Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN PENULISAN DAN TADWIN HADIST

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mandiri dalam Mata Kuliah Studi Hadist

Dosen Pembimbing : Dr. Ratu Vina Rohmatika, M.Pd.I

Oleh:

1. Dwi Rahayu
2. Nur Alfiah

Magister Pendidikan Agama Islam


PASCASARJANA IAIN METRO

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) METRO


LAMPUNG
1445 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas taufik hidayah
dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi Tugas Mandiri dalam Mata
Kuliah Studi Hadist.

Kritik dan saran demi perbaikan makalah ini sangat diharapkan dan
akan diterima dengan kelapangan dada. Dan akhirnya semoga makalah ini
kiranya dapat bermanfaat bagi pengembangan Studi Hadist.

Metro, 12 febuari 2023

Penulis,
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hadist merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-
Qur’an. Istilah hadist biasanya mengacu pada segala sesuatu
yang terjadi sebelum maupun setelah kenabiannya. Sejarah
perkembangan hadist merupakan masa atau periodesasi yang
telah dilalui hadist, dari masa lahirnya, tumbuh dan pengenalan,
penghayatan dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.
Dapat dipahami bahwa periodesasi perkembangan hadist ialah
perjalanan hadist dari masa lahir,tumbuh, dan membumi di
masyarakat, yang diklasifikasikan berdasarkan tolok ukur
tertentu, ( boleh jadi waktu, peristiwa, da lain sebagainya)
sehingga dapat diketahui beberapa hal terkait perkembangannya
dari masa ke masa. Sejak masa Nabi Muhammad saw. sampai
terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan pada masa ini
telah memakan waktu yang tidaklah singkat.
Salah satu persoalan utama yang tetap ramai
diperbincangkan kendati telah lama memicu polemik dan
kontroversi dalam kancah studi hadist adalah problem (tadwin)
kodifikasi hadist. Sejauh ini dalam proses kompilasi dan
kodifikasi (tadwin) masih meninggalkan sejumlah persoalan
hermeunitik yang cukup pelik ketika dihadapkan pada kritik
sejarah. Ditinjau dari kritik sejarah, masalah historitas dan
otentisitas literatur hadist masih menjadi “misteri” yang perlu
diungkap dan dikaji. Kajian seputar ini akan mengungkap kajian
data penting tentang bagaimana sejarah perkembangan
penulisan dan tadwin hadist.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan hadist pada masa rasulullah?
2. Bagaimana perkembangan hadist pada masa sahabat
khulafaurasyiddin, masa sahabat dan tabi’in besar?
3. Bagaimana masa pengumpulan dan pembukuan hadist,
sejarah dan faktor pendorong kodifikasi hadist?
4. Bagaiamana perkembangan hadist pada abad III dan VII ?
5. Bagaimana perkembangan hadist pada masa abad VII-
sekarang?
6. Bagaimana analisis larangan penulisan hadist pada masa
Nabi Saw?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan hadist pada masa
rasulullah
2. Untuk mengetahui perkembangan hadist pada masa sahabat
(khulafurasyiddin, masa sahabat, dan tabi’in besar)
3. Untuk mengetahui masa pengumpulan dan pembukuan
hadist, sejarah dan faktor pendorong kodifikasi hadist
4. Untuk mengetahui perkembangan hadits abad iii-vii
5. Untuk mengetaui perkembangan hadist masa abad ke vii-
sekarang
6. Untuk mengetahui analisis larangan penulisan hadist pada
masa nabi saw
II PEMBAHASAN

1. Hadist Pada Masa Rasulullah


Periode ini disebut Ashr Al-Wahyi wa at-Takwin’ (masa
turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam). Pada periode
inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrirNabi yang
berfungsi menerangkan al-qur’an untuk menegaskan syari’at islam
dan membentuk masyarakat islam.
Para sahabat menerima hadist secara langsung dan tidak langsung
penerimaan secara langsung misalnya saat nabi saw. Memebri
ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan
para sahabat. Adapun penerimaan secra tidak langsung adalah
mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari
utusan yang dikirim oleh nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah
yang datang kepada nabi.
Pada masa nabi saw., kepandaian baca tulis dikalangan para
sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena
kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, nabi
menekankan untuk menghafal me, meahami, memelihara,
mematerikan, dan memantapkan hadist dalam amalan sehari-hari,
serta mentaghbighkannya kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadist secara resmi pada masa nabi, bukan berarti
tidak ada sahabat yang menulis hadist. Dalam sejarah penulisan
hadist terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadist,
diantaranya:
a. ‘Abdullah Ibn Amr ibn ‘ash, shahifah nya disebut ash,
shadiqah
b. Ali ibn abi thalib, penulis hadist tentang hukum diyat, hukum
keluarga, dan lain-lain.
c. Anas ibn malik.
Disamping itu, ketika nabi saw. Menyelenggarakan dakwah dan
pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-suratseruan
pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat
tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik
di timur, utara, dan barat. Surat- surat tersebut merupakan koleksi
nabi saw. Telah dilakukan penulisan hadist dikalangan sahabat.

2. Hadist Pada Masa Sahabat


a) khulafa ‘ ar-rasyidin
Periode ini disebut ‘ashr –at-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah
(masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi saw, wafat
pada tahun 11 H. kepada umatnya, beliau meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup yaitu al-qur’an dan
hadist (as-sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek
kehidupan umat. Pada masa khalifah abu bakar dan umar ,
periwayatan hadist tersebar secara terbatas,.penulisan hadist pun
masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada
masa itu, umar melarang para sahabat untuk memperbanyak
meriwayatkan hadist, dan sebaliknya, umar menekankan agar
para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarlusakan
Al-qur’an
Dalm praktiknya, ada dua sahabat yang meiwayatkan hadist yakni :
1) Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka
terima dari Nabi SAW.yang mereka hafal benar lafadz dari
Nabi
2) Dengan maknannya saja yakni mereka meriwayatkan
maknanya karena tidak hafal hafal hafidz asli dari nabi saw.

Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh


orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah
wafatnya ali. Ra pada masa ini,umat islam mulai terpecah-pecah
menjadi beberapa golongan : pertama, golongn syi’ah. kedua
golongsn khawarij, yang menentang ali dan golongn mu’awiyah,
dan ketiga golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).

Terpecahnya umat islam tersebut, memacu orang-orang yang


tisdak bertanggung jawab untuk mendapatkan keterangan-
keterangan yang berasal dari rasulullah saw. Untuk mendukung
golongan mereka. Oleh sebab itulah , mereka membuat hadist palsu
dan menyebarkannya kepada masyarakat.

b) Hadist pada masa sahabat dan tabi’in


Pada masa sahabat kecil atau zaman tabi‟in besar (masa
dinasti Amawiyah sampai akhir abad I H181). Periode ini
disebut ‟Ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar (masa
berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada masa ini,
daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke
Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat
ke daerah-daerah tersebut terutama dalam rangka tugas
memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadits
para Sahabat Kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis
Nabi SAW. diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah
Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-
sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut dengan
demikian pada masa ini di samping tersebarnya periwayatan
Hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan
untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
karena meningkatnya periwayatan Hadits muncullah
bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum perkembangan)
hadis di berbagai daerah di seluruh negeri diantara
bendaharawan hadits yang banyak menerima menghafal dan
mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah:
a. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan
5.374 hadis, sedangkan menurut Al-kirmany, beliau
meriwyatkan 5.364 hadis.
b. ‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis.
c. ‘Aisyah, istri Rasul SAW. Meriwayatkan 2.267 hadis.
d. ‘Abdullah Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1660 hadist.
e. Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadist.
f. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.
Adapun lembaga-lembaga hadist yang menjadi pusat
bagi usaha panggilan, pendidikan, dan pengembangan hadist
terdapat di:
a. Madinah, dengan tokoh-tokohnya: Abu Bakar, Umar, Ali,
Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Umar, Sa’id Al-khudri, Zaid bin
Tsabit, (dari kalangan sahabat), ‘urwah Sa’id Al-Zuhri
Abdullah Ibnu Umar, Al-Qasim, Ibnu Muhammad Ibnu Abi
bakar, Nafi, Abu Bakar, Ibnu Abdul Ar-Rahman, Ibnu
Hisyam dan Abu zinad (dari kalangan tabi’in)
b. Mekah, dengan tokoh-tokohnya Ali, Abdullah Ibnu Mas'ud,
sa’id Ibnu Abi waqash, Sa'id Ibnu Zaid, Khabbah Ibnu Al-
Arat Salman Al-Farisi, Abu zuhaifah, sahabat Masruq
ubaididah Al-Aswad syuraih, Ibrahim Sa’id Ibnu Zubair,
Amir Ibnu syurahil Asy-Syab’i (tabiin).
c. Bashrah, dengan tokoh-tokohnya Anas Ibnu Malik, ‘Utbah,
Imran Ibnu Husain, Abu barzah Ma’qil Ibnu yasar, Abu
bakrah, Abdul Ar-Rahman, Ibnu Sumirah, Abdullah Ibnu
syikhir, Jariyah Ibnu qudamah, sahabat Abu Al Aliyah Rafi’
Ibnu Mihram, Alriyahi, Al Hasan, Al Bisri, Muhammad Ibnu
Sirin abu sya’tsa, Jabir Ibnu Zaid, Qatadah Ibnu Abdullah,
Ibnu syi’kir Abu bardah Raja Ibnu Abi Musa tabiin.
d. Syam, dengan tokoh-tokohnya Muadz Ibnu Jabal, Ubaidah
Ibnu samit, Abu Darda (sahabat) Abu Idris Al-khaulani,
Qasibah Ibnu dzhumahul raja Ibnu haiwah tabiin
e. Mesir, dengan tokoh-tokohnya Abdullah Ibnu Amar uqabah
Ibnu Amir Khodijah Ibnu hudzaifah Abdullah Ibnu Haris
Abu Basrah Abu saat Al Khair marshad Al yaziri Yazid Ibnu
Abi Habib tabiin.

Pada periode ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh


orang-orang yang tidak bertanggung jawab hal ini terjadi setelah
wafatnya Ali radhiyallahu Anhu Pada masa ini umat Islam mulai
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: pertama, golongan
Ali Ibnu Abi Thalib yang kemudian dinamakan golongan Syiah.
kedua golongan khawarij yang menentang Ali dan dengan
muawiyah dan ketiga golongan jumhur golongan pemerintah
pada masa itu terpecahnya umat Islam tersebut memacu orang-
orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan
keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk
mendukung golongan mereka oleh sebab itulah mereka membuat
Hadits palsu dan menyamarkannya kepada masyarakat.

3. Masa Pengumpulan Dan Pembukuan Hadist Sejarah Dan


Faktor Pendorong Kodifikasi Hadist
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pada masa Rasulullah
Saw, hadits belumlah dikodifikasikan secara resmi, pada waktu itu,
secara umum pemeliharaan hadits lebih banyak terkonsentrasi pada
hafalan dan amalan para sahabat, dan terus mengalir pada generasi
selanjutnya dan hanya sebagian saja yang berlangsung secara
tertulis215. Fakta sejarah menunjukkan bahwa, penggagas secara
resmi penulisan hadits yakni Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang
termasuk pada golongan tabi‘in Sejak masa sebelum
pemerintahannya, daerah Islam telah meluas sampai daerah-daerah
di luar Jazirah Arab217. Ini membawa akibat, para sahabat menjadi
terpencar ke daerah-daerah Islam untuk mengembangkan Islam dan
membimbing masyarakat setempat, terutama dalam menyampaikan
pesan-pesan ilahiyah dan juga sunnah Rasullah Saw. Disamping itu,
terdapat pula kekhawatiran akan lenyapnya hadits seiring dengan
wafatnya ulama dari kalangan para sahabat dan tabi‘in218, ini
berarti bahwa, pada awal masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz,
jumlah sahabat yang masih hidup semakin sedikit. Padahal hadits
Nabi Muhammad Saw pada masa itu belumlah dibukukan secara
resmi.Yang lebih parah lagi, yang sedang dihadapi oleh khalifah
adalah telah semakin berkembangnya hadits-hadits palsu (hadits
maudhu‟) yang sudah barang tentu akan sangat mengancam
kelestarian hadits sebagai sumber ajaran agama. Khalifah Umar bin
Abdul Aziz melihat bahwa, Nabi Muhammad Saw dan para Khulafa
ar-Rasyidin, tidak membukukan hadits Nabi Muhammad Saw,
diantara sebabnya yang mendasar ialah untuk menjaga kemurnian
al-Qur‘an, yakni kekhawatiran bercampurnya al-Qur‘an dengan
yang bukan al-Qur‘an. Sedangkan pada masa pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz, al-Qur‘an telah selesai dikodifikasi secara
resmi219. Dengan demikian, bila haditshadits Nabi Muhammad Saw
dikodifikasikan, tidaklah akan mengganggu kemurnian al-Qur‘an.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pada penghujung tahun 100
H, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat intruksi kepada
para Gubernurnya dan juga kepada para ulama, untuk membukukan
hadits Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, latar belakang atau
motif khalifah Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan intruksi untuk
mengkodifikasi / membukukan hadits220 ialah :
1. Al-Qur‘an telah dibukukan dan telah tersebar luas, sehingga
tidak dikhawatirkan lagi akan bercampur dengan hadits.
2. Telah makin banyak para perawi/penghafal hadits yang
meninggal dunia. Bila keadaan demikian terus dibiarkan,
maka dikhawatirkan akan hilangnya hadits dalam bagian dari
agama.
3. Daerah Islam yang semakin meluas, peristiwa-peristiwa yang
dihadapi umat Islam semakin luas dan kompleks. Hal ini
berdampak pada perlunya hadits Nabi sebagai petunjuk
disamping al-Qur‘an.
4. Pemalsuan-pemalsuan hadits yang semakin
mengkhawatirkan. bila keadaan demikian terus dibiarkan,
maka kelestarian dan kemurnian ajaran Islam dapat
terancam. Maka diperlukan langkah pencegahan, dan salah
satunya dengan cara membukukan hadits, yang sekaligus
dapat menyelamatkannya dari pengaruh pemalsuan-
pemalsuan.
Di antara Gubernur yang menerima intruksi dari Khalifah
Umar bin Abdul Aziz itu ialah, Gubernur Madinah yang
bernama Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm. Atau
Miuhammad ibn Hazm, selain bertindak sebagai Gubernur,
beliau juga merupakan seorang ulama. Intruksi Khalifah itu
berisi, supaya Gubernur segera membukukan hadits-hadits yang
dihafal oleh penghafal-penghafal hadits di Madinah, dimana
intruksi itu berisi : Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari
Hadits Rasul lalu tulislah, karena aku takut ilmu akan lenyap
disebabkan meninggalnya para Ulama dan jangan diterima
selai hadits Rasul, dan hendaklah disebarluaskan serta
diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak
mengetahui dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu
tidak akan hancur sampai ia dirahasiakan.221
Diantara penghafal hadits di Madinah yang dikumpulkan
haditnya ialah, :
a. Amrah binti Abdir Rahman ibnu Sa‘ad ibnu Zurarah ibnu
Ades, seorang ahli fiqih, murid Sayyidah ‗Aisyah.
b. Al-Qasim ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar As-Shiddiq,
salah seorang pemuka tabi‘in dan salah seorang fuqaha tujuh.
(yang dimaksud fuqaha tujuh ialah ; Al-Qasim, Urwah bin
Zubair, Abu Bakar ibn Abdir Rahman, Sa‘id ibn Musayyab,
Abdillah bin Abdullah ibnu Utbah ibnu Mas‘ud, Kharijah
ibnu Zaid ibn Tsabit, dan Sulaiman ibnu Yassar.222
Selanjutnya, intruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga
telah dilaksanakan dengan baik oleh salah seorang ulama
hadits, yang masyhur sebagai ulama besar di Hijaz dan
Syam, bernama Abu Bakar Muhammad ibnu Muslim ibnu
Ubaidillah ibnu Syihab AzZuhri, yang dikenal juga dengan
Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhri. Muhammad ibnu Syihab
Az-Zuhri, setelah berhasil membukukan hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw, lalu mengirimkannya kitabkitab haditsnya
itu kepada penguasa-penguas daerah.
Dengan demikian, maka pelopor pembukuan hadits yang
pertama,atas intruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz ialah ;
1. Muhammad ibn Hazm (wafat tahun 117 H)
2. Muhammad ibn Syihab Az-Zuhri (wafat tahun 124 H)

Terkait dengan kedua tokoh yang awal membukukan hadits


ini, para ahli sejarah dan ulama hadits berpendapat bahwa,
yang lebih tepat disebut sebagai kodifikator hadits yang
pertama ialah, Muhammad ibn Syihab az-Zuhri. Alasannya,
karena Muhammad ibn Syihab Az-Zuhri mempunyai
beberapa kelebihan dalam membukukan hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw, bila dibandingkan degan Muhammad ibn
Hazm. Diantara kelebihan az-Zuhri, ialah :

1) Dikenal sebagai ulama besar di bidang hadits,


dibandingkan dengan ulama-ulama hadits di masanya.
2) Beliau membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah,
sedangkan Muhammad ibn Hazm, tidak mencakup
seluruh hadits yang ada di Madinah.
3) Beliau mengirimkan hasil pembukuannya kepada seluruh
penguasa di daerah, masing-masing satu rangkap.
Dengan demikian penyebaran hadits semakin cepat.223
Selain dari kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan,
salah satu faktor yang mendukung bahwa az-Zuhri
merupakan tokoh kodifikator hadits pertama ialah karena
pernyataannya Kami diperintah Khalifah Umar bin
Abdul Aziz untuk menghimpun sunnah, kami telah
melaksanakannya dari buku ke buku, kemudian dikirim
ke setiap wilayah kekasaan Sultan satu buku.‖224
Sayangnya, bahwa kedua macam kitab pembukuan hadits
tersebut, baik yang disusun oleh Muhammad ibn Hazm
maupun oleh Muhammad ibn Syihab Az-Zuhri, telah
lama hilang dan sampai sekarang tidak diketahui dimana
berada.Selanjutnya, setelah masa Muhammad ibn Hazm
dan Muhammad ibn Syihab Az-Zuhri berlalu, maka
muncullah masa pembukuan hadits selanjutnya (sebagai
masa pembukuan hadits yang kedua), atas anjuran
khalifah-khalifah Abbasiyah, diantaranya, oleh khalifah
Abu Abbas AsSaffah.
Ulama-ulama yang terkenal telah berhasil membukukan
hadits-hadits Nabi, setelah masa Muhammad ibn Hazm
dan Muhammad ibn Syihab Az-Zuhri, di antaranya :
1. Di Makkah : Ibnu Juraij (80 – 150 H / 669 – 767 M)
2. Di Madinah : Ibnu Ishaq (wafat 151 H / 768 M),
Malik bin Anas (93 – 179 H / 703 – 798 M)
3. Di Bashrah : Ar-Rabi‘ ibn Shabih ( wafat 160 H),
Sa‘id ibn Abi Arubah (wafat 156 H), dan Hammad
ibn Salamah (wafat 176 H)
4. Di Kuffah : Sufyan Ats-Tsauri (wafat 161 H)
5. Di Syam : Al-Auza‘i (wafat 156 H)
6. Di Wasith : Husyain Al-Wasith (wafat 188 H / 804
M)
7. Di Yaman : Ma‘mar Al-Azdi (95 – 153 H / 753 – 770
M)
8. Di Rei : Jarir Ad-Dhabi (110 – 188 H / 728 – 805 M)
9. Di Khurasan : Ibnu Mubarak (118 – 181 H / 735 –
797 H)
10. Di Mesir : Al-Laits ibn Sa‘ad (wafat 175 H)225 Para
ulama di atas, masa hidupnya hampir bersamaan.
Karena itu, sulit ditentukan siapa yang lebih tepat untuk
disebut sebagai kodifikator hadits yang pertama. Selain
itu, bahwa mereka bersama telah berguru kepada
Muhammad ibn Hazm dan Muhammad ibn Syihab Az-
Zuhri.

4. Hadist abad ke III-VII

Pada abad ketiga hijriah ini, merupakan puncak usaha


pembukuan250 hadits sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab
Al-Muwathtaha‟ Imam Malik tersebar dalam masyarakat dan
disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadits,
mengumpul, membukukannya semakin meningkat dan
mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke
tempat yang lain dari sebuah negeri ke negeri yang lain
untuk mencari hadits.251 Hampir seluruh aspek ilmu
keislaman berkembang pesat di abad ini, tak terkecuali ilmu
hadits. Dalam perkembangan ilmu hadits telah terjadi
kegiatan yang pesat dalam rihlah hadits (pengembaraan
hadits), penyusunan biografi perawi hadits („ilm alRijal al-
Hadits) dan pengembangan modifikasi bentuk dan penulisan
kitab hadits seperti kitab-kitab musnad, shahih, dan sunan.
Pada masa itu juga muncul tokoh-tokoh ilmu hadits dan
khususnya para kritikus hadits yang mempunyai otoritas
sangat tinggi. Diantara mereka adalah Ahmad bin Hanbal,
ishak bin Muslim, Abu Abdullah al-Bukhari, Muslim bin
Hajjaj, Abu Zur‘ah, Abu Hatim dan lainlainnya.252
Karakterisktik kodifikasi hadits pada abad ini dapat
dipaparkan secara singkat sebagai berikut: Pertama, dalam
penyusunan kitab hadits terjadi pemisahan secara jelas antara
hadits Rasul, dengan al-Qur‘an perkataan sahabat dan fatwa-
fatwa tabi‘in. Kedua, dijelaskan kualitas hadits, shahih dan
dhaif. Baru pada pertengahan abad III H. Terjadi
penambahan kategori kualitas sanad hadits di antara kedua
hadits di atas yaitu hadits hasan. Ketiga, terjadi penambahan
variasi bentuk kitab-kitab hadits yang disusun, yaitu:
berbentuk musnad (mengumpulkan sanad berdasarkan nama
perawi pertama; sahabat), shahih (memuat kualitas hadits
shahih saja), sunan (kitab yang tidak memuat hadits munkar,
tapi memuat hadits shahih, hasan dan dhaif), dan kitab
tentang hadits mukhtalif seperti kitab ikhtilaf al-hadits oleh
al-Syafi‘i, ikhtilaf al-hadits oleh Ali bin al-Madini, dan
ta‟wil mukhtalif al-hadits oleh ibnu Qutaibah.

5. Hadist pada masa pertengahan abad VII-sekarang

Setelah Baghdad direbut dan khalifah Abbasiyah ditaklukkan


(656H), maka tentara Tartar melanjutkan penyerangannya ke Haleb,
Damaskus, dan lain-lain (658 H). Daulah Ayubiyah di Mesir yang
pernah jaya di bawah pahlawan Islam dalam perang salib, telah runtuh
dan dikuasai oleh Daulah Mamalik. Mengganas penyerangan tentara
Tartar, maka orang-orang Mesir bertekad melawan teTartar dan
akhirnya tentara yang dikuasai oleh cucu Jegis Khan ini berhasil
dihancurkan. Daulah Mamalik, ingin akui sebagai penguasa dunia
Islam. Secara politis, Bani Abbasiyah masih diperlukan namanya untuk
kewibawaan daerah-daerah Islam diluar Mesir. Oleh karena itu tatkala
salah seorang dari Bani Abbasiyah datang ke Mesir, maka di lantiklah
menjadi khalifah oleh raja Adh-Dhahir Baibaras. Sejak tahun pembaitan
ini, kota Kairo merupakan kota Khalifah Bani Abbasiyah sekedar
simbol semata, agar daerah-daerah Islam dapat mengakui Mesir sebagai
pusat Pemerintahan Islam. Pada permulaan abad VIII, muncullah
seorang tokoh di Turki, bernama Utsman Kajuk. Ia membina kerajaan di
Turki dari puingpuing peniggalan Bani Saljuk yang masih ada di Asia
Tengah. Utsman bersama keturunannya berusaha menaklukkan
kerajaankerajaan kecil yang ada disekitarnya, sehingga dengan demikian
Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Daulah Utsmaniyah akhirnya
berhasil menaklukkan Konstantinopel dan Mesir, sekaligus
menghilangkan khalifah Abbasiyah. Mulai saat itu, berpindahlah
khalifah Islamiyah dari Mesir ke Konstantinnopel. Daulah Utsmaniyah
makin jaya dan besar. Tetapi di balik itu, cahaya Islam di Andalusia
yang telah bersinar sekitar delapan abad itu, makin redup dan pudar. 298
Pada permulaana abad XIII, Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali,
mulai bangkit memulihkan kekuatannya dan berusaha mengembalikan
kejayaan Mesir pada masa silam. Bertepatan pada masa itu pula,
kerajaan-kerajaan Eropa telah makin kuat dan ingin menguasai dunia.
Kerajaan-kerajaan Eropa yang di semanggati oleh perang salib itu,
senantiasa berusaha untuk menumbangkan Daulah Islamiyah dan
menguasai kaum Muslimin. Akhirnya Daulah Utsmaniyah runtuh lalu
mereka taklukkan dan cahaya Islam makin meredup karena tekanan
penjajah. Sulitlah hubungan dari Mesir ke Hijaz atau ke Syam dan lain-
lain, sehingga peraktis hilanglah perlawatan para ulama untuk
menyebarkan ajaran-ajaran Islam akibat penjajahan bangsa Eropa
terhadap daerah-daerah Islam. Ulama-ulama Islam barulah mampu
mengadakan kontak antar mereka, setelah semangat kebangkitan Islam
mulai tumbuh dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa Eropa di
negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam.

6. Analisis larangan penulisan hadis pada masa Nabi SAW

Mengenai penulisan hadis terdapat dua kelompok hadis yang


nampaknya bertentangan, yaitu antara hadis larangan dan anjuran. Di
satu pihak banyak hadis yang melarang penulisan hadis, dan di pihak
lain terdapat pula hadis yang dapat dipahami sebagai anjuran atau
setidak-tidaknya sebagai pembolehan penulisan hadis. Menurut Rasyid
Ridha, di antara hadis larangan yang paling sahih (ashah) adalah hadis
Abu Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh Muslim:

‫ني‬TT‫ني ومن كتب ع‬TT‫وا ع‬TT‫ال ال تكتب‬TT‫لم ق‬TT‫ه وس‬TT‫عن أبي سعيد الخدري أن رسول هللا صلى هللا علي‬
‫غير القرآن فليمحه‬

Artinya: “Jangan kamu menulis apapun yang bersumber dariku kecuali


kecuali ayat-ayat Alquran, dan barangsiapa yang telah menulis apa yang
bersumber dariku selain Alquran, maka hendaklah dia menghapusnya”.
( HR. Muslim, t.th.: 598)

Sedangkan yang paling sahih dari hadis-hadis yang membolehkan


penulisan hadis adalah hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah:

‫أ‬
‫كتبوا ألبى شاة‬

Artinya: “Tulislah (hadis) untuk Abi Syah” (Ahmad Ibnu Hanbal, tth: 232).

Walaupun pada lahirnya kedua hadis di atas bertentangan, namun menurut


Rasyid Ridha, sebagaimana dikutip Muhammad Abu Rayyah, keduanya dapat
dikompromikan. Menurutnya Ridha, larangan dalam hadis Abu Sa’id
dimaksudkan larangan menjadikan hadis sama kedudukannya dengan
Alquran (Muhammad Abu Rayyah, t. Th: 48). Sedangkan Abu
Rayyah sendiri berpendapat lain. Ia mengatakan, jika skiranya kedua hadis itu
bertentangan, maka yang satu merupakan nāsikh bagi yang lain. Menurutnya
hadis yang menjadi nāsikh itu adalah hadis yang melarang penulisan. Alasan
yang diajukan adalah: (1) Sahabat, setelah Nabi wafat, tidak menyenangi
penulisan hadis, dan (2) Para sahabat tidak pernah membukukan hadis. Kedua
argumen itu ia perkuat dengan ucapan-ucapan Abi Sa’id, Ali, dan Umar tentang
keengganan mereka menulis hadis (Muhammad Abu Rayyah, t. Th: 49). Jadi
menurut Abu Rayyah, hadis larangan lebih akhir wurûdnya dari pada hadis
yang membolehkan. Dalam kitabnya Difā’ ‘An al-Sunnah, (Muhammad Abu
Syuhbah, t.th: 20-21) menjelaskan bahwa menurut lahir hadis, larangan
penulisan itu muncul karena Rasulullah kuatir terjadi percampur-adukan
Alquran dan hadis Nabi, atau beliau takut orang lebih mengutamakan hadis dari
pada Alquran, lebih-lebih lagi kebanyakan orang pada masa itu tidak tahu tulis
baca; atau mungkin juga larangan itu ditujukan kepada orang yang kuat
hafalannya sehingga ia tidak perlu menulis, hanya membuang-buang waktu
saja. Alternatif terakhir ini tampaknya kurang kuat. Sebagian ulama, lanjut Abu
Syuhbah, mengatakan bahwa hadis Abu Hurairah merupakan nāsikh bagi hadis
Abu Sa’id. Argumennya adalah: (1) Kisah Abu Syah terjadi pada tahun ke 8 H.,
yakni tahun penaklukan Mekkah, dan (2) Hadis itu diriwayatkan oleh Abu
Hurairah yang masuk Islam pada tahun ke 7 H (Muhammad Abu Syuhbah, t. th:
20-21). Jadi, menurut kedua argumen ini, hadis larangan lebih awal wurûdnya
dari pada hadis yang membolehkan; dan hadis larangan itu dipandang mansûkh.
Kedua argumen ini lebih kuat dibandingkan dengan argumen yang dimajukan
oleh Abu Rayyah di atas. Menurut penulis, nabi melarang menulis hadis selain
karena sedikitnya sahabat yang pandai tulis baca waktu itu, juga karena nabi
kuatir akan bercampur aduknya hadis-hadis dengan ayat-ayat Alquran.

Jadi menurut penulis kekhawatiran akan terjadi percampur-adukan


hadis-hadis dengan ayat-ayat Alquran termasuk juga dalam salah satu
pertimbangan Nabi dalam melarang penulisan hadis, karena bila tulisan
seseorang tidak rapi dan ia tidak memisahkan Alquran dan hadis dalam
penulisan, maka percampur-adukan itu bisa saja terjadi dengan alasan:

1) Ayat-ayat yang turun pada masa awal Islam (periode Mekkah), yang
merupakan masa larangan penulisan hadis, adalah ayat-ayat akidah,
yang ayatnya pendek-pendek. Pendek-pendeknya ayat itu memiliki
persamaan dengan hadis (ucapan Nabi juga pendek-pendek).
2) Lembaran (shahῐfah) yang di dalamnya dituliskan ayat-ayat Alquran
dan hadis akan bertahan (dapat disimpan) lama, dan ketika orang yang
datang belakangan membacanya tentu akan ragu dan tidak dapat
membedakan antara ayat Alquran dan hadis, mengingat ucapan Nabi
pun mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan dengan ucapan
oranbiasa, apalagi kalau yang membacanya itu bukan orang Arab. Dan
Nabi pasti sudah memperhitungkan bahwa agama Islam akan tersebar
ke luar jazirah Arab.
III SIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai