Anda di halaman 1dari 37

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS

1. Hadis pada Periode Rasul

Pada periode ini sejarah hadits disebut “‘Ashr al-Wahyi wa at-Takwin” (masa

turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).1 Hasbi Ash-Shiddiqiey sebagaimana

yang dikutip oleh Endang Soetari mengatakan bahwa pada saat itulah hadits lahir berupa

sabda (aqwal), af’al dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Alquran dalam rangka

menegakkan syari’ah Islam dan membentuk masyarakat Islam.2

Alquran diturunkan kepada Rasulullah saw secara beransur-ansur selama 23 tahun.

Beliau menyampaikan kepada kaumnya dan orang-orang yang ada disekitarnya. Beliau

merinci ajaran-ajaran Islam, menerapkan hukum-hukum Alquran. Sepanjang hidupnya,

beliau berperan sebagai Pengajar, Hakim, Qadhi, Mufti, dan Pemimpin. Segala hal yang

berkaitan dengan umat Islam, yang kecil maupun yang besar, dan segala yang menyangkut

pribadi dan jamaah dalam berbagai lapangan kehidupan yang tidak disebut dalam Alquran,

tercakup dalam al-Sunnah: amaliyah (perbuatan), qauliyah (ucapan), atau taqririyah (izin).3

Dari sinilah kita menemukan hukum-hukum, norma-norma akhlak, ibadah-ibadah, dan cara

mendekatkan diri kepada Allah yang disyari’atkan, dipraktekkan dan disunnahkan selama

seperempat abad.

Dalam membina para shahabat, Rasulullah saw menjadikan Darul al-Arqam sebagai

tempat pembinaan para shahabat pada masa-masa dakwah secara sembunyi-sembunyi.

Kaum muslimin generasi awal berkerumun di sekeliling beliau, jauh dari kaum musyrikin

untuk mempelajari kitab Allah SWT. Kepada mereka beliau mengajarkan dasar-dasar Islam

dan menyampaikan wahyu Alquran. Setelah itu tempat tinggal Rasulullah saw di Makkah

1
H. Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 33
2
Ibid
3
M. Ajaj AL-Khatiib: penterjemah AH. Akrom Fahmi, Sunnah Qabla Tadwin, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), Cet. 1, h. 72
menjadi tempat barkumpul (nadwah) dan institusi (ma’had) mereka untuk menerima

Alquran dan menyerap hadis yang mulia, lansung dari Rasulullah saw.4

Rasulullah hidup ditengah-tangah para shahabatnya. Mereka dapat bertemu dan

bergaul dengan beliau secara bebas. Tidak ada perantara yang menghalangi mereka bergaul

dengan beliau. Yang tidak dibenarkan hanyalah mereka lansung masuk ke rumah Nabi

dikala beliau tidak ada di rumah. Yakni mereka tidak boleh masuk ke rumah dan berbicara

dengan para istri Nabi tanpa hijab.5

Nabi saw sebagai Rasul, sangat disegani dan ditaati oleh para shahabat, sebab mereka

sadar bahwa mengikuti Rasul dan sunnahnya adalah keharusan dalam berbakti kepada Allah

swt. Seluruh perbuatan Nabi saw, demikian juga seluruh ucapan dan tutur-kata beliau

menjadi tumpuan perhatian para shahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan

pedoman hidup. Oleh karena itu para shahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menerima

segala yang diajarkan Nabi saw baik berupa wahyu Alquran maupun hadisnya. Dan

disamping dorongan keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang

teguh serta mempunyai kecerdasan dan kecepatan dalam memahami sesuatu.6

Berdasarkan kesungguhan meniru dan meneladani Nabi saw, berganti-gantilah para

shahabat yang jauh rumahnya dari masjid, mendatangi majlis-majlis Nabi. Kabilah-kabilah

yang tinggal jauh dari kota Madinah selalu mangutus salah seorang anggotanya pergi

mendatangi Rasul untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka ke

kampung, merekapun segera mengejarkan kawan-kawannya sekampung. Hal ini

menerangkan, bahwa para shahabat sangat benar-benar memperhatikan gerak gerik Nabi

dan sangat memerlukannya untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka

meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menta’ati Nabi saw.

4
Ibid, h. 73
5
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 47
6
H. Endang Soetari AD, op.cit, h. 34
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa hadis diterima para shahabat dengan

secara lansung maupun tidak lansung dari segala cara hayat Nabi saw. Penerimaan hadis

secara lansung misalnya sewaktu nabi memberikan ceramah, pengajian, khutbah dan

penjelasan terhadap pertanyaan para shahabat. Adapun yang tidak lansung, seperti

mendengar dari shahabat lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan Nabi saw ke daerah-

daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi saw.7 Para shahabat setelah menerima

hadits Nabi saw dalam memelihara hadits-hadits yang mereka terima, mereka berpegang

pada kekuatan hafalan.8

Pada masa Nabi saw., kepandaian tulis baca dikalangan para shahabat sudah

bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Kepandaian tulis baca tersebut misalnya yang

dibawa ke Makkah dari daerah Hirah, dibawa antara lain oleh Harb Ibn Umayyah, seorang

yang banyak melawat yang kemudian orang-orang Quraisy belajar padanya. Oleh karena

kecakapan tulis baca di kalangan shahabat masih kurang, maka Nabi menekankan untuk

menghafal hadis, memahami, memelihara, mematerikan/memantapkan dalam amalan

sehari-hari, serta menyampaikan kepada orang lain.

Nabi bersabda :

Artinya :“Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar


ucapanku lalu dihafalnya, difahaminya, dan disampaikannya kepada orang persis
sebagai yang didengarnya, karena banyak sekali orang yang kepadanya disampaikan
berita lebih paham dari yang mendengarnya sendiri.” (HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi)

Dengan demikian, periwayatan hadis pada masa Nabi saw pada umumnya secara

musyafahah-musyahadah, menerima secara lisan, menginventarisir dan memelihara dalam

hafalan dan amalannya, serta menyampaikannya secara lisan pula.

7
Ibid
8
Raja’ Mushthafa Hazin, A’lam al-Muhaddisin wa nahijuhum. (Kairo: Univesitas al-Azhar, t.th), h. 20
Para periode Rasul saw, hadis belum mendapatkan perhatian yanng khusus dan serius

dari para sahabat. Para sahabat lebih banyak mencurahkan diri untuk menulis dan menghafal

ayat-ayat Alquran, meskipun dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana.

Periode Rasul merupakan periode awal pembentukan syari’at Islam. Oleh sebab itu,

aktifitas keilmuan senantiasa difokuskan untuk memahami dan mendalami sumber utama

ajaran Islam yaitu Alquran. Meskipun hadis belum mendapatkan pehatian khusus dari para

sahabat, Rasul saw sangat menaruh perhatian yang cukup besar dalam aspek pengembangan

ilmu pengetahuan. ‘Ajjaj al-Khatib dalam kitab as–sunnah qabl at-Tadwin menyebutkan

tentang sikap Rasul saw terhadap ilmu pengetahuan. Sikap ini sejalan dengan wahyu

pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada beliau, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-6 yang

intinya adalah perintah untuk membaca.9

Di antara bentuk sikap Rasul saw terhadap ilmu pengetahuan adalah; seruan Rasul

saw untuk mencari ilmu, seruan Rasul saw untuk menyampaikan ilmu pengetahuan

(ulama’), kedudukan orang yang mengajarkan ilmu, dan wasiat atau pesan Rasul saw untuk

menyebarluaskan ilmu pengetahuan.10

Dari beberapa catatan tentang hadis pada masa Nabi saw, ada dua hal penting yang

perlu dikemukakan, yaitu; larangan menulis hadis dan perintah menulis hadis. Pada awalnya

Nabi saw melarang para sahabat untuk menulis hadis karena dikhawatirkan akan terjadi

percampuran (ikhtilat) antara ayat-ayat Alquran dengan hadis. Namun demikian, harus pula

dipahami bahwa larangan itu tidak bersifat umum. Artinya larangan penulisan hadis itu

terkait dengan daya hafal masing-masing sahabat. Hal ini dibuktikan dengan adanya catatan

yang ditulis oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash tentang apa yang ia dengar dari Nabi. Catatan

‘Amr ini dikenal dengan nama al-Shahifah al-Shadiqah.

9
Al-Khatib, as-Sunnah Qabl at-Tadwin (Kairo : Maktabah Wahbah, 1963) , 36.
10
Ibid, 37-45.
Sedangkan tentang perintah untuk menulis hadis Nabi saw, hal itu harus dipahami

bahwa dengan hilangnya kekhawatiran akan terjadi percampuran antara ayat Alquran

dengan hadis Nabi saw, maka dengan sendirinya larangan untuk menulis hadis tersebut juga

hilang. Dengan demikian, tidak ada yang perlu dikontrakdisikan antara larangan penulisan

hadis di satu sisi dengan perintah penulisan hadis pada sisi yang lain.

2. Hadis pada Periode Kedua (Khulafaur Rasyidin)

Pada masa sahabat, kondisi hadis tidak banyak berkembang seperti halnya pada masa

Nabi saw. Kalau pada masa Nabi saw larangan penulisan hadis karena adanya kekhawatiran

terjadinya percampuran antara ayat Alquran dengan hadis maka pada masa sahabat, tidak

berkembangnya penulisan hadis karena adanya kekhawatiran akan dikesampingkan

Alquran. Seperti diketahui, setelah meninggalnya Nabi saw merupakan masa transisi yang

menyisakan berbagai macam persoalan internal umat Islam, di antaranya adalah masalah

khalifah dan belum dibukukannya Alquran. Keadaan ini sudah barang tentu menyulitkan

para sahabat sehingga belum terpikirkan secara serius untuk membukukan. Karena itulah,

dapat dipahami bahwa pada masa kekholifahan Abu bakr ash-Shiddiq, langkah pertama

adalah membukukan Alquran.

Meskipun secara khusus hadis belum mendapatkan perhatian yang serius, namun

periwayatan sudah mulai berkembang meskipun dengan jumlah yang masih sedikit. Hal ini

karena Abu Bakr, Umar juga dua khalifah terakir (Usman dan Ali ) sangat berhati-hati dalam

menerima periwayataan sahabat lain, termasuk periwayatan dari Abu Hurairah yang dalam

hal periwayatan hadis dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis.

Sikap hati-hati ini dilakukan untuk mencegah banyak beredarnya hadis-hadis palsu untuk

kepentingan-kepentingan tertentu yang terjadi, khususnya pada saat mulai terjadinya friksi

dalam tubuh umat Islam, sejak tahun ketujuh masa pemerintahaan khalifah Usman bin
Affan. Dengan demikian jumlah periwayatan hadis pada masa sahabat masih sangat sedikit,

meskipun tergolong banyak bila dibandingkan dengan jumlah hadis pada periode Nabi saw.

Dapat dikatakan bahwa hadis dalam periode sahabat adalah mematasi dan menyedikitkan

riwayat.

Adapun pada masa Tabi’in, maka pada masa ini telah berkembang dan meluas

periwayatan hadis. Masa yang dimulai sesudah masa ‘Usmaan dan ‘Ali ini merupakan

masauntuk mencari dan menghafal hadis serta menyebarkannya kepada masyarakat luas

dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadis (ar-rihlah fi talab al-

hadis). Kegiatan pencarian hadis ini sangat penting artinya, sebab pada masa inilah telah

mulai banyak beredar hadis palsu. Dengan demikin, pencarian yang dilakukan itu bukan

hanya semata-mata untuk mendapatkan hadis, tetapi juga sekaligus untuk menghindari

terjadinya hadis palsu yang diriwatkan oleh orng-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dengan kegiatan pencarian ini pula, satu riwayat dicocokkan validitasnya dengan

riwayat yang lain sehingga akan dapat diketahui mana yang betul-betul datang dari Nabi

saw dan mana yang bukan (palsu). Konfirmasi riwayat setidaknya berhasil meminamalisir

upaya terjadinya pemalsuan hadis.

Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya adalah

Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan, dan Ali

bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.11 Periode shahabat

disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah” yaitu masa pemastian dan

menyedikitkan riwayat.12. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih

mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Alquran. Akibatnya

11
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007), 79.
12
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 30.
periwayatan haditspun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap

hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadits.

Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan

para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan

atas nama Rasul saw, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Alquran.13 Keberadaan

hadits yang demikian harus dijaga keautentikannya sebagaimana penjagaan terhadap

Alquran. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-Rasyidin, dan sahabat lainnya

seperti al-Zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha keras untuk memperketat

periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.

Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni :14

a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi saw yang mereka

hafal benar lafazhnya dari Nabi saw.

b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya

karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi saw.

a. Abu Bakar al-Shiddiq

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadis dilakukan dengan sangat

hati-hati. Bahkan Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M),

Abu Bakar merupakan shahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya

dalam meriwayatkan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman

Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada

13
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 71.
14
Ibid, h. 46
seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta

yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk

Alquran dan prektek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar

lalu bertanya kepada para shahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu

Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar

seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan kewarisan

nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah

menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian

atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan

nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadits Nabi saw yang

disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.15

Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima

riwayat hadits, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar

meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi.

Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadits terlihat pada

tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putri Aisyah,

menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus

hadits. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar

catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadits.16 Hal ini

menjadi bukti sikap kehari-hatian Abu Bakar dalam periwayatan hadits.

Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa

Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa

pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman dan

15
H. Endang Soetari AD, h. 42
16
Ibid, h.43
kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan

kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak sedikit

shahabat Nabi, khususnya yang hafal Alquran, telah gugur di berbagai peperangan. Atas

desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan al-Qur’an

(jam’ al-Qur’an).17

Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat

dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun

demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadits tampak

tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini

antara lain terlihat pada pemerikasaan hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat.

b. Umar ibn al-Khathab

Tindakan hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh

sahabat Umar bin Khathab. Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Hal

ini terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin

Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para shahabat

yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadits Nabi tentang

apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi

Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena

saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadits ini.

Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu Musa

al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain.18 Kesemua itu menunjukkan kehati-

hatian Umar dalam periwaytan hadits. Disamping itu, Umar juga menekankan kepada

17
Ibid, h. 44
18
Ibid
para shahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya,

agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami Alquran.

Kebijakan Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadits,

sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan

hadits. Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi

dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, dan agar

perhatian masyarakat terhadap Alquran tidak tergangu.19

c. Utsman Ibn Affan

Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda

dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya saja, langkah

‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin Khatthab.

‘Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin

Hambal meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat puluh

hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan

hadits yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudu’.20 Dengan demikian

jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang

diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatthab.

Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan,

kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak dibandingkan bila

dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman

melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam berhati-hati dalam

meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap

para perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam periwaytan hadits. Hal tersebut

19
Ibid, h .46
20
Ibid, h. 47
terjadi karena selain pribadi ‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah

Islam telah makin luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan

pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.

d. Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda dengan

para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam

meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali RA tidak

menerima hadits sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.21 Hanya saja, kepada

orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta mereka untuk

bersumpah.

Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah

sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu,

apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak

mungkin keliru.

Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang

diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits

yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: pertama, hukuman denda (diyat); kedua,

pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan Ketiga, larangan melakukan

hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad

Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila

dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.22

Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi Thalib

sebanyak lebih dari 780 hadits. Sebagian mant dari hadits tersebut berulang-ulang karena

21
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999), 47.
22
H. Endang Soetari, Loc. Cit, h. 48
perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib

merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila dibandingkan dengan ke tiga khalifah

pendahulunya.23

Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan

hadits pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya.

Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan siatuasi pada zaman

sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang politik dikalangan umat Islam telah makin

menajam. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah

telah terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan

hadits. Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.24

3. Hadist Pada Periode Ketiga (Masa Sahabat kecil dan Tabi’in Besar)

Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan

menghafal hadis serta menyebarkannya kemasyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-

perlawatan untuk mencari hadis. Pada tahun 17, tentara Islam mengalahkan Syria dan Iraq.

Pada tahun 20 H, mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H, mengalakan Persia. Pada tahun 56

H, tentara Islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93 H, tentara Islam menaklukkan

Spanyol. Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Kota-kota itu kemudia menjadi

“perguruan” tempat mengajar Alquran dan Hadis yang meghasilkan sarjana-sarjana tabi’in

dalam bidang hadis.

Para sahabat yunior banyak yang mengadakan perjalanan jauh (rihlah ilmiyah)

untuk menghimpun atau mengecek kebenaran hadis dari sesamanya atau dari sahabat

yang lebih senior. Misalnya yang dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan

23
Ibid
24
Ibid, h. 49
rihlah ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos

perjalanan hanya ingin mendapatkan satu hadits yang belum pernah ia dengar.

Dari Abdullah bin Unays tentang Hadis

)‫(رواه البخارى احمد االطبرانى البيحاقى‬ ‫يخشر الناس عراة عزال بهما‬

“Manusia digiring pada hari kiamat telanjang tidak berpakaian, berwarna


hitam” (HR Bukhari, Ahmad, at-Thabrani, al-bayhaqi)

Demikian juga Abu Ayyub al-Anshari yang tinggal di Madinah pergi ke Mesir

untuk menemui ‘Uqbah bin Amir al-Juhari untuk menanyakan sebuah hadis yang

belum pernah ia dengar, yaitu sabda Nabi:

)‫من ستر مؤمنا فى الدنيا على كربته سترهللا يوم القيامة (رواه البيحا قى‬

“Barang siapa yang menutupi kesukaran-kesukaran orang mukmin di dunia,


maka Allah akan menutupinya pada hari kiamat” (HR Al-Bayhaqi)

Ada 6 orang diantara sahabat yang banyak meriwayatkan hadits ialah:

a. Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis dan ia mengambilnya lebih dari 300 orang

diantara sahabat.

b. Abdullah bin Umar bin Al-Khathab sebanyak 2.635 buah hadis

c. Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis

d. ‘Aisyah Ummi Al-Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis

e. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis

f. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis

Di antara kota-kota yang menjadi pusat kegiatan periwayatan hadis ialah sebagai

berikut:

a. Madinah

Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Madinah adalah

Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum pindah ke Kufah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar,
Abu Said Al-Khudri, dan Zaid bin Tsabit. Diantara tabi’in yang belajar kepada

mereka adalah: Sa’id, Urwah, Al-Zuhri, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin

Mas’ud, Salim bin Abdullah bin Umar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar,

Nafi’, Abi Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dan Abu Al-Zinad.

b. Makkah

Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Makkah adalah

Mu’adz bin Jabal dan Ibn Abbas. Sedangkan para Tabi’in yang belajar kepada

mereka adalah: Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Abu Al-Zubair

Muhammad bin Muslim.

c. Kufah

Diantara pemimpin besar hadits di Kufah adalah ‘Abdullah bin Mas’ud yang

belajar dari padanya antara lain Masruq, Ubaydah, Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim,

Said bin Jubair, Amir bin Syurahil, dan al-Sya’bi.

d. Bashrah

Di antara tokoh hadis di kota ini dari kalangan sahabat adalah Anas bin Malik,

‘Utbah, ‘Imran bin Hushain, Abu Barzah, Ma’qil bin Yasar, Abu Bakrah,

‘Abdurrahman bin Samurah, dan lain-lain. Sedangkan tabi’in yang belajar kepada

mereka antara lain: Abu al-Aliyah, Rafi’ bin Mihram, Al-Hasan al-Bishri,

Muhammad bin Sirin, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zayd, Qatadah, Mutharraf bin

Abdullah bin Syikhkhir, dan Abu Burdah bin Abu Musa.

e. Syam

Di Antara sahabat yang mengembangkan hadits di Syam adalah Mu’adz bin

jabal, ‘Ubadah bin al-Shamit, dan Abu al-Darda. Sedang dikalangan tabi’in adalah

Abu idris al-Khawlani, Qabishah bin Dzua’ib, Makhul, dan Raja’ bin Haywah.

f. Mesir
Di antara para sahabat di Mesir adalah Abdullah bin ‘Amr, ‘Uqbah bin ‘Amir

Kharijah bin Hudzaifah, Abdullah bin Sa’ad, Mahmiyah bin Juz, Abdullah bin

Harits, dan lain-lain kurang lebih ada 40 orang sahabat sedang di kalangan tabi’in

antara lain Abu al-Khayr Martsad al-Yazini dan Yazid bin Abi Habib.

Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitnah besar,

dimana mereka terpecah menjadi 3 golongan :

a. Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian dua

kelimpok yang bertikai.

b. Syi’ah sangat fanatik dan mengkultuskan ‘Ali

c. Jumhur umat Islam yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua diatas.

Diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang mendukung

pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam

kancah konflik.

Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat Hadis palsu

(mawdhu’) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau

partai-partai diatas untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal

terjadinya Hadis mawdhu’ dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik

secara internal yang kemudian diboncengi faktor-faktor lain. Ulama di kalangan

sahabat tidak tinggal diam dalam menghadapi pemalsuan hadis ini. Mereka berusaha

menjaga kemurnian Hadis dengan serius dan sungguh-sungguh, diantaranya

mengadakan perlawatan ke berbagai daerah Islam untuk mengecek kebenaran Hadis

yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan ataupun sanad. 25

4. Hadis pada Masa Tabi’in

25
Ash-shiddieqy, Loc. Cit, h. 46-49
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda dengan

yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengukuti jejak para sahabat sebagai

guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi

para sahabat. Pada masa ini Alquran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain,

usah yang taelah dirintis oleh paara sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya

masa kekhalifahan Usman para sahabat ahli hadis menyebar keberapa wilayah kekuasaan

Islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis.26

a. Pusat–pusat Pembinaan Hadis

Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai

tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits. Kota-kota tersebut ialah Madinah al-

Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan

Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadits pada kota-

kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan hadist cukup banyak,

antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin

Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudzri.27 Tokoh–tokoh dalam Perkembangan

Hadits Sahabat Kecil

Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits

disebut dengan al-Mukhtsirun fi al-Hadits. Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh-

tokoh periwayatan hadist sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada

masa tersebut, diantaranya:

1) Madinah

Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn

Umar, Sulaiman ibn Yassar.

26
Suparta, Munzier, Ilmu hadist,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008), h. 85.

27
Nor Ikhwan, Mohammad, Ilmu Hadist,(Semarang:Rasail Media, 2007),87.
2) Makkah

Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, dan Abu Zubair.

3) Kufah

Ibrahim an-Nakha’i, Alqamah.

4) Basrah

Muhammad ibn Sirin, Qatadah, Syam, dan Umar ibn Abdul Aziz.

5) Mesir

Yazid ibn Habib

6) Yaman

Thaus ibn Kaisan al-Yamani

b. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits

Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang

Jamal dan perang Sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib akan

tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut- larut dengan terpecahnya umat islam

kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas

yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).

Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup memberikan

pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung yang

bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadits–hadits palsu (maudhu’) untuk

mendukung kepentingan politiknya masing–masing kelompok dan untuk menjatuhkan

posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana

dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadist, sebagai upaya

penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik

tersebut.
5. Sahabat Perempuan yang Meriwayatkan Hadits

Kisah mengenai perempuan meriwayatkan suatu tindakan atau ucapan Nabi telah

muncul bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadits. Syarat-syarat riwayat atau hadits

tersebut dapat diterima diantaranya ialah sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh

periwayat yang ‘adil dan dhabit, tidak ada syadz dan ‘illat.28 Selain itu para muhaddisin

menyatakan bahwa jenis kelamin dan status seseorang tidak bisa dijadikan dasar diterima

atau tidaknya suatu berita atau kesaksian, pernyataan tersebut juga mendapatkan dukungan

dari tokoh-tokoh ahli fiqh seperti Al Khatib, A, Razi dan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani.

Salah satu argument yang dikemukakan al Khatib yaitu bahwa Nabi saw. pernah meminta

kesaksian Barirah dan beberapa perempuan lain dalam peristiwa Hadits al Ifki, sebuah kasus

yang bercerita tentang isu perselingkuhan Aisyah. Maka dari syarat yang telah ditetapkan

oleh muhadditsin tersebut tidak ada larangan bahwa perempuan tidak diperbolehkan

meriwayatkan hadits.29

Ibnu Shalah dan An Nawawi, mereka tidak mengaitkan keadilan dengan jenis kelamin

melainkan dengan kualitas-kualitas tertentu, seperti muslim, baligh, berakal, tidak

ternoda oleh perbuatan yang tidak terpuji dan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah

(keutamaan, kewibawaan, kesopanan).30 Az Zahabi dalam kitabnya mengemukakan bahwa

ia tidak menemukan satu perempuan pun yang tertuduh dusta dan ditinggalkan haditsnya.

Mengenai perempuan yang dikategorikan lemah, semata-mata karena tidak ada informasi

yang lebih jauh tentang latar belakang kehidupan mereka.31

Dibukanya majlis ta’lim khusus perempuan yang diisi oleh Nabi sendiri semakin

memperluas keterlibatan beberapa perempuan yang bukan termasuk istri Nabi dalam

28
M. Mawardi Djalaluddin, “Hadits Shahih” dalam M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadits
(Yogyakarta: Teras,2010), h. 244.
29
Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam
Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, hlm. 51.
30
Ibid. 50.
31
Ibid. 53.
periwayatan hadits. Dari majlis tersebut, datang beberapa pertanyaan mengenai agama atau

masalah lainnya yang diajukan kepada Rasulullah yang dibutuhkan penjelasan langsung dari

Rasulullah saw.32

Namun, meninggalnya Rasulullah memberikan pukulan berat bagi umat muslim

terutama kaum perempuan karena kondisi perempuan mengalami penurunan yang drastis

sepeninggalan beliau. Meskipun para istri Nabi dan beberapa sahabat perempuan masih

menjadi rujukan para sahabat atau tabi’in lain untuk mengetahui “berita tentang Nabi” akan

tetapi secara umum keterlibatan perempuan dalam wilayah public semakin memudar.

Terlebih karena adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh para khalifah,

misalnya pada masa Umar bin Khatab, perempuan tidak lagi diizinkan pergi ke masjid dan

adanya upaya masyarakat Arab untuk mengembalikan format perempuan dalam wilayah

domestic saja, yang merupakan penyebab utama kemunduran perempuan.33

Sedangkan pada masa tabi’in, jumlah tabi’in perempuan yang menonjol lebih sedikit

dari jumlah sahabat perempuan yang terlibat dalam periwayatan hadits. Menurut Ibn Sa’d

ada 94 tabi’in perempuan sedangkan menurut Ibn hajar ada 140 tabi’in perempuan adapun

menurut Ibnu Hibban ada 90 orang yang terlibat dalam periwayatan hadits sebagai salah

satu peran public.34

Adapun menurut Luthfi Fathullah yang juga menjabat sebagai Ketua Kajian Hadits

Al Mughni menyatakan bahwa jalur periwayatan perawi perempuan kebanyakan

berkembang melalui kerabat atau famili. Caranya, seorang kerabat meriwayatkan dari para

perawi perempuan tersebut, kemudian dia meriwayatkan ke kerabatnya yang lain. Dan

model periwayatan perawi perempuan itu cenderung mengerucut atau piramida terbalik.

Dari yang besar, kemudian mengecil. Misalnya, jika ada 100 perawi shahabiyah, maka pada

32
Nurun Najwah, Wacana,Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits) (Yogyakarta: Cahaya Pustaka,
2008), h. 19.
33
Ibid. 26.
34
Ibid.
masa tabi’in hanya tinggal 50 orang perawi. Selanjutnya semakin berkurang, dan ditutup di

zaman gurunya Bukhari meskipun ketika itu ada seorang perawi perempuan yang juga

bernama Aisyah.35

Sehingga menurut beliau beberapa faktor yang menyebabkan periwayatan perempuan

tidak bisa berkembang sebagaimana periwayatan laki-laki. Pertama, faktor keluarga. Kedua,

sedikit sulit bagi perempuan untuk melakukan rihlah. “Tradisi hadis adalah rihlah,

perempuan tidak melakukan rihlah, karena mengurusi keluarga,”. Kalau pun mereka

melakukan rihlah, paling tidak hanya untuk urusan silaturahim atau untuk menunaikan

umrah. Kalau mereka bertemu dengan kerabat yang meriwayatkan hadis, maka mereka pun

ikut meriwayatkannya.36

Perempuan pada masa awal Islam ini mengambil peran yang cukup signifikan dalam

keberlangsungan komunitas Muslim dengan menjaga mata rantai transmisi tentang

kehidupan Nabi saw.37 Namun sungguh ironi ketika para muhadditsin tidak

mempermasalahkan gender dalam periwayatan hadits, tapi generasi berikutnya justru seolah

menghalangi perempuan dalam meriwayatkan hadits. Karena factor politik dan budaya yang

cenderung memarginalkan perempuan sehingga turut menyumbangkan terjadinya

penurunan jumlah perempuan dalam periwayatan hadits.38

Baik dari segi kuantitas maupun kulitas dalam tradisi periwayatan hadits perempuan

tidak hanya pada transmisi hadits saja akan tetapi juga telah menunjukkan kualitas

keagamaan dengan tingkat integritas, intelektualitas dan kepercayaan yang tinggi.39

35
Salim, “Perawi Perempuan Dalam Tradisi” dalam http://www.majalahgontor.co.id, diakses tanggal
7 Desember 2011.
36
Salim, “Perawi Perempuan Dalam Tradisi” dalam http://www.majalahgontor.co.id, diakses tanggal
7 Desember 2011.
37
Badriyah Fayuni dan Alai Najib. Op. Cit, h. 48.
38
Ibid.
39
Ibid. 53-54.
Para ulama hadits tidak pernah ragu-ragu untuk mengambil riwayat dari para perawi

wanita sebagaimana mereka mengambil dari perawi laki-laki. Bahkan Al Hafidz bin ‘Asakir

pernah mengatakan bahwa jumlah guru-gurunya dari kaum perempuan lebih dari delapan

puluh orang.40 Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga memainkan peranan yang

penting dalam menyebarkan ilmu agama khususnya hadits.

Keterlibatan Perempuan dalam Periwayatan Hadits

Perawi hadits Nabi tak hanya dari istri-istri Nabi saw. saja akan tetapi adapula yang

bukan dari istri Nabi saw., jumlah hadits yang diriwayatkan pun berbeda-beda. Sahabat

perempuan yang meriwayatkan hadits dan ditulis dalam Al kutub At Tis’ah berjumlah 132

orang. Periwayat terbanyak adalah Aisyah binti Abu Bakar, kemudian Hindun binti Abi

Umayyah (Ummu Salamah), Asma’ binti Abu Bakar, Zainab binti Abu Salamah,

Maimunah binti al Harits, Hafshah binti Umar, Ramlah binti Abi Sufyan, Ummu ‘Athiyah,

Shafiyyah binti Syaibah dan Fahitah binti Abi Thalib.41

a. ‘Aisyah mengambil bagian terbanyak dalam meriwayatkan hadits dari Nabi saw. beliau

meriwayatkan 2.220 hadits sehingga beliau sangat mempengaruhi ‘fiqul Islam’,

kehidupan berpikir, beragama dan berpolitik kaum muslimin.42 Dalam Al Kutub At

Tis’ah, riwayat hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 5965 yang tersebar

dalam 293 tema (83,6%) selain yang terdapat dalam Musnad Ahmad, dari 354 tema

yang terdapat dalam kitab hadits sumber primer.

b. Hindun binti Umayyah, hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 622 hadits dan

terbagi dalam 120 bab. Ia merupakan istri Nabi saw.

40
Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam; Suatu Tinjauan Syari’at Islam
Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim, hlm. 38.
41
Agung Danarta, “Perempuan Perawi Hadits” dalam http://haroqi.multiply.com/tag/hadits, diakses
tanggal 14 November 2011
42
Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam; Suatu Tinjauan Syari’at Islam
Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 36.
c. Asma binti Abu Bakar yang merupakan saudari Aisyah dan hadits yang disandarkan

kepada Asma berjumlah 209 hadits.

d. Zainab binti Abu Salamah yang merupakan anak tiri Nabi saw setelah Nabi menikahi

Ummu Salamah. Hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 177 hadits.

e. Maemunah binti Al Harits, jumlah hadits yang disandarkan kepadanya ada 172 hadits.

f. Hafshah binti ‘Umar ibn Al Khatab, hadits yang disandarkan kepadanya sebanyak 147

hadits.

g. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan, hadits yang disandarkan kepadanya

berjumlah 144 hadits.

h. Ummu ‘Athiyah Nusaibah binti Ka’ab, hadits yang disandarkan kepadanya sebanyak

119 hadits

i. Shafiyah binti Syaibah, hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 106 hadits.

j. Fahitah binti Abi Thalib (Ummu Hani) yang merupakan saudara perempuan Ali bin Abi

Thalib, ia meriwayatkan 87 hadits dalam kutub at tis’ah.43

6. Sejarah Terkodifikasinya Hadis

a. Latar Belakang Munculnya Usaha Kodifikasi

Munculnya kegiatan untuk menghimpun dan membukukan hadis pada periode

ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah, kekhawatiran akan

hilangnya hadis-hadis nabi disebabkan meninggalnya para sahabat dan tabi’in yang

benar-benar ahli dibidangnya sehingga jumlah mereka semakin hari semakin sedikit.

Hal ini kemudian memicu para ulama untuk segera membukukan hadis sesuai dengan

petunjuk sahabat yang mendengar langsung dari nabi. Disamping itu pergolakan politik

pada masa sahabat setelah terjadinya perang siffin yang mengakibatkan perpecahan

43
Agung Danarta, “Perempuan Perawi Hadits” dalam http://haroqi.multiply.com/tag/hadits, diakses
tanggal 14 November 2011
umat Islam kepada beberapa kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan

pengaruh negatif kepada otentitas hadis-hadis nabi dengan munculnya hadis-hadis

palsu yang sengaja dibuat untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing

kelompok sekaligus untuk mempertahankan ideologi golongannya demi

mempertahankan madzhab mereka. Demikianlah persoalan yang menentukan

bangkitnya semangat para muslim khususnya Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah

untuk segera mengambil tindakan positif guna menyelamatkan hadis dari kemusnahan

dan pemalsuan dengan cara membukukannya.44

b. Sistematika Kodifikasi Hadits Pada Abad Kedua

Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan hadis priode awal

kodifikasi, pada umumnya para ulama dalam membukukannya tidak melalui

sistematika penulisan yang baik, dikarenakan usia kodifikasi yang relatif masih muda

sehingga mereka belum sempat menyeleksi antara hadis nabi dengan fatwa-fatwa

sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi hadis

menurut kelompok-kelompoknya. Dengan demikian karya ulama pada periode ini

masih bercampur aduk antara hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in. walhasil, bahwa

kitab-kitab hadis karya ulama-ulama pada masa ini belum di pilah-pilah antara hadis

marfu’ mauquf, dan maqthu’, dan diantara hadis sahih, hasan dan dha’if. Namun tidak

berarti semua ulama hadis pada masa ini tidak ada yang membukukan hadis dengan

lebih sistematis, karena ternyata ada diantara mereka telah mempunyai inisiatif untuk

menulis hadis secara tematik, seperti Imam Syafi’i yang mempunyai ide cemerlang

mengumpulkan hadis-hadis berhubungan dengan masalah talak kedalam sebuah kitab.

Begitu juga karya Imam Ibnu Hazm yang hanya menghimpun hadis-hadis dari nabi

44
H Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 91-93.
kedalam sebuah kitab atas instruksi dari Umar bin Abd Aziz “Jangan kau terima selain

hadis nabi SAW saja.”45

Kemudian pembukuan hadis berkembang pesat di mana-mana, seperti dikota

Makkah hadis telah dibukukan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq, di Madinah oleh Sa’id

bin Abi ‘Arubah, Rabi’ bin Shobih, dan Imam Malik, di Basrah oleh Hamad bin

Salamah, di Kufah oleh Sufyan Assauri, di Syam oleh Abu Amr al-Auza’I dan begitu

seterusnya.

c. Masa Pengembangan Sistem Kodifikasi Hadis

Pada permulaan abad ketiga para ahli hadis berusaha mengembangkan

sistematika pembukuan hadis agar lebih baik dibandingkan masa sebelumnya, usaha ini

kemudian memunculkan ide-ide untuk memilah-milah hadis dan memisahkannya

dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka membukukan semata-mata dari hadis

rasulullah. Masa penyaringan hadis ini terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh

dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmum sampai dengan Al-Muktadir

(sekitar tahun 201-300 H).

Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode

tadwin (kodifikasi) para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan

maqtu’ dari hadis marfu’. Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis yang

dha’if dari yang shahih. Bahkan, masih ada hadis maudu’ yang tercampur pada hadis

shahih. Pada masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis

yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil

memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf dan

yang maqtu’ dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih

ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-kitab sahih karya mereka. Dengan

45
‘Ajjaj Al Khatib, As- Sunnah Qabla Tadwin, (Kairo: Dar al-Fikr, 1981), h. 166.
ketekunan dan kesabaran para ulama pada masa ini akhirnya bermunculan berbagai

kitab-kitab hadis yang lebih sistematis, seperti munculnya kutub as-sittah yang hanya

memuat hadis-hadis nabi yang sahih yaitu:

1. Al-Jami as-sahih sebuah karya imam Bukhari (194-252 H).

2. Al-Jami as-sahih sebuah karya imam Muslim (204-261 H).

3. As-Sunan kitab karya Abu Daud (202-275 H).

4. As-Sunan kitab karya Tirmidzi (200-279 H).

5. As-Sunan kitab karya Nasa’i (215-302 H).

6. As-Sunan kitab karya Ibnu Majah (207-273 H).46

7. Peran Amrah Binti Abdir Rahman

Usaha kodifikasi hadist dimulai pada masa pemerintahan islam yang dipimpin oleh

Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayyah),

melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan

hadis dari para penghafalnya. Kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amar ibn Hazm

(Gubernur Madinah), khalifah (Umar ibn Abdul Aziz) mengirim instruksi, yang berbunyi:

“Perhatikan atau periksalah hadis-hadis Rasulullah SAW, kemudian tulislah! Aku


khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ahli.(Menurut suatu
riwayat disebutkan meninggalnya para ulama). Dan janganlah kamu terima, kecuali
hadis Rasulullah SAW.”47

Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm (w. 117

H) agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada penghafal wanita yang terkenal yaitu

Amrah binti Abdurrahman Al-Anshari murid kepercayaan Siti ‘Aisyah, dan hadist-hadist

yang ada pada Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar. Instruksi yang sama ia tujukan

46
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003), h. 42-43.
47
M ‘Ajaj Al-Khatib, Op. Cit., halaman 329;Munzier Suparta, Op. Cit., halaman 89-90.
kepada Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri, yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak

mengetahui hadis dari pada yang lainnya.48

Atas insturksi ini, Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadis-hadis nabi baik yang ada

pada dirinya maupun pada ‘Amrah murid kepercayaan Siti Aisyah. Disamping itu, khalifah

Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada para pegawainya diseluruh wilayah

kekuasaannya, yang isinya sama dengan isi suratnya kepada Ibnu Hazm. Orang pertama

yang memenuhi dan mewujudkan keinginannya ialah seorang alim di Hijaz yang bernama

Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri al-Madani (124H), yang menghimpun hadis

dalam sebuah kitab. Khalifah lalu mengirimkan catatan itu kesetiap penjuru

wilayahnya. Menurut para ulama, hadis-hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar bin Hazm

masih kurang lengkap, sedangkan hadis-hadis yang dihimpun oleh Ibnu Syihab al-Zuhri

dipandang lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap

sehingga tidak sampai kepada generasi sekarang.49

Dari deskripsi diatas, dapat disimpulkan bahwa peranan Amrah binti Abdir Rahman

sangat signifikan. Beliau menjadi rujukan dan tumpuhan dalam mengumpulkan hadist,

tidak lain karena Amrah binti Abdir Rahman termasuk menghafal hadist yang terkenal dan

merupakan murid kepercayaan ‘Aisyah RA.50

8. Masa Penyempurnaan Sistem Kodifikasi Hadits (Pentashihahn Hadis)

Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari

tahun ketahun semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini dikarenakan

usaha keras dari para pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi

melestarikan hadis nabi. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik

48
Mushthafa Al-Siba’i, op.cit., hlm. 104.
49
Subhi as-Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2007), h.34.
50
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 59.
dalam membukukan hadis mulai dari proses pembukuan yang masih acak hingga

berkembang menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan hadis yang lebih sistematis.

Pada masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih menyempurnakan susunan

pembukuan hadis dengan cara mengklasifikasikannya dan menghimpun hadis-hadis

dengan sesuai dengan kandungan dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu

mereka memberikan pen-syarahan (uraian) dan meringkas kitab-kitab hadis yang telah

disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Yakni usaha ulama hadis pada masa ini lebih

mengarah kepada pengembangan sistem pembukuan hadis dengan beberapa variasi

kodifikasi terhadap kita-kitab yang sudah ada, sehingga muncul berbagai kitab hadis

diantaranya:

Pertama, kitab-kitab hadis tentang hukum. Meliputi:51

a. Sunan al-Kubra, sebuah karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi (384-458

H.)

b. Muntaqal Akhbar, sebuah karya Majdudin al-Harrany (652 H).

c. Nailul Authar, sebagai syarah (penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar, karya

Muhammad bin Ali as-Syaukani (1172-1250 H).

Kedua, kitab-kitab hadis tentang targhib wattarhib, meliputi:

a. Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abd Adzim al-Mundziry (656 H).

b. Dalil al-Fatihin, sebagai Syarah dari kitab Riyadussalihin, karya Muhammad Ibnu

Allan al-Siddiqy (1057 H).

Ketiga, kamus-kamus hadis untuk memudahkan men-takhrij, meliputi:

a. Al-Jami’ussaghir fii Ahaditsil basyirnnadhir, karya Imam Jalaluddin Suyuthi (849-

911 H).

51
Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 454.
b. Dakhairu al-Mawarits fii al-Dalalati ala Mawadi’i al-Ahadis, karya sayyid Abdul

Ghani.

c. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil hadis an-nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr.

J.F. Mensing

d. Miftahu Kunuz al-Sunnah, karya Dr. Winsinc.52

Selain kitab-kitab diatas masih banyak lagi yang belum disebutkan. Dengan

demikian hadis nabi telah melewati perjalanan panjang dalam sejarah pembukuannya

sebagai upaya dari tanggung jawab generasi penerus untuk selalu menjaga dan

melestarikan pusaka yang telah diberikan oleh nabi Muhammad kepada umatnya.

9. Kota Baghdad Pada Masa Kejayaan Islam dan Keruntuhannya

Baghdad merupakan pusat pemerintahan dan peradaban pada masa Bani Abbasiyah.

Ibu kota Negara pada awalnya adalah al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun, pada masa

khalifah al-Mansyur ibu kota Negara dipindahkan ke kota yang baru didirikannya yaitu

kota Baghdad yang terletak di dekat ibu kota Persia, Ctesipon, pada tahun 762 M. Sejak

awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu

pengetahuan dalam Islam. Sebagai pusat intelektual, di Baghdad terdapat beberapa pusat

aktivitas pengembangan ilmu. Di antaranya adalah Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu

pengetahuan yang menjadi pusat pengkajian berbagai ilmu yang di bangun oleh Khalifah

al-Makmun dengan dipenuhi ribuan buku ilmu pengetahuan.

Selain itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi, dan sekolah biasa. Dua di

antaranya yang paling penting adalah perguruan Nizhamiyah dan Muntashiriyah,53 dan

menjadi pusat penterjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu ke dalam bahasa

52
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), h. 55
53
Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 277-278.
Arab.54 Dengan kata lain, kota Baghdad bisa dikatan sebagai embrio dari kebangkitan ilmu

pengetahuan dan peradaban dalam Islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada masa

khalifah ketiga, al-Mahdi, hingga khalifah kesembilan, al-Watsiq. Namun lebih khusus

lagi pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun anaknya.55

Syamsul Bakri mengutip dari A. Syalabi, secara umum membagi perkembangan

Bani Abbasiyah dalam tiga periode.56 Periode pertama, dari Abul Abbas sampai al-Watsiq,

yaitu periode di mana kekuasaan berada di tangan khalifah. Para khalifah pada periode ini

adalah ulama yang berijtihad dan mengeluarkan fatwa, pahlawan dan pemimpin militer

yang perkasa serta memiliki kecintaan terhadap intelektual. Periode kedua, dimulai masa

pemerintahan Abu Fadl al-Mutawakkil sampai pertengahan khalifah al-Nashir. Pada masa

ini khalifah hanya sebagai simbol, kekuasaan politik mulai berpindah dari khalifah ke

tangan orang-orang Turki, kemudian beralih ke tangan golongan Buwaihi, dan kemudian

berpindah ke tangan Bani Saljuk. Sultan–sultan kecil sudah memiliki kedaulatan sosial-

politik, sedangkan khalifah hanya sebagai jabatan keagamaan yang sakral. Periode ketiga,

dimulai sejak pertengahan al-Nashir hingga akhir Bani Abbasiyah. Periode ini merupakan

masa runtuhnya sultan-sultan kecil dan khalifah sudah memiliki kekuatan kembali hingga

akhirnya diserang pasukan Hulagu Khan dari Mongol di era khalifah Abu Ahmad

Abdullah al-Mu’tashim.

Bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ketika pada masa periode kedua,

yaitu dimulai ketika masa khalifah Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan

kemunduran Bani Abbasiyah, di antaranya adalah:

a. Lemahnya khalifah

54
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2010), hlm.147.
55
Philip. K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Selamat Riyadi
(Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 369.
56
Syamsul Bakri, Peta Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), hlm. 54.
Setelah kekuasaan Bani Saljuk berakhir, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di

bawah kekuasaan dinasti tertentu. Para khalifah yang sudah merdeka dan berkuasa

kembali wilayah kekuasaan mereka sangat sempit dan terbatas, yaitu hanya di Baghdad

dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit menunjukkan kelemahan

politiknya.

b. Persaingan antar bangsa

Khilafah Bani Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan

orang-orang Persia. Setelah berkuasa, persekutuan itu tetap dipertahankan. Orang-

orang Persia masih belum puas dan mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja

dan pegawai dari Persia pula. Selain fanatisme karaban, muncul juga fanatisme bangsa-

bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Sementara itu, khalifah mengangkat

budak-budak dari Persia dan Turki untuk menjadi tentara atau pegawai. Hal ini

mempertinggi pengaruh mereka terhadap kekhalifahan. Ketika pada masa al-

Mutawakkil, seorang khalifah yang dianggap lemah, kekuasaan dikendalikan oleh

orang-orang Turki dan khalifah hanya dijadikan sebagai boneka. Posisi ini kemudian

direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia , selanjutnya beralih ke tangan dinasti Saljuk.

c. kemerosotan ekonomi

Bersamaan dengan kemunduran dibidang politik, dinasti Bani Abbasiyah juga

mengalami kemunduran dibidang ekonomi. Penerimaan negara menurun disebabkan

makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak kerusuhan yang mengganggu

perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri.

Sementara pengeluaran membengkak dikarenakan kehidupan para khalifah dan pejabat

yang bermewah-mewahan. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan

perekonomian Negara morat-marit.

d. konflik keagamaan
Munculnya gerakan Zindiq, yang dilatar belakangi kekecewaan orang-orang

Persia, membuat khalifah merasa perlu mendirikan jawatan untuk mengawasi kegiatan

orang-orang tersebut dan memberantasnya. Gerakan ini mempropagandakan ajaran

Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Ketika mulai terpojok, mereka berlindung

di balik ajaran Syi’ah. Sehingga banyak aliran Syi’ah yang dianggap ekstrem dan

menyimpang. Syi’ah adalah aliran yang dikenal sebagai aliran politik yang berhadapan

dengan paham Ahlussunnah. Keduanya, sering terjadi konflik yang kadang melibatkan

penguasa. Selain itu juga terjadi konflik antar aliran dalam Islam. Seperti konflik antara

Mu’tazilah dengan gologan Salaf.57 Akibat dari kemunduran dinasti Bani Abbasiyah

ini, membuat mereka sangat rentan terhadap serangan dari luar. Lemahnya para

khalifah dan tidak adanya persatuan di antara umat, mengakibatkan pertahanan negara

mudah ditembus.

Adapun puncak kehancuran baghdad terjadi pada tahun 1258, kehancuran ibukota

mengiringi hilangnya hegemoni Arab dan berakhirnya sejarah kekhalifahan Dinasti

Abbasiyah. Meskipun faktor eksternal, serbuan kaum barbar (Mongol dan Tartar)

begitu dahsyat. Nyatanya Cuma berperan sebagai senjata pamungkas yang

meruntuhkan kekhalifahan.58 Faktor internal seperti banyak dijelaskan di bab awal lebih

berperan sebagai sebab kehancuran. Motif serangan mongol antara lain :

1. Faktor Politik

Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas

persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual

kepada saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata Mongol.

57
Yatim, Sejarah, h. 79-85
58 K.
Hitti, History. h. 616
Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan

mengirimkan pasukan kepada Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar

diserahkan sebagai ganti rugi kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi

Syah sehingga Jenghis Khan dengan pasukannya melakukan penyerangan terhadap

wilayah Khawarizmi.59

2. Motif Ekonomi

Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-

penaklukan dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib bangsanya,

menambah penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang

belum berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah

berperadaban maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.

Pada peristiwa penyerbuan bangsa mongol yang dipimpin oleh Hulagu, cucu

Jenghis Khan di Kota Baghdad, selain motivasi inovasi dan penaklukan wilayah,

penyerbuan ini adalah puncak dari sengketa yang telah dimulai sejak tahun 1212 M.

Pada bulan safar 656 H/tahun 1253, Hulagu bersama ribuan tentaranya membasmi

kelompok pembunuh Hasyasyin dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah.60 Hulagu

mengundang Khalifah al-Musta’shim (1242-1258) untuk bekerjasama

menghancurkan kelompok Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi undangan itu tidak

mendapat jawaban. Pada tahun 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk

“puri induk” di Alamut, telah direbut.

Pada bulan September tahun berikutnya, tatkala merangsek menuju jalan raya

Khurasan yang termasyhur, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar

menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah

59 Ensiklopedia
Islam, Op. Cit. 242
60
Ibid. h. 619
tetap enggan memberikan jawaban. Pada Januari 1258, anak buah Hulagu bergerak

dengan efektif untuk meruntuhkan tembok ibukota. Tak lama kemudian upaya

mereka membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng. Dengan

hancurnya salah satu menara benteng, semakin melemahkan sisa-sisa kekuatan

pasukan Khalifah. Hingga pada tanggal 10 Februari 1258, pasukan Hulagu telah

berhasil memasuki kota.

Khalifah bersama 300 pejabat dan Qadhi menawarkan penyerahan diri tanpa

syarat. Peristiwa ini menurut beberapa sumber sejarah setelah pengkhianatan wazir

khalifah Abbasiyah (wazir al-Qami). Setelah menyerahkan hadiah dan diri tanpa

syarat, 20 Februari (sepuluh hari setelahnya) mereka semua dibunuh. Termasuk

Khalifah, keluarga, pejabat, pasukan dan rakyat Dinasti Abbasiyah. Selama 40 hari

pasukan Hulagu membantai, menjarah, memperkosa wanita, membunuh bayi dan

ibunya, membakar rumah ibadah dan perpustakaan yang dibangun khalifah dan

bangunan – bangunan megah di kota Baghdad.

Peristiwa ini menjadi sejarah besar dalam peradaban Islam, dan untuk pertama

kalinya dalam sejarah, dunia Islam terbengkalai tanpa khalifah. Kekosongan

khalifah islam membuat umat muslim pada abad ke-13 terhimpit diantara dua

kekuatan besar. Bagian timur umat muslim dihimpit pemanah pasukan mongol yang

liar, dibagian barat dihimpit oleh para pasukan perang salib.


DAFTAR PUSTAKA

Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi Ilmu Hadist. Semarang: RaSAIL Media.

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki

Putra.

Rofi’ah, Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadist. Ponorogo: STAIN PO Press.

Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Graafindo Persada.

Zuhri, Muh. 2003. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya.

[1] Nurun Najwah, Wacana Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits) (Yogyakarta: Cahaya

Pustaka Yogyakarta, 2008), hlm. 10-13.

[2] Nurun Najwah, Wacana Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits), hlm. 20.

[3] M. Mawardi Djalaluddin, “Hadits Shahih” dalam M. Alfatih Suryadilaga dkk,

Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras,2010), hlm. 244.

[4] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi:

Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam

Literatur Islam Klasik, hlm. 51.


[5] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi:

Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam

Literatur Islam Klasik, hlm. 50.

[6] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi:

Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam

Literatur Islam Klasik, hlm. 53.

[7] Nurun Najwah, Wacana,Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits)

(Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008), hlm. 19.

[8] Nurun Najwah, Wacana,Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits), hlm. 26.

[9] Nurun Najwah, Wacana,Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits), hlm. 26.

[10] Salim, “Perawi Perempuan Dalam Tradisi”

dalam http://www.majalahgontor.co.id, diakses tanggal 7 Desember 2011.


[11] Salim, “Perawi Perempuan Dalam Tradisi”

dalam http://www.majalahgontor.co.id, diakses tanggal 7 Desember 2011.

[12] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian

Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan

dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2002), hlm. 48.

[13] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian

Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan

dalam Literatur Islam Klasik, hlm. 48.

[14] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian

Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan

dalam Literatur Islam Klasik, hlm 53-54.

[15] Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam; Suatu Tinjauan

Syari’at Islam Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim, hlm. 38.
[16] Agung Danarta, “Perempuan Perawi Hadits”

dalam http://haroqi.multiply.com/tag/hadits, diakses tanggal 14 November 2011

[17] Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam; Suatu Tinjauan

Syari’at Islam Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim (Jakarta: Gema

Insani Press, 1998), hlm. 36.

[18] Agung Danarta, “Perempuan Perawi Hadits”

dalam http://haroqi.multiply.com/tag/hadits, diakses tanggal 14 November 2011

Anda mungkin juga menyukai