Anda di halaman 1dari 10

Dinamika Sejarah Hadis dari Masa Nabi hingga Sekarang

Oleh:
Afrokhul Banat (15010198)
Siti Amilatus Sholikhah (15010278)

Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir


Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Pendahuluan
Dari zaman dahulu hingga kontemporer saat ini, orang Muslim hidup
berdampingan dengan segala problematika kehidupan yang ada, yang setidaknya selalu
berhubungan dengan agama, terutama agama Islam. Orang Islam menjadikan al-Qur’an
dan hadis sebagai hujjah atas permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-
hari mereka. Setelah al-Qur’an, ada hadis yang dijadikan sebagai hujjah,yang berfungsi
sebagai penjelas dari tafsir al-Quran, maupun memberi keterangan lain yang tak tercantum
dalam tafsir al-Qur’an. Serta menjadi legitimasi atas perkataan dan perbuatan mukallifin
sehari-hari.
Disini penulis akan menjelaskan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis,
hadis Nabi dapat diklasifikasi dalam beberapa periode, yaitu(1) hadis pada masa Nabi; (2)
hadits pada masa sahabat kecil dan tabi’in; (4) hadis pada masa kodifikasi; (5) masa pasca
kodifikasi hadis.

Hadis pada masa Rasul


Masa ini dikenal dengan ‘Asr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa wahyu dan
pembentukan, karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadis-
hadis Nabi yang datang darinya.1 Masa Nabi berarti masa awal muncul dan pertumbuhan
hadis. Selama 23 tahun Nabi membina dan membimbing umat Islam, dan selama itu juga
waktu turunnya wahyu serta waktu diwurudkannya hadis.
Ada diferensiasi hadis pada masa Rasul dengan yang lainnya, lebih tepatnya
istimewa, karena pada masa ini hadis bisa didapat secara langsung dari sumber utamanya,
yakni nabi Muhammad SAW, dan tidak ada jarak untuk memporolehnya. Jika salah satu
sahabat ada yang salah menyampaikan salah satu redaksi hadis atau maksud tertentu dari
sebuah hadis, jika Rasul mengetahui bisa langsung membenarakan supaya tidak ada lagi
perselisihan di antara mereka.

1
Idri Shaffat, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 31.
Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasul dalam menyampaikan hadis kepada
para sahabat, pertama, melalaui majlis al-ilm, dari tempat ini para sahabat sangat antusias
untuk menerima hadis dan mengkonsentrasikan dirinya supaya tetap bisa mengikuti
kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya. Antusiasme para sahabat dalam mendatangi
tempat itu tidak dilihatkan oleh para sahabat sekitar tempat itu saja, tapi juga daerah lain,
beberapa di antaranya, ada yang sengaja mengutus salah satu di antara mereka untuk
mendatangi majlis tersebut, kemudian supaya disamapaikan kepada golongan yang
mengutusnya.2
Kedua, sering kali juga Rasul menyampaikan hadisnya kepada beberapa sahabat
saja, lalu disampaiakn kepada para sahabat yang lain, atau karena memang saat
menyampaikan suatu hadis yang datang hanya beberapa saja, atau bahkan cuma satu orang,
baik itu disengaja oleh rasul sendiri, maupun secara kebetulan. Ketiga,cara yang ketiga
yang ditempuh oleh Rasul saat menyampaikan hadis itu saat berkenaan dengan masalah
biologis, yakni maslah suami istri, biasanya rasul menyampaiakan kepada istri-istrinya,
begitu juga para sahabat, jika berkenaan dengan hal-hal yang ada di atas, sering kali
mereka enggan menyampaikan kepada Rasul dan memilih ditanyakan melalui istri-istrinya.
Keempat, atau cara lain , biasanya Rasul menyampaikan di tempat umum, melalui ceramah
atau pidato di tempat terbuka seperti ketika haji wada’ maupun fathul makkah. Kelima,
melalui perbuatan langsung yang dilakukan oleh Rasul dan disaksikan oleh sahabat dengan
jalan musyahadah, seperti yang berkiatan dengan praktik-praktik muamalah dan ibadah.3
Dalam masa ini belum ada pengkodifikasian hadis secara resmi, seperti yang
dilakukan terhadap al-Qur’an, karena memang Rasul melarang para sahabatanya untuk
melakukan itu, karena akan dikhawatirkan tercampurnya hadis dengan al-Qur’an yang
pada saat itu masih proses masarul kaun, sebenarnya, larangan penulisan hadis itu
diperuntukkan oleh sahabat yang kuat hafalannya, dan tidak dapat menulis dengan baik,
larangan itu tak berlaku pada orang yang pandai menulis serta tak dikhawatirkan
bercampur dengan al-Qur’an, ada beberapa kriteria larangan menulis hadis, larangan itu
bersifat umum, sedang izin menulisnya bersifat khusus kepada para sahabat yang dijamin
tidak akan mencampurkannya dengan al-Qur’an, larangan ditujukan terhadap kodifikasi
formal, kalau izin menulis hadis itu jika untuk dokumentasi pribad. Diizinkan apabila ada
kekhawatiran untuk orang yang pelupa (kurang dhabith) dan larangan untuk orang yang

2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Pers, hal.73.
3
Idri Shaffat, Studi Hadis, hal.37.
tidak khawatir dalam hal itu. Larangan menulis hadis ketika wahyu masih turun, belum
dihafal dan dicatat, apabila wahyu yang telah turun telah dihafal serta dicatat pula, maka
penulisan hadis diizinkan.4
Penyebaran hadis pada masa Rasul, hadis tersebar bersama al-Qur’an sejak awal
dakwah Islam, yakni saat jumlah pemeluknya masih sedikit dan masih berkumpul secara
sembunyi-sembunyi, di Dar al-Islam, untuk menerima ajaran-ajaran agama dan membaca
al-Qur’an serta melaksanakan ibadah.5 Akan tetapi Rasul sangat berhati-hati dalam
memisahkan antara al-Qur’an dan hadis.

Hadis pada Masa Sahabat


Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa
Khulafa’ al-Rasyidin, yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini
juga disebut dengan masa sahabat besar.6 Pada masa ini hadis belum menjadi prioritas
utama, karena sahabat masih sibuk terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an
dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadis. Para sahabat menyadari bahwa hadis
merupakan sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, oleh karena itu harus tetap terjaga dan
terpelihara dari kekeliruan sebagaimana halnya al-Qur’an. Oleh karenanya mereka
berusaha memperketat dan berhati-hati dalam menjaga dan menyampaikan hadis. Sikap
kehati-hatian ditunjukkan sejak awal kekhalifahan, yaitu khalifah Abu Bakar al-Shiddiq.
Abu Bakar menunjukkan perhatian yang serius dalam memelihara hadis dengan
memperketat periwayatan hadis, yang mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan
hadis.7
Sama halnya dengan Abu Bakar, Umar bin al-Khatab juga berhati-hati dalam
menerima hadis, Umar juga meminta saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis atau
setidaknya periwayat berani disumpah. Sampai Umar wafat, belum banyak hadis yang
tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa Usman bin
Affan periwayatan hadis diperlonggar.8 Meskipun pada masa ini terjadi upaya pembatasan
dan pengetatan periwayatan hadis, bukan berarti keberadaan hadis Nabi dalam kondisi
shahih semuanya. Pada masa khalifah juga terjadi kekeliruan dalam periwayatan, Namun
4
Jalaluddin Abd al-Rahman Ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh al-Taqrib al-
Nawawi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996, hal. 234.
5
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, terj. Qadirun Nur,
Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998, hal. 60.
6
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal. 79.
7
Idri Shaffat, Studi Hadis, hal. 41.
8
Ibid.
kekeliruan pada masa khalifah masih dapat diantisipasi dengan kekuatan ingatan dan
kedekatan para sahabat dengan Nabi, dengan jalan menegur dan menjelaskan letak
kekeliruannya yang kemudian membenarkan dari kekeliruan tersebut.
Khalifah Ali bin Abi Thalib juga masih menggunakan metode yang digunakan
khalifah-khalifah sebelumnya. Namun pada masa ini mulai muncul hadis palsu (maudhu’i),
yang pertama kalinya disebabkan oleh faktor politik. Menurut Musthafa al-Saba’i yang
dikutip dari bukunya al-Sunnah pihak yang pertama kali membuat hadis palsu adalah
orang-orang Syi’ah. 9 Bukti hadis yang mereka buat antara lain hadis yang menyanjung Ali
beserta pengikutnya dan juga hadis-hadis palsu yang mencela khalifah sebelum Ali dan
sahabat-sahabat lain.
Setelah masa Khulafa’ al-Rasyidin dilanjutkan oleh para sahabat-sahabat kecil yang
sudah menyebar di berbagai daerah, karena kekuasaan Islam semakin luas. Para pindah ke
daerah kekuasaan Islam yang baru dengan membawa perbendaharaan hadis yang ada pada
mereka, sehingga hadis tersebar ke berbagai daerah. Misalnya, Madinah dengan tokoh
sahabat Aisyah, Abu Hurairah, Ibn Umar, dan lain-lain. Mekkah, dengan tokoh Ibn Abbas,
Abdullah Ibn Sa’id, dan lain-lain. Kuffah, dengan tokoh Abdullah Ibn Mas’ud, Sa’ad Ibn
Abi Waqqas, dan Salman al-Farisi. Basrah, dengan tokoh, Utbah Ibn Gazhwan, Imran Ibn
Husain, dan lain-lain. Syam, dengan tokoh Mu’adz Ibn Jabal, Abu Darda’, Ubbadah Ibn
Shamit, dan lain-lain. Mesir, dengan tokoh, Abdullah Ibn Amr Ibn al-Ash, Uqbah Ibn
Amir, dan lain-lain.10 Pasca sahabat besar ini muncul kekeliruan periwayatan hadis ketika
kecermatan dan sikap hati-hati melemah.

Hadis Masa Tabi’in


Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak berbeda
dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka mengikuti jejak para sahabat sebagai
guru mereka. Hanya saja persoalan yang mereka hadapi berbeda dengan persoalan pada
masa sahabat, pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan menjadi satu mushaf, dan
wilayah kekuasaan Islam semakin meluas. Sehingga tercatat beberapa kota sebagai pusat
pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari
hadis.11 Yang mana di masing-masing kota tersebut sudah tersebar beberapa sahabat yang
meriwayatkan hadis, sebagaimana yang sudah ditulis dalam sub bab sebelumnya.
9
Ibid., hal. 43.
10
Ibid., hal. 44-45.
11
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal. 85.
Sedangkan tabi’in yang muncul dari kota-kota tersebut di antaranya, kota Madinah
menghasilkan beberapa pembesar tabi’in seperti, Sa’id Ibn al-Musyayyab, Urwah Ibn
Zubair, dan lain-lain. Makkah, dari kota ini tercatat nama-nama seperti Mujtahid Ibn Jabar,
Atho’ Ibn Abi Rabah, Thawus Ibn Kaisan, dan Ikrimah Maula Ibn Abbas. Kota Kufah,
diantara tabi’in yang muncul di sini ialah al-Rabi’ Ibn Qasim, Abu Ishaq al-Sa’bi, Kamal
Ibn Zaid al-Nakha’i, Sa’id Ibn Zubair al-Asadi, dan lain-lain. Bashrah, tabi’in yang muncul
di antaranya, Hasan al-Basri, Muhammad Ibn Sirrin, Ayub al-Sakhyatani, Yunus Ibnu
Ubaid, Hisyam Ibn Hasan, dan lain-lain. Kota Syam, para tabi’in yang muncul di
antaranya, Salim Ibn Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiman al-
Darani, dan Umar Ibn Hana’i. Mesir, tabi’in yang muncul di antaranya, Amr Ibn al-Haris,
Khair Ibn Nu’aimi al-Hadrami, Yazid Ibn Abi Habib, Abdullah Ibn Abi Jafar, dan
Abdullah Ibn Sulaiman al-Thawil.12
Para tabi’in mereka tidaklah kalah perhatiannya dari perhatian para sahabat dalam
hal berhati-hati menerima hadis. Mereka selalu mencari berbagai sarana agar mereka
merasa mantap dengan riwayat yang mereka terima. Di antara sarana tersebut adalah
mereka membatasi penerimaan periwayatan hadis dengan hanya menerima hadis dari
periwayat yang tsiqah (bisa dipercaya) dan dhabith (kuat hafalan). Tabi’in juga menempuh
metode penjagaan hadis yang dilakukan oleh sahabat, suatu saat mereka meminta sumpah
dari periwayatnya, saat lain mereka mencari dukungan dari perawi lain. Pada saat yang lain
lagi, mereka melakukan perjalanan jauh untuk mengecek hadis dari pembawa aslinya. 13
Namun pada masa tabi’in tentunya tantangan semakin besar, periwayatan tidak
semata menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfu’) tapi juga hadis yang
bersumber dari sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’). Tentunya juga terjadi banyak
kekeliruan dibandingkan pada masa Nabi dan sahabat. Faktor-faktor penyebab terjadinya
kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain, pertama, periwayatan hadis
sebagaimana manusia lain tidak terlepas dari unsur kekeliruan. Kedua, terbatasnya
penulisan dan kodifikasi hadis, karena kebanyakan periwayat mengandalkan hafalan.
Ketiga, terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sebagian besar sahabat
dan tabi’in terbukti dengan adanya hadis atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi
yang beragam.14 Di samping itu pada masa tabi’in sudah bermunculan hadis palsu, yang

12
Ibid., hal. 86-87.
13
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, hal. 85-86.
14
Idri Shaffat, Studi Hadis, hal. 45-46.
awal munculnya pada masa kekhalifahan Ali, namun pastinya pada masa tabi’in ini lebih
banyak muncul, tidak hanya karena faktor politik namun juga faktor yang lain.
Menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan hadis di atas, para ulama
melakukan beberapa langkah, yaitu pertama, melakukan seleksi dan koreksi tentang nilai
hadis atau para periwayatnya. Kedua, hanya menerima riwayat hadis dari periwayat yang
tsiqqah saja. Ketiga, melakukan penyari ngan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang tsiqqah. Keempat, mensyaratkan tidak adanya syadz yang berupa
penyimpangan periwayat tsiqqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqqah. Kelima,
untuk mengidentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad dan rijal al-hadis dan bertanya
kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.15

Periode Kodifikasi Hadis


Kodifikasi hadis secara resmi dilaksanakan pada masa Dinasti Umayyah, masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) tapi sebelum pelaksanaan kodifikasi resmi,
sejak masa Rasul sudah ada penghimpunan hadis, baik itu secara tulisan maupun hafalan.
Secara resmi Rasul melarang penulisan hadis, dikarenakan ada kekhawatiran tercampurnya
dengan al-Qur’an. Pada masa ini, pemeliharaan hadis Nabi mengandalkan hafalan para
sahabat yang pada umumnya, mereka memiliki daya ingat yang kuat. hadis hanya boleh
disimpan di dalam dada para peghafal, namun larangan ini bersifat umum, dan
diperbolehkannya penulisan hadis itu bersifat khusus, artinya ada beberapa syarat yang
16
harus dipenuhi oleh seorang sahabat, seperti yang telah dipaparka pada sub bab
sebelumnya.
Setelah Rasul wafat, para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan
pengkodifikasian hadis secara resmi, dikarenakan pada saat itu masih banyak masalah yang
terjadi, seperti timbulnya kelompok murtad, timbulnya peperangan menyebabkan
banyaknya para penghafal mati dalam peperangan sehingga konsentrasi para sahabat saat
itu tertuju pada pembukuan al-Qur’an. Kasus lain yakni kondisi orang non Arab yang
masuk Islam yang tidak paham bahasa Arab dan mereka tidak bisa membedakan al-Qur’an
dengan hadis.17 Periwayatan hadis pada masa ini pada keadaan tertentu saja, apabila tengah
memerlukan penjelasan hukum, itupun dengan taqlil ar-riwayah (membatasi periwayatan).

15
Ibid., hal. 46.
16
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH 2008, hal.46.
17
Ibid., hal. 47.
Hal yang pasti ialah bahwa sebagian sahabat sempat menulis hadis semasa hidup
Rasul, di antara mereka ada yang menulis dengan izin Nabi, yang dikecualikan dari
larangan umum seperti yang telah kami jelaskan. Di antara catatan terkenal di masa Nabi
adalah Shahifah ash-Shadiqah, yang ditulis oleh Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, dari sumber
Rasulullah sendiri. Abdullah Ibn Amr melakukan penulisan hadis sesudah menerima fatwa
dari Rasulullah. Meskipun Shahifah itu tidak sampai ke tangan kita, namun isinya telah
terpelihara dalam Musnad Imam Ahmad. Selanjutnya Shahifah Abu Hurairah oleh
Hammam bin Munabbih. Shahifah yang dihimpun oleh Abu Hurairah yang diriwayatkan
oleh muridnya Hammam bin Munabbih, yang kemudian shahifah itu dinisbatkan kepada
Hammam dan disebut Shahifah Hammam. Shahifah ini disebut dengan Shahifah Shahihah
karena shahifah ini masih dalam keadaan utuh sampai sekarang. Seorang peneliti
terkemuka Dr. Muhammad Humaidullah menemukan shahifah ini dalam dua manuskrip
yang serupa di Damaskus dan Berlin.18
Kodifikasi hadis secara resmi terjadi pada masa tabi’in lebih tepatnya pada masa
Dinasti Umayyah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz. Yang hidup di akhir abad 1
Hijriyah, yang menganggap pentingnya kodifikasi hadis secara resmi, supaya tidak
lenyapnya ajaran-ajaran Rasul setelah wafatnya para ulama baik kalangan sahabat maupun
tabi’in.19 Upaya Umar bin Abdul Aziz dalam mengkodifikasi hadis yakni, dengan
mengutus salah satu Gubernur di Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin
Hazm, yang dalam tulisannya akan disebut Abu Bakar bin Hazm. Ia memerintah Abu
Bakar bin Hazm untuk menghimpun hadis dari Amrah, yakni merupakan murid Aisyah,
salah satu perowi hadis yang meriwayatkan hadis terbanyak yang bersumber langsung dari
20
Rasul. Tidak hanya itu, ia juga mengirim surat kepada semua pegawainya diseluruh
kekuasaanya, yang isi suratnya sama dengan surat yang ditujuakan kepada Abu Bakar bin
Hazm. Uraian di atas cukup menjelaskan bahwa pada masa ini, sudah tak ada lagi larangan
menulis hadis, justru menulis atau pengkodifikasian hadis dirasa sangat perlu sekali karena
khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Rasul.

Rangkuman Perkembangan Pembinaan dan Penghimpunan Hadis


No. Periode Perkembangan Karakteristik Model Buku
Penulisan
18
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hal. 34-38.
19
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, hal. 53.
20
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu Ilmu Hadis, hal. 49.
1. Masa Nabi Larangan penulisan Hadis dihapal di Catatn pribadi
Muhammad (nahyu Al-Kitabah) luar kepala bentuk
SAW shahifah
(lembaran)
2. Masa Sahabat Penyederhanaan Disertai sumpah Catatan pribadi
periwayatan (taqlil ar- dan saksi pada dalam bentuk
riwayah)pada masa masa khulafaur shahifah atau
khulafaur rasyidin rasyidin dan lembaran
disertai sanad pada
masa setelahnya
3. Masa tabi’in Penghimpunan hadis bercampur antara Shahifah,
(al-jam’u wa al- hadis Nabi, fatwa mushannif,
tadwin) sahabat, dan aqwal muwatho’,
sahabat musnad dan
jami’
4. Masa tabi’ Kejayaan kodifikasi Filterisasi dan Musnad, jami,
tabi’in hadis(azha al-ushur klasifikasi (‘ashr dan sunan
shunnah) al-jami’ wa al-
tashih)
5. Masa setelah Penghimpunan dan Bereferensi atau Mu’jam,
tabi’ penerbitan secara (murojha’ah) pada muastadrak,
tabi’in(abad 4 H sistematik (al-jam’u buku-buku mustakhroj,
dan seterusnya) wa al-tartib wa al- sebelumnya, tetapi ikhtisar,
tanzhim) lebih sistematik syarah,
zawaid, jami’/
jawami’,
athraf dan
takhrij

Periode Pasca Kodifikasi


Masa ini dimulai sekitar akhir abad II atau awal abad III H, pada masa dinasti
Ababasiyah, pada masa al-Makmun. Pada masa ini terjadi seleksi atau penyaringan hadis,
munculnya periode ini karena pada periode tadwin belum berhasil dipisahkan beberapa
hadis yang berasal dari sahabat (mauquf), dan dari tabi’in (maqthu’) dari hadis yang
berasal dari Nabi (marfu’). Begitu pula belum bisa dipisahkan beberapa hadis yang dho’if
dari yang shahih. Bahkan masih banyak hadis yang maudhu’ tercampur pada hadis-hadis
yang shahih.21
Jika pada masa sebelumnya kodifikasi hanya sebatas memisahkan antara fatwa dari
Rasul, sahabat maupun tabi’in. pada masa ini, yakni abad IV, yang bisa disebut juga Al-
Jam’I wa al-Tartib, kodifikasi dilakukan dengan cara menukil, atau mengutip dari kitab-
kitab terdahulu, intinya mereka berpegang teguh pada kitab-kitab sebelumnya. Pembukuan
hadis pada masa ini lebih menambah variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab hadis yang
sudah ada. Usaha kodifikasi model seperti ini bertahan sampai abad VII. 22 Pada masa
berikutnya abad ke VII-VIII H dan berikutnya disebut dengan masa al-Jam’u wa al-
Tanzhim artinya penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematik.23 Pada masa ini
kodifikasi hadis dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya,
dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang
mengumpulkan hadis-hadis hokum, dan masih banyak lagi upaya yang lainnya. 24 Secara
sederhana, usaha penghimpunan hadis sudah ada sejak zaman Rasul, dan pengkodifikasian
masih ada sampai zaman kontemporer ini. Mulai dari mulainya penulisan secara resmi,
sampai menambah varian pen-tadwin-an hadis yang menukil dari kitab-kitab sebelumnya.

Kesimpulan
Hadis dari masa Nabi hingga sekarang selalu mengalami perkembangan di setiap
periodenya, dari mulai muncul pertama kali pada masa Nabi, kemudian bentuk
pemeliharaan hadis pada masa sahabat, yang pada masa ini mulai terjadi kekeliruan.
Kemudian pada masa tabi’in yang semakin besar tantangannya, yang kemudian muncul
gagasan untuk mengkodifikasikan hadis. Setelah masa kodifikasi yang dilakukan oleh
tabi’in,
Daftar Pustaka

Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, terj. Qodirun Nur,
Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
21
Idri Shaffat, Studi Hadis, hal. 95.
22
Ibid., hal. 99.
23
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, hal. 61.
24
Idri Shaffat, Studi Hadis, hal. 101.
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman Ibn Abu Bakar, Tadrib al-Rawi fi Syarh al-Taqrib
al-Nawawi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.

Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Majid Khon, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH, 2009.

Shaffat, Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2010.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Anda mungkin juga menyukai