Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH CABANG-CABANG ILMU HADITS

CABANG-CABANG ILMU HADITS

I. PENDAHULUAN

Ilmu hadits telah tumbuh sejak zaman Rosul SAW, sejalan dengan diwurudkannya hadits kepada para
sahabatnya. Rosul juga telah menetapkan aturan bagaimana hadits bisa diterima atau disampaikan
kepada yang lain dengan cara tertentu. Pada masa sahabat dan masa Tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu
ini semakin terasa karena kewafatan Rosul. Oleh karenanya diperlukan tolok ukur untuk menguji
kebenaran suatu hadits.

Diakui bahwa ilmu hadits dirayah merupakan mizan yang harus dipergunakan untuk menghadapi ilmu
hadits riwayah. Ilmu hadits dirayah sudah dibahas oleh para ulama akan tetapi masih berserakan di
beberapa kitab. Ilmu hadits mulai dibukukan dalam kitab tersendiri sebagai ilmu pada abad ke-3 H. Buku
ulum al-Hadits pada perkembangan selanjutnya telah terspesialisasi pembahasannya. Apabila di
kelompokkan cabang-cabang tersebut pada pokok-pokok masalah maka dapat dikemukakan pertama
pembahasan yang berpangkal sanad dan rawi salah satunya ilmu Rijal al-Hadits, kedua pembahasan
yang berpangkal dari matan salah satunya Ilmu Asbab wurud al-Hadist, ketiga pembahasan yang
berpangkal dari sanad dan matan yaitu Ilmu Mukhtalif al-Hadits dan Ilmu Ma’na Al-Hadits.

II. PEMBAHASAN

A. Ilmu Rijal al-Hadits

‫علم ينحث فيه عن رواةالحديث من الصحابةوالتابعين ومن بعدهم‬

“ilmu yang membahas para perawi hadist, baik dari sahabat, dari tabi’in maupun dari angkatan-
angkatan sesudahnya.”[1]

Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rosulullah SAW.
Dan dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas atau riwayat hidup para
perawi, mazhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima
hadits.

Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangakan riwayat-
riwayat ringkas dari para sahabat, riwayat umum, dan riwayat perawi yang lemah, atau para mudallis.
Ada juga yang menerangkan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai
untuk itu serta martabat-martabaat perkataan.[2]
Ilmu hadits ini melengkapi sanad dan matan dimana orang-orang sanad itulah yang menjadi perawi-
perawi hadits . maka mereka adalah pokok pembicaraan di ilmu rilal al-Hadits. Ilmu rijal al-Hadits di bagi
menjadi dua yaitu:[3]

1. Ilmu tarikhir ruwah

Ilmu yang membicarakan tentang sejarah peerawi-perawi hadits. Yakni:

‫العلم الذى يعرف برواة الحديث من الناحيةالتى تتعلق بروايتهم للحديث فهويتنابالبيان احوال الرواةويذكرتاريخوالدةالراوىووفاته وشيوخه‬
‫وتاريخ سماعه منهم ومنروىعنه وبالدهم ومواطنهم ورحالة الراوى وتاريخ قدومه الى البلدان المختلفة وسماعه من بعض الشيوخ قبلل‬
‫االختالط ام بعده وغيرذلك مماله صلة بامور الحديث‬

“ilmu yang mengenalkan pada kita perawi-perawi hadits dari segi mereka meriwayatkan hadist. Maka
ilmu ini menerangkan keadaan-keadaan perawi, hari kelahirannnya, kewafatannya, guru-gurunya, masa
dia mulai mendengar hadits dan orang-orang yang meriwayatkan dari padanya, negerinya, tempat
kediamannya, perlawatan-perlawatannya, sejarah kedatangannya ke tempat-tempat yang dikunjungi
dan segala yang berhubungan dengan urusan hadits.[4]

Ilmu ini lahir bersamaan dengan lahirnya periwayatan hadits dalam Islam. Para ulama menganggap ilmu
ini penting, karena mereka bisa mengetahui keadaan-keadaan perawi tentang umur, tempat kediaman,
sejarah perawi belajar, sebagaimana para ulama menanyakan tentang pribadi perawi agar
kemustahilannya dan kemunqathi’annya, kemarfu’annya dan kemauqufannya jelas. Karena memang
sejarah adalah senjata yang ampuh untuk melawan pendusta. Sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats
Tsauri:

‫الكذب استعملنالهم التارخالرواة لمااستعمل‬

“tatkala para perawi mempergunakan kedustaan, kamipun mempergunakan sejarah”.[5]

2. Ilmu Jarh wa at-Ta’dil

Ilmu Jarh wa at-Ta’dil hakikatnya adalah suatu ilmu yang masih termasuk bagian dari ilmu rijal al-Hadits.
Karena dipandang ilmu Jarh wa at-Ta’dil ini penting maka dari itu banyak buku yang menjelaskan ilmu ini
pada bab tersendiri.

Pengertian Jarh wa at-Ta’dil adalah :

‫علم ينحث فيه عن جرح الرواةةوتعديلهم بالفاظ مخصوصة وعن مرانب تلك االلفاظ‬

“ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan para perawi dan tentang
penta’dilannya (memandang adil par perawi ) dengan memakai kata-kata yang khusus tentang
martabat-martabat kata-kata itu.”[6]

Ilmu ini salah satu ilmu yang terpenting dan tinggi nilainya karena dengan ilmu ini dapat dibedakan
antara yang shahih dan yang saqim mengingat timbulnya hukum-hukum yang berbeda-beda dari pada
tingkatan Jarah dan Ta’dil ini.[7]
Mencela para perawi yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik agar orang tidak terpedaya
dengan riwayatnya telah tumbuh sejak zaman sahabat. Pada masa itu masih sedikit orang yang dicela.
Mulai abad ke.2 H barulah banyak orang yang lemah. Pada tahun 150 H para ahli mulai membahas
keadaan-keadaan perawi, menta’dil dan mentarji’kan mereka. Setelah itu, barulah para ahli menyusun
kitab jarh dan ta’dil yang di dalamnya diterangkan keadaaan para perawi yang diterima dan ditolak.[8]

Jadi ilmu rijal al-Hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang perawi hadits dari mulai perawi dilahirkan
ke dunia hingga kewafatannya, tentang guru-guru yang pernah mengajarinya dan tempat-tempat yang
pernah dikunjunginya, segala hal yang terkait dengan urusan hadits. Kitabnya antara lain al-Isti’ab karya
Ibnu Abdi al-Barr (463 H), Usd al-Ghabbah kumpulan kitab-kitab karya Izzudin (630 H).

B. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits

Sebagaimana para ulama telah menyusun sebab-sebab nuzul-ul Qur’an, mereka juga menyusun sebab-
sebab wurudil hadits (asbabu wurudil Hadits) . Dengan demikian para ulama telah memudahkan para
mustambit mengistambitkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Jadi ilmu asbab wurud al-Hadits
adalah:

‫علم يعرف به اسباب ورودالحديث ومناسباته‬

“ ilmu yang menerangkan sebab turunnya hadits dan munasabah-munasabahnya.”[9]

Ilmu ini pertama kali dirintis oleh Abu Hamid bin Kaznah al-Jubary yang kemudian diteruskan oleh Abu
Hafsh Umar bin Muhammad al-Ukbury (380-458 H). Pada dekade berikutnya muncul kitab tentang
Asbab wurud al Hadits yang ditulis oleh Ibn Hanmzah al-Husainy (1054-1120 H) dengan judul al-Bayan
wa al-ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif. [10]Dicetak tahun 1329 H.[11]

Contoh Hadits yang ada asbabul wurudnya

Nabi bersabda

‫احدكم للصالة فاليبصق امامه فاء نه مناج هلل تعالى مادام فى مصله وال عن يمينه ملكا ولكن ليبصق عن شماله اوتحت رجليهاذاقام‬

“apabila salah seorang dari kamu berdiri kepada sholat maka janganlah dia meludah kemukanya, karena
dia sedang bermunajat dengan Allah, selama dia masih dalam mushollanya dan jangan pula dia meludah
ke sebelah kanannya, karena sebelah kanannya ada malaikat tetapi hendaklah dia mmeludah kesebelah
kirinya atau kebawah kakinya.” (H.R Al Bukhari dari Abu Huraira)

Pada suatu ketika Nabi melihat dahak di dinding masjid sebelah kiblat, maka Nabi mengikisnya.
Kemudian Nabi berpaling menghadapi para hadirin dan menyabdakan hadits ini.[12]

Ilmu Mukhtalif al-Hadits

Terkadang kita menemukan hadits-hadits yang saling bertentangan. Kalau sebuah hadits shahih
bertentangan dengan hadits dha’if, tentu akan kita menangkan yang shahih. Atau, hadits-hadits yang
saling bertentangan. Setelah diperiksa, ternyata salah satunya berasala dari Nabi, yang lain tidak. Maka
dengan mudah kita menyingkirkan hadits yang disebut terakhir ini. Sekarang ada hadits yang saling
bertentangan, setelah diteliti, ternyata keduanya berasal dari Nabi. Untuk mengatasi pertentangan ini
para ulama berupaya mencari penyelesaian. Ilmunya disebut Mukhtalif al-Hadits. Menurut bahasa,
ikhtilaf artinya perselisihan atau pertentangan. Pemikiran ini muncul karena para ulama menemukan
realita, bahwa secara harfiyah, hadits itu bertentangan.[13]

Ilmu mukhtalif al-hadits ialah:

K‫ في االحاديث التي يشكل فهمها‬K‫العلم الذي يبحث في االحاديث التي ظاهرهامتعارض فيزيل تعارضهااويوفيق بينها كمايبحث‬
‫اوتصورهافيدفع اشكالهاويوضح حقيقتها‬

“bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromika


antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan
menghilangkan kesulitan serta menjelaskan hakikatnya.”

Dari pengertian ini dapat difahami bahwa dengan ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang
tampaknya bertentangan akan segera dapat menghilangkan pertentangan itu, antara lain dengan men-
taqyid yang muthlaq dan men-takhsis yang am.[14]

Menurut para ulama, kalau dapat, kandungan hadits yang secara lahiriyah bertentangan itu disatukan,
disebut dengan al-jam’u wa al-taufiq (‫)الجمع والتوفيق‬. Kalau tidak dapat, dicari kemungkiannya, yang satu
menjadi qaid atau menjadi mukhasshis bagi yang lain. Dengan cara ini maka kedua hadits dapat
dimanfaatkan secara proporsional. Atau juga, yang satu menjadi nasikh bagi yang lainnya. Karena itu ada
yang menyebut ilmu ini dengan nama ikhtilaf al-Hadits, atau Musykil al-Hadits, atau Ta’wil al-Hadits,
atau Talfiq al-Hadits. Keberadaan ilmu Mukhtalif al-Hadits jelas sangat membantu mengatasi kesulitan
tadi.[15]

Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang bertentangan
maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid
kemutlakan hadits, men-takhssish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih
kuat atau yang lebih banyak datangnya.

Sebagai contoh adalah dua hadits shahih dibawah ini:

)‫(رواه اليخارى و مسلم‬....‫ال عدوى وال طيرة وال هامة‬

“tidak ada penularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah meninggal ke burung hantu….” (HR
Bukhari-Muslim)

secara lahirnya bertentangan dengan hadits:

)‫فر من المجذوم كما تفر من االسد (رواه البخارى و مسلم‬

“lahirnya dari orang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa….” (HR Bukhari dan Muslim)

Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadits ini, anatara lain:


a. Ibnu Al-Shalah menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi
Allah-lah yang menularkannya dengan perantara (misalnya) adanya percampuran dengan orang sakit,
melalui sebab-sebab yang berbeda.

b. Al-Qadhi Al-Baqillaini berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan
semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi keriadaan penularan. Dengan demikian arti
rangkaian kalimat”la’adwa” itu, selain penyakit lepra dan semmisalnya. Jadi seolah-olah Rasul saw.
mengatakan: “Tak ada penyakit pun yang menular selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang
dapat menular.”[16]

Ulama yang pertama kali menghimpun ilmu mukhtalif al-hadits ini adalah Imam Al-Syafi’i. Tapi ada juga
yang mengatakan bahwa sebenarnya Imam Al-Syafi’I tidak berniat untuk menyusun ilmu ini, karena
penyusun tersebut pada mulanya dimaksudkan untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan yang
ada dalam kitab “Al-Umm”. Akan tetapi pendapat ini tidak kuat, sebab Imam Al-Syafi’I juga menyusun
dalam kitab tertentu dengan nama Mukhtalif Al-Hadits yang dicetak dibagian pinggiran juz ke 7 dari
kitab “Al-Umm” tersebut.[17]

Ilmu Ma’na Al-Hadits

Kata Ma’ani (‫ )معانى‬adalah bentuk jamak dari kata Ma’na (‫)معنى‬. secara leksikal kata ma’ani berarti
maksud atau arti. Ahli ilmu bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang
sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.

Sedangkan menurut istilah, Ilmu Ma’ani adalah ashul-ushul dan kaidah-kaidah yang dengannya dapat
diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan
tujuan dari konteks tersebut.

‫علم المعاني هو أصول وقواعد يعرف بها أحوال الكالم العربي التي يكون بها مطابقا لمقتضى الحال‬.

‫علم يعلم به احوال الفظ التى بها يطابق مقتضى الحال‬.

‫علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطابق مقتضى الحال‬

Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini
bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-
kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Disamping itu, objek kajian ilmu ma’ani hampir sama
dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan
digunakan pula dalam ilmu ma’ani. Perbedaan antara keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu
lebih bersifat mufrad (berdiri sendiri) sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkibi (dipengaruhi faktor
lain). Mengingat objek kajian ilmu ma’ani adalah kalam arabi, maka hadis pun menjadi salah satu bahan
kajiannya. Jadi secara spesifik, ilmu ma’ani hadis bisa difahami ilmu yang berbicara bagaimana
memahami sebuah teks hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor yang berkaitan
dengannya atau indikasi yang melingkupinya.[18]
Ø Bentuk Ungkapan Hadis

Hadis-hadis Nabi memiliki bentuk ungkapan yang beragam. Hal ini, bisa dirasakan manakala mencermati
bentuk ungkapan matan hadis-hadis Nabi yang begitu banyak. Syuhudi Ismail mengemukakan beberapa
ragam bentuk ungkapan hadis Nabi: Jami’ kalim (ungkapan yang singkat, namun padat makna), tamsil
(perumpamaan), bahasa ismbolik dan lain-lain.

1. Jawami’ Kalim

Perang itu siasat. (HR. Bukhori) )‫ (رواه البخارى‬.‫الحرب خدعة‬

Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang
pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh
tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan
siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.

2. Bahasa Tamsil

)‫ (رواه بخارى‬.‫المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا‬

Orang yang beriman terhadap orang beriman yang lain ibarat bangunan, bagian yang satu
memperkokoh terhadap bagian lainnya. (HR. Bukhari)

Hadis Nabi tersebut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tamsil
tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat sebab setiap bangunan pastilah
bagian-bagiannya berfungsi memeperkokoh bagian lainnya. Orang-orang yang beriman seharusnya
seperti itu, yakni yang satu memeperkuat yang lainnya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.

3. Ungkapan Simbolik

)‫ (رواه البخارى‬.‫المؤمن ياكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء‬

Orang yang beriman itu makan dengan satu usus (perut), sementara orang kafir makan dengan tujuh
usus. (HR. Bukhari)

Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa ususnya orang yang beriman berbeda dengan
ususnya orang kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak
disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadis itu merupakan ungkapan
simbolik. Itu berarti harus dipahami secara kontekstual.

Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam
menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan
sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir menepatkan makna sebagai dari tujuan hidupnya. Karenanya,
orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kelezatan makan. Yang banyak menuntut
kelezatan makan pada umumnya adalah orang kafir. Di samping itu dapat dipahami juga bahwa orang
yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikamt Allah, termasuk tatkala makan, sedang orang
kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.

4. Bahasa Percakapan

Dalam sebuah matan hadis dikemukakan:

)‫ (متفق عليه‬.‫ تطعم الطعام وتقرؤ السالم على من عرفت ومن ال تعرف‬:‫ أي االسالم خير؟ قال‬:‫أن رجال سأل النبي صلعم‬

Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam yang manakah yang lebih baik?” Nabi
menjawab: “Kamu memberi makan orang yang menghajatkannya dan kamu menyebarkan salam kepada
orang yangkamu kenal dan yang tidak kamu kenal.” (Hadis disepakati Bukhari dan Muslim)

Memberi makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah satu ajaran Islam
yang bersifat universal. Namun dalam hal sebagai “amal yang lebih baik”, maka hadis tersebut dapat
berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa matan hadis lainnya yang memebri petunjuk
tentang amal yang lebih baik, namun jawaban Nabi berbeda-beda.

5. Ungkapan Analogi

Dalam suatu matan hadis Nabi yang cukup panjang dikemukakan antara lain bahwa menyalurkan hasrat
seksual (kepada wanita yang halal) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi ini, para sahabat bertanya:
“apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada isteri-isteri kami) mendapat pahala?” Nabi
menjawab:

)‫ (رواه مسلم‬.‫أرأيتم لو وضعها فى حرام أكان عليه فيها وزر؟ فكذالك اذا وضعها فى الحالل كان له أجر‬
Bagaimanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkan di jalan haram, apakah (dia)
menanggung dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang halal, dia mendapat
pahala.

Ø Kegunaan Ilmu Ma’ani al-Hadis

Ilmu ma’âni mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab dan kaitannya
dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide
kepada mukhâthab sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan melihat objeknya mempelajari ilmu ini
dapat memberi manfaat sbb:

1. Mengetahui kemukjizatan Alquran berupa segi kebagusan penyampaian, keindahan deskripsinya,


pemilihan diksi, kefasihan kalimat, dan penyatuan antara sentuhan dan qalbu.

2. Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi’ir maupun
prosanya. Dengan mempelajari ilmu ma’âni bisa dibedakan mana ungkapan yang benar dan yang tidak,
yang indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang tidak, dll.[19]

III. KESIMPULAN

Ilmu hadits memiliki cabang-cabang ilmu hadits yang lain, diantaranya:

a. Ilmu Rijal al-Hadits

Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebgai perawi hadits. Ilmu ini sangat
penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena sebagaimana diketahui obyek kajian
hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu sanad dan rawi.

b. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits

Sebagaimana para ulama telah menyusun sebab-sebab nuzul-ul Qur’an, mereka juga menyusun sebab
sebab wurudil hadits (asbabu wurudil Hadits) . asbabu wurudil Hadits adalah ilmu yang menerangkan
sebab turunnya hadits dan munasabah-munasabahnya.

c. Ilmu Mukhtalif al-Hadits

ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya
kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentkhsis
keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada bebrapa kejadian yang relevan dengan hadits
tersebut. Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadits yang bertentangan
maknanya.

d. Ilmu Ma’ani al-Hadits


Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan
Arab sesuai dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks tersebut.
Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini
bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-
kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Muhammad, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang,
2004.

Sohari Subari, Ulumul Hadis , Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Suparta, Munzeir, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Suryadilaga, M. Alfatih, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Teras, 2010.

Zuhri, Muh., Hadits Nabi (Telaah Historis Dan Metodologis), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003.

http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/06/ilmu-maani-al-hadis.html

Anda mungkin juga menyukai