Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HADIS TARBAWI DAN AKHLAK

‘’ ZUHUD DAN WARA’ ‘’

Disusun oleh
Kelompok II
-Anunsir anwar 30700119027
-Hasbi 30700119007

Dosen pembimbing
Dr.H. Mukhlis Mukhtar M.Ag.

ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN


POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MAKASSAR 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT. Kepada-Nya kita memuji dan bersyukur, memohon
pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya pula kita memohon perlindungan dari keburukan diri
dan syaitonyang selalu menghembuskan kebatilan pada diri kita.
Dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Alhamdulillah makalah yang berjudul “ zuhud dan wara’ ”
ini dapat di selesaikan dengan baik. Kami menyadari sepenuh hati bahwa masih banyak
kekurangan yang terdapat di dalam makalah ini.
Kami mengharapkan kritik dan saran para pembaca sebagai bahan evaluasi kami dalam
pembuatan makalah berikutnya. Mudah-mudahan itu semua menjadikan cambuk bagi kami agar
lebih meningkatkan kualitas makalah ini di masa yang akan datang.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………….


DAFTAR ISI ……………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN………………………………………...
A. LATAR BELAKANG
………………………………………………………………………..
B. RUMUSAN MASALAH
…………………………………………………………………..
C. TUJUAN MASALH …………………………………..........................................

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………
A. PENGERTIAN ZUHUD DAN
WARA’………………………………………………………….
B. PERBEDAAN ZUHUD DAN
WARA’…………………………………………………………..
C. KARAKTERISTIK ZUHUD DAN
WARA’………………………………………………………

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN…………………………


A. KESIMPULAN…………………………………………………………………………………………
…………….
B. SARAN…………………………………………………………..........................................................

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam salah satu maqamat tasawuf terdapat istilah wara’dan zuhud. Wara ialah


meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya (subhat), sedangkan dalam tradisi
sufi wara berarti meninggalkan segala hal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun
perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas
manfaatnya (Muhammad, 2002: 30). Sedangkan zuhud yakni lepasnya pandangan keduniaan dan
usaha memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk memperolehnya (Pranowo
dalam Rahman, 1995: 199).

Realitas yang terjadi dalam kehidupan modern, memiliki banyak tantangan masalah
keberagamaan. Salah satunya ialah masalah spiritualitas manusia modern. Perkembangan
tekhnologi canggih dan rasionalitas yang amat tinggi sehingga meninggalkan dimensi-dimensi
spiritual. Nantinya menghasilkan manusia yang hedonis.

Untuk itulah, dalam kehidupan modern seperti ini, hendaknya manusia tetap melakukan
keseimbangan hidup. Adanya dimensi rasionalitas, ada juga dimensi spiritualitas. Konsep
tasawuf sejatinya telah mengajarkan hal demikian. Adanya keseimbangan antara kehidupan di
dunia dan di akhirat. Wara dan zuhud berusaha menuntun manusia untuk kembali kepada
fitrahnya yang lurus (hanif). Menghilangkan kekerasan hati di dalam manusia.
B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian zuhud dan


wara’…………………………………………………………………………
2. Apakah perbedaan zuhud dan
wara’……………………………………………………………………
3. Bagaimana karakteristik zuhud dan
wara’………………………………………………….

C. TUJUAN PENULISAN

1. Mahasiswa dapat mengetahui apa itu zuhud dan


wara’……………………………………………..….
2. Mahasiswa dapat memahami perbedaan zuhud dan
wara’…………………………………………..
3. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana karakteristik zuhud dan wara’ ……………
BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ZUHUD DAN WARA’

1. Pengertian Zuhud

1.1 Pengertian Menurut Bahasa

Dalam   Kamus Al Munawwir 


yang disusun oleh Ahmad Warson Munawwir, Zuhud berasal dari bahasa Arab, yaitu
zahida-yazhadu-zuhdan wa zahadah yang berarti meninggalkan dan tidak menyukai
Kemudian dalam kamus  Al Munjid az zuhdu wa zahadah  adalah „iraadlu „anisy syai
ihtiqaaran lahu, yaitu  berpaling dari sesuatu lantaran memandangnya rendah. Sementara
menurut apa yang terdapat dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi yang disusun Al Imam Al
Mubarakfuri, zuhud itu adalah
dhiddur raghbah yang berarti lawan dari menyukai (Al Mubarakfuri, 1990:485).
Kemudian menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani dalam kitab  At Ta‟rifaat, zuhud
adalah tarkul maili ila syai‟I yaitu menghindarkan diri dari kecenderungan atau
ketergantungan terhadap sesuatu
1.2 Pengertian Menurut Istilah
Al Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi  mencantumkan  pengertian Zuhud
secara istilah yaitu, tarkur raghbati fid dunya „ala ma   yaqtadliihil kitaab was sunnah
yaitu meninggalkan keinginan terhadap dunia atas apa yang menuntutnya Al Kitab
(Al Qur‟an) dan As Sunnah

2222

2. Dalil-dalil yang berkenaan dengan Zuhud


1. Al Qur‟an

َ ‫قُ ْل َم ٰ َت ُع ٱل ُّد ْن َيا َقلِي ٌل َوٱ ْل َءاخ َِرةُ َخ ْي ٌر لِّ َم ِن ٱ َّت َق ٰى َواَل ُت ْظلَم‬
‫ُون َفتِياًل‬

Artinya: Katakanlah "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik
untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”

Kehidupan duniawi adalah sementara, sekejap, permainan, senda gurau,


perhiasan, menumpuk kekayaan, berbangga akan keturunan dan kesenangan yang fana
dan menipu. Sementara akhirat adalah sebaik-baik tempat kembali bagi manusia dan
kehidupan dunia dibanding akhirat adalah sedikit. Sehingga sikap zuhud diperlukan
dalam menjalani kehidupan duniawi tersebut. (Surat An Nisa (4) ayat 77)
2. Hadis

‫ُول هللا ُدلَّنِ ْي‬ َ َ‫ َر ُج ٌل فَق‬-‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
َ ‫ال يَا َرس‬ َّ ِ‫ال َأتَى النَّب‬
َ َ‫ى ق‬ ِّ ‫ع َْن َسه ِْل ْب ِن َس ْع ٍد السَّا ِع ِد‬
‫ازه ْد‬ ْ « ‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى النَّاسُ فَقَا َل َرسُو ُل هللا‬ rَ ِ‫َعلَى َع َم ٍل ِإ َذا َأنَا َع ِم ْلتُهُ َأ َحبَّنِ َى هللا َوَأ َحبَّن‬
»‫ك‬ ِ َّ‫ازهَ ْد فِي َما فِى َأ ْي ِدى الن‬
َ ‫اس ي ُِحبُّو‬ ْ ‫ك هللا َو‬ َ َّ‫فِ ْي ال ُّد ْنيَا يُ ِحب‬
Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan
yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan
mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR.
Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang
hasan)

1.Pengertian wara

1.1 pengertian menurut Bahasa

Dalam Kamus Al Munawwir yang disusun oleh Ahmad Warson


Munawwir, Wara‟ berasal dari bahasa Arab, yaituwara‟a- yara‟u-wara‟an yang berarti
menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat. Ada jugawari‟a „an kadza
 yang berartimenahan diri (Ahmad WarsonMunawwir, 1984:1657).

1.2 pengertian menurut istilah

Dalam kitab Subulussalam karya Al Imam Muhammad bin Ismail As


Shan‟aniy sebagai  syarah atas kitab Bulughul Maram dan Terjemah  Bulughul Maram oleh
Ahmad Hassan, disebutkan bahwa wara‟ adalah meninggalkan sesuatu yang meragu-
ragukan kamu kepada sesuatu yangtidak meragu-ragukan kam. Ada juga tajannaba
syubuhaat khaufalwuqu‟i fi muharram, yaitu menjauhi barang-barang syubhat lantaran
takut terjatuh di haram (As Shan‟aniy, 1960:171dan Ahmad Hassan,2002:671).
Pengertian syubhat  sendiri adalah ma lam yatayaqqan kaunuhuharaman au halalan, yaitu
apa-apa yang diragukan keadaannya apakahharam atau halal (Al Jurjani:124).

2. Dalil dalil yang berkenaan dengan wara’

1. Hadis

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫هللا‬ِ ‫ْت َرس ُْو َل‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما قَا َل‬ ِ ‫َع ْن َأبِي َع ْب ِد هللاِ النُّ ْع َمان ب ِْن بَ ِشي ٍْر َر‬
ٌ َ‫ ِإ َّن ال َحالَ َل بَي ٌِّن َوِإ َّن الَح َرا َم بَي ٌِّن َوبَ ْينَهُ َما ُأ ُم ْو ٌر ُم ْشتَبِه‬: ‫َوآلِ ِه َو َسلَّ َم يَقُ ْو ُل‬
‫ات الَ يَ ْعلَ ُمه َُّن َكثِ ْي ٌر‬
‫ت َوقَ َع فِي‬ ِ ‫ض ِه َو َم ْن َوقَ َع فِي ال ُّشبُهَا‬ ِ ْ‫ت فَقَ ِد ا ْستَ ْب َرَأ لِ ِد ْينِ ِه َو ِعر‬
ِ ‫اس فَ َم ِن اتَّقَى ال ُّشبُهَا‬ِ َّ‫ِم َن الن‬
‫ك َأ ْن يَرْ تَ َع فِ ْي ِه َأالَّ ِوِإ َّن لِ ُكلِّ َملِ ٍك ِح ًمى َأالَ َوِإ َّن‬ ُ ‫الح َمى ي ُْو ِش‬ ِ ‫ال َح َر ِام َكالرَّا ِعي يَرْ َعى َح ْو َل‬
‫ت فَ َس َد‬ ْ ‫صلُ َح ال َج َس ُد ُكلُّهُ َوِإ َذا فَ َس َد‬
َ ‫ت‬ ْ ‫صلُ َح‬ َ ‫ار ُمهُ َأاَل َوِإ َّن فِي ال َج َس ِد ُمضْ َغةً ِإ َذا‬ ِ ‫ِح َمى هللاِ َم َح‬
ْ ‫ َر َواهُ البُ َخا ِري َو ُم‬ –  ُ‫ال َج َس ُد ُكلُّهُ َأاَل َو ِه َي القَ ْلب‬
‫سلِ ٌم‬
Dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara
keduanya terdapat perkara syubhat–yang masih samar–yang tidak diketahui oleh
kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke
dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada
penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir
menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan
Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam
jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia
rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati
(jantung).” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599]

B. PERBEDAAN UNUD DAN WARA’

Sebagian ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan makna antara wara’ dan
zuhud, sehingga mereka menggunakan dua istilah tersebut dalam satu pembahasan saja.

Namun yang nampaknya lebih tepat, ada perbedaan antara keduanya. Yang lebih tepat
adalah sebagaimana dikatakan para ulama bahwa:

 zuhud adalah meninggalkan semangat untuk meraih hal yang tidak bermanfaat
bagi akhirat seperti berlebihan dalam hal-hal yang mubah yang dapat membuat
seseorang lalai dari ketaatan kepada Allah
 adapun wara’ yang syar’i adalah meninggalkan hal-hal yang dapat
membahayakan nasib kita di akhirat, termasuk di dalamnya adalah
meninggalkan hal-hal yang haram dan syubhat karena perkara syubhat itu
terkadang merupakan hal membahayakan nasib seseorang di akhirat.

Namun perlu diketahui bahwa zuhud dan wara itu adalah sebuah tingkatan yang tidak
dicapai oleh semua orang, Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan

‫ ال يصح له زهد وال ورع‬r‫والقلب المعلق بالشهوات‬

“hati yang selalu terkait dengan syahwat tidak sah baginya zuhud dan wara'”

C. KARAKTERISTIK ZUHUD DAN WARA’

1.1 ZUHUD

1. Tidak merasa suka ketika mempunyai harta dan tidak pula merasa susah ketika tidak
mempunyai harta.
2. Merasa sama antara dipuji atau dicela.
3. Merasa senang hati (keledzatan) di dalam beribadah kepada Allah

1.2 WARA’
1. Menjaga lidah dari mengumpat (ghibah).
2. Menjauhi dari berprasangka buruk (su’u adz-dzon)
3. Menjauhi untuk tidak menghina orang lain (sukhriyah)
4. Memejamkan penglihatan dari perkara yang haram.
5. Berbicara benar (tidak berbohong).
6. Mengetahui bahwa segala nikmat itu dari allah (supaya tidak ujub).
7. Menginfaqkan harta benda di dalam jalan allah
8. Tidak sombong.
9. Melaksanakan sholat lima waktu dengan kontinyu.
10. Konsisten dalam melaksanakan jama’ah dan ibadah sunah.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Zuhud adalah tidak adanya ketergantungan di dalam hati seorang hamba terhadap
perkara dunia. Karakteristik zuhud yaitu : sama antara mempunyai harta maupun tidak,
sama antara dipuji maupun dicaci, dan merasakan keladzatan dalam beribadah. Zuhud
ada tiga tingkatan, yaitu tingkatan rendah, tingkatan sedang, dan tingkatan tinggi.
Fadhilah zuhud antara lain yaitu: kaya hati, lapang dada, dicintai allah, bijaksana, dan
hatinya selalu bercahaya keimanan.
Wara’ adalah kesanggupan diri untuk meninggalkan perkara maksiat (haram dan
syubhat). Karakteristik wara’ antara lain: tidak ghibah, su’udzon, sukhriyah, ujub, dsb.
Perkara syubhat adalah perkara yang belum jelas hukumnya kerena adanya keraguan
dalam sebab-sebab dan percampuran antara kehalalan maupun keharamannya.

B. SARAN

Semoga penjelasan mengenai zuhud dan wara’ tersebut bisa bermanfaat bagi
segenap pembaca. kami mohon maaf apabila ada kesalahan baik berupa penulisan
maupun pembahasan di atas karena keterbatasan pengetahuan. Mohon kiranya kritik dan
saran yang membangun untuk kemajuan bersama. Sekian dan wallahu a’lam bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman K.H.E Recik-rceik Dakwah,Sinar baru, Bandung, 1993.

Adian, Donny Gharial, Muhammad Iqbal,Teraju, Jakarta. 2003.

Sayyid Abu Bakar Al Makki, Kifayatul Atqiya; Semarang: Toha Putra.

K. Asrari, Al-Bayanul Mushaffa Fi Washiatil Musthafa, Semarang Toha


Putra, 1382H,Hal.91-93.

Anda mungkin juga menyukai