Anda di halaman 1dari 12

STUDI HADITS

ILMU HADITS
(DEFENISI,CABANG ILMU HADITS,SEJARAH ILMU HADITS,DAN KITA-KITAB ILMU HADITS)

Dr. Azzuhri Al Bajuri, S.H.I. , M.H.I.

YOLA SEPTIYENTI (02070625960)


LAILY RIZKI AMALIA (02070626491)
DEFINISI
Ilmu hadis (ulūm al-ḥadīsׂ) terdiri dari dua kata, yaitu ilmu (ulūm) dan al-ḥadīsׂ. Kata ‘ulūm dalam bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari ‘ilm, yang berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-ḥadīs ׂ di kalangan ulama hadis berarti “segala sesuatu
yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. dari perbuatan, perkataan, takrir, atau sifat.”Dengan demikian,
gabungan kata ulūm al-hadῑs mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis Nabi
Muhammad SAW.” Sedangkan menurut ulama mutaqaddimin, ulūm al-ḥadīs ׂ adalah:

“Ilmu hadis adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana hadis-hadis bisa tersambung hingga sampai kepada Rasul
SAW. baik dari sisi ke-ḍabit-an dan keadilan periwayatnya, maupun dari sisi sambung atau putusnya rangkaian rantai
sanad.”

Ilmu hadis juga diartikan sebagai suatu ilmu yang dapat digunakan untuk mengetahui betul atau tidaknya ucapan,
perbuatan, ketetapan dari Nabi Muhammad Saw.
Artinya: Ilmu hadis adalah ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan periwayat
atau sesuatu yang diriwayatkan.”
Imam ‘Izz ad-Din bin Jama’ah sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin As-Suyūt ̣ī (w. 911 H)
dalam Tadrīb a-Rāwī fī Syarḥ Taqrīb an-Nawawī mengatakan:

Artinya: Ilmu hadis adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan.
Sanad atau isnad (jamak) secara etimologi artinya sandaran. Sedangkan secara terminologi adalah
mata rantai atau jalan yang bersambung sampai kepada matan (isi hadis) yang terdiri dari para rawi
yang meriwayatkan matan hadis dan menyampaikannya.
CABANG ILMU HADITS

1. Ilmu rijāl al-hạdīs


2. Ilmu garīb al-ḥadīś
3. Ilmu al-naskh wa al-mansūkh
4. Ilmu Talfīq al-Hadīt
5 . Ilmu ’Ilāl al-Hadīś
6. Ilmu Asbāb al-Wurūd al-HadīS
7. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dīl
SEJARAH ILMU HADITS

Pada dasaranya ulumul hadits telah lahir sejak dimulainya


periwayatan hadits di dalam Islam, terutama setelah Rasulullah ‫ﷺ‬
wafa. Ketika itu umat Islam merasakan perlunya menghimpun hadits
hadits Rasulullah‫ ﷺ‬ dikarenakan adanya kekhawatiran hadits-hadits
tersebut akan hilang atau lenyap.
Para Sahabat telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan
metode-metode tertentu dalam menerima hadits, namun mereka
belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut. Di dalam Surat Al
Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintah orang-orang yang beriman
untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari
orang-orang yang fasik.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.” 
(QS. Al-Hujurat: 6)

Di dalam sebuah hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :

“Semoga Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu
(hadits), lantas dia menyampaikannya (Hadits tersebut) sebagaimana dia dengar,
kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang
mendengar.” (HR: Al-Tirmidzi).
Berdasarkan pada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi di atas, maka para Sahabat
mulai meneliti dan bersikap hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits
hadits Nabi‫ ﷺ‬, terutama apabila mereka meragukan si pembawa atau
penyampai riwayat hadits tersebut. Dengan demikian, mulailah lahir
pembicaraan mengenai isnad dan nilainya dalam menerima dan menolak suatu
riwayat hadits.

Diantara Sahabat ada yang saling menegur temannya ketika terjadi


kesalahpahaman terhadap suatu teks. Seperti yang dilakukan
Aisyah Radhiallahu anha terhadap kesalahan Anas ibn Malik dalam hal mayat
akan disiksa lantaran ditangisi oleh keluarganya.

Demikian pula teguran Abu Bakar kepada Umar ibn Khattab yang teks tulisan
haditsnya masih belum tuntas dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan
perbedaan dalam mempersepsikan hadits . Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan
bahwa orang yang mula-mula meletakkan dasar-dasar ilmu hadits ini adalah
Imam Ibnu Syihab al-Zuhri (51-124).
Setelah terjadi kasus pemalsuan terhadap hadits-hadits Nabi, barulah ada gerakan yang signifikan
dalam proses penerimaan dan periwayatan hadits. Sejak itulah perhatian ulama tertuju kepada
kredibilitas perawi dan peletakan kaedah-kaedah yang dapat dijadikan acuan dalam penerimaan
hadits dan penolakannya.

Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, para Sahabat mulai meminta keterangan
tentang orang-orang yang menyampaikan hadits atau khabar kepada mereka. Mereka menerima
atau mengambil hadits dari orang-orang yang tetap berpegang kepada Sunnah Rasul‫ ﷺ‬, dan
sebaliknya mereka tidak mengambil hadits dari mereka para ahli bid’ah.

Pada awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadits serta kredibilitas perawi
(ilmu dirayah) masih tersisip dalam buku-buku yang belum spesifik, berbaur dengan berbagai
makalah seperti yang dilakukan Imam Al-Syafi’i dan lainnya dalam karya-karya mereka. Tidak
ditemukan kepastian tahun berapa ilmu hadits lahir, tetapi yang jelas bahwa ilmu ini lahir ketika
Hadits sudah terkodifikasi pada abad ke-2 H. Dengan demikian, rintisan ilmu Hadits terjadi pada
abad ke-3 H. Memang seperti pengetahuan tentang kredibilitas perawi sudah ada sejak zaman
Rasulullah‫ ﷺ‬, tetapi pada saat itu belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Ketika Imam Syafi’i (w.204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu Hadits telah mengalami
perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang
periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah usul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-
Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan hadits-hadits yang
bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai
tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain.

Sesudah generasi Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-
Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w.276 H) menyusun kitab Ta’wil
Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Sahih-nya, At-Turmudzi menulis al-
Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Tabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari
menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Du’afa’. Dengan banyaknya ulama yang
menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu Hadits pada abad III H, maka dapat dipahami
mengapa abad ketiga disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum
membahas ilmu Hadits secara lengkap dan sempurna.
Pada abad keempat dan kelima Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab
kitab yang membahas tentang ilmu Hadits yang bersifat komprehensif.
Penulisan ilmu Hadits secara lebih lengkap dimulai ketika al-Qadi Abu
Muhamad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmuzi (w. 360 H/abad IV H) menulis
buku al-Muhaddis al-Fasil Bayn al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al
Naysaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis, al-Khatib Abu Bakar al
Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’. Al-Kifayah fi Ilm al
Riwayah dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.

Pada abad-abad berikutnya, bermunculan karya-karya di bidang Ilmu hadits, yang


sampai sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan Ilmu Hadits,
diantaranya adalah : ‘Ulum al-Hadits oleh Abu Utsman ibn Abd al-Rahman yang lebih
dikenal dengan Ibn al-Shalah (w. 643 H/1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al
Nawawi oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (w. 911 H/ 1505 M)
KITAB-KITAB ILMU HADITS
● 1) al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i
● 2) Ma’rifatu ‘Ulum al-Hadits
● 3) al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifati ‘Ulum al-Hadits
● 4) al-Kifayah fi Ma’rifati Ushul ar-Riwaayah
● 5) al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adaab as-Saami’
● 6) Al-Ilmaa’ ilaa Ma’rifati Ushul ar-Riwaayah wa Taqyiid as-Samaa’
● 7) ‘Ulum al-Hadits (Muqaddimah Ibn as-Shalah)
● 8) at-Taqrib wa at-Taysir li Ma’rifati Sunan al-Basyir wa an-Nadziir
● 9) al-Baa’its al-Hatsiis Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits
● 10) at-Tabshirah wa at-Tadzkiran
● 11) Fath al-Mughiits bi Syarh Alfiyyati al-Hadits
● 12) Nukhbatu al-Fikar fi Mushtholah Ahl al-Atsar
● 13) al-Manzhumah al-Baiquniyyah
● 14) Qawaa’id at-Tahdiits
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai