’ Ash-Shahih yang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku
hadits Musnad. Buku induk hadits enam ini merupakan buku-buku hadits yang
dijadikan pedoman dan refrensi para ulama hadits berikutnya, diantaranya adalah:

1)   Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-252 H)

2)   Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Hajjaj Al-Qusyayry ( 204-261  H)

3)   Sunan An-Nisa’i (215-303 H )

4)   Sunan Abu Dawud (202-207 H),

5)   Jami’ At-Tirmidzi (209-279 H),

6)   Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-207 H).


14 Nata, Abudin, Al-Qur’an dan Hadis,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 199

18
Kitab-kitab ini terbentuk pada abad ketiga sebagai gambaran kepedulian dan
perhatian para ulama hadits terhadap perkembangan zaman.

4. Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (Abad ke 4 H).

Pada masa ini disebut Penghimpunan dan Penertiban Hadits. Ulama yang
hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama muta’akhirin atau khalaf
(modern). Sedangkan ulama yang hidup sebelum abad ke 4 H disebut
ulama mutaqaddimin atau ulama salah (klasik). Perbedaan mereka dalam periwayatan
dan kodifikasi hadits adalah Ulama mutaqaddimin (sebelum abad ke 4 H)
menghimpun hadits Nabi SAW dengan cara langsung mendengar dari guru-gurunya
kemudian mengadakan penelitian sendiri baik sanad atau matannya. Sedang
ulama muta’akhirin (abad ke 4 H) cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi
dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak
penambahan hadits pada abad ini dan berikutnya kecuali hanya sedikit saja.
[36] Adapun kitab-kitab karya ulama  abad keempat ini adalah:

a.    Mu’jam Al Kabir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany

b.    Mu’jam Al-Ausaih, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany

c.    Mu’jam Al-Shaghir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany.

Pada abad ke-5 dan seterusnya merupakan periode pengklasifikasian dan


pensistematisasian hadits. Para ulama pada periode ini mengklasifikasikan hadits
dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sifat-sifat isinya
dalam suatu kitab hadits. Mereka juga berupaya mensyarahkan (menguraikan maksud
hadits dengan luas) dan ada pula yang mengikhtisarkan atau meringkaskan kitab-kitab
hadits yang telah disusun para ulama terdahulu. Dengan usaha mereka maka
muncullah kitab-kitab hadits seperti:

1)   Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458
H)

2)   Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany (652 H)

3)   Nailul Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Abu Muhammad


bin Ali al-Syaukany (1172-1250 H)

Selain itu terdapat pula kitab hadits tentang targhib dan tarhib seperti:

19
1)   Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abdu al-Adhim Al-Mundziry
(656 H)

2)   Dalil al-Falihin, karya Muhammad Ibn Allan As-Shiddiqy  (1057 H) sebagai


syarah kitab Riyadush Shalihin, karya Imam Muhyidin Abi Zakariya al-Nawawy
(676 H).

Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari
pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits
didapatkan, misalnya :

1)   al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir, karya al-Imam Jalaluddin al-


Suyuthy (849-911 H.) Kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat
dalam kitab enam dan lainnya ini disusun dengan alphabets dari awal hadits, dan
selesai ditulis pada tahun 907 H.

2)   Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam


al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy. Didalamnya
terkumpul kibat athraf 7 (Shahih Bukhary dan Muslim, Sunan empat dan
Muwattha’.

3)   Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc. berisikan hadits-hadits


yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits. Kitab tersebut disalin kedalam
bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad fuad abdu al-Baqy dan dicetak di Mesir
pada tahun 1934 M.

4)  Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J.


Winsinc dan Dr. J.F. Mensing. keduanya adalah Dosen di Universitas Leiden.
Kitab hadits yang mengandung hadits-hadits kitab enam, musnad al-Darimy,
Muwattha’ Malik, dan Musnad Imam Ahmad, selesai dicetak di Leiden pada
tahun 1936 M.

C. Kesimpulan

1)   Kondisi Hadits Nabi SAW di bagi menjadi tiga fase yaitu: 1) Hadits Nabi SAW
Sebelum di Bukukan, Kondisi awal sejarah dan perkembangan Hadits yaitu pada masa
Nabi SAW, masa ini hanya 23 tahun dimulai pada tahun 13 sebelum hijriyah atau
bertepatan pada tahun 610 M sampai  pada tahun 11 H atau 623 M. Pada masa inilah

20
Hadits lahir berupa aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi untuk
menerangkan Al-Qur’an dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk mayarakat
Islam. Beberapa teknik penyampaian Hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW: a)
Melalui para jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majlis ilmi. b)Dalam
banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditsnya melalui para
shahabat tertentu, yang kemudian oleh para shahabat tersebut disampaikannya kepada
orang lain. hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para shahabat
yang hadir hanya beberapa orang saja. baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW
sendiri atau secara kebetulan para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
bahkan hanya satu orang. c) Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti
ketika haji wada’ dan fathu makkah. d) Melalui perbuatan langsung yang disaksikan
oleh para shahabatnya (jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-
praktek ibadah dan muamalah. e) Para shahabat yang mengemukakan masalah secara
langsung atau bertanya dan berdialog kepada Nabi SAW. 2) Larangan Tentang
Pembukuan Hadits Nabi SAW, Hal ini disebabkan oleh dua faktor : a) Para shahabat
mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis
masih kurang. b) Karena adanya larangan menulis hadits Nabi. Larangan tersebut
disebabkan karena: (1) adanya kekawatiran bercampur aduknya hadits dengan al-
Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qur’an, atau larangan khusus bagi orang yang
dipercaya hafalannya. (2) Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan
kondisi penulisannya masih sangat sederhana ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang
binatang, dan batu-batuan dan belum dibukukan. (3) Kemampuan tulis menulis bagi
para shahabat pada awal Islam masih sangat langka yang dapat dihitung dengan jari dan
mereka sudah difungsikan sebagai penulis Al-Qur’an. (4) Ingatan orang-orang Arab
yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan
Rasulullah SAW untuk mengingat Hadits. Disamping Rasulullah SAW melarang
menulis hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang shahabat tertentu
untuk menulis hadits. 3) Sejarah Pembukuan Hadits Nabi SAW. Pembukuan Hadits
baru dilakukan setelah abad ke II H pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz, Dengan demikian, pembukuan Hadits secara resmi terjadi pada masa Umar ibn
‘Abd al-Aziz, (61-101 H.) salah seorang khalifah bani Umayyah.  Beliau berinisiatif
mengkodifikasikan al-Hadits dengan tiga pertimbangan: (a) Kenginan beliau yang kuat
untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari
perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits. (b)

21
Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari
hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi
golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik
ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal berdirinya
Khilafah Ali bin Abi thalib. (c) Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman
Rasulullah SAW. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur
aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan
dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan
di hati sanubari beribu-ribu umat Islam. Adapun sejarah perkembangan penghimpunan
dan pengkodifikasian Hadits disini dibagi menjadi 5 periode diantaranya: (1) Periode
Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H), (2) Periode Shahabat (12-98 H), (3) Periode
Tabi’in, (4) Periode Tabi’ Tabi’in, dan (5) Periode Setelah Tabi’ Tabi’in.

2)  Perkembangan Hadits Pada Masa Shahabat,  Tabi’in Sampai Terhimpunnya Kutub As-


Sittah dibagi menjadi lima periode yaitu: a) periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-
11H). Periode ini disebut “Ashr-Wahyi wa al-Tkwin” (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam). b) Periode Shahabat (Khulafa al-Rasyidin 11 H - 40
H). Periode ini disebut “Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-riwayah”,yakni masa
pematerian dan penyedikitan riwayat. Pembukuan hadits pada masa ini antara lain: (1)
Ash Shahifah Ash Sadiqiyah karya Abdullah Bin Amr Bin Ash, (65 H), (2) Ash
Shahifah Jabir Bin Addullah Ananshari, (78 H) dan (3) Ash Shahifah Ash Shahihah,
Karya Hammam Bin Munabbih, (131 H )  c) Periode Tabi’in (40 H – 100 H). Periode
ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”, yakni masa berkembang
dan  meluasnya periwayatan Hadits. Pada masa ini daerah Islam makin meluas, yakni
ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan pada tahun 93 H sampai ke
Spanyol. Hal ini dibarengi dengan keberangkatan para shahabat ke daerah-daerah
tersebut terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran
ilmu agama. Adapun pembukuan hadits pada periode ini antara lain: (1), Al-
Muwatha’ yang ditulis Imam Malik, (2), Al-Mushanaf oleh Abdul Razzaq bin
Hammam Ash-Shan’ani, (3), As-Sunnah ditulis Abd bin Manshur, (4), Al-
Mushanaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan (5), Musnad Asy-
Syafi’i. d) Periode Tabi’ Tabi’in ( abad ke 3 H). Periode ini merupakan masa Ashr Al-
Jami’ wa At-Tashhih (kodifikasi dan filterasi keemasan dalam pembukuan
hadits. Sebagian ulama pada periode ini juga mengkodifikasikan hadits berdasarkan

22
nama periwayat para shahabat yang diperolehnya yang kemudian disebut dengan
bentuk musnad seperti: (1) Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi,
(2) Musnad Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Humaidi, (3) Musnad Al-Imam Ahmad
bin Hanbal, (4) Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar Al-Bazzar, (5) Musnad Abi Ya’la
Ahmad bin Ali Al-Mustanna Al-Mushili. Sebagian hasil dari kerja keras para ulama
muncullah kitab-kitab hadits yang terhindar dari hadits dhaif dan seterunya. Diantara
kitab-kitab tersebut adalah: (1) Shahih Al-Bukhary atau Al-Jami’ush Shahih, dan (2)
Shahih Muslim atau Al-Jami’us Shahih, Kedua kitab tersebut sangat terkenal
dikalangan masyarakat Islam di seluruh dunia, dan dikenal dengan sebutan al-
Shahihain dan sekarang ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.
Selain itu kedua kitab tersebut merupakan bagian dari buku induk hadits enam
(Ummahat Kutub As-Sittah), yakni buku hadits Sunan, Al-Jami’ Ash-Shahih yang
dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadits Musnad. Buku induk hadits enam
ini merupakan buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan refrensi para ulama
hadits berikutnya, diantaranya adalah: (1) Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-252
H) (2) Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Hajjaj Al-Qusyayry ( 204-261  H), (3)
Sunan An-Nisa’i (215-303 H ), (4) Sunan Abu Dawud (202-207 H), (5) Jami’ At-
Tirmidzi (209-279 H), dan (5), Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-207 H).  e). Periode
Setelah Tabi’ Tabi’in (Abad ke 4 H). Pada masa ini disebut Penghimpunan dan
Penertiban Hadits. Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut
ulama muta’akhirin atau khalaf (modern). Adapun kitab-kitab karya ulama  abad
keempat ini adalah: (1) Mu’jam Al Kabir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad
al-Thabrany, (2) Mu’jam Al-Ausaih, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-
Thabrany, dan (3) Mu’jam Al-Shaghir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-
Thabrany. Pada abad ke-5 dan seterusnya merupakan periode pengklasifikasian dan
pensistematisasian hadits. Para ulama pada periode ini mengklasifikasikan hadits
dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sifat-sifat isinya
dalam suatu kitab hadits. Dengan usaha mereka maka muncullah kitab-kitab hadits
seperti: Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458
H), Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany (652 H), dan Nailul Authar,
sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Abu Muhammad bin Ali al-Syaukany
(1172-1250 H).

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib dkk, Muhaimin. 2005.  Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Cet 1: Jakarta,
Kencana,

Abudin, Nata. 1996. Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Adib dan Munawwir A. Fatah, Bisri. 1999. Kamus Indonesia-Arab, Arab-


Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif

A, Hasan, Qadir. 2007.  Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro

Alfatih, Suryadilaga, dkk. 2010.  Ulumul Hadits, Yogyakarta: Teras

al-Qathan, Mana’. 1989. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Maktabah Wahbah

al-Suba’i, Mushtafa. 2003.  Assunnah ,Kairo: Dar-Assalam

Erfan, Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i


terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam. 2003.
Jakarta: Prenada Media Kencana

Ibrahim.  Hadits Sesudah Zaman Sahabat Hingga Sekarang, (http://makalahmajannaii.


blogspot.com, diakses tanggal 24 September 2022 jam 06.00)

Muhammad, Ajjaj al-Khatib. 1998. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Kairo: Maktabah wahbah

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia

Supartam,  Munzier. 2002. Ilmu Hadits, Cet..3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Umi, Sumbullah. 2010.  Kajian Kritik Ilmu Hadits, Malang: UIN-Maliki Press

Zuhdi, Masjfuk. 1998. Pengantar Ilmu Haditst, Surabaya: Pustaka Progressif

24
25

Anda mungkin juga menyukai