Anda di halaman 1dari 17

ILMU HADIS

Ulumul Hadis terdiri atas dua kata, yaitu ‘ulum dan al-Hadits. Kata ‘ulum dalam
Bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari ‘ilm, yang berarti “ilmu-ilmu”, tradisi di kalangan
sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri
seseorang yang dengannya ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu. Sedangkan kata al-

Hadits juga berasal dari Bahasa Arab yang berarti: ‫ )ديد جلا‬yang baru. Di samping arti baru,

al-Hadits juga mengandung arti dekat (‫ ب يرقلا‬. Kata al-Hadits bisa juga berarti: ‫)رب خلا‬

berita.

Secara Terminologis, para Ulama Hadis mendefinisikan hadis berarti “segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat”. Para Ulama
yang menggunakan nama ‘al-Hadits, diantaranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi (405
H/1014 M), Ibn al-Shalah (643 H/1246 M), dan Ulama kontemporer seperti Zhafar Ahmad
Ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tawanawi (1394 H/ 1974 M), dan Shubhi al-Shalih. Sementara itu,
beberapa Ulama yang datangm setelah Ibn al-Shalah, seperti Al-‘Iraqi (806 H/ 1403 M) dan
Al-Suyuthi (911 H/1505 M), menggunakan lafaz munfrad, yaitu Ilmu al-Hadist, di dalam
berbagai karya mereka.

1. Ilmu Hadis Riwayah Menurut Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi
di dalam Qawa’id fi ‘Ulum al-Hadits, bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Hadis
Riwayah adalah: Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat
diketahui dengannya perkataan, perbuatan dan keadaan Rasul Saw. serta
periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafadz-lafadznya.
Dari definisi diatas dapat dipahami Hadis Riwayah pada dasarnya adalah
membahas tentang cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau
pembukuan Hadis Nabi SAW. Objek kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis
Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
i. Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga
cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain;
ii. Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan
pembukuannya.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada sejak zaman Nabi SAW masih hidup, yaitu
bersamaan dengan dimulainya periwayatan Hadis itu sendiri. Para sahabat Nabi
SAW menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi SAW. mereka berupaya
untuk memperoleh hadis-hadis Nabi SAW dengan cara mendatangi majelis Rasul
SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau.

Ilmu Hadis Dirayah

Para Ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadis Dirayah ini.
Akan tetapi, apabila dicermati definisi – definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik
persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok
bahasannya. Ibn al-akhfani memberikan definisi ilmu hadis Dirayah sebagai berikut:

Dan ilmu hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk
mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-
hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan,
dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

Objek ilmu Dirayah ialah sanad rawi dan matan dari sudut diterima dan
ditolaknya suatu Hadis. Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis ini ialah untuk mengetahui
dan menetapkan hadis-hadis yang diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan
(maqbul) dan yang ditolak (mardud).

SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL HADIS

Kaum muslim merasa perlu adanya usaha untuk memperhatikan Hadis-Hadis Rasul
SAW secara lebih serius dan lebih hati-hati. Untuk tujuan tersebut mulailah usaha-usaha
penyaringan dan pemilahan riwayat dilakukan. Maka, terseleksilah Hadis-Hadis yang benar
bersumber dari Rasul Saw. dari hadis yang cacat atau dipalsukan orang. Pada perkembangan
berikutnya kaidah-kaidah tersebut semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada
abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari
bidang Hadits maupun bidang-bidang lainnya.

Sejarah perkembangan Ulumul Hadis terbagi menjadi tiga periodesasi yaitu


awal lahirnya Ilmu Hadis sampai pada masa kekinian. Dalam sejarah
perkembangan Hadis tercatat bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun
ilmu ini dalam satu disiplin ilmu yang lengkap adalah al-Qadi Abu Muhammad ar-
Ramahurmuzi (w. 360 H) dengan kitabnya al-Muhadis al-Fasil baina ar-Rawi wa
al-Wa’i. Selanjutnya muncul al-Hakim Abu ‘Abdillah an-Naisaburi (321-405 H)
dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis.

1. Periode Klasik (Masa Nabi SAW-Abad 7 H)


Membicarakan Hadis pada masa Rasul berarti membicarakan hadis
pada awal pertumbuhannya. Dalam uraiannya akan terkait langsung dengan
pribadi Rasulullah SAW. sebagai sumber Hadis dan guru sunnah terbaik.
Dalam periode inilah Hadis terbentuk dan diamalkan secara konsisten dan
universal. Hadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab yang
ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan
memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh para
sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain
yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya
kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai
kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi Hadits. Cara
penerimaan Hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan
Hadits dimasa generasi sesudahnya. Penerimaan Hadis dimasa Nabi SAW
dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ ar-Rasyidin. Setelah
mendapatkan Hadis para sahabat selanjutnya menghafal Hadis tersebut.
Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian Hadits menyangkut
sanad dan matan Hadis semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka
menjaga kemurnian sebuah Hadis. Prinsip dasar penelitian sanad yang
terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat
diikuti dan dikembangkan oleh para tabiin. Periwayatan Hadis dipermulaan
masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Ummar, masih terbatas
sekali disampaikan kepada yang memerlukannya saja, belum bersifat
pelajaran. Demikian perkembangan Ilmu Hadis pada periode ini yang
kemudian disempurnakan kembali oleh Ulama-ulama yang datang
belakangan.
2. Periode pertengahan (Abad 7 H-Abad 14 H) Di periode ini masa seleksi dilanjutkan
dengan masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab
hadis masa ini dengan ‘asr at-tahzib wa ataqrib wa al-istidrak wa al-jam’i (masa
pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan). Penyusunan kitab-
kitab pada periode ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa
variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. Para Ulama mengalihkan perhatian
mereka untuk menyusun kitab-kitab yang berisi pengembangan dan
penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab Hadis. Ciri yang paling populer
pada periode ini adalah munculnya sistem pembelajaran lewat Madrasah, berbeda
dengan periode klasik yang cenderung berpusat pada individu. Oleh karena itu
tidak aneh bila kemunculan setiap karya, khususnya Ulumul Hadis di dasarkan
pada keperluan pembelajaran. Ulama pada abad ini mencoba untuk
menyempurnakan kitab-kitab yang telah ditulis oleh Ulama-ulama sebelumnya
pada periode klasik seperti Kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnsh Sholah yang
paling baik ialah Ikhtisar Ulumul Hadis. Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi
Mushtholahi Ahli al-Atsar karya al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqolani (773 H/852 H),
merupakan kitab kecil yang diringkas namun termasuk ringkasan yang paling
bagus dan paling baik susunan dan pembagiannya.
3. Periode Modern (Abad 14 H-Sekarang) Perkembangan ilmu Hadis abad demi abad
terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan, pada abad ini yang terus
menulis 10 ilmu Hadis dari ulama Muhaddisin adalah Asy-Syaikh Tohir Al-
Jaziri(1338H) dalam kitabnya Taujihun Nadhor Ila Ilmi Usulil Atsar, salah satu
kitab yang mempunyai nilai tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid Jamaludin Al-
Khasimi(1332H) dengan kitabnya Qowaidud Tahdits Fi Funulil hadis, suatu kitab
yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya. Dan diantara aturan-aturan
yang masih diberlakukakan pada masa sahabat antara lain adalah: -
• Mengurangi periwayatan Hadis, mereka khawatir dengan banyaknya
periwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan
menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW.
• Kritik terhadap riwayat, yaitu dengan cara memaparkan dan
membandingkan riwayat dengan al-Quran, jika bertentangan maka
mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya. Ketelitian dan sikap hati-
hati para sahabat Nabi Muhammad tersebut diikuti pula oleh para ulama
yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut diikuti pula oleh para
ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut ditinggalkan
ketika munculnya Hadis-Hadis palsu, yakni sekitar tahun 41 H setelah
masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Kegiatan ulama Hadis pada periode ini berkaitan dengan upaya mensyarah kitab-kitab
hadis yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis dari kitab-kitab yang
sudah ada, mentakhrij hadis dalam kiab-kitab tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab
Hadis, sehingga menghasilkan hasil karya yang antara lain:

a. Kitab Syarah, yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan Hadis
dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari
al-Quran, Hadis, maupun kaidah-kaidah lainnya. Contohnya Fath al-Bari syarah
kitab Sahih Bukhari, karya Ibn Hajar al-Asqolani.
b. Kitab Takhrij, yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadis-
hadis yang dimuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya
Takhrij al-Hadis al-Ihya oleh al-‘Iroqi. Kitab ini mentakhrij hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab Ihya ‘Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali.
c. Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya,
Bulughul Marom min Adillah al-Ahkam karya Ibn Hajar al-Asqalani dan Koleksi
Hadis-hadis Hukum oleh T.M Hasbi ash-Shiddiqy.

Berbicara tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis sekarang, baik
ilmu hadis riwayah maupun ilmu hadis dirayah, dapat dikatakan telah eksis bersama tumbuh
kembangnya periwayatan hadis itu sendiri. Akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut belum terlembaga
menjadi satu disiplin ilmu khusus. Ia menampakkan dirinya lebih jelas lagi setelah Rasul
wafat. Ketika itu, kaum Muslimin merasa perlu adanya usaha untuk memperhatikan hadis-
hadis Rasul secara lebih serius dan hati-hati. Untuk tujuan tersebut mulailah usaha-usaha
penyaringan dan pemilahan riwayat dilakukan.

Maka, terseleksilah hadis yang benar-benar bersumber dari Rasul, dari hadis-hadis
yang cacat atau dipalsukan orang. Abu Bakar misalnya, tidak mau menerima hadis sebelum
perawinya bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang disampaikannya. Bahkan, ‘Umar
dan Ali ibn Abi Thalib terlebih dahulu meminta saksi dari perawi yang menyampaikan hadis
kepadanya sebelum hadis itu diterimanya. Sikap tegas dan kehati-hatian yang ketat yang
dipraktikkan oleh para sahabat besar dalam penerimaan hadis tersebut menumbuhkan sikap
serupa di kalangan sahabat lainnya.

Sikap kritis dan penuh kehati-hatian yang di tunjukkan oleh para sahabat dalam
penyaringan hadis dan penyampaiannya serta langkah-langkah yang mereka tempuh untuk
memelihara kemurniannya, secara langsung atau tidak, diikuti oleh generasi berikutnya
(tabiin). Hal demikian berkembang secara bertahap yang akhirnya melahirkan kaedah-kaedah
yang selanjutnya dijadikan pedoman dalam hal menilai hadis-hadis di belakang oleh generasi
belakangan.

Demikianlah, generasi ke generasi ditemukan sejumlah tokoh yang mencurahkan


perhatian dan kesungguhan untuk memelihara dan mengembangkan hadis-hadis Nabi melalui
pengembangan ilmu-ilmu yang bertalian dengannya. Para ulama yang muncul sebagai sebagai
tokoh-tokoh yang menspesialisasikan diri untuk mempelajari bidang ini mulai secara
berangsur-berangsur menggali kaedah-kaedah dan metode-metode yang menyangkut
penyeleksian hadis-hadis Nabi, baik dari segi sanad maupun dari segi matan, kemudian
tumbuh menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Kaum muslim merasa perlu adanya usaha untuk
memperhatikan Hadis-Hadis Rasul SAW secara lebih serius dan lebih hati-hati.

Untuk tujuan tersebut mulailah usaha-usaha penyaringan dan pemilahan riwayat


dilakukan. Maka, terseleksilah Hadis-Hadis yang benar bersumber dari Rasul Saw. dari hadis
yang cacat atau dipalsukan orang. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah tersebut
semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah,
baik 13 mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang Hadits maupun bidang-
bidang lainnya. Tokoh yang dianggap sebagai perintis pertama dalam ilmu hadis riwayah
adalah Muhammad ibn Syihab az-Zauhri (w. 124 H).

Ilmu hadis dirayah secara garis besarnya mulai dirintis oleh sebahagian ulama hadis
pada abad ke-2 Hijriah. Namun, dalam perjalannya, baru pada abad ke-4 Hijriah ia tampil
sebagai satu ilmu yang berdiri sendiri. Banyak di antara ulama menilai bahwa tokoh perintis
dalam ilmu hadis dirayah adalah al-Qadi Muhammad ar-Ramahurmuzi (w.360 H) dengan
kitabnya berjudul al-Muhaddits al-Fashil bain al_rawi wa al-Wa’i. Hanya saja, sebelumnya
usaha ke arah ini sudah dimulai oleh Imam asy-Syafii (w.204 H). Ketika ia menuangkan teori
ilmu hadisnya di dalam kitabnya ar-Risaluh dan al-Umm.

Namun bagaimanapun, teori-teori ilmu hadisnya ini belum ditulis di dalam sebuah
kitab tersendiri. Teorinya masih tersebar di dalam karya-karyanya tersebut di atas. Setelah ar-
Ramahurmuzi, muncul al-Hakim an-Naisaburi (w.405 H) dengan karyanya Ma’rifah ‘Ulum
al-Hadits. Kemudian, muncul pula Abu Nu’aim al Ashfahani (w. 430 H).

Berikutnya al-Khatib al-Bagdadi (w. 463 H) dengan kitabnya tentang periwayatan


berjudul al-Kifayah dan tentang cara meriwayatkan hadis dengan judul Ma La Yasa’ al
Muhadditsin Jahluh. Setelah itu, muncul pula penulis-penulis lain dengan berbagai karyanya
degan sistem oenulisan yang semakin sempurna. Selain hal tersebut, banyak pula yang
melakukan eloborasi terhadap sebuah karya dengan melakukan pensyarahan dari kitab-kitab
ilmu hadis yang terdahulu. Bahkan, banyak di antaranya ditulis dalam bentuk disertai dengan
kajian yang dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan lain seperti dengan tinjauan
ilmu sejarah. Kajian seperti ini semakin berkembang khususnya di zaman modern sekarang
ini. Oleh karena itu, sekarrang dapat ditemukan banyak kitab ilmu hadis dengan pembahasan
yang semakin luas sehingga memudahkan setiap orang yang berminat mendalaminya

CABANG ULUMUL HADIS

Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa ilmu hadis sebagaimana halnya dengan ilmu-
ilmu lain senantiasa mengalami perkembangan menuju kesempurnaannya. Dalam gerak
perkembangan tersebut, ilmu ini telah melahirkan banyak cabang yang masing-masing
akhirnya dianggap berdiri sendiri dengan obyek bahasan tersendiri pula. Meskipun demikian,
inti permasalahannya tetap bertolak dari segi sanad dan matan. Tentang cabang-cabang ilmu
hadis ini, menurut Imam as-Suyuthi tidak dapat dihitung secara pasti. Sebab, memang
jumlahnya banyak.

Imam al-hazimi juga mengemukakan penilaian yang sama. Menurutnya, ilmu hadis
mempunyai lebih dari seratus cabang ilmu yang masing-masing dapat dianggap berdiri
sendiri. Bahkan katanya lebih lanjut, jika seseorang mencurahkan perhatiannya untuk kajian
segala cabang ilmu ini, niscaya sampai akhir hayatnya pun ia tidak akan mampu
menguasainya. Akan tetapi, meskipun masing-masing cabang ilmu hadis tersebut mempunyai
obyek bahasan yang lebih khusus dan dapat dianggap berdiri sendiri, namun antara satu
dengan lainnya tetap mempunyai kajian yang erat. Semuanya saling mendukung dan saling
memperjelas kajian dalam berbagai hal yang menyangkut hadis rasul saw.

Di antara cabang-cabang ilmu hadis yang lebih besar dan lebih menonjol
pembahasannya di dalam berbagai kitab ilmu hadis adalah sebagai di bawah ini:

1. ‘Ilm Rijal al-Hadits. Ilmu ini mempelajari hal ihwal para perawi, baik dari kalangan
sahabat, tabiin maupun generasi sesudahnya, ilmu ini mempelajari sejarah
kehidupan para rawi, akhlaknya, keadaannya dalam menerima dan menyampaikan
hadis serta mazhab yang dianutnya dan sebagainya yang terkait denan rijal yang
dilakukan secara mendalam.
2. ‘Ilm al jarh wa at-ta’dil. Ilmu ini secara khusus mempelajari keadaan perawI hadis
dari segi sifat-sifat baik dan sifat jeleknya, serta kuat atau tidaknya hafalannya.
3. ‘Ilm ‘Ilal al-Hadits. Ilmu ini membahas sebab-sebab tersembunyinya yang dapat
menyebabkan cacatnya hadis secara lahiriah mungkin tidak kelihatan. Oleh karena
itu, ilmu ini mempunyai cara-cara pembahasan yang lebih halus dan mendalam.
4. ‘Ilm Gharib al-Hadits. Ilmu ini menerangkan makna kalimat atas kata-kata yang
sulit difahami maksudnya karena jarang terpakai, atau kata-kata ganjil yang sudah
usang dan jarang digunakan.
5. ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadits. Ilmu ini mempelajari sebab-sebab atas latar
belakamg munculnya sebuah hadis. Ilmu ini juga berusaha menerangkan kapan dan
di mana hadits tersebut muncul dan dalam peristiwa apa.
6. ‘Ilm Fann aYMubhamat. Ilmu ini berusaha mengetahui nama-nama orang atau
kata-kata yang tidak disebut secara jelas, baik di dalam sanad maupun di dalam
matan hadits. Ilmu ini berupaya meneliti identitas orang-orang yang terdapat
dalam jajaran sanad dan matan yang namanya tidak disebut secara jelas. Dengan
bantuan ilmi ini dapat dihilangkan keragu-raguan tentang siapa sebenarnya orang
yang diragukan identitasnya dalam sanad maupun matan hadits.
7. ‘Ilm talfiq al-Hadits. Ilmu ini disebut juga ‘Ilm Mukhtalaf al-Hadits. Pokok ulasan
kajiannya adalah menbahas cara-cara menyelesaikan pertentangan yang tampak
antara sebuah hadis dan lainnya. Penyelesaian ini dapat dilakukan karena
pertentangan-pertentangan yang tampak itu hanya bersifat lahir sajar, bukan pada
makna yang sesungguhnya.
8. ‘Ilm nasikh al-Hadits wa mansukhih. Ilmu ini membahas hadis-hadis yang antara
satu demgan lainnya saling bertentangan dan tak mungkin dikompromikan. Karena
itu, ilmu ini mempelajari manakah di antara hadis-hadis tersebut yang lebi dahulu
datang dan mana yang kemudian. Hadis yang lebih dahulu datang dinyatakan tidak
berlaku lagi (mansukh) dan kedudukannya digantikan dengan hadis yang kemudian
(nasikh).
9. ‘Ilm Mushthalah Al-Hadits. Ilmu ini menerangkan pengertian istilah-istilah yang
dipakai oleh para ahli hadis sebagaimana dijumpai di dalam kitab-kitab mereka.
Dengan mempelajari ilmu ini dapatlah dipahami dengan baik apa maksud
sebenarnya istilah yang dipakai oleh para ahli hadis tersebut. Dengan usaha
demikian akan terhindar salah pengertian dalam memahaminya.

Pembagian hadis dari segi kualitas, dan kuantitas

Istilah sanad sudah ada pada masa pra-Islam, sebagaimana ditemukan


dalam penyampaian-penyampaian puisi-puisi. Namun urgensi sanad dalam
kasus tersebut tidak ditemukan atau kalau pun ditemukan sangatlah samar
hingga nyaris dapat dilacak. Hal yang berbeda, dalam tradisi hadits ditemukan
arti penting sanad yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam sebagai
sebuah agama. 11 Sanad dalam kajian ilmu hadits merupakan salah satu teori
yang membahas sistem penyandaran dalam hadits, di mana hal itu
dimaksudkan untuk mengetahui asal mula penyandaran terhadap hadits. Secara
etimologi (bahasa) sanad berarti sandaran atau tempat bersandar atau dapat
dikatan sebagai salah satu untuk mengetahui arah jalur dari sebuah sandaran
hadits tersebut.

Sementara termonologi sanad mengacu pada makna jalur matan atau


isi hadits yang di dalamnya terdapat serangkaian para perawi yang
memindahkan matan dari sumber primernya. Jalur tersebut dikatakan sebagai
sanad, yang mana adakalanya karena periwayat bersandar kepadanya dalam
menisbatkan suatu matan kepada sumbernya.13 Jika ditinjau dari perbedaan
istilah bahwa orang yang menerangkan hadits dengan menyebut sanad-nya,
dinamai musnid. Sementara hadits yang disebut dengan diterangkan sanad-nya
yang sampai kepada Nabi dinamai musnad, yakni orang yang mengumpulkan
hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat dalam satu bab dan
diriwayatkan oleh sahabat yang lainya. 14 Oleh karena itu, wajar kemudian
ulama hadits sering berbeda dalam menggunakan istilah-istilah itu.

Adapaun syarat-syarat dan kaidah-kaidah keshahihan sanad hadits Nabi


sebagaimana digariskan ulama ahli hadits di kalangan al mutaqaddimin, yaitu
ulama sampai abad ke III H., belum memberikan definisi yang eksplisit tentang
hadits shahih. Pada umumnya mereka hanya memberikan penjelasan tentang
penerimaan berita yang dapat dipercaya kebenarannya, di antaranya sebagai
berikut:
1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits kecuali ia berasal dari orang
yang tsiqat.
2. Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadits itu
diperhatikan ibadah shalatnya, perilakunya, dan keadaan dirinya.
Apabila ibadah shalatnya, perilakunya, dan keadaan dirinya tidak baik,
agar tidak diterima riwayat hadits darinya.
3. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang-orang yang suka
berdusta, dan mengikuti hawa nafsunya.
4. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang dikenal tidak
memiliki pengetahuan tentang hadits, dan
5. Dilarang menerima hadits dari orang yang secara syar’i tertolak
kesaksiannya.

Dengan demikian jelaslah bahwa sanad atau susunan mata rantai para periwayat
memiliki peranan penting dalam menentukan suatu hadits, apakah berkualitas shahih atau
tidak. Pernyataan pernyataan yang memandang sanad hadits merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari agama dan dan hadits itu sendiri sebagaimana tersebut di atas, memberikan
petunjuk kuat bahwa apabila suatu hadits sanadnya benar-benar telah dapat dipertanggung
jawabkan keshahihannya, maka pastilah hadits itu berkualitas shahih.

Di samping itu, sanad hadits juga merupakan usaha para ulama membendung gerakan
pemalsuan hadits. Seperti ditulis oleh Siba’i bahwa dalam mempelajari pendirian para ulama,
sejak masa sahabat sampai saat pembukuan hadits berakhir, terhadap pemalsuan dan sikap
terhadap pemalsuan itu sendiri serta perjuangan demi memelihara sunnah dan pemisahan yang
otentik dan yang palsu, tidak bisa tidak orang menilai bahwa jerih payah mereka itu sudah
optimal.

Kegunaan lain dari sanad atau isnad adalah untuk mengekang orang agar tidak berbohong
dan tidak memalsukan hadits. Di sisi lain, dengan sanad atau isnad dapat diketahui hadits
yang muttashil, munqathi’, marfu’, dan lainnya, serta dapat diketahui perihal keadaan rawi
hadits dengan cara mempelajarinya dalam kitab-kitab rijal al hadits. Karena pentingnya
sanad atau isnad itu, maka Ibnu al-Mubarak menegaskan bahwa al-Isnad minad dini, laulal
isnadu laqala man sya’a masya’a yang artinya isnad itu termasuk bagian dari agama, andaikan
tanpa isnad, sungguh setiap orang akan mengatakan apa saja sesuai kehendaknnya.”

1. Pembagian hadis berdasarkan kuantitas


sanad Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu
hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur ulama membagi hadis secara garis besar
menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad, di samping pembagian lain
yang diikuti oleh sebagian para ulama yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis
mutawatir, hadis masyhur dan hadis ahad.

A. Hadis Mutawatir

Hadis mutawatir secara bahasa merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang
bermakna al-tatabu (berturut-turut) atau datangnya sesuatu secara berturut turut dan
bergantian tanpa ada yang menyela. Secara istilah, dikalangan ulama hadis, hadis
mutawatir didefinisikan dengan redaksi yang beragam meskipun esensinya sama, yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat pada tiap tiap tingkatan sanadnya
sehingga dapat dipercaya kebenarannya mustahil mereka sepakat berdusta tentang
hadis yang mereka riwayatkan.

Syarat Syarat Hadis Mutawatir Hadis mutawatir dinyatakan valid ke mutawatirannya


apabila memenuhi persyaratan berikut:

1. Diriwaayatkan Oleh Perawi Yang Banyak Hadist mutawatir harus


diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa
mereka tidak bersepakat untuk berdusta.
2. Keseimbangan Antar Perawi Thabaqat ( Lapisan ) Pertama dan Thabaqat
Berikutnya Jika hadis diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian di terima
oleh 10 tabi’in tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir sebabjumlah
perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dan thabaqat seterusnya.
3. Berdasarkan Penglihatan Langsung ( Indrawi ) Atau Empiris Berita yang
disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan pancaindra, artinya
berita yang disampaikan harus merupakan hasil pendengaran dan
penglihatannya sendiri.

Jenis hadis mutawatir yakni : Hadis Mutawatir Lafdzi, Hadis Mutawatir Ma’nawi.
Hadis Mutawatir Amali.

B. Hadis Ahad
Secara bahasa kata ahad atau wahid berarti satu. Maka hadis ahad atau
hadis wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. “Hadis yang
tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir” Ulama lain mendefinisikan dengan
hadis yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi Muhammad SAW) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni
dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.

Dari dua definisi di atas ada dua hal yang harus digaris bawahi, yaitu:
1. Dari sudut kuantitas perawinya, hadis ahad berada di bawah kuantitas hadis
mutawatir. 2. Dari sudut isinya, hadits ahad memberi faedah zhanni bukan
qath’i

Pembagian Hadis Ahad Dalam hadits ahad terbagi dalam tiga


kelompok, yaitu: Hadis Mashyur, Hadis aziz,

C. Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-Munfarid artinya menyendiri atau
al Ba’id an Aqaribihi artinya jauh dari kerabatnya. Sedangkan Secara
terminologis, gharib didefinisikan : “Hadits yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya”.
2. Pembagian hadis berdasarkan kualitas sanad 1.
• Hadist Shahih
Hadist Shahih Dari segi bahasa Shahih berarti dhiddus saqim, yaitu lawan kata
dari sakit. Sedangkan dari segi istilahnya, hadis shahih adalah hadis yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari sejak
awal hingga akhir sanad, tanpa adanya syadz dan illat. Analissi dari hadis
tersebut adalah : Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut
mendengar dari gurunya. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, Tidak syadz
karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
• Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi
yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak
bercacat”. Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa hadist
hasan hampir sama dengan hadist shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam
soal ingatan perawi. Pada hadist shahih, ingatan atau daya hafalannya harus
sempurna, sedangkan pada hadist hasan, ingatan atau daya hafalannya kurang
sempurna. Dengan kata lain bahwa syarat-syarat hadist hasan dapat dirinci
sebagai berikut :  Sanadnya bersambung  Perawinya adil  Perawinya
dhabit, tetapi ke dhabit-tanyaa di bawah ke dhabitan perawi hadist hasan 
tidak terdapat kejanggalan (syadz)  tidak ada illat (cacat)
• Hadist Dhaif, kata dhaif menurut bahasa bararti lemah, sebagai lawan dari kata
dhaif adalah kuat. Maka sebutan hadist dhaif dari segi bahasa berarti hadist
yang lemah atau hadist yang tidak kuat. Secara istilah, diantara para ulama
terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadist dhaif ini. Akan tetapi,
pada dasarnya, ini isi dan maksudnya adalah sama. Hadis ini merupakan hadis
dha’if. Karena perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan ada kejanggalan dalam
matan.
1) pembagian hadis dhaif ditinjau dari segi terputusnya sanad i.
➢ Hadis Muallaq Hadis muallaq secara bahasa adalah isim maf”ul dari
kata ‘allaqa, yang berarti “menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang
yang lain hingga ia menjadi tergantung”. Secara istilah hadis muallaq
adalah hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau
lebih secara berturut turut.
➢ Hadis Munqathi Keterputusan di tengah sanad dapat terjadi pada satu
sanad atau lebih, secara berturut-turut atau tidak, jika keterputusan
terjadi di tengah sanad pada satu tempat atau dua tempat dalam
keadaan yang tidak berturut-turut, hadis yang bersangkutan dinamakan
hadis munqathi’. Kata munqathi’ berasal dari bentuk inqatha’a yang
berarti berhenti, kering, patah, pecah, atau putus. Hadis munqathi’
adalah hadis yang bagian sanadnya sebelum sahabat (periwayat
sesudahnya) hilang atau tidak jelas orangnya.
➢ Hadis mu’an’na dan muannan. Di samping hadis itu, hadis yang
termasuk kategori hadis dhaif karena sanadnya diduga mengalami
keterputusan adalah hadis al mu’an’an dan al-muannan. Kata al-
mu’an’na merupakan bentuk maful dari kata ‘an’ana yang berarti
periwayat berkata (dari....dari....) secara bahasa berarti pernyataan
periwayat:si anu dari si anu. Kata al-muannan berasal dari kata annana
yang berarti periwayat berkata (bahwa...bahwa...) yang menunjukkan
bahwa periwayat meriwayatkan hadis dari periwayat lain dengan
menggunakan metode.
➢ Hadis mu’dhal. Jika keterputusan secara bertutut-turut dan terjadi di
tengah sanad, maka hadisnya dinamakan hadis mu’dhal. Kata mu’dhal
berasal dari kata kerja ‘adhala yang berarti melemahkan, melelahkan,
menutup rapat. Atau menjadi bercacat. Kata mu’dhal digunakan untuk
jenis hadis tertentu karena pada hadis itu ada bagian sanadnya yang
lemah, tertutup, atau cacat. Secara terminologi, menurut Muhammad
‘Ajjaj al-khathib, hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang
sanadny atau lebih secra berturut-turut. (a) Kriteria hadis mu’dhal
adalah: (b) sanad yang gugur, lebih dari satu orang, (c) keterputusan
secra berturut-turut. Sebagian ulama menambahkan kriteria tempat
keterputusan sanad di tengah sanad, bukan siawal atau diakhir.
➢ Hadis mawquf dan hadis maqthu. Hadis mawquf adalah hadis yang
disandarkan kepada sahabat nabi taua hadis yang diriwayatkan dari
para sahabat berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya. Dilihat
dari bahasa, kata mawquf berasal dari kata waqafa yaqifu yang berarti
di hentikan atau diwakafkan. Maksudnya, hadis jenis ini dihentikan
penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai kepada nabi.
3. pembagian hadis dhaif karena periwayatnya tidak adil
a. Hadits mawdhu Hadits mawdhu adalah hadits dusta yang dibuat-buat dan
dinisbahkan kepada rasulullah. Secara bahasa, mawdhu berarti sesuatu
yang digugurkan (al masqath), yang ditinggalkan (al-matruk), dan diada-
adakan (al-muftara). Menurut istilah, hadits mawdhu adalah pernyataan
yang dibuat seseorang pada nabi saw. Hadits mawdhu diciptakan oleh
pendusta disandarkan kepada rasulullah untuk memperdayai.
b. Kriteria sanad: pengakuan periwayat (pemalsu) hadits, bertentangan
dengan realita historis periwayat, periwayat pendusta, dan keadaan
periwayat dan dorongan psikologisnya. (a) Kriteria matan: buruk lafal atau
redaksinya, rusak maknanya.
c. Hadits matruk Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh
periwayat yang tertuduh sebagai pendusta. Menurut mahmud al-Thahhan,
sebab periwayat tertuduh dusta adalah: (a)Hadits yang diriwayatkan tidak
diriwayatka kecuali dari periwayat itu dan bertentangan denga kaidah-
kaidah yang telah diketahui. (b) Diketahui periwayat berdusta dalam
pembicaraan kesehariaan, tetapi belum terbukti pernah berdusta tentang
hadits nabi.
d. Hadits munkar Hadits munkar berasal dari kata al-inkar (mengingkari)
lawan dari al iqrar (menetapkan). Kata munkar digunakan untuk hadits
yang seakan mengingkari atau berlawanan dengan hadits lain yang lebih
kuat. Dikalangan ulama hadits, hadits munkar didefinisikan dengan: (a)
Hadits yang dalam sanatnya terdapat periwayat yang mengalami
kekeliruan,kesalahan dan pernah berbuat fasik. (b) Hadits yang
diriwayatkan oleh periwayat yang dha’if bertentangan dengan riwayat
periwayat yang tsiqoh.

Hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh


periwayat yang ‘adildan dabit sampai akhir sanad, (didalam hadis itu) tidak terdapat
syaz(janggal) dan ‘illat(cacat). Adanya tiga unsur yang disebutkan pertama berkaitan
dengan aspek sanad, sedangkan dua unsur berikutnya berkaitan dengan sanad dan matan.
Dengan demikian, unsur-unsur yang menjadi persyaratan umum (kaidah mayor)
dalam kaidah kesahihan hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan
sanad dan 2 macam berkaitan dengan matan. Apabila unsur-unsur kaidah mayor pada
kesahihan sanad disertakan dengan kaidah minornya, maka dapat dikemukakan sebagai
berikut
1.Unsur kaidah mayor pertama: sanad bersambung, memiliki unsur kaidah minor
yaitu:
a) muttasil (bersambung),
b) marfu’ (bersandar kepada Nabi Saw.),
c) mahfuz (terhindar dari syudz), dan
d) bukan mu’allal (bercacat).
2.Unsur kaidah mayor kedua: periwayat bersifat adil, memiliki unsur kaidah minor
yaitu:
a) beragama Islam,
b) mukalaf (balig dan berakal), \
c) melaksanakan ketentuan agama Islam,
d) memlihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri
manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).
3.Unsur kaidah mayor ketiga: periwayat bersifat dabit, mengandung unsur-unsur
kaidah minor:
a) hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya,
b) mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadisyang dihafalnya kepada orang
lain,
c) terhindari dari syudz dan
d) terhindar dari illat. Sedangkan hadis hasanhampir sama dengan hadis sahih, hanya
dibedakan oleh daya ingat periwayatnya yang kurang sempurna dibandingkan hadis
shahih yang sempurna Salah satu kriteria hadis sahihyang telah disebutkan adalah dabit,
yang nantinya sangat mempengaruhi aspek kualitas suatu hadis baik memiliki kualitas
sahih, hasan, atau dhaif.

Anda mungkin juga menyukai