ILMU HADITS
(DEFENISI,CABANG ILMU HADITS,SEJARAH ILMU HADITS,DAN KITA-KITAB ILMU HADITS)
“Ilmu hadis adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana hadis-hadis bisa tersambung hingga sampai kepada Rasul
SAW. baik dari sisi ke-ḍabit-an dan keadilan periwayatnya, maupun dari sisi sambung atau putusnya rangkaian rantai
sanad.”
Ilmu hadis juga diartikan sebagai suatu ilmu yang dapat digunakan untuk mengetahui betul atau tidaknya ucapan,
perbuatan, ketetapan dari Nabi Muhammad Saw.
Artinya: Ilmu hadis adalah ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan periwayat
atau sesuatu yang diriwayatkan.”
Imam ‘Izz ad-Din bin Jama’ah sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin As-Suyūt ̣ī (w. 911 H)
dalam Tadrīb a-Rāwī fī Syarḥ Taqrīb an-Nawawī mengatakan:
Artinya: Ilmu hadis adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan.
Sanad atau isnad (jamak) secara etimologi artinya sandaran. Sedangkan secara terminologi adalah
mata rantai atau jalan yang bersambung sampai kepada matan (isi hadis) yang terdiri dari para rawi
yang meriwayatkan matan hadis dan menyampaikannya.
CABANG ILMU HADITS
“Semoga Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu
(hadits), lantas dia menyampaikannya (Hadits tersebut) sebagaimana dia dengar,
kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang
mendengar.” (HR: Al-Tirmidzi).
Berdasarkan pada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi di atas, maka para Sahabat
mulai meneliti dan bersikap hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits
hadits Nabi ﷺ, terutama apabila mereka meragukan si pembawa atau
penyampai riwayat hadits tersebut. Dengan demikian, mulailah lahir
pembicaraan mengenai isnad dan nilainya dalam menerima dan menolak suatu
riwayat hadits.
Demikian pula teguran Abu Bakar kepada Umar ibn Khattab yang teks tulisan
haditsnya masih belum tuntas dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan
perbedaan dalam mempersepsikan hadits . Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan
bahwa orang yang mula-mula meletakkan dasar-dasar ilmu hadits ini adalah
Imam Ibnu Syihab al-Zuhri (51-124).
Setelah terjadi kasus pemalsuan terhadap hadits-hadits Nabi, barulah ada gerakan yang signifikan
dalam proses penerimaan dan periwayatan hadits. Sejak itulah perhatian ulama tertuju kepada
kredibilitas perawi dan peletakan kaedah-kaedah yang dapat dijadikan acuan dalam penerimaan
hadits dan penolakannya.
Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, para Sahabat mulai meminta keterangan
tentang orang-orang yang menyampaikan hadits atau khabar kepada mereka. Mereka menerima
atau mengambil hadits dari orang-orang yang tetap berpegang kepada Sunnah Rasul ﷺ, dan
sebaliknya mereka tidak mengambil hadits dari mereka para ahli bid’ah.
Pada awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadits serta kredibilitas perawi
(ilmu dirayah) masih tersisip dalam buku-buku yang belum spesifik, berbaur dengan berbagai
makalah seperti yang dilakukan Imam Al-Syafi’i dan lainnya dalam karya-karya mereka. Tidak
ditemukan kepastian tahun berapa ilmu hadits lahir, tetapi yang jelas bahwa ilmu ini lahir ketika
Hadits sudah terkodifikasi pada abad ke-2 H. Dengan demikian, rintisan ilmu Hadits terjadi pada
abad ke-3 H. Memang seperti pengetahuan tentang kredibilitas perawi sudah ada sejak zaman
Rasulullah ﷺ, tetapi pada saat itu belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Ketika Imam Syafi’i (w.204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu Hadits telah mengalami
perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang
periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah usul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-
Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan hadits-hadits yang
bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai
tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain.
Sesudah generasi Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-
Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w.276 H) menyusun kitab Ta’wil
Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Sahih-nya, At-Turmudzi menulis al-
Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Tabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari
menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Du’afa’. Dengan banyaknya ulama yang
menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu Hadits pada abad III H, maka dapat dipahami
mengapa abad ketiga disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum
membahas ilmu Hadits secara lengkap dan sempurna.
Pada abad keempat dan kelima Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab
kitab yang membahas tentang ilmu Hadits yang bersifat komprehensif.
Penulisan ilmu Hadits secara lebih lengkap dimulai ketika al-Qadi Abu
Muhamad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmuzi (w. 360 H/abad IV H) menulis
buku al-Muhaddis al-Fasil Bayn al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al
Naysaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis, al-Khatib Abu Bakar al
Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’. Al-Kifayah fi Ilm al
Riwayah dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.