I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Telah kita ketahui bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan pendidikan di dunia Islam
telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti
bahwa ketika nabi masih hidup, para sahabat banyak yang mencatat hal-hal yang diimlakan beliau
kepada mereka. Ada juga sejumlah sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau salinannya.
Hudzaifah r.a. menutukan bahwa Nabi meminta dituliskan nama orang-orang yang masuk Islam,
maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500 orang. Selain itu ada juga aturan registrasi nama
orang-orang yang mengikuti perang[1][1]
Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita kenal sabagai hadits akan
menjadi ushwah bagi para sahabat r.a. dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam
kehidupan mereka. Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak semua sahabat mendengar satu hadis secara
bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan hadits dalam shahifah agar tidak tercecer, seperti
shahifah Abdullah bin Amru bin Ash. Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits dari Abu Said
al Khudri meyebutkan
ُب َعنِّ ْي َغ ْي َر ْالقُرْ آ ِن فَ ْليَ ْم َس ُحه
َ َ َو َم ْن َكت،الَ تَ ْكتُب ُْوا َعنِّ ْي
”Jangan kalian tulis apa yang kalian dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-
Qur’an, hendaklah dihapus”.(H.R. Muslim)
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia telah diketahui tentang adanya
sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah
Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya [2][2]. Bahkan Muhammad Mustafa
Azami PhD menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul Studies in Early Hadits Literature bahwa
sejak awal pertama hijriyah buku-buku kecil berisi hadits telah beredar.[3][3]
Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW, kodifikasi hadits ini
tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an sampai abad pertama Hijriyah berlalu,
padahal bisa saja para sahabat mengumpulkan hadits-hadits shahih dan mensarikannya dalam sebuah
kitab. pengarang fajrul Islam memberi komentar :
Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar. Sebab
mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan meriwatkan dari
beliau 114.000 orang. Setiap orang masing-masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi
mengatakan sebuah hadits di hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain.
[4][4]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan pembukuan hadis ?
2. Bagaimana terjadinya pemalsuan hadis dan upaya penyelamatannya ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pembukuan hadis
2. Untuk mengetahui terjadinya pemalsuan hadis dan upaya penyelamatannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu dan sejarah hadits
Ilmu Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (Arabnya : ‘Ulum al
Hadits). ‘Ulum al Hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘Ulumu dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa
Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm jadi berarti “ilmu-imu”. sedangkan al Hadits di kalangan Ulama’
Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqri
atau sifat”. Dengan demikian ‘Ulum al Hadits mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas
atau berkaitan dengan Hadits Nabi”.
Secara umum para ulama Hadits membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadits
Riwayah (‘ilm al Hadits Riwayah) dan Hadits Dirayah (‘ilm al Hadits Dirayah):
a. Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang penukilan sabda-
sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri,
secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan. [5][5]
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu Ilmu Hadits yang khusus
berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi
SAW dan perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian lafaz-lafznya.Menurut
Muhammad `Ajjaj al-Khathib, yaitu Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala
sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau
pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat
diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan,
pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan
penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah pada dasarnya adalah
membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi
SAW.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Demikian pula dalam (Al-Thalaq [65] : 2)
َ g ِه َم ْن َكg َِوَأ ْش ِه ُدوا َذ َويْ َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َوَأقِي ُموا ال َّشهَا َدةَ هَّلِل ِ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم يُو َعظُ ب
ْؤ ِم ُنg ُان يg
ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرج ِ َّبِاهَّلل ِ َو ْاليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َو َم ْن يَت
“.......persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar.”
C. Periode Perkembangan Hadis
Menurut M. Hasbi ash-shiddieqy, perkembangan hadis telah melalui enam periode dan
sekarang telah menempuh periode yang ketujuh.
1. Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)
Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari
sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di dusun, dan ada yang di kota.
Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW
juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya diantara
sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
وحدثوا عني وال حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
”Dan ceritakanlah dariku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar
daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati
kedudukannya di neraka.”(H.R Muslim)
3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:
والتزروازرة وزرأخرى
Artinya:
"Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir: 18)
[1] Muhammad Mustafa Azami, 2000, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka
Firdaus, Hlm. 103
[2][2]Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997. hlm. 67
[3][3]Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. hlm. 121
[4][4]Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968. hlm. 285
.[5][5] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73
.[6][6] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73
.[7][7] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 45
[8][6] M. hasbi ash-shiddieqy, op.cit., hlm. 31
[9][7] Ibied., hlm. 34
[10][8] Endang Soetari, 2005, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar
Pustaka, hlm. 41
9Ash- Shiddieqy. Op. cit. hlm. 38
[12][10]Ibid., hlm. 39
[13][11] Ibied., hlm. 44
[14][15] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung : Ankasa, 1991), hlm. 109-110