Sebagaimana telah diketahui bahwa penulisan Hadits mulai berkembang pesat pada masa Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, yang merupakan cucu dari Khalifah Umar bin Khattab. Kemudian menjadi
Kitab-kitab yang sudah tertulis secara detail dan tersebar ke seluruh penjuru dunia pertengahan
masa Abbasiyah, proses tersebut terjadi pada tahun 200 – 400 Hijiriyah.
Berikut kitab-kitab yang telah tertulis secara baik pada masa tersebut:
7. Mustakhrajat
Kitab ini memuat Hadits-hadits yang telah ada di kitab lain, namun dimasukkan Hadits tersebut
ke dalam bukunya dengan jalur sanad yang ia dapatkan. Seperti Kitab Mustakhrajat ‘Ala Shahih
Al Bukhari karya Al Ismaily, kitab ini memuat Hadits yang ada di Kitab Shahih Al Bukhari namun
ia riwayatkan dengan jalur isnad yang ia punya.
Para ulama yang datang setelah abad itu, mereka tinggal membuat syarah (penjelasan) untuk Kitab-
kitab Hadist di atas, ada pula yang membuat ringkasan dari kitab-kitab tersebut dan lain lain. Ilmu
agamapun semakin meluas setelah abad itu.
Jasa Ulama Hadits pada masa tersebut adalah andil terbesar dalam perkembangan Ilmu Hadits,
sehingga Imam Syafi’i pernah mengatakan:
“Jika aku melihat seorang dari ahli hadist, maka aku seakan melihat Sahabat Rasulullah Saw.,
semoga Allah membalas kebaikan mereka, karena mereka telah menjaga untuk kita keaslian Hadits,
maka mereka mempunyai keutamaan yang tinggi.”
ون ُ ُ ْ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ َّ َ ْ َ اَّل
ِ وما خلقت ال ِجن واِإْل نس ِإ ِليعبد
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Artinya bahwa ada 2 makhluk yang Allah berikan karunia akal, yaitu jin dan manusia. Sehingga mereka diberikan
kewajiban untuk beribadah dan dibalas nantinya dengan surga maupun neraka.
Perkara wajib adalah perkara yang harus dilakukan umat Islam secara mutlak, sehingga tidak dapat
meninggalkannya jika tidak ada udzur/halangan yang syar'i. Sementara perkara sunnah adalah perkara yang
bernilai pahala namun tidak sampai derajat wajib, sehingga manusia dapat berlomba-lomba di dalamnya. Pada
kedua perkara ini orang beriman dapat berlomba meraih pahala sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Penjelasan Hadits
َ َف َرartinya : mewajibkan secara pasti, sebab diambil dari kata al-faradh yang artinya al-qath’u
Kata ض
(memutuskan/memastika). Kemudia dibaca اِئض َ َف َرsebab ini termasuk isim yang tidak boej diberikan
padanya tanwin, karena termasuk bentuk jama’ yang paling akhir. Sabda beliau : اِئض َ ض َف َر
َ ( َف َرtelah
mewajibka bayak kewajiban) seperti shalat lima waktu, zakat puasa ramadhan, Haji (bagi yang mampu),
berbakti kepada orangtua, menyambungka tali silaturrahim dan yang lainnya.
َ ( َفاَل ُتjanganlah kalian mengabaikannya) yakni jangan meremehkanya sehingga berakibat kalian
ض ِّيعُو َها
meninggalkanya, namun jagalah itu semua.
Sabda beliau : ً( َو َح َّد ُحد ُْوداAllah telah menetapkan batasan-batasan). Al-hadda secaraba bahasa artinya :
batasan atau larangan, seperti batasan tanah, supaya para pemiliknya satu sama lain dapat mencegah
untuk masuk kedalamnya. Adapun pengertian secara istilah, ada yang mengatakan : “yang dimaksud
denganya adalah semua kewajiban dan larangan”. Kewajiba adalah batasan, sebab itu jangan dilanggar
perkara yang haram juga batasan, maka jangan didekati.
Sebagia ulama mengatakan “’yang dimaksud denganya adalah hukum syariat, seperti hukum zina,
pencurian dan selainnya.
Yang benar adalah yang pertama, bah yang dimaksud denga al-hudud yang ada dalam hadits ini adalah
segala yang diberi batasan oleh Allah, baik berupa kewajiba, maupun perkara yag diharamkan. Terhadap
perkara yang wajib kita katakan : Anda jagan melampaui batas dan melanggarnya.” Dan terhadap
perkara yang haram kita katakan : “Janganlah anda mendekatinya.” Demikianlah yang disebutkan dalam
al-Qur’an, tatkala Allah mengharamkan makan dan minum bagi orang yang sedang puasa :
ك ُحد ُْو ُد هّٰللا ِ َفاَل َت ْق َرب ُْو َه ۗا
َ ت ِْل
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya(QS. Al Baqorah : 187)
Dan tatkala menjelaskan tentang Iddah, apa yang harus dilakukan wanita ketika sedang iddah, Allah
Ta’ala berfirma :
ك ُحد ُْو ُد هّٰللا ِ َفاَل َتعْ َتد ُْو َها
َ ت ِْل
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya (QS. Al Baqorah : 229)
اء ْ ( َو َح َّر َم َأAllah telah mengharamka banyak hal) kat َأ ْش َيا َءharakat akhirnya difatahkan tidak dengan dua
َ ش َي
fathah, sebab sebelum huruf hamzah ada alif ta’-nis mamdudah. ( َفاَل َت ْن َت ِه ُكو َهاjanganlah kalian
melanggarnya). Artinya : jangan kalian melakukannya. Seperti zina, minum khamr, menuduh, dan
banyak lagi yang lainnya.
Sabda beliau : ( َو َسكَتَ َعنْ َأ ْش َيا َء َرحْ َم ًة لَ ُك ْمdan Allah mendiamkan banyak perkara sebagai rahmat bagi
kalian, buka karena lupa, maka kalian jaga membahasnya). Mendiamkan bayak hal artinya hal-hal yang
tidak dilarang dan tidak pula diwajibkan. Sabda beliau : َ( َو َس كَتmendiamkannya) artinya tidak
mengatakan apa-apa tentangnya, tidak mewajibkannya, tapi tidak juga mengharamkannya. ان ٍ غَ ي َْر نِسْ َي
artinya : Alah ta’ala tidak meninggalkannya kerena lupa, berdasarkan firman-Nya :
ُّك َنسِ ًّيا َ َو َما َك
َ ان َرب
Dan tidaklah Rabb-mu lupa (QS. Maryam :64)
akan tetapi sebagai rahmat bagi makhluk-Nya supaya tidak memberatka mereka. َفاَل َتب َْح ُثوا َع ْن َهاartinya :
jangan kalian menanyakannya .
Faedah Hadits :
1. Menetapkan bahwa Allah-lah yang memiliki perintah. Allah-lah yang mengharuskan,
mewajibkan, atau mengharamka. Perintah ada di tangann-Nya, tidak seorangpun mewajibka
apa yang diwajibka Allah, atau mengharamka apa yang tidak diharamkan-Nya.
Orang yang melakukan perbuatan Bid’ah berarti telah menodai kehormatan/keharaman Allah
Siapapun yang membuat perkara baru dalam agam Allah, baik dalam hal aqidah, perkataan, perbuatan,
maupun amalan, berarti ia telah melanggar larangan Allah, dan tidak bisa dikatakan bahwa hal ini
termasuk perkara yang didiamkan Allah. Sebab pada dasarnya hukum ibadah adalah terlarang, kecuali
didapatka dalil yag mendasarinya,. Dan untuk selain ibadah (seperti mu’amalah dan perkara dunia),
maka hukum dasarnya diperbolehkan, dan apa yang Allah diamkan hukumnya mubah.