Pada periode ini sejarah hadits disebut “‘Ashr al-Wahyi wa at-Takwin” (masa
yang dikutip oleh Endang Soetari mengatakan bahwa pada saat itulah hadits lahir berupa
sabda (aqwal), af’al dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Alquran dalam rangka
Beliau menyampaikan kepada kaumnya dan orang-orang yang ada disekitarnya. Beliau
beliau berperan sebagai Pengajar, Hakim, Qadhi, Mufti, dan Pemimpin. Segala hal yang
berkaitan dengan umat Islam, yang kecil maupun yang besar, dan segala yang menyangkut
pribadi dan jamaah dalam berbagai lapangan kehidupan yang tidak disebut dalam Alquran,
tercakup dalam al-Sunnah: amaliyah (perbuatan), qauliyah (ucapan), atau taqririyah (izin).3
Dari sinilah kita menemukan hukum-hukum, norma-norma akhlak, ibadah-ibadah, dan cara
mendekatkan diri kepada Allah yang disyari’atkan, dipraktekkan dan disunnahkan selama
seperempat abad.
Dalam membina para shahabat, Rasulullah saw menjadikan Darul al-Arqam sebagai
Kaum muslimin generasi awal berkerumun di sekeliling beliau, jauh dari kaum musyrikin
untuk mempelajari kitab Allah SWT. Kepada mereka beliau mengajarkan dasar-dasar Islam
dan menyampaikan wahyu Alquran. Setelah itu tempat tinggal Rasulullah saw di Makkah
1
H. Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 33
2
Ibid
3
M. Ajaj AL-Khatiib: penterjemah AH. Akrom Fahmi, Sunnah Qabla Tadwin, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), Cet. 1, h. 72
menjadi tempat barkumpul (nadwah) dan institusi (ma’had) mereka untuk menerima
Alquran dan menyerap hadis yang mulia, lansung dari Rasulullah saw.4
bergaul dengan beliau secara bebas. Tidak ada perantara yang menghalangi mereka bergaul
dengan beliau. Yang tidak dibenarkan hanyalah mereka lansung masuk ke rumah Nabi
dikala beliau tidak ada di rumah. Yakni mereka tidak boleh masuk ke rumah dan berbicara
Nabi saw sebagai Rasul, sangat disegani dan ditaati oleh para shahabat, sebab mereka
sadar bahwa mengikuti Rasul dan sunnahnya adalah keharusan dalam berbakti kepada Allah
swt. Seluruh perbuatan Nabi saw, demikian juga seluruh ucapan dan tutur-kata beliau
menjadi tumpuan perhatian para shahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan
pedoman hidup. Oleh karena itu para shahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menerima
segala yang diajarkan Nabi saw baik berupa wahyu Alquran maupun hadisnya. Dan
disamping dorongan keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang
shahabat yang jauh rumahnya dari masjid, mendatangi majlis-majlis Nabi. Kabilah-kabilah
yang tinggal jauh dari kota Madinah selalu mangutus salah seorang anggotanya pergi
menerangkan, bahwa para shahabat sangat benar-benar memperhatikan gerak gerik Nabi
dan sangat memerlukannya untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka
4
Ibid, h. 73
5
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 47
6
H. Endang Soetari AD, op.cit, h. 34
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa hadis diterima para shahabat dengan
secara lansung maupun tidak lansung dari segala cara hayat Nabi saw. Penerimaan hadis
secara lansung misalnya sewaktu nabi memberikan ceramah, pengajian, khutbah dan
penjelasan terhadap pertanyaan para shahabat. Adapun yang tidak lansung, seperti
mendengar dari shahabat lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan Nabi saw ke daerah-
daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi saw.7 Para shahabat setelah menerima
hadits Nabi saw dalam memelihara hadits-hadits yang mereka terima, mereka berpegang
Pada masa Nabi saw., kepandaian tulis baca dikalangan para shahabat sudah
bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Kepandaian tulis baca tersebut misalnya yang
dibawa ke Makkah dari daerah Hirah, dibawa antara lain oleh Harb Ibn Umayyah, seorang
yang banyak melawat yang kemudian orang-orang Quraisy belajar padanya. Oleh karena
kecakapan tulis baca di kalangan shahabat masih kurang, maka Nabi menekankan untuk
Nabi bersabda :
Dengan demikian, periwayatan hadis pada masa Nabi saw pada umumnya secara
7
Ibid
8
Raja’ Mushthafa Hazin, A’lam al-Muhaddisin wa nahijuhum. (Kairo: Univesitas al-Azhar, t.th), h. 20
Para periode Rasul saw, hadis belum mendapatkan perhatian yanng khusus dan serius
dari para sahabat. Para sahabat lebih banyak mencurahkan diri untuk menulis dan menghafal
ayat-ayat Alquran, meskipun dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana.
Periode Rasul merupakan periode awal pembentukan syari’at Islam. Oleh sebab itu,
aktifitas keilmuan senantiasa difokuskan untuk memahami dan mendalami sumber utama
ajaran Islam yaitu Alquran. Meskipun hadis belum mendapatkan pehatian khusus dari para
sahabat, Rasul saw sangat menaruh perhatian yang cukup besar dalam aspek pengembangan
ilmu pengetahuan. ‘Ajjaj al-Khatib dalam kitab as–sunnah qabl at-Tadwin menyebutkan
tentang sikap Rasul saw terhadap ilmu pengetahuan. Sikap ini sejalan dengan wahyu
pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada beliau, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-6 yang
Di antara bentuk sikap Rasul saw terhadap ilmu pengetahuan adalah; seruan Rasul
saw untuk mencari ilmu, seruan Rasul saw untuk menyampaikan ilmu pengetahuan
(ulama’), kedudukan orang yang mengajarkan ilmu, dan wasiat atau pesan Rasul saw untuk
Dari beberapa catatan tentang hadis pada masa Nabi saw, ada dua hal penting yang
perlu dikemukakan, yaitu; larangan menulis hadis dan perintah menulis hadis. Pada awalnya
Nabi saw melarang para sahabat untuk menulis hadis karena dikhawatirkan akan terjadi
percampuran (ikhtilat) antara ayat-ayat Alquran dengan hadis. Namun demikian, harus pula
dipahami bahwa larangan itu tidak bersifat umum. Artinya larangan penulisan hadis itu
terkait dengan daya hafal masing-masing sahabat. Hal ini dibuktikan dengan adanya catatan
yang ditulis oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash tentang apa yang ia dengar dari Nabi. Catatan
9
Al-Khatib, as-Sunnah Qabl at-Tadwin (Kairo : Maktabah Wahbah, 1963) , 36.
10
Ibid, 37-45.
Sedangkan tentang perintah untuk menulis hadis Nabi saw, hal itu harus dipahami
bahwa dengan hilangnya kekhawatiran akan terjadi percampuran antara ayat Alquran
dengan hadis Nabi saw, maka dengan sendirinya larangan untuk menulis hadis tersebut juga
hilang. Dengan demikian, tidak ada yang perlu dikontrakdisikan antara larangan penulisan
hadis di satu sisi dengan perintah penulisan hadis pada sisi yang lain.
Pada masa sahabat, kondisi hadis tidak banyak berkembang seperti halnya pada masa
Nabi saw. Kalau pada masa Nabi saw larangan penulisan hadis karena adanya kekhawatiran
terjadinya percampuran antara ayat Alquran dengan hadis maka pada masa sahabat, tidak
Alquran. Seperti diketahui, setelah meninggalnya Nabi saw merupakan masa transisi yang
menyisakan berbagai macam persoalan internal umat Islam, di antaranya adalah masalah
khalifah dan belum dibukukannya Alquran. Keadaan ini sudah barang tentu menyulitkan
para sahabat sehingga belum terpikirkan secara serius untuk membukukan. Karena itulah,
dapat dipahami bahwa pada masa kekholifahan Abu bakr ash-Shiddiq, langkah pertama
Meskipun secara khusus hadis belum mendapatkan perhatian yang serius, namun
periwayatan sudah mulai berkembang meskipun dengan jumlah yang masih sedikit. Hal ini
karena Abu Bakr, Umar juga dua khalifah terakir (Usman dan Ali ) sangat berhati-hati dalam
menerima periwayataan sahabat lain, termasuk periwayatan dari Abu Hurairah yang dalam
hal periwayatan hadis dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis.
Sikap hati-hati ini dilakukan untuk mencegah banyak beredarnya hadis-hadis palsu untuk
kepentingan-kepentingan tertentu yang terjadi, khususnya pada saat mulai terjadinya friksi
dalam tubuh umat Islam, sejak tahun ketujuh masa pemerintahaan khalifah Usman bin
Affan. Dengan demikian jumlah periwayatan hadis pada masa sahabat masih sangat sedikit,
meskipun tergolong banyak bila dibandingkan dengan jumlah hadis pada periode Nabi saw.
Dapat dikatakan bahwa hadis dalam periode sahabat adalah mematasi dan menyedikitkan
riwayat.
Adapun pada masa Tabi’in, maka pada masa ini telah berkembang dan meluas
periwayatan hadis. Masa yang dimulai sesudah masa ‘Usmaan dan ‘Ali ini merupakan
masauntuk mencari dan menghafal hadis serta menyebarkannya kepada masyarakat luas
hadis). Kegiatan pencarian hadis ini sangat penting artinya, sebab pada masa inilah telah
mulai banyak beredar hadis palsu. Dengan demikin, pencarian yang dilakukan itu bukan
hanya semata-mata untuk mendapatkan hadis, tetapi juga sekaligus untuk menghindari
terjadinya hadis palsu yang diriwatkan oleh orng-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dengan kegiatan pencarian ini pula, satu riwayat dicocokkan validitasnya dengan
riwayat yang lain sehingga akan dapat diketahui mana yang betul-betul datang dari Nabi
saw dan mana yang bukan (palsu). Konfirmasi riwayat setidaknya berhasil meminamalisir
Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya adalah
Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.11 Periode shahabat
disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah” yaitu masa pemastian dan
menyedikitkan riwayat.12. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih
11
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007), 79.
12
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 30.
periwayatan haditspun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan
para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan
atas nama Rasul saw, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Alquran.13 Keberadaan
Alquran. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-Rasyidin, dan sahabat lainnya
seperti al-Zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha keras untuk memperketat
periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.
Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni :14
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi saw yang mereka
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadis dilakukan dengan sangat
hati-hati. Bahkan Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M),
Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada
13
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 71.
14
Ibid, h. 46
seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta
yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk
Alquran dan prektek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar
lalu bertanya kepada para shahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu
Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar
nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah
atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan
nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadits Nabi saw yang
Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima
riwayat hadits, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadits terlihat pada
menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus
hadits. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar
catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadits.16 Hal ini
Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa
Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa
pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman dan
15
H. Endang Soetari AD, h. 42
16
Ibid, h.43
kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan
kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak sedikit
shahabat Nabi, khususnya yang hafal Alquran, telah gugur di berbagai peperangan. Atas
desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan al-Qur’an
(jam’ al-Qur’an).17
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat
dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun
demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadits tampak
tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini
antara lain terlihat pada pemerikasaan hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat.
Tindakan hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh
sahabat Umar bin Khathab. Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Hal
ini terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin
Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para shahabat
yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadits Nabi tentang
apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi
Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu Musa
al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain.18 Kesemua itu menunjukkan kehati-
hatian Umar dalam periwaytan hadits. Disamping itu, Umar juga menekankan kepada
17
Ibid, h. 44
18
Ibid
para shahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya,
agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami Alquran.
sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan
hadits. Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi
dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, dan agar
Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya saja, langkah
‘Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin
Hambal meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat puluh
hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan
hadits yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudu’.20 Dengan demikian
jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang
Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan,
kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak dibandingkan bila
dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman
meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap
para perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam periwaytan hadits. Hal tersebut
19
Ibid, h .46
20
Ibid, h. 47
terjadi karena selain pribadi ‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah
Islam telah makin luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan
Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda dengan
para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam
meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali RA tidak
menerima hadits sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.21 Hanya saja, kepada
bersumpah.
Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah
sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu,
apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak
mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang
diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits
yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: pertama, hukuman denda (diyat); kedua,
pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan Ketiga, larangan melakukan
hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad
Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi Thalib
sebanyak lebih dari 780 hadits. Sebagian mant dari hadits tersebut berulang-ulang karena
21
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999), 47.
22
H. Endang Soetari, Loc. Cit, h. 48
perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib
merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila dibandingkan dengan ke tiga khalifah
pendahulunya.23
hadits pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya.
Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan siatuasi pada zaman
sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang politik dikalangan umat Islam telah makin
telah terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan
3. Hadist Pada Periode Ketiga (Masa Sahabat kecil dan Tabi’in Besar)
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan
perlawatan untuk mencari hadis. Pada tahun 17, tentara Islam mengalahkan Syria dan Iraq.
Pada tahun 20 H, mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H, mengalakan Persia. Pada tahun 56
Spanyol. Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Kota-kota itu kemudia menjadi
“perguruan” tempat mengajar Alquran dan Hadis yang meghasilkan sarjana-sarjana tabi’in
Para sahabat yunior banyak yang mengadakan perjalanan jauh (rihlah ilmiyah)
untuk menghimpun atau mengecek kebenaran hadis dari sesamanya atau dari sahabat
yang lebih senior. Misalnya yang dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan
23
Ibid
24
Ibid, h. 49
rihlah ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos
perjalanan hanya ingin mendapatkan satu hadits yang belum pernah ia dengar.
)(رواه البخارى احمد االطبرانى البيحاقى يخشر الناس عراة عزال بهما
Demikian juga Abu Ayyub al-Anshari yang tinggal di Madinah pergi ke Mesir
untuk menemui ‘Uqbah bin Amir al-Juhari untuk menanyakan sebuah hadis yang
)من ستر مؤمنا فى الدنيا على كربته سترهللا يوم القيامة (رواه البيحا قى
a. Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis dan ia mengambilnya lebih dari 300 orang
diantara sahabat.
Di antara kota-kota yang menjadi pusat kegiatan periwayatan hadis ialah sebagai
berikut:
a. Madinah
Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Madinah adalah
Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum pindah ke Kufah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar,
Abu Said Al-Khudri, dan Zaid bin Tsabit. Diantara tabi’in yang belajar kepada
mereka adalah: Sa’id, Urwah, Al-Zuhri, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin
Mas’ud, Salim bin Abdullah bin Umar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar,
Nafi’, Abi Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dan Abu Al-Zinad.
b. Makkah
Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Makkah adalah
Mu’adz bin Jabal dan Ibn Abbas. Sedangkan para Tabi’in yang belajar kepada
mereka adalah: Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Abu Al-Zubair
c. Kufah
Diantara pemimpin besar hadits di Kufah adalah ‘Abdullah bin Mas’ud yang
belajar dari padanya antara lain Masruq, Ubaydah, Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim,
d. Bashrah
Di antara tokoh hadis di kota ini dari kalangan sahabat adalah Anas bin Malik,
‘Utbah, ‘Imran bin Hushain, Abu Barzah, Ma’qil bin Yasar, Abu Bakrah,
‘Abdurrahman bin Samurah, dan lain-lain. Sedangkan tabi’in yang belajar kepada
mereka antara lain: Abu al-Aliyah, Rafi’ bin Mihram, Al-Hasan al-Bishri,
Muhammad bin Sirin, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zayd, Qatadah, Mutharraf bin
e. Syam
jabal, ‘Ubadah bin al-Shamit, dan Abu al-Darda. Sedang dikalangan tabi’in adalah
Abu idris al-Khawlani, Qabishah bin Dzua’ib, Makhul, dan Raja’ bin Haywah.
f. Mesir
Di antara para sahabat di Mesir adalah Abdullah bin ‘Amr, ‘Uqbah bin ‘Amir
Kharijah bin Hudzaifah, Abdullah bin Sa’ad, Mahmiyah bin Juz, Abdullah bin
Harits, dan lain-lain kurang lebih ada 40 orang sahabat sedang di kalangan tabi’in
antara lain Abu al-Khayr Martsad al-Yazini dan Yazid bin Abi Habib.
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitnah besar,
c. Jumhur umat Islam yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua diatas.
Diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang mendukung
pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam
kancah konflik.
(mawdhu’) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau
partai-partai diatas untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal
terjadinya Hadis mawdhu’ dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik
sahabat tidak tinggal diam dalam menghadapi pemalsuan hadis ini. Mereka berusaha
yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan ataupun sanad. 25
25
Ash-shiddieqy, Loc. Cit, h. 46-49
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda dengan
yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengukuti jejak para sahabat sebagai
guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi
para sahabat. Pada masa ini Alquran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain,
usah yang taelah dirintis oleh paara sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya
masa kekhalifahan Usman para sahabat ahli hadis menyebar keberapa wilayah kekuasaan
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai
tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits. Kota-kota tersebut ialah Madinah al-
Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadits pada kota-
kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan hadist cukup banyak,
antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin
Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudzri.27 Tokoh–tokoh dalam Perkembangan
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
disebut dengan al-Mukhtsirun fi al-Hadits. Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh-
tokoh periwayatan hadist sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada
1) Madinah
Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn
26
Suparta, Munzier, Ilmu hadist,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008), h. 85.
27
Nor Ikhwan, Mohammad, Ilmu Hadist,(Semarang:Rasail Media, 2007),87.
2) Makkah
3) Kufah
4) Basrah
Muhammad ibn Sirin, Qatadah, Syam, dan Umar ibn Abdul Aziz.
5) Mesir
6) Yaman
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang
Jamal dan perang Sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib akan
tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut- larut dengan terpecahnya umat islam
Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup memberikan
posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana
dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadist, sebagai upaya
penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik
tersebut.
5. Sahabat Perempuan yang Meriwayatkan Hadits
Kisah mengenai perempuan meriwayatkan suatu tindakan atau ucapan Nabi telah
muncul bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadits. Syarat-syarat riwayat atau hadits
periwayat yang ‘adil dan dhabit, tidak ada syadz dan ‘illat.28 Selain itu para muhaddisin
menyatakan bahwa jenis kelamin dan status seseorang tidak bisa dijadikan dasar diterima
atau tidaknya suatu berita atau kesaksian, pernyataan tersebut juga mendapatkan dukungan
dari tokoh-tokoh ahli fiqh seperti Al Khatib, A, Razi dan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani.
Salah satu argument yang dikemukakan al Khatib yaitu bahwa Nabi saw. pernah meminta
kesaksian Barirah dan beberapa perempuan lain dalam peristiwa Hadits al Ifki, sebuah kasus
yang bercerita tentang isu perselingkuhan Aisyah. Maka dari syarat yang telah ditetapkan
oleh muhadditsin tersebut tidak ada larangan bahwa perempuan tidak diperbolehkan
meriwayatkan hadits.29
Ibnu Shalah dan An Nawawi, mereka tidak mengaitkan keadilan dengan jenis kelamin
ternoda oleh perbuatan yang tidak terpuji dan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah
ia tidak menemukan satu perempuan pun yang tertuduh dusta dan ditinggalkan haditsnya.
Mengenai perempuan yang dikategorikan lemah, semata-mata karena tidak ada informasi
Dibukanya majlis ta’lim khusus perempuan yang diisi oleh Nabi sendiri semakin
memperluas keterlibatan beberapa perempuan yang bukan termasuk istri Nabi dalam
28
M. Mawardi Djalaluddin, “Hadits Shahih” dalam M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadits
(Yogyakarta: Teras,2010), h. 244.
29
Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam
Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, hlm. 51.
30
Ibid. 50.
31
Ibid. 53.
periwayatan hadits. Dari majlis tersebut, datang beberapa pertanyaan mengenai agama atau
masalah lainnya yang diajukan kepada Rasulullah yang dibutuhkan penjelasan langsung dari
Rasulullah saw.32
terutama kaum perempuan karena kondisi perempuan mengalami penurunan yang drastis
sepeninggalan beliau. Meskipun para istri Nabi dan beberapa sahabat perempuan masih
menjadi rujukan para sahabat atau tabi’in lain untuk mengetahui “berita tentang Nabi” akan
tetapi secara umum keterlibatan perempuan dalam wilayah public semakin memudar.
misalnya pada masa Umar bin Khatab, perempuan tidak lagi diizinkan pergi ke masjid dan
adanya upaya masyarakat Arab untuk mengembalikan format perempuan dalam wilayah
Sedangkan pada masa tabi’in, jumlah tabi’in perempuan yang menonjol lebih sedikit
dari jumlah sahabat perempuan yang terlibat dalam periwayatan hadits. Menurut Ibn Sa’d
ada 94 tabi’in perempuan sedangkan menurut Ibn hajar ada 140 tabi’in perempuan adapun
menurut Ibnu Hibban ada 90 orang yang terlibat dalam periwayatan hadits sebagai salah
Adapun menurut Luthfi Fathullah yang juga menjabat sebagai Ketua Kajian Hadits
berkembang melalui kerabat atau famili. Caranya, seorang kerabat meriwayatkan dari para
perawi perempuan tersebut, kemudian dia meriwayatkan ke kerabatnya yang lain. Dan
model periwayatan perawi perempuan itu cenderung mengerucut atau piramida terbalik.
Dari yang besar, kemudian mengecil. Misalnya, jika ada 100 perawi shahabiyah, maka pada
32
Nurun Najwah, Wacana,Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits) (Yogyakarta: Cahaya Pustaka,
2008), h. 19.
33
Ibid. 26.
34
Ibid.
masa tabi’in hanya tinggal 50 orang perawi. Selanjutnya semakin berkurang, dan ditutup di
zaman gurunya Bukhari meskipun ketika itu ada seorang perawi perempuan yang juga
bernama Aisyah.35
tidak bisa berkembang sebagaimana periwayatan laki-laki. Pertama, faktor keluarga. Kedua,
sedikit sulit bagi perempuan untuk melakukan rihlah. “Tradisi hadis adalah rihlah,
perempuan tidak melakukan rihlah, karena mengurusi keluarga,”. Kalau pun mereka
melakukan rihlah, paling tidak hanya untuk urusan silaturahim atau untuk menunaikan
umrah. Kalau mereka bertemu dengan kerabat yang meriwayatkan hadis, maka mereka pun
ikut meriwayatkannya.36
Perempuan pada masa awal Islam ini mengambil peran yang cukup signifikan dalam
kehidupan Nabi saw.37 Namun sungguh ironi ketika para muhadditsin tidak
mempermasalahkan gender dalam periwayatan hadits, tapi generasi berikutnya justru seolah
menghalangi perempuan dalam meriwayatkan hadits. Karena factor politik dan budaya yang
Baik dari segi kuantitas maupun kulitas dalam tradisi periwayatan hadits perempuan
tidak hanya pada transmisi hadits saja akan tetapi juga telah menunjukkan kualitas
35
Salim, “Perawi Perempuan Dalam Tradisi” dalam http://www.majalahgontor.co.id, diakses tanggal
7 Desember 2011.
36
Salim, “Perawi Perempuan Dalam Tradisi” dalam http://www.majalahgontor.co.id, diakses tanggal
7 Desember 2011.
37
Badriyah Fayuni dan Alai Najib. Op. Cit, h. 48.
38
Ibid.
39
Ibid. 53-54.
Para ulama hadits tidak pernah ragu-ragu untuk mengambil riwayat dari para perawi
wanita sebagaimana mereka mengambil dari perawi laki-laki. Bahkan Al Hafidz bin ‘Asakir
pernah mengatakan bahwa jumlah guru-gurunya dari kaum perempuan lebih dari delapan
puluh orang.40 Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga memainkan peranan yang
Perawi hadits Nabi tak hanya dari istri-istri Nabi saw. saja akan tetapi adapula yang
bukan dari istri Nabi saw., jumlah hadits yang diriwayatkan pun berbeda-beda. Sahabat
perempuan yang meriwayatkan hadits dan ditulis dalam Al kutub At Tis’ah berjumlah 132
orang. Periwayat terbanyak adalah Aisyah binti Abu Bakar, kemudian Hindun binti Abi
Umayyah (Ummu Salamah), Asma’ binti Abu Bakar, Zainab binti Abu Salamah,
Maimunah binti al Harits, Hafshah binti Umar, Ramlah binti Abi Sufyan, Ummu ‘Athiyah,
a. ‘Aisyah mengambil bagian terbanyak dalam meriwayatkan hadits dari Nabi saw. beliau
Tis’ah, riwayat hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 5965 yang tersebar
dalam 293 tema (83,6%) selain yang terdapat dalam Musnad Ahmad, dari 354 tema
b. Hindun binti Umayyah, hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 622 hadits dan
40
Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam; Suatu Tinjauan Syari’at Islam
Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim, hlm. 38.
41
Agung Danarta, “Perempuan Perawi Hadits” dalam http://haroqi.multiply.com/tag/hadits, diakses
tanggal 14 November 2011
42
Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam; Suatu Tinjauan Syari’at Islam
Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 36.
c. Asma binti Abu Bakar yang merupakan saudari Aisyah dan hadits yang disandarkan
d. Zainab binti Abu Salamah yang merupakan anak tiri Nabi saw setelah Nabi menikahi
e. Maemunah binti Al Harits, jumlah hadits yang disandarkan kepadanya ada 172 hadits.
f. Hafshah binti ‘Umar ibn Al Khatab, hadits yang disandarkan kepadanya sebanyak 147
hadits.
g. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan, hadits yang disandarkan kepadanya
h. Ummu ‘Athiyah Nusaibah binti Ka’ab, hadits yang disandarkan kepadanya sebanyak
119 hadits
i. Shafiyah binti Syaibah, hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 106 hadits.
j. Fahitah binti Abi Thalib (Ummu Hani) yang merupakan saudara perempuan Ali bin Abi
ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah, kekhawatiran akan
hilangnya hadis-hadis nabi disebabkan meninggalnya para sahabat dan tabi’in yang
benar-benar ahli dibidangnya sehingga jumlah mereka semakin hari semakin sedikit.
Hal ini kemudian memicu para ulama untuk segera membukukan hadis sesuai dengan
petunjuk sahabat yang mendengar langsung dari nabi. Disamping itu pergolakan politik
pada masa sahabat setelah terjadinya perang siffin yang mengakibatkan perpecahan
43
Agung Danarta, “Perempuan Perawi Hadits” dalam http://haroqi.multiply.com/tag/hadits, diakses
tanggal 14 November 2011
umat Islam kepada beberapa kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan
bangkitnya semangat para muslim khususnya Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah
untuk segera mengambil tindakan positif guna menyelamatkan hadis dari kemusnahan
sistematika penulisan yang baik, dikarenakan usia kodifikasi yang relatif masih muda
sehingga mereka belum sempat menyeleksi antara hadis nabi dengan fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi hadis
masih bercampur aduk antara hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in. walhasil, bahwa
kitab-kitab hadis karya ulama-ulama pada masa ini belum di pilah-pilah antara hadis
marfu’ mauquf, dan maqthu’, dan diantara hadis sahih, hasan dan dha’if. Namun tidak
berarti semua ulama hadis pada masa ini tidak ada yang membukukan hadis dengan
lebih sistematis, karena ternyata ada diantara mereka telah mempunyai inisiatif untuk
menulis hadis secara tematik, seperti Imam Syafi’i yang mempunyai ide cemerlang
Begitu juga karya Imam Ibnu Hazm yang hanya menghimpun hadis-hadis dari nabi
44
H Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 91-93.
kedalam sebuah kitab atas instruksi dari Umar bin Abd Aziz “Jangan kau terima selain
Makkah hadis telah dibukukan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq, di Madinah oleh Sa’id
bin Abi ‘Arubah, Rabi’ bin Shobih, dan Imam Malik, di Basrah oleh Hamad bin
Salamah, di Kufah oleh Sufyan Assauri, di Syam oleh Abu Amr al-Auza’I dan begitu
seterusnya.
sistematika pembukuan hadis agar lebih baik dibandingkan masa sebelumnya, usaha ini
dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka membukukan semata-mata dari hadis
rasulullah. Masa penyaringan hadis ini terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh
dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmum sampai dengan Al-Muktadir
Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode
tadwin (kodifikasi) para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan
maqtu’ dari hadis marfu’. Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis yang
dha’if dari yang shahih. Bahkan, masih ada hadis maudu’ yang tercampur pada hadis
shahih. Pada masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis
memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf dan
yang maqtu’ dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih
ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-kitab sahih karya mereka. Dengan
45
‘Ajjaj Al Khatib, As- Sunnah Qabla Tadwin, (Kairo: Dar al-Fikr, 1981), h. 166.
ketekunan dan kesabaran para ulama pada masa ini akhirnya bermunculan berbagai
kitab-kitab hadis yang lebih sistematis, seperti munculnya kutub as-sittah yang hanya
Usaha kodifikasi hadist dimulai pada masa pemerintahan islam yang dipimpin oleh
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayyah),
melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan
hadis dari para penghafalnya. Kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amar ibn Hazm
(Gubernur Madinah), khalifah (Umar ibn Abdul Aziz) mengirim instruksi, yang berbunyi:
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm (w. 117
H) agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada penghafal wanita yang terkenal yaitu
Amrah binti Abdurrahman Al-Anshari murid kepercayaan Siti ‘Aisyah, dan hadist-hadist
yang ada pada Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar. Instruksi yang sama ia tujukan
46
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003), h. 42-43.
47
M ‘Ajaj Al-Khatib, Op. Cit., halaman 329;Munzier Suparta, Op. Cit., halaman 89-90.
kepada Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri, yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak
Atas insturksi ini, Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadis-hadis nabi baik yang ada
pada dirinya maupun pada ‘Amrah murid kepercayaan Siti Aisyah. Disamping itu, khalifah
Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada para pegawainya diseluruh wilayah
kekuasaannya, yang isinya sama dengan isi suratnya kepada Ibnu Hazm. Orang pertama
yang memenuhi dan mewujudkan keinginannya ialah seorang alim di Hijaz yang bernama
Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri al-Madani (124H), yang menghimpun hadis
dalam sebuah kitab. Khalifah lalu mengirimkan catatan itu kesetiap penjuru
wilayahnya. Menurut para ulama, hadis-hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar bin Hazm
masih kurang lengkap, sedangkan hadis-hadis yang dihimpun oleh Ibnu Syihab al-Zuhri
dipandang lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap
Dari deskripsi diatas, dapat disimpulkan bahwa peranan Amrah binti Abdir Rahman
sangat signifikan. Beliau menjadi rujukan dan tumpuhan dalam mengumpulkan hadist,
tidak lain karena Amrah binti Abdir Rahman termasuk menghafal hadist yang terkenal dan
Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari
tahun ketahun semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini dikarenakan
usaha keras dari para pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi
melestarikan hadis nabi. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik
48
Mushthafa Al-Siba’i, op.cit., hlm. 104.
49
Subhi as-Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2007), h.34.
50
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 59.
dalam membukukan hadis mulai dari proses pembukuan yang masih acak hingga
berkembang menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan hadis yang lebih sistematis.
Pada masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih menyempurnakan susunan
dengan sesuai dengan kandungan dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu
mereka memberikan pen-syarahan (uraian) dan meringkas kitab-kitab hadis yang telah
disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Yakni usaha ulama hadis pada masa ini lebih
kodifikasi terhadap kita-kitab yang sudah ada, sehingga muncul berbagai kitab hadis
diantaranya:
a. Sunan al-Kubra, sebuah karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi (384-458
H.)
c. Nailul Authar, sebagai syarah (penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar, karya
a. Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abd Adzim al-Mundziry (656 H).
b. Dalil al-Fatihin, sebagai Syarah dari kitab Riyadussalihin, karya Muhammad Ibnu
911 H).
51
Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 454.
b. Dakhairu al-Mawarits fii al-Dalalati ala Mawadi’i al-Ahadis, karya sayyid Abdul
Ghani.
c. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil hadis an-nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr.
J.F. Mensing
Selain kitab-kitab diatas masih banyak lagi yang belum disebutkan. Dengan
demikian hadis nabi telah melewati perjalanan panjang dalam sejarah pembukuannya
sebagai upaya dari tanggung jawab generasi penerus untuk selalu menjaga dan
melestarikan pusaka yang telah diberikan oleh nabi Muhammad kepada umatnya.
Baghdad merupakan pusat pemerintahan dan peradaban pada masa Bani Abbasiyah.
Ibu kota Negara pada awalnya adalah al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun, pada masa
khalifah al-Mansyur ibu kota Negara dipindahkan ke kota yang baru didirikannya yaitu
kota Baghdad yang terletak di dekat ibu kota Persia, Ctesipon, pada tahun 762 M. Sejak
awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Sebagai pusat intelektual, di Baghdad terdapat beberapa pusat
aktivitas pengembangan ilmu. Di antaranya adalah Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu
pengetahuan yang menjadi pusat pengkajian berbagai ilmu yang di bangun oleh Khalifah
Selain itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi, dan sekolah biasa. Dua di
antaranya yang paling penting adalah perguruan Nizhamiyah dan Muntashiriyah,53 dan
menjadi pusat penterjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu ke dalam bahasa
52
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), h. 55
53
Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 277-278.
Arab.54 Dengan kata lain, kota Baghdad bisa dikatan sebagai embrio dari kebangkitan ilmu
pengetahuan dan peradaban dalam Islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada masa
khalifah ketiga, al-Mahdi, hingga khalifah kesembilan, al-Watsiq. Namun lebih khusus
Bani Abbasiyah dalam tiga periode.56 Periode pertama, dari Abul Abbas sampai al-Watsiq,
yaitu periode di mana kekuasaan berada di tangan khalifah. Para khalifah pada periode ini
adalah ulama yang berijtihad dan mengeluarkan fatwa, pahlawan dan pemimpin militer
yang perkasa serta memiliki kecintaan terhadap intelektual. Periode kedua, dimulai masa
pemerintahan Abu Fadl al-Mutawakkil sampai pertengahan khalifah al-Nashir. Pada masa
ini khalifah hanya sebagai simbol, kekuasaan politik mulai berpindah dari khalifah ke
tangan orang-orang Turki, kemudian beralih ke tangan golongan Buwaihi, dan kemudian
berpindah ke tangan Bani Saljuk. Sultan–sultan kecil sudah memiliki kedaulatan sosial-
politik, sedangkan khalifah hanya sebagai jabatan keagamaan yang sakral. Periode ketiga,
dimulai sejak pertengahan al-Nashir hingga akhir Bani Abbasiyah. Periode ini merupakan
masa runtuhnya sultan-sultan kecil dan khalifah sudah memiliki kekuatan kembali hingga
akhirnya diserang pasukan Hulagu Khan dari Mongol di era khalifah Abu Ahmad
Abdullah al-Mu’tashim.
Bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ketika pada masa periode kedua,
yaitu dimulai ketika masa khalifah Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan
a. Lemahnya khalifah
54
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2010), hlm.147.
55
Philip. K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Selamat Riyadi
(Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 369.
56
Syamsul Bakri, Peta Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), hlm. 54.
Setelah kekuasaan Bani Saljuk berakhir, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di
bawah kekuasaan dinasti tertentu. Para khalifah yang sudah merdeka dan berkuasa
kembali wilayah kekuasaan mereka sangat sempit dan terbatas, yaitu hanya di Baghdad
politiknya.
Khilafah Bani Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan
orang Persia masih belum puas dan mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja
dan pegawai dari Persia pula. Selain fanatisme karaban, muncul juga fanatisme bangsa-
bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Sementara itu, khalifah mengangkat
budak-budak dari Persia dan Turki untuk menjadi tentara atau pegawai. Hal ini
orang-orang Turki dan khalifah hanya dijadikan sebagai boneka. Posisi ini kemudian
direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia , selanjutnya beralih ke tangan dinasti Saljuk.
c. kemerosotan ekonomi
d. konflik keagamaan
Munculnya gerakan Zindiq, yang dilatar belakangi kekecewaan orang-orang
Persia, membuat khalifah merasa perlu mendirikan jawatan untuk mengawasi kegiatan
di balik ajaran Syi’ah. Sehingga banyak aliran Syi’ah yang dianggap ekstrem dan
menyimpang. Syi’ah adalah aliran yang dikenal sebagai aliran politik yang berhadapan
dengan paham Ahlussunnah. Keduanya, sering terjadi konflik yang kadang melibatkan
penguasa. Selain itu juga terjadi konflik antar aliran dalam Islam. Seperti konflik antara
Mu’tazilah dengan gologan Salaf.57 Akibat dari kemunduran dinasti Bani Abbasiyah
ini, membuat mereka sangat rentan terhadap serangan dari luar. Lemahnya para
khalifah dan tidak adanya persatuan di antara umat, mengakibatkan pertahanan negara
mudah ditembus.
Adapun puncak kehancuran baghdad terjadi pada tahun 1258, kehancuran ibukota
Abbasiyah. Meskipun faktor eksternal, serbuan kaum barbar (Mongol dan Tartar)
meruntuhkan kekhalifahan.58 Faktor internal seperti banyak dijelaskan di bab awal lebih
1. Faktor Politik
Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas
persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual
57
Yatim, Sejarah, h. 79-85
58 K.
Hitti, History. h. 616
Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan
mengirimkan pasukan kepada Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar
diserahkan sebagai ganti rugi kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi
wilayah Khawarizmi.59
2. Motif Ekonomi
Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-
menambah penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang
Pada peristiwa penyerbuan bangsa mongol yang dipimpin oleh Hulagu, cucu
Jenghis Khan di Kota Baghdad, selain motivasi inovasi dan penaklukan wilayah,
penyerbuan ini adalah puncak dari sengketa yang telah dimulai sejak tahun 1212 M.
Pada bulan safar 656 H/tahun 1253, Hulagu bersama ribuan tentaranya membasmi
mendapat jawaban. Pada tahun 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk
Pada bulan September tahun berikutnya, tatkala merangsek menuju jalan raya
menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah
59 Ensiklopedia
Islam, Op. Cit. 242
60
Ibid. h. 619
tetap enggan memberikan jawaban. Pada Januari 1258, anak buah Hulagu bergerak
dengan efektif untuk meruntuhkan tembok ibukota. Tak lama kemudian upaya
mereka membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng. Dengan
pasukan Khalifah. Hingga pada tanggal 10 Februari 1258, pasukan Hulagu telah
Khalifah bersama 300 pejabat dan Qadhi menawarkan penyerahan diri tanpa
syarat. Peristiwa ini menurut beberapa sumber sejarah setelah pengkhianatan wazir
khalifah Abbasiyah (wazir al-Qami). Setelah menyerahkan hadiah dan diri tanpa
Khalifah, keluarga, pejabat, pasukan dan rakyat Dinasti Abbasiyah. Selama 40 hari
ibunya, membakar rumah ibadah dan perpustakaan yang dibangun khalifah dan
Peristiwa ini menjadi sejarah besar dalam peradaban Islam, dan untuk pertama
khalifah islam membuat umat muslim pada abad ke-13 terhimpit diantara dua
kekuatan besar. Bagian timur umat muslim dihimpit pemanah pasukan mongol yang
Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi Ilmu Hadist. Semarang: RaSAIL Media.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Zuhri, Muh. 2003. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.
[1] Nurun Najwah, Wacana Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits) (Yogyakarta: Cahaya
[2] Nurun Najwah, Wacana Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits), hlm. 20.
[4] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi:
Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam
Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam
[6] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi:
Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam
[12] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian
Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan
dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2002), hlm. 48.
[13] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian
Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan
[14] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian
Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan
Syari’at Islam Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim, hlm. 38.
[16] Agung Danarta, “Perempuan Perawi Hadits”
Syari’at Islam Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim (Jakarta: Gema