Oleh:
Afrokhul Banat (15010198)
Siti Amilatus Sholikhah (15010278)
Pendahuluan
Dari zaman dahulu hingga kontemporer saat ini, orang Muslim hidup
berdampingan dengan segala problematika kehidupan yang ada, yang setidaknya selalu
berhubungan dengan agama, terutama agama Islam. Orang Islam menjadikan al-Qur’an
dan hadis sebagai hujjah atas permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-
hari mereka. Setelah al-Qur’an, ada hadis yang dijadikan sebagai hujjah,yang berfungsi
sebagai penjelas dari tafsir al-Quran, maupun memberi keterangan lain yang tak tercantum
dalam tafsir al-Qur’an. Serta menjadi legitimasi atas perkataan dan perbuatan mukallifin
sehari-hari.
Disini penulis akan menjelaskan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis,
hadis Nabi dapat diklasifikasi dalam beberapa periode, yaitu(1) hadis pada masa Nabi; (2)
hadits pada masa sahabat kecil dan tabi’in; (4) hadis pada masa kodifikasi; (5) masa pasca
kodifikasi hadis.
1
Idri Shaffat, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 31.
Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasul dalam menyampaikan hadis kepada
para sahabat, pertama, melalaui majlis al-ilm, dari tempat ini para sahabat sangat antusias
untuk menerima hadis dan mengkonsentrasikan dirinya supaya tetap bisa mengikuti
kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya. Antusiasme para sahabat dalam mendatangi
tempat itu tidak dilihatkan oleh para sahabat sekitar tempat itu saja, tapi juga daerah lain,
beberapa di antaranya, ada yang sengaja mengutus salah satu di antara mereka untuk
mendatangi majlis tersebut, kemudian supaya disamapaikan kepada golongan yang
mengutusnya.2
Kedua, sering kali juga Rasul menyampaikan hadisnya kepada beberapa sahabat
saja, lalu disampaiakn kepada para sahabat yang lain, atau karena memang saat
menyampaikan suatu hadis yang datang hanya beberapa saja, atau bahkan cuma satu orang,
baik itu disengaja oleh rasul sendiri, maupun secara kebetulan. Ketiga,cara yang ketiga
yang ditempuh oleh Rasul saat menyampaikan hadis itu saat berkenaan dengan masalah
biologis, yakni maslah suami istri, biasanya rasul menyampaiakan kepada istri-istrinya,
begitu juga para sahabat, jika berkenaan dengan hal-hal yang ada di atas, sering kali
mereka enggan menyampaikan kepada Rasul dan memilih ditanyakan melalui istri-istrinya.
Keempat, atau cara lain , biasanya Rasul menyampaikan di tempat umum, melalui ceramah
atau pidato di tempat terbuka seperti ketika haji wada’ maupun fathul makkah. Kelima,
melalui perbuatan langsung yang dilakukan oleh Rasul dan disaksikan oleh sahabat dengan
jalan musyahadah, seperti yang berkiatan dengan praktik-praktik muamalah dan ibadah.3
Dalam masa ini belum ada pengkodifikasian hadis secara resmi, seperti yang
dilakukan terhadap al-Qur’an, karena memang Rasul melarang para sahabatanya untuk
melakukan itu, karena akan dikhawatirkan tercampurnya hadis dengan al-Qur’an yang
pada saat itu masih proses masarul kaun, sebenarnya, larangan penulisan hadis itu
diperuntukkan oleh sahabat yang kuat hafalannya, dan tidak dapat menulis dengan baik,
larangan itu tak berlaku pada orang yang pandai menulis serta tak dikhawatirkan
bercampur dengan al-Qur’an, ada beberapa kriteria larangan menulis hadis, larangan itu
bersifat umum, sedang izin menulisnya bersifat khusus kepada para sahabat yang dijamin
tidak akan mencampurkannya dengan al-Qur’an, larangan ditujukan terhadap kodifikasi
formal, kalau izin menulis hadis itu jika untuk dokumentasi pribad. Diizinkan apabila ada
kekhawatiran untuk orang yang pelupa (kurang dhabith) dan larangan untuk orang yang
2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Pers, hal.73.
3
Idri Shaffat, Studi Hadis, hal.37.
tidak khawatir dalam hal itu. Larangan menulis hadis ketika wahyu masih turun, belum
dihafal dan dicatat, apabila wahyu yang telah turun telah dihafal serta dicatat pula, maka
penulisan hadis diizinkan.4
Penyebaran hadis pada masa Rasul, hadis tersebar bersama al-Qur’an sejak awal
dakwah Islam, yakni saat jumlah pemeluknya masih sedikit dan masih berkumpul secara
sembunyi-sembunyi, di Dar al-Islam, untuk menerima ajaran-ajaran agama dan membaca
al-Qur’an serta melaksanakan ibadah.5 Akan tetapi Rasul sangat berhati-hati dalam
memisahkan antara al-Qur’an dan hadis.
12
Ibid., hal. 86-87.
13
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, hal. 85-86.
14
Idri Shaffat, Studi Hadis, hal. 45-46.
awal munculnya pada masa kekhalifahan Ali, namun pastinya pada masa tabi’in ini lebih
banyak muncul, tidak hanya karena faktor politik namun juga faktor yang lain.
Menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan hadis di atas, para ulama
melakukan beberapa langkah, yaitu pertama, melakukan seleksi dan koreksi tentang nilai
hadis atau para periwayatnya. Kedua, hanya menerima riwayat hadis dari periwayat yang
tsiqqah saja. Ketiga, melakukan penyari ngan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang tsiqqah. Keempat, mensyaratkan tidak adanya syadz yang berupa
penyimpangan periwayat tsiqqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqqah. Kelima,
untuk mengidentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad dan rijal al-hadis dan bertanya
kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.15
15
Ibid., hal. 46.
16
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH 2008, hal.46.
17
Ibid., hal. 47.
Hal yang pasti ialah bahwa sebagian sahabat sempat menulis hadis semasa hidup
Rasul, di antara mereka ada yang menulis dengan izin Nabi, yang dikecualikan dari
larangan umum seperti yang telah kami jelaskan. Di antara catatan terkenal di masa Nabi
adalah Shahifah ash-Shadiqah, yang ditulis oleh Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, dari sumber
Rasulullah sendiri. Abdullah Ibn Amr melakukan penulisan hadis sesudah menerima fatwa
dari Rasulullah. Meskipun Shahifah itu tidak sampai ke tangan kita, namun isinya telah
terpelihara dalam Musnad Imam Ahmad. Selanjutnya Shahifah Abu Hurairah oleh
Hammam bin Munabbih. Shahifah yang dihimpun oleh Abu Hurairah yang diriwayatkan
oleh muridnya Hammam bin Munabbih, yang kemudian shahifah itu dinisbatkan kepada
Hammam dan disebut Shahifah Hammam. Shahifah ini disebut dengan Shahifah Shahihah
karena shahifah ini masih dalam keadaan utuh sampai sekarang. Seorang peneliti
terkemuka Dr. Muhammad Humaidullah menemukan shahifah ini dalam dua manuskrip
yang serupa di Damaskus dan Berlin.18
Kodifikasi hadis secara resmi terjadi pada masa tabi’in lebih tepatnya pada masa
Dinasti Umayyah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz. Yang hidup di akhir abad 1
Hijriyah, yang menganggap pentingnya kodifikasi hadis secara resmi, supaya tidak
lenyapnya ajaran-ajaran Rasul setelah wafatnya para ulama baik kalangan sahabat maupun
tabi’in.19 Upaya Umar bin Abdul Aziz dalam mengkodifikasi hadis yakni, dengan
mengutus salah satu Gubernur di Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin
Hazm, yang dalam tulisannya akan disebut Abu Bakar bin Hazm. Ia memerintah Abu
Bakar bin Hazm untuk menghimpun hadis dari Amrah, yakni merupakan murid Aisyah,
salah satu perowi hadis yang meriwayatkan hadis terbanyak yang bersumber langsung dari
20
Rasul. Tidak hanya itu, ia juga mengirim surat kepada semua pegawainya diseluruh
kekuasaanya, yang isi suratnya sama dengan surat yang ditujuakan kepada Abu Bakar bin
Hazm. Uraian di atas cukup menjelaskan bahwa pada masa ini, sudah tak ada lagi larangan
menulis hadis, justru menulis atau pengkodifikasian hadis dirasa sangat perlu sekali karena
khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Rasul.
Kesimpulan
Hadis dari masa Nabi hingga sekarang selalu mengalami perkembangan di setiap
periodenya, dari mulai muncul pertama kali pada masa Nabi, kemudian bentuk
pemeliharaan hadis pada masa sahabat, yang pada masa ini mulai terjadi kekeliruan.
Kemudian pada masa tabi’in yang semakin besar tantangannya, yang kemudian muncul
gagasan untuk mengkodifikasikan hadis. Setelah masa kodifikasi yang dilakukan oleh
tabi’in,
Daftar Pustaka
Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, terj. Qodirun Nur,
Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
21
Idri Shaffat, Studi Hadis, hal. 95.
22
Ibid., hal. 99.
23
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, hal. 61.
24
Idri Shaffat, Studi Hadis, hal. 101.
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman Ibn Abu Bakar, Tadrib al-Rawi fi Syarh al-Taqrib
al-Nawawi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.