Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ULUMUL HADIST

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadits

Dosen pengampu: Muh. Yunus Anwar, Lc., M. Ag

Dibuat oleh:

Saidir Ali(10120220091)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2023/2024
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.


Istilah hadis biasanya mengacu pada segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW., berupa sabda, perbuatan, persetujuan, dan
sifatnya (fisik ataupun psikis), baik yang terjadi sebelum maupun setelah
kenabiannya. Terma hadis terkadang dipertukarkan dengan istilah sunnah.
Sebagian ulama hadis menganggap kedua istilah tersebut adalah sinonim
(mutaradif), sementara sebagian yang lainnya ada yang membedakan
antara keduanya. Sejarah dan perkembangan hadis dapat dilihat dari dua
aspek penting, yaitu periwayatan dan pen-dewan-annya. Dari keduanya
dapat diketahui proses dan transformasi yang berkaitan dengan perkataan,
perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi SAW kepada para sahabat
dan seterusnya hingga munculnya kitab-kitab himpunan hadis untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan ini.

Terkait dengan masa pertumbuhan dan perkembangan hadis, para


ulama berbeda dalam menyusunnya. Kelahiran hadis sebagaimana
dimaksud terkait langsung dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, sebagai
sumber hadis, dimana beliau telah membina umatnya selama kurang lebih
23 tahun, dan masa tersebut merupakan kurun waktu turunnya wahyu (al-
Qur’an), berbarengan dengan itu keluar pula hadis. Lahirnya hadis pada
masaNabi adalah adanya interaksi Rasullah sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan) terhadap ayat ayat al-Qur’an kepada sahabat atau umat lainnya,
dalam rangka penyampaian risalah, dan juga karena adanya berbagai
persoalan hidup yang dihadapi oleh umat dan dibutuhkan solusi atau jalan
pemecahannya dari Nabi SAW, lalu para sahabat memahami dan
menghafal apa yang telah diterimanya dari Nabi SAW.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadist pada masa rasul?
2. Bagaimana hadist pada masa sahabat?
3. Bagaimana hadist pada masa tabi'in?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hadist pada masa rasul
2. Untuk mengetahui hadist pada masa sahabat
3. Untuk mengetahui hadist pada masa tabi'in
PEMBHASAN

A. Hadist Pada Masa Rasul


1. Beberapa petunjuk rasul SAW
Hadis pada masa dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al-Takwin,
yakni masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. 1 Keadaan
seperti ini menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai
pewaris pertama jaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah dijelaskan
Nabi melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang
didengar dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi
amaliah dan ubudiah mereka. 2 Rasulullah SAW juga memerintahkan
kepada para sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan dan
menyebarluaskan hadis-hadis. Nabi sendiri tidak hanya memerintahkan,
namun beliau juga banyak memberi spirit melalui doa-doanya, dan tak
jarang Nabi juga menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang
menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain. 3 Hal itulah
yang kemudian memotivasi para sahabat untuk menghafalkan hadis,
disamping para sahabat adalah orang Arab tulen yang mayoritas tidak bisa
baca-tulis, namun demikian mereka mempunyai kemampuan hafalan yang
luar biasa, karena menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah
diwarisinya.4

1 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 50


2 Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 70
3 Ahmad Isnaeni, Historisitas Hadis dalam Kacamata M. Mustafa Azami, QUHAS: Jurnal of Qur’an and

Hadith Studies, Volume 3, Nomor 1


4 Muhammad Abu Zahwi, al-Hadis wa alMuhaddisun al-Inayah al-Ummah al-Islamiyah bi alsunnah bi al-

Muhammadiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr alArabi, t.t), 49


2. Cara menyampaikan hadist
Para sahabat pun dapat secara langsung memperoleh hadis dari
Rasulullah SAW sebagai sumber hadis. Tempat yang dijadikan Nabi dalam
menyampaikan hadis sangat fleksibel, terkadang hadis disampaikan ketika
Nabi bertemu dengan sahabatnya di Masjid, pasar, ketika dalam perjalanan,
dan terkadang juga di rumah Nabi sendiri. Selain itu, ada beberapa cara
Rasulullah SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu: Pertama,
melalui majlis ilmu, yakni temat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membina para jamaah. Kedua, dalam banyak
kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para
sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika
hadis yang disampaikan berkaitan dengan persoalan keluarga dan
kebutuhan biologis, maka hadis tersebut disampaikan melalui istri-istri
Nabi sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka,
misalnya ketika haji wada’ dan fath al-Makkah. Ketika menunaikan ibadah
haji pada tahun 10 H, Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah
di depan ratusan ribu kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji,
isinya terkait dengan bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan
HAM yang meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan
ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Selain itu juga adanya larangan dari
Nabi untuk menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan juga
perintah untuk menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk
selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadis.5

5
Lukman Zain, Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, Jurnal Driya alAfkar,
Volume 2, Nomor 01, (Juni 2014),
3. Keadaan para sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadis
Respon sahabat dalam menerima dan menguasai hadis tidak selalu
sama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya perbedaan
di antara mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan
juga soal kesanggupan bertanya pada sahabat lain, serta berbedanya waktu
masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW. Ada
beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima
hadis dari Rasulullah, misalnya para sahabat yang tergolong kelompok Al-
Sabiqun al-Awwalun (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan,
Ali ibn Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud), Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah
dan Ummu Salamah), sahabat yang meskipun tidak lama bersama Nabi,
akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-
sungguh seperti Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik,
dan Abdullah ibn Abbas yang merupakan sahabat yang secara sungguh-
sungguh mengikuti majlis Nabi, banyak bertanya kepada sahabat lain
meskipun dari sudut usia tergolong jauh dari masa hidup Nabi.6 Hadis
yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui beberapa cara,
menurut Muhammad Mustafa Azami ada tiga cara, yaitu: Pertama,
menyampaikan hadis dengan kata-kata. Rasul banyak mengadakan
pengajaran-pengajaran kepada sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk
memudahkan pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi mengulang-
ulang perkataannya sampai tiga kali. Kedua, menyampaikan hadis melalui
media tertulis atau Nabi mendiktekan kepada sahabat yang pandai menulis.
Hal ini menyangkut seluruh surat Nabi yang ditujukan kepada para raja,
penguasa, gubernur-gubernur muslim. Beberapa surat tersebut berisi
tentang ketetapan hukum Islam, seperti ketentuan tentang zakat dan tata
cara peribadatan. Ketiga, menyampaikan hadis dengan mempraktek secara

6M.M.Azamiy, Dirasat fi al-Hadi al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, yang diterjemahkan oleh Ali Mustafa
Ya’qub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), 78
langsung di depan para sahabat, misalnya ketika beliau mengajarkan cara
berwudhu, shalat, puasa, menunaikan ibadah haji dan sebagainya.7

4. Pemeliharaan hadist dalam hafalan dan tulisan


Pada masa Nabi SAW, hadis tidak ditulis secara resmi sebagaimana
al-Qur’an, hal ini dikarenakan adanya larangan dari Nabi. Larangan
menulis hadis dari Rasul sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said
al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Rasulullah SAW telah
bersabda, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku,
kecuali al-Qur’an, dan barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-
Qur’an, maka hendaklah ia menghapuskannya.” 8 Pelarangan Nabi dalam
penulisan hadis tersebut secara implisit menunjukkan adanya kekhawatiran
dari Nabi apabila hadis yang ditulis akan bercampur baur dengan catatan
ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun demikian, ada juga riwayat-riwayat yang
menyatakan bahwa pada masa Rasul ada sebagian sahabat yang memiliki
lembaran-lembaran (sahifah) yang berisi tentang catatan hadis, misalnya
Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan lembarannya yang diberi nama
alSahifah al-Shadiqah, dinamakan demikian karena ia menulis secara
langsung dari Rasulullah sendiri, sehingga periwayatannya di percaya
kebenarannya.9 Begitu juga dengan Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik,
keduanya sama-sama memiliki catatan hadis. Hal ini bukan berarti mereka
melanggar akan larangan Rasul tentang penulisan hadis, namun karena
memang ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasul mengizinkan para
sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana diriwayatkan bahwa para
sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn al-Ash yang selalu menulis apa
saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena menurut mereka Rasul
terkadang dalam keadaan marah, sehingga ucapannya tidak termasuk
ajaran syar’i, tetapi setelah diadukan pada Rasulullah, beliau bersabda:

7 Muhammad Mustafa Azami, Studies In Hadith Methodology and Literature, (Indiana: American Trust
Publications, 1977), 10
8 Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, alDarimi dan Ahmad ibn Hanbal. A.J.Wensinck, alMu’jam al-

Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi VI, (Leiden: E.J. Brill, 1936), 176
9 Al-Hasani Abd al-Majid Hasyim, Ushul alHadis al-Nabawi, (Kairo: al-Hadisah li al Thaba’ah, t.t), 15
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi zat yang jiwaku berada
ditanganNya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” 10 Dari sini
dapat dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu riwayat
menyatakan bahwa Nabi melarang penulisan hadis dan di riwayat lain
menyatakan bahwa Rasul mengizinkannya. Dalam memandang hal ini,
para ulama berbeda pendapat, dan secara garis besar terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa riwayat yang melarang penulisan
hadis dinasakh oleh riwayat yang mengizinkannya. Menurut mereka,
pelarangan penulisan hadis oleh Nabi terjadi pada awal-awal Islam, karena
dikhawatirkan adanya percampuran antara hadis dan ayat al-Qur’an, jadi
hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemurnian ayat al-Qur’an. 11
Namun ketika kekhawatiran tersebut mulai hilang karena para sahabat
telah mengetahui dan terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an,
sehingga mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan mana yang
bukan, maka Rasul mengizinkan mereka untuk menuliskan hadis. Pendapat
kedua menyatakan bahwa pada dasarnya kedua riwayat tersebut tidak
bertentangan. Mereka menyatakan bahwa larangan itu dikhususkan kepada
mereka yang dikhawatirkan akan mencampur adukkan hadis dan alQur’an,
dan diizinkan bagi mereka yang tidak dikhawatirkan mencampur adukkan
keduanya, yaitu izin seperti yang dilakukan Nabi kepada Abdullah ibn
Amr ibn al-Ash.12

10 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Hadis,60


11 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah,2008)4522Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu
Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), 37
12
Mohammad Nor Ichwan. 2007. Studi Ilmu Hadis. (Semarang: RaSAIL Media Group).
B. Hadist pada masa sahabat
1. Memelihara amanah rasul SAW.
Sesungguhnya minat para sahabat terhadap ajaran agama Islam
yang mereka peroleh dari Nabi sangatlah besar. Keseriusan ini terlihat dari
semangat para sahabat dalam mengikuti kajian halaqah bersama Nabi.
Kadangkala Nabi berada di atas mimbar atau ketika Nabi duduk bersama
sahabat untuk mengajarkan hal-hal penting masalah agama. Jumlah
sahabat yang mengikuti pengajaran Nabi pun juga tidak menentu, sesuai
dengan kesempatan mereka. Hadis yang mereka terima tidak serta merta
mereka hafalkan tetapi seringkali didiskusikan setelah proses penyampaian
dari Nabi untuk memantapkan pemahaman mereka sehingga daya hafal
dan ingatan para sahabat bertambah kuat. Selain itu untuk menjaga
keakuratan hafalan, beberapa cara telah ditempuh oleh para sahabat.
Adakalanya para sahabat mengecek langsung hafalannya di hadapan Nabi.
Ini terbukti berdasarkan pengalaman seorang sahabat yang harus antri
ketika hendak menghadap Nabi untuk diperiksa hafalannya. Kritik Nabi
terhadap kekeliruan dan kesalalahan para sahabat menjadi pengingat
kesalahan mereka. Selain itu, para sahabat saling mengingatkan satu sama
lain agar pengajaran yang mereka terima dari Nabi jangan sampai
dipahami dengan pemahaman yang salah dan hilang begitu saja. Sahabat
Ibnu ‘Abba>s misalnya, dikenal sebagai seorang sahabat yang gemar
memberikan motivasi kepada sahabat yang lain. Selain itu juga
terdapatsahabat Ibnu Mas’ud, Abu Said al Khudri dan Ali bin Abi
Thalib.13

2. Kehati-hatian para sahabat menerima dan meriwayatkan hadist


Para sahabat, ahli hadis, dan ahli fikih telah mati-matian menjaga
hadis dan menyortirnya dari segala bentuk pemalsuan dan penyelewengan.
Mereka rela mengorbankan setiap harta dan keluarganya demi
mendapatkan hadis. Mereka bepergian ke berbagai daerah hanya untuk

13 Mohammad Nor Ichwan. 2007. Studi Ilmu Hadis. (Semarang: RaSAIL Media Group).
mendapatkan hadis dari seorang ahli hadis. Ini dilakukan demi menjaga
ketersambungan hadis dan menjaga kualitas hadis. Jika melihat usaha dan
perjuangan mereka dalam menjaga keaslian hadis, bagaimana mungkin
mereka yang telah beriman kepada Nabi, meneladani setiap tingkah dan
ucapan Nabi, menjadikan Nabi sebagai world view dan teladan utama, rela
meninggalkan harta dan keluarganya hanya untuk mendapatkan hadis,
begitu tega melakukan tindakan pemalsuan terhadap hadis Nabi. Sungguh
ironi sekali. Salah satu bentuk usaha para sahabat dalam menjaga hadis
adalah dengan mengendalikan diri untuk tidak bebas dalam
meriwayatkannya. Ini dimaksudkan agar terhindar dari kesalahan dan
kekeliruan ketika meriwayatkannya, sebab lumrahnya semakin banyak
menyampaikan sesuatu semakin berpeluang besar terjadi kesalahan di
dalamnya. 14 Meskipun beberapa sahabat sudah memiliki catatan-catatan
hadis, namun penyebaran hadis masih terbatas sehingga kebanyakan para
sahabat menyimpannya dalam kalbu dan ingatan mereka. di masa ‘Umar,
hadis masih belum banyak disebarkan ke luar wilayah maupun di dalam
Madinah sendiri. Terbatasnya penyebaran hadis keluar Madinah tersebut
disebabkan karena Umar melarang para sahabat meninggalkan kota
Madinah kecuali untuk kepentingan yang sangat mendesak. Sedang
terbatasnya penyebaran hadis di dalam Madinah karena diharapkan orang-
orang lebih memusatkan diri untuk mempelajari al Qur’an dan hadis Nabi.
Kebijakan ini diambil untuk mencegah tercampurnya antara al Qur’an
dengan hadis sehingga mampu untuk menghindarkan dari kesalahan dan
kekeliruan dalam periwayatannya.15

14
Muhammad bin al Bashi}afir al Azhari. 1985. al Tah}dzir al Muslimin. (Beirut: Dar Ibn Kathir).

15 Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari. 1987. al-Jami’ al-Sahih. (Beirut: Dar Ibnu Kathir).
3. Upaya para ulama dalam mentaufiqkan hadist tentang larangan menulis
hadist
a. Larangan menulis hadis terjadi pada periode permulaan,
sedangkan izin penulisannya diberikan pada periode akhir
kerasulan.
b. Larangan penulisan hadis itu ditujukan bagi orang yang kuat
hafalannya dan tidak dapat menulis dengan baik, serta
dikhawatirkan salah dan bercampur dengan alQur‟an. Izin
menulis hadis diberikan kepada orang yang pandai menulis dan
tidak dikhawatirkan salah serta bercampur dengan al-Qur’an.
c. Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis
dikhawatirkan tulisannya keliru, sementara orang yang pandai
menulis tidak dilarang menulis hadis.
d. Larangan menulis hadis dicabut (di-mansukh) oleh izin menulis
hadis, karena tidak dikhawatirkan tercampurnya catatan hadis
dengan al-Qur‟an.
e. Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadis
bersifat khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan
mencampurkan catatan hadis dan catatan alQur‟an.
f. Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal, sedangkan izin
ditujukan untuk sekadar dalam bentuk catatan yang dipakai
sendiri.
g. Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan
dicatat. Adapun ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan
dicatat, maka penulisan hadis diizinkan.16
Dari dua versi hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak
mungkin munculnya kedua versi tersebut dalam satu waktu dan serentak.
Dalam hal ini, bahwa kemungkinan munculnya pelarangan pencatatan

16
Idri. Hadis dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis Nabi. Jakarta:
Kencana, 2017
hadis lebih dahulu ada dari pada pembolehan pencatatan hadis.
Diperbolehkannya pencatatan hadis itu sendiri setelah hilangnya sebab-
sebab yang berimplikasi pada pelarangan. Para sahabat pada mulanya
selalu bersegera mencatat apa saja yang terjadi dan yang diajarkan oleh
Rasulullah, dan hal itu diperbolehkannya. Terlepas dari adanya hadis-hadis
yang bertentangan dalam masalah penulisan hadis, ternyata di antara para
sahabat terdapat mereka yang memiliki kumpulan-kumpulan hadis dalam
bentuk tertulis secara pribadi.

C. Hadist pada masa tabi'in


1. Sikap dan perhatian tabi'in terhadap hadist
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih
sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara
periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan
hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits
dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada
masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada
periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang
aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi
menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan
tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan
kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak
timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan
masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits
mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan
Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu
al-Balaghah, "Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang
mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah
sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah
(Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits
hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat
dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat
kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".17
2. Pusat pusat kegiatan pembinaan hadist
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam
meriwayatkan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari
hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam,
Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah. Karena disinilah Rasul
Saw menetap setelah hijrah. Disini pula Rasul Saw membina masyarakat
Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Ansar, dari berbagai
suku atau kabilah, disamping dilidunginya umat-umat non Muslim, seperti
Yahudi. Dan para sahabat yang menetap disini diantaranya Khulafa Al-
Rasyidin, Abu Hurairah, Siti ‘Aisyah, abdullah ibn Umar dan Abu Said Al-
Khudri, dengan menghasilkan para pembesar Tabi’in, seperti Sa’id Ibn Al-
Musyayyab, ‘Urwah Ibn Zubair, Ibn Shihab Al-Zuhri, Ubaidullah
Ibn ’Utbah Ibn Mas’ud dan Salim Ibn Abdillah Ibn Umar.18
3. Para penulis di kalangan tabi'in
Di antara para tabi’in yang membina hadis di Makkah seperti
Mujtahid ibn Jabar, Atha ibn Abi Rabah, Thawus ibn kaisan, dan Ikrimah
maula Ibn Abbas. Di Kufah, ialah Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid Al-
Nakha’i, Said ibn Zubair Al-Asadi, Amir ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrahim
Al-Nakha’i, dan abu Ishaq Al-sa’bi.di Basrah, ialah Hasan Al-basri,
Muhammad ibn sirrin, Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibnu ‘Ubaid, Abdullah
ibn ‘Aun, Khatadah ibn Du’amah Al-Sudusi, dan Hisyam ibn Hasan.di
Syam, ialah Salim ibn Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu

17 Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits I. Penerj : Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung : Remaja Rosda Karya. 1995

18 Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet. Ke-11 1993.
Sulaiman Al-Darani, dan Umar ibn hana’i. Di Mesir, ialah Amr ibn Al-
Haris, Khair ibn Nu’aimi Al-hadrami, Yazid ibn Abi habib, Abdullah ibn
Abi jafar, dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil. Di Andalus, ialah Ziyad
ibn An’am Al-Mu’afil, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Rafi’, dan
Muslim ibn Yasar. Di Yaman, ialah Hammam ibn Munabah dan Wahab
ibn Munabah, Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid. Kemudian di Khurasan,
para sahabat yang terjun, antara lain Muhammad ibn Ziyad ibn Tsabit Al-
Anhsari, dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.19

4. Perpecahan politik dan pemalsuan hadist


Pergelokan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya
perang Jamal dan perang sififin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali
ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan
terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok (Khawarij, Syiah,
Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga
kelompok tersebut).
Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan muncul
hadis-hadis palsu ( Maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya
masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan- lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah lahirnya rencana dan
usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai
upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.20

19 Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2003
20
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4, 2003.
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

hadis juga telah dipelihara dengan baik sejak dari Wurudnya dari
Rasulullah sampai dengan sekarang. Pada masa Rasulullah, penulisan
hadis tidak umum dilakukan, karena ada larangan penulisan hadis dari
Rasulullah sendiri. Tetapi larangan itu sebenarnya tidak tentu saja,karena
ada juga hadis yang bertindak penulisan hadis. Rasulullah khawatir
penganut menulis hadis disebabkan oleh dua faktor.Pertama, karena
Rasulullah kuatir akan bercampur baur antara ayat-ayat Alquran dan hadis-
hadis.Faktorkedua adalah karena para sahabat yang bisa baca tulis waktu
itu sangat sedikit,dan mereka yang sangat sediki titu diharapkan bisa fokus
melaksanakan penulisan Alquran.

Usaha para sahabat dalam menjaga hadis dari segala bentuk


kekeliruan dan kesalahan memang sangatlah besar, sebab mereka
menyadari bahwa hadis menjadi satu-satunya warisan yang ditinggalkan
Rasulullah kepada umatnya selain al Qur’an, sebagaimana yang pernah
dikuatkan oleh Rasulullah dalam hadisnya “Aku tinggalkan dua perkara
kepada kalian semua, yang tidak akan menyesatkan kalian selamanya
jika berpegang teguh terhadap keduanya, yaitu al Qur’an dan
sunah”.Artinya bahwa sejak Rasulullah masih hidup sebenarnya beliau
telah berwasiat kepada para sahabat untuk menjaga keberadaan hadis
sehingga bisa menjadi pedoman untuk umat Islam seluruhnya.

Adapun cara periwayatan hadits pada masa Tabi’in, yang


mengikuti jejak para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh
berbeda. Hanya saja pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam
satu mushaf. Pada masa tabi’in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh
untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin maraknya
hadits-hadits palsu yang muncul dari beberapa golongan untuk
kepentingan politik.

B. Saran
Dengan selesainya makalah ini tentunya masih banyak yang kurang
didalamnyai maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang
sifatnya membangun dari Bapak dosen yang membawakan mata kuliah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015),


50
Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 70
Ahmad Isnaeni, Historisitas Hadis dalam Kacamata M. Mustafa Azami, QUHAS:
Jurnal of Qur’an and Hadith Studies, Volume 3, Nomor 1,
Muhammad Abu Zahwi, al-Hadis wa alMuhaddisun al-Inayah al-Ummah al-
Islamiyah bi alsunnah bi al-Muhammadiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr alArabi,
t.t), 49
Lukman Zain, Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, Jurnal
Driya alAfkar, Volume 2, Nomor 01, (Juni 2014),
M.M.Azamiy, Dirasat fi al-Hadi al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, yang
diterjemahkan oleh Ali Mustafa Ya’qub dengan judul Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), 78
Muhammad Mustafa Azami, Studies In Hadith Methodology and Literature,
(Indiana: American Trust Publications, 1977), 10
Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, alDarimi dan Ahmad ibn Hanbal.
A.J.Wensinck, alMu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi VI,
(Leiden: E.J. Brill, 1936), 176
Al-Hasani Abd al-Majid Hasyim, Ushul alHadis al-Nabawi, (Kairo: al-Hadisah li
al Thaba’ah, t.t), 15
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Hadis,60
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah,2008)4522Subhi as-Shalih,
Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), 37
Mohammad Nor Ichwan. 2007. Studi Ilmu Hadis. (Semarang: RaSAIL Media
Group).
Muhammad bin al Bashi}afir al Azhari. 1985. al Tah}dzir al Muslimin. (Beirut:
Dar Ibn Kathir).
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari. 1987. al-Jami’ al-Sahih. (Beirut:
Dar Ibnu Kathir).
Idri. Hadis dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang
Hadis Nabi. Jakarta: Kencana, 2017
Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits I. Penerj : Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung :
Remaja Rosda Karya. 1995
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta :
Tiara Wacana. 2003
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: PT Bulan
Bintang, Cet. Ke-11 1993.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4, 2003.

Anda mungkin juga menyukai