DISUSUN OLEH
: 15.135.O76
: GUSTIANTI USMAN
: 15.135.054
: RIFALDI I. DRAKEL
: 15.135.065
TERNATE 2017
KATA PENGANTAR
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga
Puji penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “HADIST
TENTANG HAJI DAN QURBAN”.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyusun makalah ini sampai selesai.
Kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan
untuk penyusunan makalah yang selanjutnya agar jauh lebih baik dari sebelumnya.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih dan semoga makalah ini bemanfaat bagi kami
khususnya bagi para pembaca.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN .........................................................................................
B. SARAN .....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut
yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah
seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata
(Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima
(kurban) dari orang-orang yang bertakwa". (Al Maaidah: 27)
Disebutkan dalam Al Qur'an, Allah memberi perintah melalui mimpi kepada Nabi
Ibrahim untuk mempersembahkan Ismail. Diceritakan dalam Al Qur'an bahwa Ibrahim dan
Ismail mematuhi perintah tersebut dan tepat saat Ismail akan disembelih, Allah menggantinya
dengan domba. Berikut petikan surat Ash Shaaffaat ayat 102-107 yang menceritakan hal
tersebut.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim
membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ), dan Kami
panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. (Ash Shaaffaat: 102-107)
A. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana arti Hukum Haji.?
b. Apa saja Syarat Wajib Haji.?
c. Apa saja Syarat Sah Haji.?
d. Bagaimana Rukun Haji.?
e. Apa Pengertian Udh-Hiyah.?
f. Bagaimana Keutamaan Qurban.?
g. Apa itu Hukum Qurban.?
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAJI
1. HUKUM HAJI
Hukum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya
sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah
disebutkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kesepakatan para ulama).
a. Dalil As Sunnah
ِ َ َوإِيت، ِصالَة
اء َّ َوإِقَ ِام ال، َّللا ُ َّللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر
ِ َّ سو ُل َّ َّش َهادَةِ أ َ ْن الَ إِلَهَ إِال
َ علَى خ َْم ٍس َ اإل ْسالَ ُم
ِ ى َ بُ ِن
َضان َ َو، ِ َو ْال َح ِّج، ِالز َكاة
َ ص ْو ِم َر َم َّ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).
Hadits ini menunjukkan bahwa haji adalah bagian dari rukun Islam. Ini berarti menunjukkan
wajibnya.
Para ulama pun sepakat bahwa hukum haji itu wajib sekali seumur hidup bagi yang
mampu. Bahkan kewajiban haji termasuk perkara al ma’lum minad diini bidh dhoruroh
(dengan sendirinya sudah diketahui wajibnya) dan yang mengingkari kewajibannya
dinyatakan kafir.
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Merdeka
5. Mampu
Kelima syarat di atas adalah syarat yang disepakati oleh para ulama. Sampai-sampai
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni berkata, “Saya tidak mengetahui ada khilaf (perselisihan)
dalam penetapan syarat-syarat ini.” (Al Mughni, 3:164)
1. Islam
2. Berakal
3. Miqot zamani, artinya haji dilakukan di waktu tertentu (pada bulan-bulan haji), tidak
di waktu lainnya.
4. Miqot makani, artinya haji (penunaian rukun dan wajib haji) dilakukan di tempat
tertentu yang telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya
dapat dilakukan dengan memilih salah satu dari tiga cara manasik:
1. Ifrod, yaitu meniatkan haji saja ketika berihram dan mengamalkan haji saja setelah
itu.
2. Qiron, yaitu meniatkan umroh dan haji sekaligus dalam satu manasik. Wajib bagi
yang mengambil tata cara manasik qiron untuk menyembelih hadyu.
3. Tamattu’, yaitu berniat menunaikan umroh saja di bulan-bulan haji, lalu melakukan
manasik umroh dan bertahalul. Kemudian diam di Makkah dalam keadaan telah
bertahalul. Kemudian ketika datang waktu haji, melakukan amalan haji. Wajib bagi
yang mengambil tata cara manasik tamattu’ untuk menyembelih hadyu.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Telah terdapat ijma’ (kesepakatan para ulama)
bolehnya memilih melakukan salah satu dari tiga cara manasik: ifrod, tamattu’ dan qiron,
tanpa dikatakan makruh. Namun yang diperselisihkan para ulama adalah manakah tatacara
manasik yang afdhol (lebih utama).” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8: 169)
Manakah dari tiga tata cara manasik tersebut yang lebih utama? Dalam hadits
mengenai tata cara manasik haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau
bersabda,
4. Rukun Haji
1. Ihram
2. Thowaf ifadhoh
3. Sa’i
4. Wukuf di Arafah
Jika salah satu dari rukun ini tidak ada, maka haji yang dilakukan tidak sah.
Ada beberapa wajib haji, Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.
Wajib pertama: Ihram dari miqot
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat-tempat miqot, beliau bersabda,
َو َم ْن َكانَ د ُونَ ذَ ِل َك فَ ِم ْن، َ ِم َّم ْن أ َ َرادَ ْال َح َّج َو ْالعُ ْم َرة، ع َل ْي ِه َّن ِم ْن َغي ِْر ِه َّن
َ ُه َّن لَ ُه َّن َو ِل َم ْن أَتَى
َ َحتَّى أ َ ْه ُل َم َّكةَ ِم ْن َم َّكة، َ ْث أ َ ْنشَأ
ُ َحي
“Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi
mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan
umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari
kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR.
Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181)
Wajib kedua: Wukuf di Arafah hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari
Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu Maghrib.
Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan mabit
di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir di Masy’aril haram
(Muzdalifah) dalam ayat,
“Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril
haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).
Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur, maka ada
kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam. Imam
Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dam bagi
yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah
wajib. Dam di sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun
yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia sibuk
dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-
apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi’iyah.”
Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijah,
melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau 13 jika masih tetap di
Mina). Allah Ta’ala berfirman,
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari
tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada
dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari
itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 203).
Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika melempar jumroh (Tafsir Al
Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan
setelah terbit matahari. Sedangkan pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh
lainnya (mulai dari jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya
dimulai setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam (mabit) di Mina selama hari-
hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq (ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih
ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik
dimulai dari awal malam atau dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh,
133).
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini dalam sabdanya,
َو ْليَ ْح ِل ْل، ص ْر
ِّ ِ ََو ْليُق
“Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691 dan Muslim no. 1227)
Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang
yang berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut di sini
adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan rambut yang
menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,
“Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath: 27). Mencukur (halq)
adalah menggunakan silet (muws), sedangkan menggunakan alat cukur selain itu berarti
hanya memendekkan (taqshir). Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari
nahr (10 Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan
seperti itu akan terkena dam (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).
Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut, bukan
hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan dinamakan halq
(mencukur) atau qoshr (memendekkan) (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang telah
dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak ada
roml di dalamnya (Fiqih Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’,
maka ia dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ِ ع ْه ِد ِه بِ ْالبَ ْي
ت ِ َالَ َي ْن ِف َر َّن أ َ َحد ٌ َحتَّى يَ ُكون
َ آخ ُر
“Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari ibadah hajinya
adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).
Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah,
mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa mencukupi
thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu thowaf wada’, maka itu
adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun
sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih
hati-hati dalam hal ini adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’
sendiri. Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai, sedangkan
setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum menunaikan sa’i haji. Pendapat
terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’ Islam Web, fatwa no. 58685).
Larangan ihram yang seandainya dilakukan oleh orang yang berhaji atau berumroh,
maka wajib baginya menunaikan fidyah, puasa, atau memberi makan. Yang dilarang bagi
orang yang berihram adalah sebagai berikut:
1. Mencukur rambut dari seluruh badan (seperti rambut kepala, bulu ketiak, bulu
kemaluan, kumis dan jenggot).
2. Menggunting kuku.
3. Menutup kepala dan menutup wajah bagi perempuan kecuali jika lewat laki-laki yang
bukan mahrom di hadapannya.
4. Mengenakan pakaian berjahit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh bagi laki-laki
seperti baju, celana dan sepatu.
5. Menggunakan harum-haruman.
6. Memburu hewan darat yang halal dimakan. Yang tidak termasuk dalam larangan
adalah: (1) hewan ternak (seperti kambing, sapi, unta, dan ayam), (2) hasil tangkapan
di air, (3) hewan yang haram dimakan (seperti hewan buas, hewan yang bertaring dan
burung yang bercakar), (4) hewan yang diperintahkan untuk dibunuh (seperti
kalajengking, tikus dan anjing), (5) hewan yang mengamuk (Shahih Fiqh Sunnah, 2:
210-211)
9. Mencumbu istri di selain kemaluan. Jika keluar mani, maka wajib menyembelih
seekor unta. Jika tidak keluar mani, maka wajib menyembelih seekor kambing.
Hajinya tidaklah batal dalam dua keadaan tersebut (Taisirul Fiqh, 358-359).
1. Dalam keadaan lupa, tidak tahu, atau dipaksa, maka tidak ada dosa dan tidak ada
fidyah.
2. Jika melakukannya dengan sengaja, namun karena ada uzur dan kebutuhan mendesak,
maka ia dikenakan fidyah. Seperti terpaksa ingin mencukur rambut (baik rambut
kepala atau ketiaknya), atau ingin mengenakan pakaian berjahit karena mungkin ada
penyakit dan faktor pendorong lainnya.
3. Jika melakukannya dengan sengaja dan tanpa adanya uzur atau tidak ada kebutuhan
mendesak, maka ia dikenakan fidyah ditambah dan terkena dosa sehingga wajib
bertaubat dengan taubat yang nashuhah (tulus).
2. Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim) sebelum tahallul awwal,
ditambah ibadah hajinya tidak sah.
3. Fidyah jaza’ atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat. Caranya adalah
ia menyembelih hewan yang semisal, lalu ia memberi makan kepada orang miskin di
tanah haram. Atau bisa pula ia membeli makanan (dengan harga semisal hewan tadi),
lalu ia memberi makan setiap orang miskin dengan satu mud, atau ia berpuasa selama
beberapa hari sesuai dengan jumlah mud makanan yang harus ia beli.
4. Selain tiga larangan di atas, maka fidyahnya adalah memilih: [1] berpuasa tiga hari,
[2] memberi makan kepada 6 orang miskin, setiap orang miskin diberi 1 mud dari
burr (gandum) atau beras, [3] menyembelih seekor kambing. (Al Hajj Al Muyassar,
68-71)
Kaedah dalam masalah menggunakan harum-haruman ketika ihram
1. Boleh menghirup bau tanaman yang memiliki aroma yang harum. Hal ini disepakati
oleh para ulama.
2. Boleh menghirup bau sesuatu yang memiliki aroma harum dan mengkonsumsinya
seperti buah-buahan yang dimakan atau digunakan sebagai obat. Hal ini juga
disepakati oleh para ulama.
3. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum (harum-haruman) dan
memang digunakan untuk maksud tersebut seperti minyak misik, kapur barus, minyak
ambar, dan za’faron, maka ada fidyah jika digunakan ketika berihram.
4. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum, namun digunakan untuk
maksud lain, maka hal ini pun terkena fidyah (An Nawazil fil Hajj, 198).
4. Berbekam.
7. Bersiwak atau menggosok gigi walau ada bau harum dalam pasta giginya selama
bukan maksud digunakan untuk parfum.
8. Memakai kacamata.
9. Berdagang.
Tahallul
Tahallul artinya keluar dari keadaan ihram. Tahallul ada dua macam: (1) tahallul awwal
(tahallul shugro), dan (2) tahalluts tsani (tahallul kubro).
Tahallul awwal ketika telah melakukan: (1) lempar jumroh pada hari Nahr (10 Dzulhijjah),
(2) mencukur atau memendekkan rambut. Jika telah tahallul awwal, maka sudah boleh
melakukan seluruh larangan ihram (seperti memakai minyak wangi), memakai pakaian
berjahit dan yang masih tidak dibolehkan adalahyang berkaitan dengan istri.
Jenis Miqot
1. Miqot zamaniyah yaitu bulan-bulan haji, mulai dari bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan
Dzulhijjah.
2. Miqot makaniyah yaitu tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau
umroh. Ada lima tempat: (1) Dzulhulaifah (Bir ‘Ali), miqot penduduk Madinah (2)
Al Juhfah, miqot penduduk Syam, (3) Qornul Manazil (As Sailul Kabiir), miqot
penduduk Najed, (4) Yalamlam (As Sa’diyah), miqot penduduk Yaman, (5) Dzat
‘Irqin (Adh Dhoribah), miqot pendudk Irak. Itulah miqot bagi penduduk daerah
tersebut dan yang melewati miqot itu.
Sebagian jama’ah haji dari negeri kita, meyakini bahwa Jeddah adalah tempat awal
ihram. Mereka belumlah berniat ihram ketika di pesawat saat melewati miqot. Padahal
Jeddah sudah ada sejak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak
menetapkannya sebagai miqot. Inilah pendapat mayoritas ulama yang menganggap Jeddah
bukanlah miqot. Ditambah lagi jika dari Indonesia yang berada di timur Saudi Arabia, berarti
akan melewati miqot terlebih dahulu sebelum masuk Jeddah, bisa jadi mereka melewati
Qornul Manazil, Dzat ‘Irqin atau Yalamlam. Dalil penguat bahwa yang melewati daerah
miqot, maka harus berihram dari tempat tersebut dan tidak boleh melampauinya adalah
hadits,
َو َم ْن َكانَ د ُونَ ذَ ِل َك فَ ِم ْن، َ ِم َّم ْن أ َ َرادَ ْال َح َّج َو ْالعُ ْم َرة، ع َل ْي ِه َّن ِم ْن َغي ِْر ِه َّن
َ ُه َّن لَ ُه َّن َو ِل َم ْن أَتَى
َ َحتَّى أ َ ْه ُل َم َّكةَ ِم ْن َم َّكة، َ ْث أ َ ْنشَأ
ُ َحي
“Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi
mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan
umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari
kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR.
Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181) (Lihat An Nawazil fil Hajj, 116-138 dan bahasan
dorar.net).
Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan;
Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah
shalat Ied”. Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534
Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih
hewan qurban biasa disebut dengan namaAl Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi
(dengan huruf ha’ tipis)
B. PENGERTIAN UDH-HIYAH
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari
Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut
(lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah
radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa
senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat
Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun
kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak
ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari
pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak
dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah
mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan
syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 &Syarhul
Mumthi’ 7/521).
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah
Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu
pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin
mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat
yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…”
(lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan
(harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.”
(HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat
mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang
mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu
‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku
adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau
tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi
dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar
dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi,
sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang
menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihatShahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul
Ahkaam, IV/454)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya
qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu
berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a:
“Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al
Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan
seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum
menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang
tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al
Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby
mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala
sebagaimana orang berqurban dari umat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya
(hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah
(hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu
siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut
Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara
Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak
boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya
dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih
sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum
muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihatShahih Fiqih Sunnah, II/377)
Penyembelih Qurban
Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut
datang menyaksikan penyembelihannya.
o hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul
qurban).” atau
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia
menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun
sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah,
apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun
sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi
simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga
aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan
hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378). Oleh sebab itu, boleh
mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak
menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul
Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang
dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula
jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang
yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”
(HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)
penyembelihan harus dilakukan pada hari raya dan hari-hari tasyrik. Karena jika
dilakukan diluar hari-hari tersebut, sembelihan tidak sah sebagai qurban. Sebagaimana
dijelaskan dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َسنَّة
ُ اب
َ صَ َ َوأ، ُس ُكه َّ َو َم ْن ذَ َب َح َب ْعدَ ال، صالَ ِة فَإِنَّ َما ذَ َب َح ِلنَ ْف ِس ِه
ُ ُصالَ ِة فَقَ ْد ت َ َّم ن َّ َم ْن ذَ َب َح قَ ْب َل ال
َْال ُم ْس ِل ِمين
“Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti
menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul
Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunah kaum
muslimin” (HR. Bukhari no. 5546).
Juga hadis Abu Burdah radhiyallahu’anhu, bahwa Abu Burdah pernah berkata kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
Dalam hadis dari sahabat Buraidah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
اس َج ْهدٌ فَأ َ َردْتُ أ َ ْن ت ُ ِعينُوا فِي َها َ َط ِع ُموا َواد َِّخ ُروا فَإ ِ َّن ذَ ِل َك ْالع
ِ َّام َكانَ بِالن ْ َ ُكلُوا َوأ
“Sekarang silakan kalian makan, bagikan, dan menyimpannya. Karena sesungguhnya pada
tahun lalu orang-orang ditimpa kesulitan (kelaparan/krisis ekonomi). Aku ingin kalian
membantu mereka (yang membutuhkan makanan)” (HR. Bukhari. Dari Salamah bin Al-
Akwa’).
Para ulama berselisih pendapat mengenai keabsahan qurban untuk mayit jika bukan
karena wasiat. Dalam madzhab Syafi’i, qurbannya tidak salah kecuali jika ada wasiat dari
mayit. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Minhaj,
“Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk
mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk qurban tersebut.”
Kita dapat membagi berqurban untuk mayit menjadi tiga rincian sebagai berikut:
Pertama: Berqurban untuk mayit hanya sebagai ikutan. Misalnya seseorang berqurban untuk
dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasar
dari bolehnya hal ini adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban
untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia.
Bahkan jika seseorang berqurban untuk dirinya, seluruh keluarganya baik yang masih hidup
maupun yang telah mati, bisa termasuk dalam niatan qurbannya. Dalilnya,
ع ْن أ َ ْه ِل َب ْيتِ ِه
َ ع ْنهُ َو َ ُسلَّ َم ي
َّ ض ِ ِّحى ِبال
َ ِشاة َ ُصلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو َ يِِّ الر ُج ُل ِفي َع ْه ِد النَّ ِب
َّ ََكان
“Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih
seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban
kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa
atau lebih.”
Kedua: Berqurban untuk mayit atas dasar wasiatnya (sebelum meninggal dunia). Hal ini
dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ع ِلي ٌم
َ س ِمي ٌع َّ علَى الَّذِينَ يُ َب ِدِّلُو َنهُ ِإ َّن
َ ََّللا َ ُس ِم َعهُ فَإِنَّ َما ِإثْ ُمه
َ فَ َم ْن َبدَّلَهُ َب ْعدَ َما
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka
sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 181).
Ketiga: Berqurban dengan niatan khusus untuk mayit, bukan sebagai ikutan, maka seperti ini
tidak ada sunnahnya (tidak ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berqurban untuk salah satu orang yang telah
meninggal dunia dengan niatan khusus. Beliau tidak pernah berqurban atas nama pamannya,
Hamzah -radhiyallahu ‘anhu-, padahal ia termasuk kerabat terdekat beliau. Tidak diketahui
pula kalau beliau berqurban atas nama anak-anak beliau yang telah meninggal dunia, yaitu
tiga anak perempuan beliau yang telah menikah dan dua anak laki-laki yang masih kecil.
Tidak diketahui pula beliau pernah berqurban atas nama istri tercinta beliau, Khodijah –
radhiyallahu ‘anha-. Begitu pula, tidak diketahui dari para sahabat ada yang pernah
berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia di antara mereka.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya
sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah
disebutkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kesepakatan para ulama).
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak
disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan
Muslim no. 16).
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari
Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut
(lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=5
8685
Mawqi’ Dorar.net:http://www.dorar.net/art/379
http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=7
0808).