Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits
Disusun Oleh :
Maslahah
( 2203038004 )
2022
A. Latar Belakang
Penyusunan kitab Hadits atau penulisan Hadits di dalam sebuah kitab belum
terjadi pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga belum ada pada masa Shahabat.
Pada masa Rasulullah SAW memang ada riwayat yang berasal dari Nabi yang
membolehkan untuk menuliskan Hadits, namun penulisan Hadits pada masa
Rasulullah SAW masih dilakukan oleh orang perorang yang sifatnya pribadi dan tertentu
2
pada orang-orang yang membutuhkan menuliskannya atau diizinkan oleh
Rasulullah SAW untuk menulisnnya.
Penulisan Hadits pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga pada masa
Shahabat belumlah bersifat resmi. Para Shahabat di masa pemerintahan Khulafa' al-
Rasyidin, pada umumnya, menahan diri dari melakukan penulisan Hadits. Hal
tersebut karena adanya larangan Rasulullah SAW untuk menulis Hadits-Hadits beliau.
Namun demikian, di samping adanya larangan, di sisi lain Rasulullah SAW juga
memberi peluang kepada para Shahabat untuk menuliskan Hadits-hadits beliau. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya kontroversi dalam hal penulisan Hadits antara adanya
larangan dan kebolehan dalam menuliskan Hadits.
Kondisi awal sejarah dan perkembangan Hadits yaitu pada masa Nabi SAW,
masa ini hanya 23 tahun dimulai pada tahun 13 sebelum hijriyah atau bertepatan pada
tahun 610 M sampai pada tahun 11 H atau 623 M.
2 Qadir, Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Dipenegoro, 2007), hal. 17
3
Pada masa tersebut Hadits itu diterima hanya dengan mengandalkan hafalan
dari para shahabat-shahabat Nabi SAW serta pada masa tersebut para shahabat belum
ada pemikiran secara besar-besaran untuk melakukan penulisan terhadap Hadits
Nabi SAW ini mengingat pada masa tersebut Rasulullah SAW masih sangat mudah
untuk dihubungi dan dimintai keterangan-keterangan tentang segala hal yang
berhubungan dengan ibadah dan muamalah keseharian umat Islam. pada masa inilah
Hadits lahir berupa aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi untuk
menerangkan Al-Qur’an dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk
mayarakat Islam.3
Perbuatan, ucapan, tutur kata dan gerak-gerik Nabi SAW, menjadi perhatian
tersendiri bagi para shahabat dan kaum muslimin waktu itu, kesemuanya itu dijadikan
suatu pedoman hidup atau dijadikan suatu aturan-aturan dalam kebiasan sehari-
hari. kebanyakan shahabat untuk menguasai Hadits Nabi SAW, melalui hafalan tidak
melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan
4
apabila Hadits ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran, 5 kecuali bagi mereka
yang kurang kuat hapalannya atau memiliki kecakapan tulis menulis tidak ada
kekahawatiran tercampur antara keduanya, maka diperbolehkan menulis Hadits.
Penulisan Hadits disini berfungsi untuk membantu hapalan mereka.
a. Melalui para jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majlis ilmi.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditstnya
melalui para shahabat tertentu, yang kemudian oleh para shahabat tersebut
disampaikannya kepada orang lain. hal ini karena terkadang ketika ia
mewurudkan suatu Hadits, para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja.
baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW sendiri atau secara kebetulan para
shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang.
c. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu
makkah.
d. Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para shahabatnya (jalan
musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan
muamalah.
Setiap shahabat mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan Rasulullah
SAW. Adakalanya yang disebut dengan “Ash-Shabiqunn Al-Awwaluun” yakni para
shahabat yang pertama-tama masuk Islam, seperti Abu Bakar As-Sidiq, Umar Bin
5
Khattab, Usman Bian Affan, Ali Bin Abu Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud dan
Abdurrahman Bin Auf, RA. Ada juga shahabat yang sungguh-sungguh menghafal
hadits Rasulullah SAW, misalnya Abu Hurairah. Ada juga shahabat yang usianya
lebih panjang dari shahabat lain, sehingga mereka lebih banyak menghafalkan Hadits,
seperi Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas. Demikian juga ada shahabat
yang mempunyai hubungan erat dengan Nabi SAW, seperti istri-istrinya. Semakin
erat dan lama bergaul semakin banyak pula Hadits yang diriwayatkan
dan kebenarannya tidak diragukan.7
6
ول َّ ي
َ َأن َر ُس ٍ ِي ح َّدثَنا مَهَّام عن زي ِد ب ِن َأسلَم عن عطَ ِاء ب ِن يسا ٍر عن َأيِب سع
ِّ يد اخْلُ ْد ِر ِ ْ ح َّدثَنا هدَّاب بن خالِ ٍد
َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ْ َ ْ َ ٌ َ َ ُّ اَأْلزد َ ُْ ُ َ َ َ
ِ ِ ِ
ب َ َصلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم قَ َال اَل تَكْتُبُوا َعيِّن َو َم ْن َكت
َ ب َعيِّن َغْيَر الْ ُق ْرآن َفْليَ ْم ُحهُ َو َح ِّدثُوا َعيِّن َواَل َحَر َج َو َم ْن َك َذ َ اللَّه
ِم ْن النَّا ِر%َُأح ِسبُهُ قَ َال ُمَت َع ِّم ًدا َفْليَتََب َّوْأ َم ْق َع َده
ْ َعلَ َّي قَ َال مَهَّ ٌام
“Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang
menulis dariku hendaklah ia menghapusnya Ceritakan saja yang kalian terima
dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah ia menduduki tempat duduknya dari neraka.” (HR Muslim 5326).
a. Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya
masih sangat sederhana ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan
batu-batuan dan belum dibukukan.
b. Kemampuan tulis menulis bagi para shahabat pada awal Islam masih sangat
langka yang dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai
penulis Al-Qur’an.
c. Ingatan orang-orang Arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis)
sangat kuat dan diandalkan Rasulullah SAW untuk mengingat Hadits.
)فوالذي َن ْف ِس ْي َما َخَر َج ِم ْن فَ ِمي ِإاَّل َح ٌّق (رواه ابو داود عن ابن عمر
ِّ ب عيِّن
ْ ُُأ ْكت
Dengan melihat dua hadits yang kelihatannya terjadi kontradiksi, seperti hadits
dari Abu Sa’id Al-Hudri di satu pihak, dengan hadits dari Abdullah ibn Amr ibn Al-
Ash. Diantara mereka ada yang menggugurkan salah satunya, seperti dengan
7
jalan nasikh dan mansukh dan ada yang berkompromi keduanya sehingga keduanya
tetap digunakan (ma’mul) dengan alasan:
a. Bahwa larangan menulis haditst itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya
bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga
dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti
Abdullah bin Amr bin Ash.
b. Bahwa larangan menulis Haditst ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari
pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak
kuat hafalannya.8
Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan akn hafalannya, seperti yang
pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan Hadits bagi
shahabat tertentu diperbolehkan, seperti peristiwa Abu Syah shahabat yang meminta
di tuliskan Hadits Nabi SAW:
ا ْكتُُب ْوا َأليِب ْ َش ٍاه: صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َ ا ْكتُُب ْوا يِل يَا َر ُس: َف َق َام َأبُو َش ٍاه َر ُج ٌل ِم ْن َْأه ِل الْيَ َم ِن َف َق َال
ِ ُ ول اللَّ ِه َف َق َال رس
َ ول اللَّه َُ
“Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia
berkata: Tuliskan untukku, wahai Rasullullah ! Maka Rasulullah saw bersabda:
“Tuliskan untuk Abu Syah !” ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )
a. Sebagian ulama menganggap bahwa hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf,
maka tidak patut untuk dijadikan alasan, untuk melarang penulisan hadis;
b. Larangan penulisan hadis berlaku hanya pada masa awal-awal Islam, karena
dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur’an;
c. Dengan adanya larangan penulisan hadis tersebut pada hakekatnya
Nabi SAW mempercayai kemampuan para shahabat untuk menghafalkannya, dan
Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada tulisan, sedang pemberian izin
8
Nabi untuk menulis hadisnya, pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa
Nabi SAW tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah, dapat menghafalkannya
dengan baik.
d. Larangan itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang
yang bisa baca tulis dengan baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada
Abdullah bin Umar.
Itulah beberapa hikmah yang tersirat di balik anjuran dan larangan penulisan
Hadits Nabi SAW, yang kiranya dapat pemakalah simpulkan dari berbagi pendapat
para shahabat Rasulullah SAW dan para ulama hadits mengenai perselisihan seputar
larangan penulisan hadits Nabi SAW dimasa hidunya dan turunnya wahyu ilahi.
9
umatnya selama 23 tahun dan Pembukuan Hadits baru dilakukan pada abad ke 2 H
pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, untuk itu ada sebagian yang
meragukan otentisitas Hadits.9 Namun hingga wafatnya Nabi SAW keyakinan umat
Islam terhadap hadits tidaklah berubah, karena keberadaan hadits sangat sentral
sebagai realisasi ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran.10 Oleh sebab itu
dengan adanya penjelasan tentang sejarah pembukuan dan perkembangan hadits Nabi
SAW dapat di pertanggungjawabkan kebenaran dan keontikannya sampai sekarang.
“mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan) pada
suatu diwaan. Tadwin merupakan bentuk masdar dari دوينًا%
ّ % % % % % % %ت-دون%
ّ % % % % % % %ي-دون
ّ yang
berarti menulis dan mencatat.11 Dan “diwaan” (ديوان%% % % )ال yang merupakan kumpulan
kertas-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan
tertentu. Sehingga kata tadwin tidak semata-mata berarti penulisan, namun mencakup
penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kodifikasi diartikan sebagai perhimpunan berbagai peraturan menjadi
undang-undang, klasifikasi hukum penggolongan hukum dan undang berdasarkan
asas-asas tertentu di buku undang- undang yang baku, proses pencatatan norma yang
telah dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata bahasa, dan pemberian
nomor atau lambang pada perkiraan pos, jurnal, faktur, atau dokumen lain yang
berfungsi sebagai alat untuk membedakan pos yang satu dengan yang lainnya dan
termasuk satu golongan.
Sedangkan secara istilah yang dimaksud dengan kodifikasi dalam hal ini
adalah pembukuan secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan
shahabat yang ahli di bidangnya, bukan yang dilakukan secara perseorangan atau
untuk kepentingan pribadi seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.12
10
Penghimpunan Hadits Nabi SAW secara tertulis pertama kali di kemukakan
oleh Umar ibn Khatab (W 23 H atau 644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan
oleh Umar karena merasa khawatir umat Islam akan berpaling dari al-Qur’an. Dengan
demikian, pembukuan Hadits secara resmi terjadi pada masa Umar ibn ‘Abd Dari
pengertian diatas dapat dibedakan antara kodifikasi Hadits dengan penulisan Hadits.
Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
a. Kodifikasi Hadits secara resmi dilakukan oleh oleh lembaga administratif yang
diakui oleh masyarakat, sedang penulisan Hadits dilakukan secara perseorangan.
b. Kegiatan kodifikasi tidak hanya menulis, melainkan juga mengumpulkan,
menghimpun dan mendokumentasikan.
c. Kodifikasi Hadits dilakukan secara umum dengan melibatkan seseorang yang
dianggap kompeten terhadapnya, sedangkan penulisan Hadits dilakukan oleh
orang-orang tertentu.
al-Aziz, (61-101 H) salah seorang khalifah bani Umayyah. Beliau
berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan:
a. Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau
khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum
adanya kodifikasi al-Hadits.
b. Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari
hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan
ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik
Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan, yang mulai tersiar sejak awal
berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c. Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah SAWullah saw. dan
khulafaurr asyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-
Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu
mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati
sanubari beribu-ribu umat Islam. \
Sejarah perkembangan penghimpunan dan pengkodifikasian Hadits disini
dibagi menjadi 5 periode diantaranya:
a. Periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H)
b. Periode Shahabat (12-98 H)
11
c. Periode Tabi’in (Abad ke 2 H)
d. Periode Tabi’ Tabi’in (abad ke 3 H )
e. Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (abad ke 4 H)
Pembagian periode pembukuan hadits ini dimaksudkan pertama untuk
memahami peroses perkembangan hadits Nabi SAW yang dimulai sejak awal sampai
periode penyempurnaannya bahkan sampai sekarang, kedua supaya mudah
memahami rentetan sejarah pembukuannya, ketiga hikmah larangan penulisan Hadits
Nabi SAW, artinya seandainya semua hadits nabi ditulis pada saat Nabi SAW masih
hidup tentu usaha usaha umat islam selanjutnya statis alias tidak berkembang di sisi
ilmu pengetahuan, keempat disinilah islam itu beda dengan umat-umat sebelumnya
kepedulian kepada hadits sangatlah tinggi, dan yang kelima peroses ini dimaksudkan
juga karena permasalahan yang ada selalu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman
namun hadits tidaklah usang, hilang ditelan gelombang zaman.
Para khalifah dari khulafa al-rasyidin sejak Abu Bakar, ‘Umar, Ustman, dan
‘Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah setelah itu, menjunjung tinggi amanah
tersebut. Abu Bakar sebagai khalifah serta secara bersungguh-sungguh segera
mengadakan usaha pengumpulan al-Qur’an atas usul ‘Umar, yang pada masa Nabi
SAW ayat al-Qur’an sudah tertulis seluruhnya tetapi belum terkumpul.
Realisasinya ditangani oleh Zaid ibn Tsabit. Usaha ini disempurnakan pada
masa pemerintahan ‘Ustman ibn ‘Affan, yakni dengan membukukan al-Qur’an yang
disalin dari lembaran hasil penulisan pada masa Abu Bakar.
12
a. Para khulafa al-rasyidin dan para shahabat berpegang bahwa Hadits adalah dasar
Tasyri’
b. Para shahabat berusaha mentabligkan segala Hadits yang diterima mereka. Hal ini
melaksanakan titah Rasulullah SAW yang menyatakan:
Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan Hadits ada dua: dengan lafaz
asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal
benar. Dan dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan
dengan lafaznya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu Bakar
dan ‘Umar, pada umumnya baik dan tenteram. Namun timbul benih-benih kekacauan
yang biasa merusak agama Islam dan mengganggu pengamalan umat Islam terhadap
agamanya, yakni antara lain:
a. Murtadnya orang sepeninggal Nabi SAW di awal pemerintahan Abu Bakar, mereka
tidak mau membayar zakat. Gerakan ini dapat ditumpas oleh Abu Bakar, namun
sebagaimanapun kasus pembangkangan dan insiden ghazwah al-riddah dan aksi
penumpasan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pembinaan
masyarakat Islam.
b. Masuknya orang-orang Yahudi yang bermuka dua. Mereka menganut agama Islam
bukan atas keikhlasan, tapi malah bertujuan untuk menghancurkan Islam dari
dalam. Pelopornya adalah’Abdullah ibn Saba’.
c. Ekses dari kebijakan (policy) ‘Ustman ibn ‘Affan dalam mengangkat kerabatnya
untuk jabatan pemerintahan, menimbulkan ketidaksenangan rakyat.
Atas suasana tersebut di atas maka mendorong para Shahabat untuk berhati-
hati (ihtiyat) dalam soal periwayatan Hadits, baik dalam menerima maupun
menyampaikan Tindakan hati-hati para shahabat dalam periwayatan Hadits berupa:
13
a. Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan Hadits dalam batas kebutuhan
primer dalam pengajaran dan tuntunan pengalaman agama. Hal ini karena khawatir
akan dipergunakan oleh orang-orang munafik menjadi jalan membuat Hadits palsu.
b. Menepis dalam penerimaan Hadits, yakni meneliti keadaan rawi dan marwi setiap
Hadits, apakah rawinya cukup ‘adil dan dhabit atau masih meragukan, dan apakah
rawinya cukup falid dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits Mutawatir
atau Mashur. Terkadang kalau menerima Hadits yang meragukan, para shahabat
meminta saksi atau keterangan-keterangan yang bisa menimbulkan keyakinan.
Contoh Abu Bakar kedatangan seorang nenek yang meminta diberikan hak dan
harta peninggalan cucunya, beliau tidak mendapatkan dasar hukum dari al-Qur’an
dan tidak mendapatkan atau mengetahui adanya sabda Rasulullah SAW tentang hal
itu, maka berdirilah al-Mughirah dan menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah
memberikan seperenam kepada nenek dari harta peninggalan cucunya. Mendengar
hal itu Abu Bakar bertanya kepada shahabat yang lain, apakah ada orang lain yang
mendengar sabda Nabi SAW tersebut. Kemudian Muhammad ibn Maslamah yang
juga mendengar dari Nabi SAW mengakui kebenaran al-Mughirah. Setelah Abu
Bakar mendengar Hadits dari dua shahabat tadi, barulah memberikan seperenam
kepada nenek dari harta pusaka yang ditinggalkan cucunya.
c. Melarang meriwayatkan secara luas Hadits yang belum dapat dipahami umum.
14
b. Mengenai tindakan shahabat meminta saksi yang turut mendengar Hadits, atau
menyuruh perawi bersumpah adalah tidak setiap menerima Hadits. Hal ini terbatas
apabila menghadapi rawi yang masih diragukan kedhabitannya. jadi sebenarnya
para shahabatpun menerima Hadits Ahad untuk pengamalan urusan agama.
c. Juga tidak benar kalau para shahabat lebih memegangi ijtihad meninggalkan
Hadits. Penggunaan ijtihad di kalangan para shahabat adalah sesudah meneliti
Hadits dan mencarinya ke sana ke mari.
d. Adapun menulis Hadits masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi,
walaupun pernah khalifah ‘Umar mempunyai gagasan membukukan Hadits, namun
niat tersebut diurungkan setelah beliau beristikharah.
a. Ash-Shahifah Ash Sadiqiyah, tulisan Abdullah bin Amr bin Al-Ash (65 H)
Tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran sesuai dengan namanya ash-
shahifah (lembaran), memuat kurang lebih 1000 hadis diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Musnad-nya dan kitab-kitab Sunan lain. Ash-Shahifah ini
didokumentasi penting, ilmiah, dan bersejarah, karena ditulis dengan tangannya
sendiri dan mendapat izin dari Rasulullah. Oleh karena itu dinamakan Ash-
Shadiqah yang berarti benar-benar diterima dari Nabi secara langsung tanpa ada
perantara.
b. Ash-Shahifah Jabir bin Abd Allah An-Anshari (78 H)
Hadis yang diriwayatkan oleh sebagian shahabat. Jabir mempunyai majlis atau
halaqah di Masjid Nabawi dan mengajarkan hadis-hadisnya secara imlak atau dikte.
c. Ash-Shahifah Ash-Shahihah, catatan salah seorang tabi’in Hammam bin Munabbih
(131 H)
15
Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan dari shahabat besar Abu Hurairah, berisikan
kurang lebih 138 buah hadis. Hadisnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhari dalam berbagai bab.
2. Periode Tabi’in ( abad ke 2 H )
Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”, yakni masa
berkembang dan meluasnya periwayatan Hadits. Pada abad ini disebut masa
pengkodifikasian hadits yang dilakukan pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz (Khalifah kedelapan dari kekahlifahan Bani Umayyah, 61-101 H) yang hidup
pada awal abad 2 H. Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya ajaran-ajaran Nabi
SAW setelah wafatnya para ulama, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in.
Maka beliau instruksikan kepada para gubernur di seluruh wilayah Islam agar para
ulama dan ahli ilmu untuk menghimpun dan membukukan hadits Nabi SAW.
Penghimpunan hadits pada abad ini masih tercampur dengan fatwa shahabat
dan tabi’in. Dengan demikian kitab hadits pada periode ini belum
diklasifikasi atau dipisah-pisah antara hadits-hadits marfu’,
mauquf, dan maqthu’. Selain itu penulisan hadits pada periode ini berbeda dengan
penulisan pada abad sebelumnya yang masih dalam bentuk lembaran-lembaran
(shuhuf) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara
tertib. Sedangkan pada periode ini sudah dihimpun perbab. Materi hadits dihimpun
dari shuhuf yang ditulis oleh para shahabat sebelumnya dan diperoleh melalui
periwayatan secara lisan baik dari shahabat atau tabi’in. Adapun kitab-kitab yang
muncul pada masa ini adalah:
e. Musnad Asy-Syafi’i
Kitab-kitab hadits pada masa ini tidak sampai kepada kita kecuali
diantaranya Al-Muwatha’ yang ditulis oleh Imam Malik dan Musnad Asy-
Syafi’i yang ditulis Imam Asy-Syafi’i. Tulisan-tulisan hadits pada masa awal sangat
16
penting sebagai bukti adanya penulisan hadits sejak zaman Rasulullah SAW sampai
dengan pengkodifikasian ressmi dari Umar bin Abdul Aziz bahkan sampai sekarang.
Bagi pengamalan agama pada generasi setelah shahabat, yakni shahabat kecil
dan tabi’in, yang memerlukan untuk mengetahui Hadits-Hadits Nabi SAW, mereka
kemudian berangkat mencari Hadits, menanyakan dan belajar kepada para shahabat
besar yang sudah tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Dengan
demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan Hadits ke pelosok-
pelosok daerah Jazirah Arab, juga tentunya perlawatan untuk mencari Haditspun
menjadi ramai di perbincangakan. Sehingga terbentuklah atau tersusunlah lima kitab-
kitab para tabi’in yang disebutkan diatas tadi yang tidak lain karena jasa-jasa mereka
dalam mencari hadits sebagai pedoman dalam menjawab persoalan kehidupan sehari-
hari.
17
c. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Sebagian hasil dari kerja keras para ulama munculah kitab-kitab hadits yang
terhindar dari hadits dhaif dan seterunya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
3) Sunan An-Nisa’i (215-303 H )
18
Kitab-kitab ini terbentuk pada abad ketiga sebagai gambaran kepedulian dan
perhatian para ulama hadits terhadap perkembangan zaman.
Pada masa ini disebut Penghimpunan dan Penertiban Hadits. Ulama yang
hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama muta’akhirin atau khalaf
(modern). Sedangkan ulama yang hidup sebelum abad ke 4 H disebut
ulama mutaqaddimin atau ulama salah (klasik). Perbedaan mereka dalam periwayatan
dan kodifikasi hadits adalah Ulama mutaqaddimin (sebelum abad ke 4 H)
menghimpun hadits Nabi SAW dengan cara langsung mendengar dari guru-gurunya
kemudian mengadakan penelitian sendiri baik sanad atau matannya. Sedang
ulama muta’akhirin (abad ke 4 H) cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi
dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak
penambahan hadits pada abad ini dan berikutnya kecuali hanya sedikit saja.
[36] Adapun kitab-kitab karya ulama abad keempat ini adalah:
a. Mu’jam Al Kabir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany
b. Mu’jam Al-Ausaih, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany
c. Mu’jam Al-Shaghir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany.
1) Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458
H)
Selain itu terdapat pula kitab hadits tentang targhib dan tarhib seperti:
19
1) Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abdu al-Adhim Al-Mundziry
(656 H)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari
pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits
didapatkan, misalnya :
C. Kesimpulan
1) Kondisi Hadits Nabi SAW di bagi menjadi tiga fase yaitu: 1) Hadits Nabi SAW
Sebelum di Bukukan, Kondisi awal sejarah dan perkembangan Hadits yaitu pada masa
Nabi SAW, masa ini hanya 23 tahun dimulai pada tahun 13 sebelum hijriyah atau
bertepatan pada tahun 610 M sampai pada tahun 11 H atau 623 M. Pada masa inilah
20
Hadits lahir berupa aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi untuk
menerangkan Al-Qur’an dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk mayarakat
Islam. Beberapa teknik penyampaian Hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW: a)
Melalui para jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majlis ilmi. b)Dalam
banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditsnya melalui para
shahabat tertentu, yang kemudian oleh para shahabat tersebut disampaikannya kepada
orang lain. hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para shahabat
yang hadir hanya beberapa orang saja. baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW
sendiri atau secara kebetulan para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
bahkan hanya satu orang. c) Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti
ketika haji wada’ dan fathu makkah. d) Melalui perbuatan langsung yang disaksikan
oleh para shahabatnya (jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-
praktek ibadah dan muamalah. e) Para shahabat yang mengemukakan masalah secara
langsung atau bertanya dan berdialog kepada Nabi SAW. 2) Larangan Tentang
Pembukuan Hadits Nabi SAW, Hal ini disebabkan oleh dua faktor : a) Para shahabat
mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis
masih kurang. b) Karena adanya larangan menulis hadits Nabi. Larangan tersebut
disebabkan karena: (1) adanya kekawatiran bercampur aduknya hadits dengan al-
Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qur’an, atau larangan khusus bagi orang yang
dipercaya hafalannya. (2) Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan
kondisi penulisannya masih sangat sederhana ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang
binatang, dan batu-batuan dan belum dibukukan. (3) Kemampuan tulis menulis bagi
para shahabat pada awal Islam masih sangat langka yang dapat dihitung dengan jari dan
mereka sudah difungsikan sebagai penulis Al-Qur’an. (4) Ingatan orang-orang Arab
yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan
Rasulullah SAW untuk mengingat Hadits. Disamping Rasulullah SAW melarang
menulis hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang shahabat tertentu
untuk menulis hadits. 3) Sejarah Pembukuan Hadits Nabi SAW. Pembukuan Hadits
baru dilakukan setelah abad ke II H pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz, Dengan demikian, pembukuan Hadits secara resmi terjadi pada masa Umar ibn
‘Abd al-Aziz, (61-101 H.) salah seorang khalifah bani Umayyah. Beliau berinisiatif
mengkodifikasikan al-Hadits dengan tiga pertimbangan: (a) Kenginan beliau yang kuat
untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari
perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits. (b)
21
Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari
hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi
golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik
ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya
Khilafah Ali bin Abi thalib. (c) Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman
Rasulullah SAW. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur
aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan
dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan
di hati sanubari beribu-ribu umat Islam. Adapun sejarah perkembangan penghimpunan
dan pengkodifikasian Hadits disini dibagi menjadi 5 periode diantaranya: (1) Periode
Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H), (2) Periode Shahabat (12-98 H), (3) Periode
Tabi’in, (4) Periode Tabi’ Tabi’in, dan (5) Periode Setelah Tabi’ Tabi’in.
22
nama periwayat para shahabat yang diperolehnya yang kemudian disebut dengan
bentuk musnad seperti: (1) Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi,
(2) Musnad Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Humaidi, (3) Musnad Al-Imam Ahmad
bin Hanbal, (4) Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar Al-Bazzar, (5) Musnad Abi Ya’la
Ahmad bin Ali Al-Mustanna Al-Mushili. Sebagian hasil dari kerja keras para ulama
muncullah kitab-kitab hadits yang terhindar dari hadits dhaif dan seterunya. Diantara
kitab-kitab tersebut adalah: (1) Shahih Al-Bukhary atau Al-Jami’ush Shahih, dan (2)
Shahih Muslim atau Al-Jami’us Shahih, Kedua kitab tersebut sangat terkenal
dikalangan masyarakat Islam di seluruh dunia, dan dikenal dengan sebutan al-
Shahihain dan sekarang ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.
Selain itu kedua kitab tersebut merupakan bagian dari buku induk hadits enam
(Ummahat Kutub As-Sittah), yakni buku hadits Sunan, Al-Jami’ Ash-Shahih yang
dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadits Musnad. Buku induk hadits enam
ini merupakan buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan refrensi para ulama
hadits berikutnya, diantaranya adalah: (1) Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-252
H) (2) Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Hajjaj Al-Qusyayry ( 204-261 H), (3)
Sunan An-Nisa’i (215-303 H ), (4) Sunan Abu Dawud (202-207 H), (5) Jami’ At-
Tirmidzi (209-279 H), dan (5), Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-207 H). e). Periode
Setelah Tabi’ Tabi’in (Abad ke 4 H). Pada masa ini disebut Penghimpunan dan
Penertiban Hadits. Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut
ulama muta’akhirin atau khalaf (modern). Adapun kitab-kitab karya ulama abad
keempat ini adalah: (1) Mu’jam Al Kabir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad
al-Thabrany, (2) Mu’jam Al-Ausaih, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-
Thabrany, dan (3) Mu’jam Al-Shaghir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-
Thabrany. Pada abad ke-5 dan seterusnya merupakan periode pengklasifikasian dan
pensistematisasian hadits. Para ulama pada periode ini mengklasifikasikan hadits
dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sifat-sifat isinya
dalam suatu kitab hadits. Dengan usaha mereka maka muncullah kitab-kitab hadits
seperti: Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458
H), Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany (652 H), dan Nailul Authar,
sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Abu Muhammad bin Ali al-Syaukany
(1172-1250 H).
23
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib dkk, Muhaimin. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Cet 1: Jakarta,
Kencana,
Abudin, Nata. 1996. Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada
24
25