Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH PRAKODIFIKASI HADITS

MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“ STUDI HADITS ”

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. M. Suparta, M.A.


Prof. Dr. Romlah Abu Bakar Askar, M.A.

Oleh:
Renny Ariany (21230110000029)

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS


ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita banyak nikmat dan rahmat-Nya
sehingga kita dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah Studi Pemikiran Islam mengenai “Sejarah
Prakodifikasi Hadits” tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam, tidak lupa kami haturkan kepada junjungan kami Nabi besar Muhammad
Saw yang telah menuntut kita dari zaman kegelapan hingga ke zaman terang benderang seperti
sekarang ini.
Penulisan makalah ini dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan kerja sama dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami juga berharap, makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan khususnya untuk kami pribadi.Selain itu, kami menyadari banyaknya kekurangan pada
makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat, maupun isi. Oleh sebab itu, kami selaku
penyusun bersedia menerima segala kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

Tangerang, 25 Maret 2024


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sejarah adalah sebuah jembatan yang menghubungkan masa lampau dan masa kini
dan sekaligus menunjukan arah masa depan. Menelusuri sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hadis, mulai dari masa hidup Nabi Muhammad Saw melibatkan peran
para ahli hadis dalam mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan memeriksa keabsahan
hadis dalam upaya untuk memastikan bahwa hadis-hadis yang disampaikan dapat
dipercaya dan digunakan sebagai sumber hukum dan pedoman bagi umat Islam.

Hadis, sebagai sumber ajaran dan pedoman kehidupan bagi umat Islam, memiliki
peranan yang sangat penting dalam memahami ajaran agama dan praktik yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad Saw. Hadis merujuk pada perkataan, tindakan, dan persetujuan
Nabi Muhammad Saw yang dicatat dan disampaikan oleh para sahabatnya. Al-Qur'an
sebagai wahyu ilahi menjadi sumber utama ajaran Islam, namun hadis menjadi sarana
penting untuk melengkapi dan menjelaskan ajaran tersebut. Dalam hadis, terdapat
petunjuk tentang cara beribadah, etika, hukum, dan prinsip-prinsip moral yang menjadi
landasan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.

Terkait dengan masa pertumbuhan dan perkembangan hadis, para ulama berbeda
dalam menyusunnya. M. M. Azamiy (2006) dan Ajjaj al-khatib membaginya dalam dua
periode (‘Ajjāj, 1988), dan Muhammad Abd al-Ra’uf membaginya ke dalam lima
periode (Ismail, 1994), sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy membaginya dalam tujuh
periode (Ash-Shiddieqy, 1988). Kelahiran hadis sebagaimana dimaksud terkait langsung
dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hadis, dimana beliau telah
membina umatnya selama kurang lebih 23 tahun, dan masa tersebut merupakan kurun
waktu turunnya wahyu (al-Qur’an), berbarengan dengan itu keluar pula hadis. Lahirnya
hadis pada masa Nabi adalah adanya interaksi Rasullah sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an kepada sahabat atau umat lainnya, dalam
rangka penyampaian risalah, dan juga karena adanya berbagai persoalan hidup yang
dihadapi oleh umat dan dibutuhkan solusi atau jalan pemecahannya dari Nabi SAW, lalu
para sahabat memahami dan menghafal apa yang telah diterimanya dari Nabi SAW.
(Thahhan, 1997). Keadaan di era tabi’in sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di era
sahabat. Karena al-

Qur’an ketika itu telah disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, sehingga tabi’in
bisa mulai menfokuskan diri dalam mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai
bersebaran ke suluruh penjuru dunia Islam. Dengan demikian, pada masa Tabi’in sudah
mulai berkembang penghimpunan hadis (al-jam’u wa al-tadwin),meskipun masih ada
percampuran antara hadis Nabi dengan fatwa sahabat. Barulah di era tabi’ al-tabi’in
hadis telah dibukukan, bahkan era ini menjadi masa kejayaan kodifikasi hadis.

Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi


bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam
Rahmatan lil’alamin. Tiada gading yang tak retak, begitulah pepatah mengatakan. Kami
sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan dalam penyusunan makalah-
makalah selanjutnya.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka timbullah masalah-masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Hadist Pada Periode Rosululloh SAW?

2. Bagaimana Hadist Pada Periode Sahabat?

3. Bagaimana Hadist Pada Periode Tabi’in?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas,maka tujuan yang hendak dicapai adlah sebagai
berikut :
1. Mengetahui Hadist Pada Periode Rosululloh SAW
2. Mengetahui Hadist Pada Periode Sahabat
3. Mengetahui Hadist Pada Periode Tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadist pada Masa Rasulullah SAW

Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadits pada
awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi
Rasul sebagai sumber hadits.

Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu
turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut
keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Ajaj
al-khotib menjelaskan, bahwa proses terjadinya hadis bisa jadi timbul dari berbagai
sisi yakni ada tiga sisi:

1. Terjadi pada nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat


dan kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain.misalnya, suatu ketika
nabi nabi melewati pedagang makanan dalam karung, beliau memasukkan
tangan beliau ternyata basah, lantas beliau bersabda:‫ليس منا من غش‬
2. Tidak tergolong umatku ( umat yang mendapat petunjuk) manusia yang
menipu.(HR.Ahmad)Terjadi pada sahabat atau kaum muslimin karena
mengalami suatu problem masalah kemudian bertanya kepada Rosulullah.
Banyak sekali hadis yang timbul disebabkan dari pertanyaan seorang
sahabat, kemudian menjawab dan memberi penjelasan-penjelasan.
3. Segala amal perbuatan dan tindakan nabi dalam melaksanakan syari’ah
islamiah baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat,
kemudian mereka sampaikan kepada para tabi’in.

Cara Rasulullah menyampaikan hadist.

Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka
selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam
perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau selalu direkam dan
dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia.
Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk
memperoleh patuah-patuah Rosulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di
kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll.
Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari
jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat
kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa
hadir (ikhadz)

Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist

Perhatian sahabat terhadap hadis sangatlah tinggi terutama diberbagai majlis


nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah islamiah seperti masjid, halaqoh ilmu,
dan berbagai tempat yang dijanjikan rosulullaoh. Perhatian mereka sangat tinggi
untuk diingat dan disampaikan kepada sahabat yang tidak bisa hadir. Dan juga sahabat
yang tidak bisa hadir sangat antusias sekali dengan mencari informasi tentang apa
yang disampaikan oleh rosululloh.

Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits bertanya langsung kepada Nabi
Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’
dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-
Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan). Tapi
perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah
biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan
istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.

Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi
Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan
Al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan Al-
Quran.
Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW

Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum
sebagaimana Al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua faktor ;

1. para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya,


disamping alat-alat tulis masih kurang.
2. karena adanya larangan menulis hadis nabi.

Abu Sa’id Al-Khudry berkata bahwa Rosululloh SAW bersabda:

‫ال تكتبوا عني شٌيا اال القران ومن كتب شُيا فليمحه‬

“Janganlah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, dan barang siapa yang
menulis dariku hendaklah ia menghapusnya”. ( H.R Muslim )

Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya


hadis dengan Al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan Al-Qua’an, atau larangan
khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi
dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka
penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.

Aktifitas Menulis Hadist

Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rosulullah, ada
yang mendapatkan izin khusus dari Nabi SAW.,hanya saja kebanyakan dari mereka
yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rosulullah.
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi,
walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan
penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist yang lebih shahih
dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:
‫ه‬JJJJJJJ‫ر ان فليمح‬JJJJJJJ‫ير الق‬JJJJJJJ‫يئا غ‬JJJJJJJ‫نّى ش‬JJJJJJJ‫ران فمن كتب ع‬JJJJJJJ‫ير الق‬JJJJJJJ‫يئا غ‬JJJJJJJ‫و اعّنى ش‬JJJJJJJ‫التكتب‬.
” Jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari
saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-
Khudry).

Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang
membolehkan penulisan hadist,diantaranya:

1) Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Anshor
menyaksikan hadis Rosululloh tetapi tidak hafal, kemudian bertanya kepada
Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian mengadu pada Rosululloh
tentang hafalannya yang minim tersebut. maka Nabi SAW. Bersabda.
‫استع على حفظك بيميىنك‬
“ Bantulah hafalanmu dengan tanganmu ”. (HR. At-Tirmidzi)

2) Dari Abu Hurairah pada saat Nabi menaklukkan Mekkah,beliau berdiri dan
berkhotbah, maka berdirilah seorang laki-laki yaman yang bernama Abu Syah
dan bertanya: ” Tuliskanlah aku”.? Maka Rosululloh bersabda:
‫ه‬JJJJJJJJJJJJJJJJ‫وا ل‬JJJJJJJJJJJJJJJJ‫اكتب‬: ‫د‬JJJJJJJJJJJJJJJJ‫ة احم‬JJJJJJJJJJJJJJJJ‫اة وفي رواي‬JJJJJJJJJJJJJJJJ‫وا البي ش‬JJJJJJJJJJJJJJJJ‫اكتب‬
Tuliskanlah untuk Abi Syah (HR.Al- Bukhori dan Abu Dawud). Dalam riwayat
Imam Ahmad: Tuliskanlah dia.
Dari hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama
mengompromikannya sebagai berikut:
1) Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk
memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu
jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-
Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah
yang membolehkannya.
2) -Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan
menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis.
Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan
dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
3) Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya
dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang
yang tidak kuat hafalannya.

2) Hadist Pada Masa Sahabat

Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah periode setelah wafatnya


Rasulullah Saw., yang biasa kita kenal dengan masa sahabat, khususnya masa Khulafa
Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi
Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H. sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan
sahabat besar.
a. Keadaan hadis dimasa Sahabat
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat
agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengajakannya kepada
orang lain sebagaimana sabdanya:

‫ َق اَل « َت َر ْك ُت ِفيُك ْم‬-‫لم‬J‫ه وس‬J‫لى هللا علي‬J‫َعْن َم اِلٍك َأَّنُه َبَلَغُه َأَّن َر ُس وَل ِهَّللا ص‬
‫َأْم َر ْيِن َلْن َتِض ُّلوا َم ا َتَم َّس ْك ُتْم ِبِهَم ا ِكَت اَب ِهَّللا َو ُس َّنَة َنِبِّي ه‬
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah
berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku ” (H.R
Malik).

Setelah nabi Muhammad SAW wafat para sahabat belum memikirkan


penghimpunan dan pengkodifikasian hadis, karena banyak problem yang dihadapi,
diantaranya timbulnya kelomok orang yang murtad, timbulnya peperangan. ini
mengakibatkan banyak penghafal Al-Qur’an gugur dimedan peperangan, sehingga
jumlah orang yang hafal Al-Qur’an tinggal sedikit, dan banyak orang asing yang
datang kearab dan mereka tidak tau bahasa arab, sehingga takut Al-Qur’an tercampur
aduk dengan hadis sehingga para sahabat berkonsentrasi bersama Abu Bakar untuk
membukukan hadis

Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad dari siti ‘Aisyah ra., ia
berkata:” Ayahku telah mengumpulkan 500 hadist dari Nabi Saw., setiap malam ia
mengulang-ulang beberapa kali…, setelah itu ia membakarnya.

Umar bin Khatab ra. ingin mengumpulkan dan menulis hadist, beliau
bermusyawarah dengan para sahabat Rasul lainya dan mereka menyetujui ide
tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Namun, rupanya Allah belum
menghendaki.

Kemudian ia berkata:” Aku ingin menulis sunnah, setelah itu aku ingat kaum
sebelum kamu sekalian menulis kitab, mereka memfokuskan pada tulisan itu,
kemudian ia meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan
mencampur kitab Allah (al-Quran) dengan yang lain selamanaya.
b. Periwayatan hadis

Penyampaian periwayatan dilakukan secara lisan dan jika benar diperlukan saja
yaitu ketika umat islam benar-benar memerlukan penjelasan hukum. Kedua kholifah
diatas menerima hadis dari orang perorang dengan sarat disertai saksi yang
menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika disertai dengan sumpah disamping saksi.
Oleh karena itu, pada masa khulafa Ar-Rosyidin ini disebut sebagai masa pembatasan
periwayatan ( taqlil Ar- riwayah ).

Pada mulanya para sahabat melarang untuk menulis hadis akan tetapi setelah
mereka merasa tidak ada yang dikawatirkan tentang campur aduknya Al-Qur’an
maka sedikit banyak sahabat telah menulis hadis tapi dibuat sebagai simpanan, seperti
sahabat Abdulloh bin mas’ud, Ali bin Abi Tholib, Hasan bin Ali, Muawiyah,
Abdulloh Bin Abbas, Abdulloh bin Umar, Anas bin Malik dan lain- lain.

2.3 Hadits Pada Masa Tabi’in

Tabi’in telah belajar kepada para sahabat, sehingga ia banyak mengetahui


hadist Rasulullah dari para guru-guru mereka (sahabat), disamping itu mereka
mengetahui para sahabat tentang keengganan menulis hadist dan sahabat
membolehkannya, sehingga karakter tersebut diwariskan kepada para tabi’in besar,
sehingga masa ini belum ada hadist yang terkodifikasikan.

Sehingga pada abad ke-4 maka para sahabat banyak yang memulai untuk
pengkodifikasian hadis, sehingga pada abad ini dikenal dengan masa kejayaan sunnah.
Keadaan di era tabi’in sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di era sahabat. Karena
Alquran ketika itu telah disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, sehingga tabi’in bisa
mulai menfokuskan diri dalam mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai
bersebaran ke suluruh penjuru dunia Islam.

Dengan demikian, pada masa Tabi’in sudah mulai berkembang penghimpunan


hadits (al-jam’u wa al-tadwin), meskipun masih ada percampuran antara hadits Nabi
dengan fatwa sahabat. Barulah di era tabi’ al-tabi’in hadits telah dibukukan, bahkan
era ini menjadi masa kejayaan kodifikasi hadits. Kodifikasi dilakukan berdasar
perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah yang
kebijakannya ditindaklanjuti oleh ulama di berbagai daerah hingga pada masa
berikutnya hadits terbukukan dalam kitab hadits.

Setelah era tabi’ al-tabi’in, yaitu masa abad II, III, IV-VII dan seterusnya yang
terjadi pada hadits adalah penghimpunan dan penerbitan secara sistematik (al-jam’u
wa attartib wa at-tanzhim).

Hadits pada masa dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yakni masa
turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan seperti ini menuntut
keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkan Allah dijelaskan Nabi melalui perkataan, perbuatan, dan
taqrirnya. Sehingga apa yang didengar dan disaksikan oleh para sahabat merupakan
pedoman bagi amaliah dan ubudiah.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah
memahaminya,berikut uraianya.
1. Hadist Pada Masa Rasul SAW

Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu: Cara Rasul
menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-
tempat terbuka seperti pasar, dan lain-lain. Pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan.

B. Hadist Pada Masa Sahabat

Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada
pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :
1. Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
2. Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai
daerah kekuasaan Islam.
3. Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat.

C. Hadist pada masa tabi’in

Pada masa ini juga kejadianya seperti pada masa sahabat, sehingga belum ada hadist yang
terkodifikasi. karena para tabi’in mengangggap bahwa nabi masih tidak secara jelas
menyuruh untuk menulis hadis, sehingga apa yang dilakukan para tabi’n sama dengan para
sahabat.
Jadi para sahabat maupun tabi’in sama – sama mengandalkan hafalan, tetapi masih ada
yang menulis hadis tapi itu Cuma sebagai perantara saja, yaitu untuk menunjang hafalan tapi
setelah itu disuruh membakarnya.begitulalh perjalanan prakodifikasi baik pada masa sahabat
maupun tabi’in tidak banyak perubahan, merka masih ,mengandalkan hafalan.
DAFTAR PUSTAKA

Imam Malik. Muatha. Maktabah Syamilah. Vol 2 hlm. 900.

Syuhbah M.M Abu Syuhbah. 1999.Kutubus Sittah.Terjemahan oleh Ahmad Usman.


Surabaya: Pustaka Progressif.

Muhammad Ajjaj al-Khatib. 1998. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Kairo: Maktabah wahbah.

Mushtafa as-Suba’i. 2003 Assunnah. Kairo: Dar-Assalam.


Mana’ al-Qathan. 1989. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Maktabah Wahbah.

Subhi al-Shalih. 1997.Ulum al-hadist wa Mushtalahuhu. Beirut: Dar al-Ilmi Li al-malayin.

Anda mungkin juga menyukai