Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ULUMUL HADIS

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA NABI


MUHAMMAD SAW, SAHABAT DAN TABI’IN

Dosen Pengampu : Rosita, Lc., MA

Disusun Oleh :
Faidat(213121019)
Faldi(213121030)
Gufran(213121041)
Samsul Bahri(213121052)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Interaksi Tauhidiyah zat dan sifat” ini dengan tepat waktu.
Di tugas kali ini kami akan membahas tentang “Sejarah Perkembangan Hadis Pada
Masa Nabi Muhammad Saw, Sahabat Dan Tabi’in”, kami menyadari bahwa dalam
penyusunan karya tulis ini masih banyak kekurangan dan memerlukan banyak
perbaikan. Pada kesempatan ini, dengan tulus ikhlas kami menyampaikan terimakasih
yang tak terhingga kepada, dosen pembimbing mata kuliah ulumul hadis. Kami
berharap semua pihak dapat mendukung berjalannya tugas kami ini, kami mengharap
kritik dan saran yang bersifat membangun guna menjadikan tugas kami menjadi lebih
baik kedepannya. Kami selaku penyusun berharap semoga karya tulis ini ada guna
dan manfaatnya bagi para pembaca. Serta kami minta maaf apabila ada beberapa hal
yang belum tepat atau salah.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

A. Latar belakang................................................................................................1
B. Rumusan masalah...........................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3

A. Hadis masa nabi Muhammad saw..................................................................3


B. Hadis pada masa sahabat................................................................................5
C. Hadis pada masa tabi’in.................................................................................5

BAB III PENUTUP....................................................................................................9

A. Kesimpulan....................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mempelajari sejarah pertumbuhan dan pekembangan hadis diharapkan dapat


mengetahui sikap dan tindakan umat Islam tehadap hadis serta usaha pembinaan
dan pemeliharaan pada setiap periode hadis hingga pada akhirnya muncul kitab-
kitab hasil pembukuan secara sempurna yang dalam islam dikenal dengan istilah
tadwin. Studi tentang keberadaan hadis ini selalu semakin menarik untuk dikaji
seiring dengan perkembangan analisis dan nalar berpikir manusia.

Studi Hadis tidak hanya dilakukan oleh kalangan Muslim melainkan juga
dilakukan oleh kalangan orientalis. Bahkan, kajian studi Hadis dalam dunia islam
semakin menguat dilatar belakangi oleh upaya umat islam untuk membantah
terhadap pendapat kalangan orientalis tentang ketidak aslian hadis. Goldziher
misalnya, meragukan sebagian besar orisinilitas hadis yang bahkan diriwayatkan
oleh ulama besar seperti Imam Bukhori hal ini dikarenakan jarak semenjak
wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya pembukuan hadis sangat
jauh, menurutnya sangat sulit menjaga orisinilitas hadis tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Saja Sejarah Perkembangan Hadis Pada Masa Nabi Muhammad SAW?

2. Apa Saja Sejarah Perkembangan Hadis Pada Masa Sahabat?

3. . Apa Saja Sejarah Perkembangan Hadis Pada Masa Tabi’in?

C. Tujuan

1. Mengetahui Sejarah Perkembangan Hadis Pada Masa Nabi Muhammad Saw

2. Mengetahui Sejarah Perkembangan Hadis Pada Masa sahabat

3. Mengetahui Sejarah Perkembangan Hadis Pada Masa Tabi’in


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadis pada Masa Nabi Muhammad SAW

Masa dikenal dengan ‘ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa wahyu dan
pembentukan karna pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak
hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi
menjadi penyejuk dan sumber kebahagian para sahabat Nabi yang tidak pernah
mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat sangat mencintai Rasulullah
melebihi cinta mereka kepada keluarga bahkan diri mereka sendiri. Mereka selalu
berusaha menghafal ajaran-ajaran islam melalui al-Qur’an juga selalu rindu
bertemu Rasulullah untuk mendapatkan ajaan agama, termasuk hadis –hadisnya.
Mereka menyadari betapa penting kedudukan hadis Nabi dalam agama islam,
bahwa sunnah nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang
meremehkan dan mengingkarinya akun celaka dan orang yang mengamalkannya
akan mendapat kebahagiaan.1

Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan Nabi baik yang terkait dengan
masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal-hal pribadi telah
terjadi semenjak awal islam. Sebagai figur, Nabi menjadi pusat pehatian,dalam
kapasitas sebagai pemimpin, teladan, dan penyampaian syariat Allah yang hampir
semua perkataan dan perilakunya bermuatan hukum, kecuali sebagian yang terkait
dengan urusan murni duniawi. Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari
Nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, ditengah-tengah kesibukan mereka
memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri majelis Nabi, sebagian tinggal beberapa
saat atau dalam waktu yang lama bersamanya, mediskusikan dan menelaah secara
kritis hadis-hadis yang mereka terimah. Jika terjadi persoalan yang menyangkut
kebenaran hadis yang mereka terimah, mereka dapat langsung mengecek
kebenarannya kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul, dan
1
Kaptein H.L. Beck dan N.J.G., Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosofi, Teologi,
Dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988). Hlm 67
bermuamalah dengan mereka, sehingga bila terjadi kesalahan penulisan,
kekeliruan pengucapan, atau kekurang pahaman terhadap makna teks hadis, dapat
dirujuk pada Nabi. Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh
beberapa cara, yaitu :

Pertama, melalui majelis al-‘ilm yaitu pusat atau pengajian yang diadakan
oleh Nabi untuk membinah para jemaah. Melalui majelis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerimah hadis, sehingga mereka berusaha
untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya. Periwayatan
hadis melalui majelis ini dilakukan secara reguler dimana para sahabat begitu
antusias mengikuti kegiatan di majelis ini. Menurut catatan musthafa al-Siba’i roh
ilmiah para sahabat sangat tinggi, mereka sangat haus akan fatwa-fatwa dari Nabi.
Mereka selalu meluangkan waktu untuk mendatangi majelis ilmu Rasulullah.
Bahkan, mereka melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk meminta solusi
kepada Nabi atas masalah yang mereka hadapi. 2

Diantara mereka ada yang secara sengaja membagi tugas untuk mendapatkan
informasi yang berasal dari Nabi. Umar ibn al-Khathab misalnya, membagi tugas
dengan tetangganya untuk mendapatkan hadis dari Nabi. Bila tetangganya pada
suatu hari menemui Nabi, maka umar pada esok harinya, pihak yang bertugas
menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi,
maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Umar bin
Khathab sewaktu-waktu bergantian hadir dengan ibn Zayd, dari bani umayah
untuk menghadiri majelis Nabi, ketika ia berhalangan hadir, berkata : “ Kalau hari
ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, demikian pula aku
yang melakukannya “. Dengan demikian para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk
tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dpat memperoleh hadis dari
sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi. Pada saat yang demikian terjadi
periwayatan hadis oleh sahabat dari sahabat lain. Pada masa Nabi, hadis tidak

2
Mangunsuwito, Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing, (Jakarta:
Widytama Pressindo.,2011) hlm. 37
semata mata diriwayatkan dari Nabi, tetapi sebagiannya diriwayatkan oleh sahabat
dri sahabt yang lain.

Tidak jarang kepala-kapala suku yang jauh yang jauh dari Madinah mengirim
utusannya ke majelis Nabi, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka
sekembalinya dari sana. Misalnya, yang dilakukan oleh Malik ibn al-Huwayris
yang pernah tinggal bersama Nabi selama dua puluh malam, sebagai salah satu
anggota rombongan kaumnya. Ia menyatakan bahwa Nabi adalah yang penyayang
dan akrab. Katanya : “ Tatkalah Nabi melihat kami telah merasa rindu kepada
para keluarga kami “ beliau bersabda “ Kalian pulanglah, tinggallah bersama
keluarga kalian, ajarilah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka. Bila telah
masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian melakukan adzan, dan
hendaklah yang tertua menjadi imam “. Pengalaman malik ibn al-Huwayris
menunjukkan bahwa pada zaman Nabi, parah sahabat sangat minatnya menimbah
pengetahuan langsung dari Nabi, termasuk Hadis Nabi yang kemudian mereka
ajarkan kepada keluarga mereka masing-masing.

Kedua, dalam banyak kesempatan rasulullah juga menyampaikan hadisnya


melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut
disampaikannnya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi
menyampaikan suatu hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat
yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang.3

Ketiga, untuk hal-hal sensitif seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologi, terutama yang menyangkut hubungan hadis diatas ketika Nabi
menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW tentang
mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnnya. Nabi meyuruh wanita ituuntuk
mandi sebagaimana mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi
sengga Nabi bersabda “ Ambillah sepercah kain (yang telah diolesi dengan wangi-
wangian) dari kasturi, maka bersikanlah dengannya “. Wanita itu bertanya lagi.
“Bagaimana saya membersikannya ?“ Nabi bersabda : “Bersikanlah dengannya”.
3
Akrom Fahmi,Sunnah Qabla Tadwin, (Jakarta: Gema Insani Press.,1999), hlm. 54
Wanita itu masih berntanya lagi, “Bagaimana caranya ?” Nabi bersabda : subhan
Allah, hendaklah kamu bersiakn”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata: “ Wanita itu
saya tarik ke arah saya dan saya ketakan kepadanya, usapkan seperca kain itu
ketempat bekas darah”. Pada hadis ini,Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk
menjelaskan hal sensitif bekenaan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat,
jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal diatas, karena segan bertanya kepaa
Rasul SAW. Sering kali mereka bertanya kepada istri-istrinya.4

Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika Futuh
Mekkah dan haji Wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631
M). Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu
kaum Muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan
bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hhak asasi manusia yang meliputi
kemnusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan solidaritas isi
khatbah itu antara lain : larangan menumpah darah kecuali dengan hak dan
larangan mengambil harta orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya, dan
umat Islam harus selalu berpegangan kepada al –Qur’an dan sunnah Nabi.5

Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh pra sahabtnya, yaitu
dengan jalan musyhadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah
dan muamalah. Misalnya, suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu
dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum). Nabi
menyuruhnya memasukkan tangannya ke dalam gandum itu, dan ternyata di
dalamnya basah.6

Pada masa Nabi,sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang
menjadi andalan merek dalam menerimah hadis adalah ingata mereka. Menurut
‘Abd al-Nashar, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat
kekuatan daya ingat dan kemampuan menghapal.

4
Syaikh Manna Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Al – Kautsar, 2005)
hlm.4
5
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press,2010), hlm.15
6
Endang H. Soetari, Ilmu Hadits,(Bandung: Amal Bakti Press.,1997), hlm.37
B. Hadis pada Masa Sahabat
Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadis yang
harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi saw
wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan shahabat Nabi. Sahabat
Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq
( wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644
M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40
H/661 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa
al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga dengan zaman sahabat besar.
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era shahabat besar dan
menyusul era sahabat kecil. Dalam pada itu muncullah pra tabi’in besar yang
bekerjasama dalam perkembangan pengetahuan dengan para shahabat Nabi yang
masih hidup pada masa itu. Diantara shahabat Nabi yang masih hidup setelah
periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam
periwayatan hadis Nabi saw ialah ‘A’isyah istri Nabi (wafat 57 H/578 M), Abu
Hurairah (wafat 58 H/678 M), ‘Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M),
Abdullah bin Umar bin al-Khatthab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah
(wafat 78 H/697 M).7
Para sahabat mengetahui kedudukan As-Sunnah sebagai sumber syari’ah
pertama setelah Al-Qur’an Al-karim. Mereka tidak mau menyalahi as-Sunnah jika
as-Sunnah itu mereka yakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau
berpaling sedikitpun dari as-Sunnah warisan beliau. Mereka berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis dari Nabi SAW. karena khawatir berbuat kesalahan dan takut
as-Sunnah yang suci tiu ternodai oleh kedustaan atau pengubahan. Oleh karena itu
mereka menempuh segala cara untuk memelihara hadis, mereka lebih memilih
bersikap “sedang dalam meriwayatkan hadis” dari Rasulullah., bahkan sebagian
dari mereka lebih memilih bersikap “sedikit dalam meriwayatkan hadis”.

7
Muhammad Ali Al-Shobuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an, (Madinah: Daru Al-Shobuni,2003),
hlm.45
Periode shahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-
riwayah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam prakteknya,
cara shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW
yang mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi SAW.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan
lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi SAW.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits
Nabi.
A. Abu Bakar Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu
Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya
dalam meriwayatkan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas
pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek.
Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar,
meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab,
bahwa ia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan
bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para shahabat.
Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah
memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-
Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan kewarisan nenek itu.
Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah
menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan
kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar
menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan
hadits Nabi SAW yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.
Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera
menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan
penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan
saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada
tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putri Aisyah,
menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima
ratus hadis. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia
membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan
hadits.Hal ini menjadi bukti sikap kehari-hatian Abu Bakar dalam periwayatan
hadis.
Data sejarah tentang kediatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada
masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada
masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai
ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai
ancaman dan kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada
itu tidak sedikit shahabat Nabi, khususnya yang hafal Qur’an, telah gugur di
berbagai peperangan. Atas desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara
melakukan penghimpunan al-Qur’an (jam’ al-Qur’an).
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar
dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat
Islam. Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam
periwayatan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni
sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan hadis
yang diriwayatkan oleh para sahabat.8

B. Umar Bin Khatthab


Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat,
misalnya, ketika umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab.
Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dari Ubay, setelah para shahabat
yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi
tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata
kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya
berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis ini.

8
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers., 2011), hlm.13
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu
Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Kesemua itu
menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadis. Disamping itu, Umar
juga menekankan kepada para shahabat agar tidak memperbanyak periwayatan
hadits di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya
untuk membaca dan mendalami al-Qur’an.Kebijakan Umar melarang para sahabat
Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah bahwa Umar
sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan hadits. Larangan umar
tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: [a]
agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis, [b] agar perhatian
masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti
berikut ini:
1. Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadis
Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih menetahui tentang kandungan al-
Qur’an.
2. Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi, Ahmad bin Hanbal telah
meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga ratus
hadis. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama shahabat dan
tabi’in terkenal yang telah meneriam riwayat hadis Nabi dari Umar. Ternyata
jumlahnya cukup banyak.
3. Umar pernah merencanakan menghimpun hadis nabi secara tertulis. Umar
meminta pertimbangan kepada para shahabat. Para shahabat menyetujuinya.
Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan
melakukan shalat istikharah, akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia
khawatir himpunan hadits itu akan memalingkan perhatian umat Islam dari al-
Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak nenampakkan larangan terhadap
periwayatan hadis. Niatnya menghimpun hadis diurungkan bukan karena alas
an periwayatan hadits, melainkan karena factor lain, yakni takut terganggu
konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman
Umar bin al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila
dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan karena
umat islam telah lebih banyak menghajatkan kepada periwayatan hadits semata,
melainkan juga karena khalifah Umar telah pernah memberikan dorongan kepada
umat islam untuk mempelajari hadits Nabi. Dalam pada itu para periwayat hadits
masih agak “terkekang” dalam melakukan periwaytan hadis, karena Umar telah
melakukan pemeriksaan hadis yang cukup ketat kepada para periwayat hadis.
Umar melakukan yang demikian bukan hanya bertujuan agar konsentrasi umat
Islam tidak berpaling dari al-Qur’an, melainkan juga agar umat Islam tidak
melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis. Kebijakan Umar yang demikian
telah menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan
pemalsuan-pemalsuan hadis.

C.Usman Bin Affan

Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya saja,
langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin Khatthab.

‘Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin
Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat
puluh hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan
sanad. Matn hadits yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudu’.
Dengan demikian jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak
jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatthab.

Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan,
kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak dibandingkan
bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin Khatthab.
Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam berhati-hati
dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya
terhadap para perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam periwaytan hadis.
Hal tersebut terjadi karena selain pribadi ‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar,
juga karena wilayah Islam telah makin luas. Luasnya wilayah Islam
mengakibatkan bertambahnya kesuliatan pengendalian kegiatan periwayatan hadis
secara ketat.

D. Ali Bin Abi Thalib.

Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan sikap para khalifah
pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah bersedia
menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan
mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar dari
Nabi saw. hanyalah terhadap yang benar-benar telah diparcayainya. Dengan
demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi
‘Ali tidaklah sebagai syarat muthlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah
dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan riwayat hadis telah benar-
benar tidak mungkin keliru.

‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadis
yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan
(catatan). Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda
(diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larang
melakukan hokum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang
kafir.

Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi
Thalib sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian mant dari hadis tersebut berulang-
ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali
bin Abi Thalib merupakan periwayat hadis yang terbanyak bila dibandingkan
dengan ke tiga khalifah pendahulunya.

Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan


periwayatan hadits pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada
zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda
dengan siatuasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang politik
dikalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan antara kelompok
pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini membawa
dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadis. Kepentingan politik
telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.

Dari urai di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan para khulafa al-
Rasyidin tentang periwayatan hadis adalah sebagai berikut:

1. Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam


periwayatan hadits
2. Larangan memperbanyak hadits, terutama yang ditekankan oleh khalifah
‘Umar, tujuan pokoknyaialah agar periwayat bersikap selektif dalam
meriwayatakan hadits dan agar masyarakat tidak dipalingkan perhatiannya dari
al-Qur’an
3. Penghadiran saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadits merupakan
salah satu cara untuk meneliti riwayat hadits. Periwayat yang dinilai memiliki
kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiabn mengajukan saksi atau
sumpah
4. Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits yang
disampaikan oleh ketiga khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk lisan.
Hanya ‘Ali yang meriwayatkan hadits secara tulisan disamping secara lisan.

Adapun penulisan hadits pada masa Khulafa al-Rasyidin masih tetap terbatas
dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah umar bin khattab
mempunyai gagasan untuk membukukan hadits, namun niatan tersebut
diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah. Para shahabat tidak
melakukan penulisan hadits secara resmi, karena pertimbang-pertimbangan.

1. Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian


shahabat masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada
urusan pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi mush-haf.
2. Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis
hadis.
C. Hadis pada Masa Tabi’in
Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabt ataupun
tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping
banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke
daerah baru disertai dengan membawa perendaharaan hadis yang ada pada
mereka, sehingga hadis-hadis terbesar di berbagai daerah. Kemudian bermunculan
sentra-sentra hadis, sebagai mana dikemukakan Muhammad abu zahw, yaitu : 9
(1) Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurayrah, ibn’
Umar, Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in :
Sa’id ibn Musayyib, Urwah ibn Zubayr, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dan lain-
lain.
(2) Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat : ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah
ibn Sa’id dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in tokoh hadis antara lain : Mujahit
ibn Jabr, ‘Ikrimah mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dan lain-lain.
(3) Kufa, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn
Abi Waqqas, dan Salmann al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn
al-Ajda’, Syuraikh ibn al-Haris, dan lain-lain.
(4) Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Utbah ibn Gahzwan, Imran ibn
Husyn, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in dikenal tokoh : al-Hasan al-Basri,
Abu al-‘Aliyah, dan lain-lain.
(5) Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’,
‘Ubbadah ibn Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris,
Qabishah ibn Zuaib. Dan Makhul ibn Abi Musli.
Hadis-hadis yang diterimah oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk catatan
atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihapal, disamping dalam bentuk-
bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang
mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga
tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan. Sunggupun demikian, pada
masa pasca sahabat besar ini, muncul kekeliruan periwayatan hadis ketika

9
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 35
kecermatan dan sikap hati-hati melemah. Periwayatan tidak semata menyangkut
hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfit), tetapi hadis yang bersumber dari
sahabat (mawquf) dan tabi’in (maqthu’) bahkan pernyataan beberapa ahli kitab
yang telah masuk islam yang mereka sadur dari pernyataan Bani Israil atau shuhuf
mereka sebagai bahan komparas setelah mereka masuk islam. Dari sekian
pernyataan ysng memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil menimbulakan
salah kutip : perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadis Nabi , atau bahkan
perkataan ahli kitab sebagai sabdah Nabi.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu
antara lain : pertama, periwayat hadis sebagaimana manusia lain tidak terlepas
dari unsur kekeliruan. Kedua, terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis. Sejak
masa Rasulullah memang ada ada beberapa sahabat yang menulis hadis baik atas
dasar izin Nabi atau ditulis para amir atau para pegawai, tetapi usaha penulisan
belum merupakan hal biasa, bahkan umumnya para periwayat mengandalkan
hafalan. Ketiga, terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh
sebagian besar sahabat dan tabi’in terbukti dengan adanya hadis atau kisah yang
sama tetapi memiliki redaksi yang beragam.

PENUTUP
KESIMPULAN

1. Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadaanya dijelaskannya melalui


perkataan, perbuatan, dan pengakuan atau penetepan Rasulullah SAW.
Sehingga apa yang disampaikan oleh para sahabat dari apa yang mereka
dengar, lihat, dan saksikan merupakan pedoman. Rasullah adalah satu-satunya
contoh bagi para sahabat, karena Rasulullah memiliki sifat kesempurnaan dan
keutamaan yang berbeda dengan manusia lainnya.
2. Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang
harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi
saw wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan shahabat Nabi.
Shahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar
as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab
(wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi
Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal
dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga
dengan zaman shahabat besar.
3. Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam
periwayatan hadis . Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti seperti
pada masa sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu
mushaf dan sudah tidak menghawatirkan lagi. Selain itu, pada akhir masa Al-
Khulafa Al-Rasyidun para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa
wilayah sehingga mempermudah tabi’in untuk mempelajari hadis.

SARAN
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun
dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Suparta,Munzier. 2011,Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.


Idri. 2013,StudiHadis. Jakarta: Kencana.
Sumbulah,Umi. 2010,Kajian Kritis Ilmu Hadis.Malang: UIN-Maliki Press.
Soetari,H. Endang.1997,Ilmu Hadits.Bandung: Amal Bakti Press.
Al-Shobuni,Muhammad Ali. 2003,Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an. Madinah: Daru
Al-Shobuni.
Fahmi,Akrom. 1999,Sunnah Qabla Tadwin. Jakarta: Gema Insani Press.
Mangunsuwito. 2011,Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah
Aing. Jakarta: Widytama Pressindo.
Al-Qathathan,Syaikh Manna. 2005, Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka
Al – Kautsar.
Ismail,M. Syuhudi. 1995,Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits.Jakarta:
Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai