Anda di halaman 1dari 10

BAB 

 I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Telah kita ketahui bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan pendidikan di dunia Islam
telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti
bahwa ketika nabi masih hidup, para sahabat banyak yang mencatat hal-hal yang diimlakan beliau
kepada mereka. Ada juga sejumlah sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau salinannya.
Hudzaifah r.a. menutukan bahwa Nabi meminta dituliskan nama orang-orang yang masuk Islam,
maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500 orang. Selain itu ada juga aturan registrasi nama
orang-orang yang mengikuti perang[1][1]
Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita kenal sabagai hadits akan
menjadi ushwah bagi para sahabat r.a. dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam
kehidupan mereka. Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak semua sahabat mendengar satu hadis secara
bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan hadits dalam shahifah agar tidak tercecer, seperti
shahifah Abdullah bin Amru bin Ash. Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits dari Abu Said
al Khudri meyebutkan
ُ‫ب َعنِّ ْي َغ ْي َر ْالقُرْ آ ِن فَ ْليَ ْم َس ُحه‬
َ َ‫ َو َم ْن َكت‬،‫الَ تَ ْكتُب ُْوا َعنِّ ْي‬
”Jangan kalian tulis apa yang kalian dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-
Qur’an, hendaklah dihapus”.(H.R. Muslim)
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia telah diketahui tentang adanya
sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah
Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya [2][2]. Bahkan Muhammad Mustafa
Azami PhD menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul Studies in Early Hadits Literature bahwa
sejak awal pertama hijriyah buku-buku kecil berisi hadits telah beredar.[3][3]
Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW, kodifikasi hadits ini
tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an sampai abad pertama Hijriyah berlalu,
padahal bisa saja para sahabat mengumpulkan hadits-hadits shahih dan mensarikannya dalam sebuah
kitab. pengarang fajrul Islam memberi komentar :
Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar. Sebab
mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan meriwatkan dari
beliau 114.000 orang. Setiap orang masing-masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi
mengatakan sebuah hadits di hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain.
[4][4]
B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan pembukuan hadis ?
2.      Bagaimana terjadinya pemalsuan hadis dan upaya penyelamatannya ?
C.   Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan pembukuan hadis
2.      Untuk mengetahui terjadinya pemalsuan hadis dan upaya penyelamatannya

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Ilmu dan sejarah hadits
Ilmu Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (Arabnya : ‘Ulum al
Hadits). ‘Ulum al Hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘Ulumu dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa
Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm jadi berarti “ilmu-imu”. sedangkan al Hadits di kalangan Ulama’
Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqri
atau sifat”. Dengan demikian ‘Ulum al Hadits  mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas
atau berkaitan dengan Hadits Nabi”.
Secara umum para ulama Hadits membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadits
Riwayah (‘ilm al Hadits Riwayah) dan Hadits Dirayah (‘ilm al Hadits Dirayah):
a.       Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang penukilan sabda-
sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri,
secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan. [5][5]
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu Ilmu Hadits yang khusus
berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi
SAW dan perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian lafaz-lafznya.Menurut
Muhammad `Ajjaj al-Khathib, yaitu Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala
sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau
pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat
diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan,
pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan
penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah pada dasarnya adalah
membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi
SAW.

b.      Pengertian Ilmu Hadits Dirayah


Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang
dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui keadaan perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy) dari
segi diterima atau ditolaknya.[6][6] Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu
Hadits Dirayah ini. Akan tetapi, apabila di cermati definisi-definisi yang mereka kemukakan,
terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok
bahasannya. Menurut ibnu al-Akfani, ilmu hadits yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang
bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya,
keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya. Menurut Imam al-Suyuti merupakan uraian dan elaborasi dari definisi
diatas, yaitu Hakikat Riwayat adalah kegiatan periwayatan sunnah (Hadits) dan penyandarannya
kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi 
“haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si fulan),atau ikhbar, seperti
perkataannya“akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si fulan). Menurut M. `Ajjaj al-
Khatib dengan definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu Ilmu Hadits Dirayah adalah
kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi
di terima atau ditolaknya. Al-rawi atau perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan
Hadits dari satu orang kepada yang lainnya.  Al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan,
yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau
Tabi`in. Keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui keadaan para perawi
dari
segi jarh danta`dil ketika tahammul dan adda`al-Hadits, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadits. Keadaan marwi adalah segala
sesuatu yang berhubungan denganittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya,
adanya `illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadits.

B.       Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits


Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah SAW mencurahkan segala aktifitasnya untuk
mendakwahkan Islam kepada umat manusia sehingga belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama
yang hanif ini.[7][7]  Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan
hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada
saat Rasulullah SAW masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam
bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits dikemudian hari.
Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau
pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya. Firman Allah dalam (Al-
Hujurat [49] : 6) menyatakan:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Demikian pula dalam (Al-Thalaq [65] : 2)
َ g‫ ِه َم ْن َك‬g ِ‫َوَأ ْش ِه ُدوا َذ َويْ َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َوَأقِي ُموا ال َّشهَا َدةَ هَّلِل ِ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم يُو َعظُ ب‬
‫ْؤ ِم ُن‬g ُ‫ان ي‬g
‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرج‬ ِ َّ‫بِاهَّلل ِ َو ْاليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َو َم ْن يَت‬
“.......persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar.”
C.      Periode Perkembangan Hadis
Menurut M. Hasbi ash-shiddieqy, perkembangan hadis telah melalui enam periode dan
sekarang telah menempuh periode yang ketujuh.
1.       Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)
            Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari
sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di dusun, dan ada yang di kota.
Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW
juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya diantara
sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
‫وحدثوا عني وال حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار‬
”Dan ceritakanlah dariku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar
daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati
kedudukannya di neraka.”(H.R Muslim)

·        Sebab-sebab hadis tidak ditulis setiap kali Nabi SAW. menyampaikannya.


Semua penulis sejarah rasul, ulama hadist dann umat islam bahwa Al-Qur’an mendapat
perhatian penuh dari Rasulullah dan dari para sahabat. Rasul memerintahkan para sahabat untuk
menghapal Al-Qur’an dan menulisnya di keeping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan lainnya.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur’an telah dihapal deengan sempurmna dan telah lengkap
ditulis, tapi belum dalam bentuk mushaf. Hadis dan sunnah, walaupun merupakan sumber yang
penting pula,dari sumber-sumber tasyri’, tidak memperoleh perhatian yang demikian
Perbedaan perhatian ini disebabkan oleh beberapa factor :
a.       Men-Tadwin-kan (membukukan) ucapan, amalan, serta muammalah Nabi adalah suatu hal yang
sukar, karena memerlukan adanya golongan sahabat yang terus-menerus menyertai Nabi untuk
menulis segala yang tersebut diatas, padahal orang-orang yang bisa, menulis pada masa itu bisa
dihitung dengan jari
b.      Karena orang Arab, disebabkan mereka tidak pandai menulis dan membaca tulisan. Kuat
berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala yang mereka ingin hafalkan. Menghafal wahyu
yang turun berangsur-angsur merupakan hal yang mudah, tidak seperti hadis.
c.       Dikhawatirkan akan bercampur dalm catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan
tidak sengaja. Karena itu nabi melarang mereka menulis hadis. [8][6]
Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits beliau seperti
Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari
yaman datang  dan berkata. ”Ya Rasulullah tuliskanlah untukku” maka nabi SAW bersabda
‫اكتبوا البي شاة‬
“tuliskanlah untuk abu syah ini.”[9][7]
            Setelah diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti sabda
Rasulullah saw  kepada Ibnu Umar yang diriwayatkan Abu Daud;
‫اكتب فوالذي نفسي بيده ما يخرج منه إال حق‬
”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran”
(H.R Abu Daud)
Kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa larangan menulis hadis yang di-nasakh-kan oleh
hadis abu said, dimansukhkan dengan izin yang datang sesudahnya sebagian ulama’ yang lain
berpendapat bahwa larangan menulis hadis tertentu terhadap mereka yang akan dikhawatirkan akan
mencapuradukkan hadis dengan Al-Qur’an. Izin  hanya diberikan kepada mereka yang tidak
dukhawatirka mencampurkan hadis dengan Al-Qur’an.
Tegasnya, mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentang antara larangan dan keizinan,
apabila kita pahami, bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al-Qur’an, dan
keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri
2.      Periode Kedua (Masa Khalifah Rasyidah)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan
dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat).[10][8]
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas.
Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar
melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan  sebaliknya, Umar
menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran. [11][9]
Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
1.      Dengan lafaz asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal
benar lafazh dari Nabi.
2.      Dengan maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak hapal lafaz asli
dari Nabi SAW.[12][10]
Dalam periode ini belum terjadi pembukuan hadis secra resmi dikarenakan para sahabat
berselisih mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraanya. Karena itu, tidak sah
mereka membukukan yang mereka perselisihkan itu. 
Para sahabat membuka jalan mencari hadis kepada umat sendiri. Mereka mengumpulkan
sekedar kesanggupannya. Dengan demikian tersusunlah segala sunnah. Lantaran itu, ada yang dapat
menukilkan hakikat lafal yang diterima dari Rasulullah. Dan sunah-sunnah yang bersih
dari ‘illah (cacat), ada yang hanya dihafal maknanya telah dilupakan lafalnya dan ada ynag
berselisihan riwayat daam menukilkan lafal-lafalnya dan berselisihan pula perawinya tentang
keprcayaan dan keadilan pemberitanya. Itulah sunnah-sunah yang dimasuki ‘illah.
Sunnah-sunnah dipilih mana yang shahih dan yang tidak oleh ulama’ yang ahli, berdasarkan keada
dasar-dasar yang shohih dan sendi-sendi yang kuat yang tidak dapat dicacatkan lagi oleh seorang
pencacat, atau dilemahkan.[13][11]
D.      Pemalsuan Hadis Dan Upaya Penyelamatan Hadis Nabi
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta
Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah
menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada
dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-
masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis
palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian
golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat
kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-
propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari
pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh
golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk
menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
1.      Orang yang kurang akal.
2.      Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa
nafsunya.
3.      Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
4.      Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis
yang diriwayatkannya.[14][15]
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis
yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi
tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya
dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu
dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais
berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan
mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis
palsu tersebut, yaitu antara lain :
1.      Kitab ‫تذكرت الموضوعات‬  oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdisi(w. tahun 507 H)
2.       Kitab  ‫الموضوعات الكبرى‬  oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta
menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu.
 Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:
1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan
oleh Nabi SAW., seperti hadis:

‫التسبوا الديك فإنه صديقي‬


Artinya:
"Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. "

2. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:


‫الباذنجان شفاء من كل داء‬
Artinya:
"Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. "

3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:

‫الَيدخل ولد الزنا الجنة‬


Artinya:
"Anak zina itu tidak akan masuk surga. "

4. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :

‫والتزروازرة وزرأخرى‬
Artinya:
"Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir: 18)

 Ulama’ juga menetapkan langkah-langkah dalam mengkritik  jalan-jaln menerima hadis sehingga


mereka dapat melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersihkan diri segala lumpur yang
mengotorinya ialah mengisnadkan hadis, memeriksa benar tidaknya hadis yang diterima kepada para
ahli, mengkritik para rawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajata
hadis, menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah-kaidah maudhu’.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam
pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai
kekuatan hafalan yang tinggi,  bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa
penulisan hadis tidak diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak
zaman Nabi. Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis
Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya
hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan
dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi
tidak ditemukan tanda-tandanya.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan
berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada
ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan,
hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan berbicara
dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di
jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan
perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para
sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa
yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati
apa-apa yang diperintahkan Nabi
DAFTAR PUSTAKA

Ali ,Rosnawati. 1997. Pengantar Ilmu Hadits. Kuala lumpur: Ilham Abati Enterprise.


Amin ,Ahmad, Fajrul Islam. 1968.Terj. Zaini Dahlan. Jakarta: Bulan Bintang,
Ash-shiddieqy, M. Hasbi. 2000. sejarah & pengantar hadis. Jakarta:bulan bintang.
Azami ,Muhammad Mustafa. 1996. Metodologi Kritik Hadits. Bandung: Pustaka Hidayah.
_______________________. 2000. Studes in Early Hadith Literature. Terj. Ali Mustafa Ya'qub. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Ismail ,Syuhudi. 1991. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung : Ankasa.
Soetari ,Endang. 2005. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka.

[1] Muhammad Mustafa Azami, 2000, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka
Firdaus,  Hlm. 103
[2][2]Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997. hlm. 67
[3][3]Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. hlm. 121
[4][4]Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968. hlm. 285
.[5][5] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73
.[6][6] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73
.[7][7]  Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 45
[8][6] M. hasbi ash-shiddieqy, op.cit., hlm. 31
[9][7] Ibied., hlm. 34
[10][8] Endang Soetari, 2005,  Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar
Pustaka, hlm. 41
9Ash- Shiddieqy. Op. cit. hlm. 38
[12][10]Ibid.,  hlm. 39
[13][11] Ibied., hlm. 44
[14][15] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung : Ankasa, 1991), hlm. 109-110

Anda mungkin juga menyukai