Anda di halaman 1dari 14

-MUQODDIMAH-

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahirobbil ‘alamin, wabihi nasta’in ‘ala umuriddunyawaddin, ashsholatuwassalamu’ala
asrofil ambiyaa iwal mursalin wa’ala alihi washohbihi ajma’in. Robbisrohlisodri, wayassrili amri,
wahlul uqdatammilisani yafqohu qouli, amma ba’du
Hadirin yang dimuliakan Allah SWT…
Tiada kata yang syahdu dan Indah dari untaian para pujangga kecuali puja dan puji syukur kita
kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat iman, islam serta nikmat sehat wal
‘afiat, sehingga kita dapat berkumpul ditempat yang In Syaa Allah dimuliakan oleh Allah SWT.
Tak lupa sholawat beriring salam selalu menghiasi basahnya hati dan bibir kita, buah santun jiwa,
idola pemuda pemudi, anak-anak dan orang tua ialah Nabiyuna Wahabibina Muhammadin SAW
yang telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang seperti saat ini.
Sahabat sekalian… (ISI SENDIRI)

1. Fiqih Puasa di bulan Ramadhan


Makna puasa
Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (‫ )الصيام‬atau Ash Shaum (‫)الصوم‬. Secara
bahasa Ash Shiyam artinya adalah al imsaak (‫ )اإلمساك‬yaitu menahan diri. Sedangkan secara
istilah, ash shiyaam artinya: beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum
dan pembatal puasa lainnya, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Hukum puasa Ramadhan


Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫صيَام كما ُكتب على الذين من قبلكم‬


ّ ‫يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم ال‬
‫لعلّكم تتّقون‬
“wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183).
Dan juga karena puasa ramadhan adalah salah dari rukun Islam yang lima. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
ّ ‫ شهادة أن ل ِإله ِإل هللا‬:‫اإلسالم على خمس‬
،‫وأن مح ّمدا رسول هللا‬ ِ ‫بُني‬
‫ وصوم رمضان‬،‫ والح ّج‬،‫ و ِإيتاء الزكاة‬،‫وإقام الصالة‬
“Islam dibangun di atas lima rukun: syahadat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, menegakkan
shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari – Muslim).

Keutamaan puasa
1. Puasa adalah ibadah yang tidak ada tandingannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda kepada Abu Umamah Al Bahili:

‫عليك بالصيام فإنه ل مثل له‬


“hendaknya engkau berpuasa karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya” (HR.
Ahmad, An Nasa-i. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)
2. Allah Ta’ala menyandarkan puasa kepada diri-Nya.
‫ فإنه لي وأنا‬،‫ كل عمل ابن آدم له إل الصوم‬:‫قال هللا عز وجل‬
‫أجزي به‬
“Allah ‘azza wa jalla berfirman: setiap amalan manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Karena
puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalas pahalanya” (HR. Bukhari – Muslim).
3. Puasa menggabungkan 3 jenis kesabaran: sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah,
sabar dalam menjauhi hal yang dilarang Allah dan sabar terhadap takdir Allah atas rasa
lapar dan kesulitan yang ia rasakan selama puasa.
4. Puasa akan memberikan syafaat di hari kiamat.

‫الصيام والقرآن يشفعان للعبد‬


“Puasa dan Al Qur’an, keduanya akan memberi syafaat kelak di hari kiamat” (HR. Ahmad,
Thabrani, Al Hakim. Al Haitsami mengatakan: “semua perawinya dijadikan hujjah dalam Ash
Shahih“).
5. Orang yang berpuasa akan diganjar dengan ampunan dan pahala yang besar.
Allah Ta’ala berfirman:

ِ ‫ت َو ْالقَانِتِينَ َو ْالقَانِتَا‬
‫ت‬ ِ ‫ت َو ْال ُمؤْ ِمنِينَ َو ْال ُمؤْ ِمنَا‬ ِ ‫ِإن ْال ُم ْس ِل ِمينَ َو ْال ُم ْس ِل َما‬
َ‫ت َو ْالخَا ِش ِعين‬ ِ ‫ت َوالصا ِب ِرينَ َوالصا ِب َرا‬ ِ ‫َوالصا ِدقِينَ َوالصا ِدقَا‬
‫ت‬
ِ ‫ت َوالصائِ ِمينَ َوالصائِ َما‬ َ َ ‫ص ِ ّدقِينَ َو ْال ُمت‬
ِ ‫ص ِ ّدقَا‬ َ َ ‫ت َو ْال ُمت‬ِ ‫َو ْالخَا ِشعَا‬
‫ت‬ِ ‫ّللا َكثِيرا َوالذا ِك َرا‬ َ َ‫ت َوالذا ِك ِرين‬ ِ ‫ظا‬ َ ِ‫َو ْال َحافِ ِظينَ فُ ُرو َج ُه ْم َو ْال َحاف‬
‫ظيما‬ َ ‫عد ّللاُ لَ ُهم م ْغ ِف َرة َوأَ ْجرا‬
ِ ‫ع‬ َ َ‫أ‬
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan
yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Ahzab: 35)
6. Puasa adalah perisai dari api neraka.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫الصيام ُجنة‬
“puasa adalah perisai” (HR. Bukhari – Muslim)
7. Puasa adalah sebab masuk ke dalam surga
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ ل يدخله إل‬،‫ فيها باب يسمى الريان‬،‫في الجنة ثمانية أبواب‬


‫الصائمون‬
“di surga ada delapan pintu, diantaranya ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang
bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari).
Baca Juga: Dahsyatnya Sedekah di Bulan Ramadhan

Hikmah disyariatkannya puasa


1. Puasa adalah wasilah untuk mengokohkan ketaqwaan kepada Allah
2. Puasa membuat orang merasakan nikmat dari Allah Ta’ala
3. Mendidik manusia dalam mengendalikan keinginan dan sabar dalam menahan diri
4. Puasa menahan laju godaan setan
5. Puasa menimbulkan rasa iba dan sayang kepada kaum miskin
6. Puasa membersihkan badan dari elemen-elemen yang tidak baik dan membuat badan sehat

Rukun puasa
1. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
2. Menepati rentang waktu puasa

Awal dan akhir bulan Ramadhan (bulan puasa)


• Wajib menentukan awal bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka
bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di
antara mereka.
• Para ulama mensyaratkan minimal satu orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan
terlihatnya hilal Ramadhan.
• Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Ramadhan sendirian, ulama khilaf. Jumhur
ulama mengatakan ia wajib berpuasa sendirian berdasarkan ru’yah-nya. Pendapat ini
dikuatkan oleh Ibnu Al Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat ia wajib berpuasa bersama
jama’ah kaum Muslimin. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Baz.
• Rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain (ittifaqul mathali’), ataukah
setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing di negerinya (ikhtilaful mathali’)? Para
ulama khilaf dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat rukyah hilal suatu negeri berlaku
untuk seluruh negeri yang lain. Adapun Syafi’iyyah dan pendapat sebagian salaf, setiap
negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ash
Shanani dan juga Ibnu Utsaimin.
• Wajib menentukan akhir bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka
bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf
di antara mereka.
• Jumhur ulama mensyaratkan minimal dua orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan
terlihatnya hilal Syawal.
• Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Syawal sendirian, maka ia wajib berbuka
bersama jama’ah kaum Muslimin.
• Jika hilal Syawal terlihat pada siang hari, maka kaum Muslimin ketika itu juga berbuka dan
shalat Id, jika terjadi sebelum zawal (bergesernya mata hari dari garis tegak lurus).

Rentang waktu puasa


Puasa dimulai ketika sudah terbit fajar shadiq atau fajar yang kedua. Allah Ta’ala berfirman:

‫ب ّللاُ لَ ُك ْم َو ُكلُواْ َوا ْش َربُواْ َحتى يَتَبَينَ لَ ُك ُم‬ َ َ ‫فَاآلنَ بَا ِش ُرو ُهن َوا ْبتَغُواْ َما َكت‬
‫ض ِمنَ ْال َخي ِْط األ َ ْس َو ِد ِمنَ ْالفَ ْج ِر‬ ُ ‫ْال َخ ْي‬
ُ َ‫ط األ َ ْبي‬
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah: 187).
Yang dimaksud dengan khaythul abyadh di sini adalah fajar shadiq atau fajar kedua karena berwarna
putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar kadzib atau fajar pertama itu bentuknya
seperti dzanabus sirhan (ekor serigala). Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ فأما الفجر الذي يكون كذنب السرحان فال يحل الصالة‬:‫الفجر فجران‬
‫ وأما الفجر الذي يذهب مستطيال في األفق فإنه يحل‬،‫ول يحرم الطعام‬
‫الصالة و يحرم الطعام‬
“Fajar itu ada dua: pertama, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka ini tidak menghalalkan
shalat (shubuh) dan tidak mengharamkan makan. Kedua, fajar yang memanjang di ufuk, ia menghalalkan
shalat (shubuh) dan mengharamkan makan (mulai puasa)” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Al Jami’).
Puasa berakhir ketika terbenam matahari. Allah Ta’ala berfirman:

‫ام ِإلَى الل ْي ِل‬ ّ ِ ‫ثُم أَتِ ُّموا ال‬


َ َ‫صي‬
“lalu sempurnakanlah puasa hingga malam” (QS. Al Baqarah: 187).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ فقد‬،‫ وغربت الشمس‬،‫إذا أقبل الليل من هاهنا وأدبر النهار من هاهنا‬


‫أفطر الصائم‬
“jika datang malam dari sini, dan telah pergi siang dari sini, dan terbenam matahari, maka orang yang
berpuasa boleh berbuka” (HR. Bukhari – Muslim).

Syarat sah puasa


1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Muqim (tidak sedang safar)
5. Suci dari haid dan nifas
6. Mampu berpuasa
7. Niat
Baca Juga: Doa Mustajab Setelah atau sebelum Berbuka Puasa?

Sunnah-sunnah ketika puasa


1. Sunnah-sunnah terkait berbuka puasa
o Disunnahkan menyegerakan berbuka
o Berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab (kurma segar), jika tidak ada maka
denganbeberapa butir tamr (kurma kering), jika tidak ada maka dengan beberapa
teguk air putih
o Berdoa ketika berbuka dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam:

‫ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت األجر إن شاء هللا‬


/dzahabazh zhomaa-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
“telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan, dan telah diraih pahala, insya Allah”
(HR. Abu Daud, An Nasa-i, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
2. Sunnah-sunnah terkait makan sahur
o Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah. Dianggap sudah makan sahur jika
makan atau minum di waktu sahar, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan
sahur itu terdapat keberkahan
o Disunnahkan mengakhirkan makan sahur mendekati waktu terbitnya fajar, pada
waktu yang tidak dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur.
o Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma kering).
3. Orang yang berpuasa wajib meninggalkan semua perbuatan yang diharamkan agama dan
dianjurkan untuk memperbanyak melakukan ketaatan seperti: bersedekah, membaca Al
Qur’an, shalat sunnah, berdzikir, membantu orang lain, i’tikaf, menuntut ilmu agama, dll
4. Membaca Al Qur’an adalah amalan yang lebih dianjurkan untuk diperbanyak di bulan
Ramadhan. Bahkan sebagian salaf tidak mengajarkan ilmu di bulan Ramadhan agar bisa
fokus memperbanyak membaca Al Qur’an dan mentadabburinya.
Orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa
1. Orang sakit yang bisa membahayakan dirinya jika berpuasa.
o Jumhur ulama mengatakan bahwa orang sakit yang boleh meninggalkan puasa
adalah yang jika berpuasa itu dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan serius
pada kesehatannya.
o Adapun orang yang sakit ringan yang jika berpuasa tidak ada pengaruhnya sama
sekali atau pengaruhnya kecil, seperti pilek, sakit kepala, maka ulama empat
madzhab sepakat orang yang demikian wajib tetap berpuasa dan tidak boleh
meninggalkan puasa.
o Terkait adanya kewajiban qadha atau tidak, orang sakit dibagi menjadi 2 macam:
0. Orang yang sakitnya diperkirakan masih bisa sembuh, maka wajib meng-
qadha ketika sudah mampu untuk menjalankan puasa. Ulama ijma akan hal
ini.
1. Orang yang sakitnya diperkirakan tidak bisa sembuh, maka membayar fidyah
kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Diqiyaskan
dengan keadaan orang yang sudah tua renta tidak mampu lagi berpuasa. Ini
disepakati oleh madzhab fikih yang empat.
2. Musafir.
o Orang yang bersafar boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik perjalanannya sulit
dan berat jika dilakukan dengan berpuasa, maupun perjalanannya ringan dan tidak
berat jika dilakukan dengan berpuasa.
o Namun jika orang yang bersafar itu berniat bermukim di tempat tujuan safarnya lebih
dari 4 hari, maka tidak boleh meninggalkan puasa sejak ia sampai di tempat
tujuannya.
o Para ulama khilaf mengenai musafir yang perjalanannya ringan dan tidak berat jika
dilakukan dengan berpuasa, semisal menggunakan pesawat atau kendaraan yang
sangat nyaman, apakah lebih utama berpuasa ataukah tidak berpuasa. Yang lebih
kuat, dan ini adalah pendapat jumhur ulama, lebih utama tetap berpuasa.
o Orang yang hampir selalu bersafar setiap hari, seperti pilot, supir bus, supir truk,
masinis, dan semacamnya, dibolehkan untuk tidak berpuasa selama bersafar,
selama itu memiliki tempat tinggal untuk pulang dan menetap. Pendapat ini
dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al Utsaimin.
3. Orang yang sudah tua renta
o Orang yang sudah tua renta dan tidak lagi mampu untuk berpuasa dibolehkan untuk
tidak berpuasa Ramadhan. Ulama ijma akan hal ini.
o Wajib bagi mereka untuk membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap
hari yang ditinggalkan.
4. Wanita hamil dan menyusui
o Wanita hamil atau sedang menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik
karena ia khawatir terhadap kesehatan dirinya maupun khawatir terhadap kesehatan
si bayi.
o Ulama berbeda pendapat mengenai apa kewajiban wanita hamil dan menyusui
ketika meninggalkan puasa.
0. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup membayar fidyah tanpa
qadha, ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani.
1. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup meng-qadha tanpa fidyah,
ini dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Shalih Al
Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah, juga pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.
2. Sebagian ulama madzhab juga berpendapat bagi mereka qadha dan fidyah
jika meninggalkan puasa karena khawatir akan kesehatan si bayi.
o Yang lebih rajih –insya Allah– adalah pendapat kedua, bagi mereka wajib qadha saja
tanpa fidyah.
5. Orang yang memiliki sebab-sebab yang membolehkan tidak berpuasa, diantaranya:
0. Orang yang pekerjaannya terasa berat. Orang yang demikian tetap wajib meniatkan
diri berpuasa dan wajib berpuasa. Namun ketika tengah hari bekerja lalu terasa
sangat berat hingga dikhawatirkan dapat membahayakan dirinya, boleh
membatalkan puasa ketika itu, dan wajib meng-qadha-nya di luar Ramadhan.
1. Orang yang sangat kelaparan dan kehausan sehingga bisa membuatnya binasa.
Orang yang demikian wajib berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain.
2. Orang yang dipaksa untuk berbuka atau dimasukan makanan dan minuman secara
paksa ke mulutnya. Orang yang demikian boleh berbuka dan meng-qadha-nya di
hari lain dan ia tidak berdosa karenanya.
3. Mujahid fi sabilillah yang sedang berperang di medan perang. Dibolehkan bagi
mereka untuk meninggalkan berpuasa. Berdasarkan hadits:

‫ فكانت رخصة‬،‫ والفطر أقوى لكم‬،‫إنكم قد دنوتم من عدوكم‬


“sesungguhnya musuh kalian telah mendekati kalian, maka berbuka itu lebih menguatkan
kalian, dan hal itu merupakan rukhshah” (HR. Muslim).
Baca Juga: Derajat Hadits Doa Berbuka Puasa “Allahumma laka shumtu…”

Pembatal-pembatal puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja
2. Keluar mani dengan sengaja
3. Muntah dengan sengaja
4. Keluarnya darah haid dan nifas
5. Menjadi gila atau pingsan
6. Riddah (murtad)
7. Berniat untuk berbuka
8. Merokok
9. Jima (bersenggama) di tengah hari puasa. Selain membatalkan puasa dan wajib meng-
qadha puasa, juga diwajibkan menunaikan kafarah membebaskan seorang budak, jika tidak
ada maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang
miskin.
10. Hijamah (bekam) diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat
jumhur ulama, hijamah tidak membatalkan puasa. Sedangkan pendapat Hanabilah bekam
dapat membatalkan puasa. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz dan
Ibnu Al Utsaimin.
11. Masalah donor darah merupakan turunan dari masalah bekam. Maka donor darah tidak
membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat jumhur ulama, dan bisa membatalkan
puasa dengan men-takhrij pendapat Hanabilah.
12. Inhaler dan sejenisnya berupa aroma yang dimasukan melalui hidung, diperselisihkan
apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama ia dapat
membatalkan puasa, sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengatakan
tidak membatalkan. Pendapat kedua ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.

Yang bukan merupakan pembatal puasa sehingga dibolehkan


melakukannya
1. Mengakhirkan mandi hingga terbit fajar, bagi orang yang junub atau wanita yang sudah
bersih dari haid dan nifas. Puasanya tetap sah.
2. Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
3. Mandi di tengah hari puasa atau mendinginkan diri dengan air
4. Menyicipi makanan ketika ada kebutuhan, selama tidak masuk ke kerongkongan
5. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang mampu mengendalikan birahinya
6. Memakai parfum dan wangi-wangian
7. Menggunakan siwak atau sikat gigi
8. Menggunakan celak
9. Menggunakan tetes mata
10. Menggunakan tetes telinga
11. Makan dan minum 5 menit sebelum terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh, yang
biasanya disebut dengan waktu imsak. Karena batas awal rentang waktu puasa adalah
ketika terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh.

Yang dimakruhkan ketika puasa


1. Terlalu dalam dan berlebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke
hidung)
2. Puasa wishal, yaitu menyambung puasa selama dua hari tanpa diselingi makan atau minum
sama sekali.
3. Menyicipi makanan tanpa ada kebutuhan, walaupun tidak masuk ke kerongkongan
4. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang tidak mampu mengendalikan birahinya
5. Bermalas-malasan dan terlalu banyak tidur tanpa ada kebutuhan
6. Berlebihan dan menghabiskan waktu dalam perkara mubah yang tidak bermanfaat

Beberapa kesalah-pahaman dalam ibadah puasa


1. Niat puasa tidak perlu dilafalkan, karena niat adalah amalan hati. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam juga tidak pernah mengajarkan lafal niat puasa. Menetapkan itikad di dalam hati
bahwa esok hari akan berpuasa, ini sudah niat yang sah.
2. Berpuasa namun tidak melaksanakan shalat fardhu adalah kesalahan fatal. Diantara juga
perilaku sebagian orang yang makan sahur untuk berpuasa namun tidak bangun shalat
shubuh. Karena dinukil bahwa para sahabat berijma tentang kafirnya orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja, sehingga tidak ada faedahnya jika ia berpuasa jika
statusnya kafir. Sebagian ulama berpendapat orang yang meninggalkan shalat tidak sampai
kafir namun termasuk dosa besar, yang juga bisa membatalkan pahala puasa.
3. Berbohong tidak membatalkan puasa, namun bisa jadi membatalkan atau mengurangi
pahala puasa karena berbohong adalah perbuatan maksiat.
4. Sebagian orang menahan diri melakukan perbuatan maksiat hingga datang waktu berbuka
puasa. Padahal perbuatan maksiat tidak hanya terlarang dilakukan ketika berpuasa, bahkan
terlarang juga setelah berbuka puasa dan juga terlarang dilakukan di luar bulan Ramadhan.
Namun jika dilakukan ketika berpuasa selain berdosa juga dapat membatalkan pahala puasa
walaupun tidak membatalkan puasanya.
5. Hadits “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” adalah hadits yang lemah. tidur adalah
perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang
lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya,
seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk
mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah. Sebaliknya, tidak setiap tidur orang
berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena
kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai
sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan
sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
6. Tidak ada hadits “berbukalah dengan yang manis“. Pernyataan yang tersebar di tengah
masyarakat dengan bunyi demikian, bukanlah hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
7. Tidak tepat mendahulukan berbuka dengan makanan manis ketika tidak ada kurma. Lebih
salah lagi jika mendahulukan makanan manis padahal ada kurma. Yang sesuai sunnah Nabi
adalah mendahulukan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka dengan air minum.
Adapun makanan manis sebagai tambahan saja, sehingga tetap didapatkan faidah makanan
manis yaitu menguatkan fisik.
Wallahu ta’ala a’lam.

Sumber: https://muslim.or.id/28133-ringkasan-fikih-puasa-ramadhan.html

2. Fiqih Zakat Maal dan Zakat Fitrah


“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan
mensucikan mereka” (QS. At-Taubah : 103)

Zakat merupakan amaliah ijtima’iah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan
kemasyarakatan) dan salah satu dari rukun Islam yang mempunyai status dan fungsi penting dalam
syariat Islam sehingga Alquran menegaskan kewajiban zakat bersamaan dengan kewajiban shalat di (dua
puluh delapan) ayat.

Pengertian Zakat
Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Sedangkan dalam istilah fiqih,
zakat memiliki arti sejumlah harta tertentu yang diambil dari harta tertentu dan wajib diserahkan
kepada golongan tertentu (mustahiqqin). Zakat dijadikan nama untuk harta yang diserahkan tersebut,
sebab harta yang dizakati akan berkembang dan bertambah. Syekh Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad al-Hishni berkata :

‫عاءِّ اآلخِّ ِّذ‬ ِّ ‫س ِّميَتْ بِّذاَلِّكَ ِّأل َ َّن ال ْما َ َل يَ ْن ُم ْو بِّبَ َر َك ِّة إِّ ْخ َر‬
َ ‫اجها َ َو ُد‬ ُ ‫َو‬
“Disebut zakat karena harta yang dizakati akan berkembang sebab berkah membayar zakat dan doa
orang yang menerima.” (Syekh Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Hishni, Kifayatul Akhyar,
Surabaya, al-Haramain, cetakan kedua, 2002, halaman 104)

Sejarah Zakat
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kapan zakat diwajibkan. Di dalam kitab Hasyiyah
al-Jamal dijelaskan bahwa Zakat mal mulai diwajibkan di bulan Sya’ban tahun kedua hijriah bersamaan
dengan zakat fitri. Ada yang berpendapat bahwa zakat diwajibkan sebelum baginda Nabi hijrah ke
Madinah.

Namun, menurut pendapat yang masyhur di kalangan para pakar hadits, zakat mal diwajibkan pada
bulan Syawal tahun kedua hijriah sedangkan zakat fitri diwajibkan dua hari sebelum hari raya Idul Fitri
setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ala al-Minhaj, Beirut,
Dar al-Fikr, cetakan kedua, 2003, jilid dua, halaman 96)

Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat
Islam. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah menyebutkan bahwa
“Islam dibangun di atas 5 tiang pokok, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramaduan, dan naik haji bagi
yang mampu.” {HR. Bukhari & Musllim}. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib atas setiap muslim
yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Jenis-jenis Zakat
Zakat terbagi atas dua jenis yakni :

1. Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim dan muslimah, baligh atau belum, kaya atau tidak, dengan
ketentuan bahwa dia hidup pada malam hari raya dan memiliki kelebihan mu’nah (biaya hidup), baik
untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang yang ditanggung nafkahnya, pada hari raya Idul Fitri dan
malamnya (sehari semalam). Besar zakat ini menurut jumhur (Maliki, Syafi’i, Hambali) setara dengan
dengan 2176 gram atau 2,2 kilogram.

Perlu disebutkan bahwa sha’ merupakan ukuran takaran, bukan timbangan. Karenanya, maka ukuran ini
sulit untuk dikonversi ke dalam ukuran berat, sebab nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda, tergantung
berat jenis benda yang ditakar. Satu sha’ tepung memiliki berat yang tidak sama dengan berat
satu sha’ beras. Oleh karenanya, sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, para ulama
menyarankan agar mengeluarkan zakat fitrah sejumlah 2,5 sampai 3,0 kilogram.

1. Zakat Maal (Harta)


Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan,
hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya
sendiri-sendiri.

Hukum Membayar Zakat Fitrah dengan Uang


Terkait hukum membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, para ulama juga berbeda pendapat.

Pendapat Pertama, mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat bahwa zakat fitrah tidak
boleh diberikan kepada penerima zakat dalam bentuk uang. Mereka berpegangan pada hadits riwayat
Abu Said:
ُ ‫الز ِّبيْبُ َواأل َ ْق‬
‫ط‬ َ َ‫ َو َكان‬،‫ط َع ٍام‬
َّ ‫ط َعا ُمنَا الت َّ ْم ُر َوال‬
َّ ‫ش ِّعي ُْر َو‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫صاعًا مِّ ْن‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ ِّ‫س ْو ِّل هللا‬ َ ‫علَى‬
ُ ‫ع ْه ِّد َر‬ َ ‫ُكنَّا نُ ْخ ِّر ُج َها‬
“Pada masa Rasulullah shallallahu ala’ihi wasallam, kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’
makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma, gandum, anggur, dan keju.” (HR. Muslim,
hadits nomor 985)

Pendapat Kedua, menurut mazhab Hanafi, zakat fitrah boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Mereka
berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:

َ‫لَ ْن تَنَالُوا ْالبِّ َّر َحتَّى ت ُ ْن ِّفقُوا مِّ َّما تُحِّ بُّون‬
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebagian harta yang kamu cintai. (Ali Imran : 92)
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menafkahkan sebagian harta yang kita cintai. Harta
yang paling dicintai pada masa Rasul berupa makanan, sedangkan harta yang paling dicintai pada masa
sekarang adalah uang. Karenanya, menunaikan zakat fitrah dalam bentuk uang diperbolehkan.

Di samping itu, mereka juga berargumen bahwa menjaga kemaslahatan merupakan hal prinsip dalam
hukum Islam. Dalam hal zakat fitrah, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang membawa kemaslahatan
baik untuk muzakki maupun mustahiq zakat. Bagi muzakki, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang
sangatlah simpel dan mudah. Sedangkan bagi mustahiq, dengan uang tersebut ia bisa membeli
keperluan yang mendesak pada saat itu. (Lihat: Abdullah Al-Ghafili, Hukmu Ikhraji al-Qimah fi Zakat al-
Fithr, halaman 2-5).

Wallahu A’lamu bis Showaab


3. Fiqih tentang Idul Fitri
Lebaran adalah hari yang tidak asing bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Hari yang penuh
suka cita, di mana kaum muslimin dibolehkan kembali makan dan minum di siang hari setelah satu
bulan penuh berpuasa. Namun, jika kita tinjau perayaan lebaran (’Iedul Fitri) yang telah kita
laksanakan, sudah sesuaikah apa yang kita lakukan dengan keinginan Alloh dan Rosul-Nya? Atau
malah kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya, dengan sekedar ikut-ikutan
kebanyakan manusia? Untuk mengetahui perihal ini, mari kita simak bersama bahasan berikut.

Definisi ‘Ied
Kata “Ied” menurut bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang, baik dari sisi
waktu atau tempatnya. Kata ini berasal dari kata “Al ‘Aud” yang berarti kembali dan berulang.
Dinamakan “Al ‘Ied” karena pada hari tersebut Alloh memiliki berbagai macam kebaikan yang
diberikan kembali untuk hamba-hambaNya, yaitu bolehnya makan dan minum setelah sebulan
dilarang darinya, zakat fithri, penyempurnaan haji dengan thowaf, dan penyembelihan daging
kurban, dan lain sebagainya. Dan terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru dengan
berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Perlu diperhatikan, saat ini telah menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul Fitri”
adalah kembali kepada fitroh (suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus. Hal ini kurang tepat, baik
secara tinjauan bahasa maupun istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri”
demikian, seharusnya namanya “Iedul Fithroh” (bukan ‘Iedul Fitri). Adapun dari sisi syar’i, terdapat
hadits yang menerangkan bahwa Iedul Fitri adalah hari dimana kaum muslimin kembali berbuka
puasa.
Dari Abu Huroiroh berkata: “Bahwasanya Nabi shollallohu’alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Puasa itu
adalah hari di mana kalian berpuasa, dan (’iedul) fitri adalah hari di mana kamu sekalian berbuka…’” (HR.
Tirmidzi dan Abu dawud, shohih) (Majalah As Sunnah 05/I, Ustadz Abdul Hakim). Oleh karena itu,
makna yang tepat dari “Iedul Fitri” adalah kembali berbuka (setelah sebelumnya berpuasa).
Pensyariatan ‘Ied (hari raya) Adalah Tauqifiyyah
Hari raya (tahunan) yang dimiliki oleh kaum muslimin, hanya ada dua, yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul
Adha. Adakah hari raya yang lain? Jawabnya: tidak ada. Karena pensyariatan hari raya merupakan
hak khusus Alloh ‘azza wa jalla. Suatu hari dikatakan hari raya apabila Alloh menetapkan bahwa
hari tersebut adalah hari raya (’Ied). Namun, jika tidak, kaum muslimin tidak diperkenankan
merayakan atau memperingati hari tersebut. Alasannya adalah hadits Rosululloh shollallohu’alaihi
wa sallam yang diriwayatkan dari Anas rodhiyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Rosululloh
shollallohu’alaihi wa sallam datang ke Madinah dan (pada saat itu) penduduk Madinah memiliki dua hari
raya yang dipergunakan untuk bermain (dengan permainan) di masa jahiliyyah. Lalu beliau bersabda:
‘Aku telah datang kepada kalian, dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di
masa jahiliyyah. Sungguh Alloh telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni
hari Nahr (’Iedul Adha) dan hari fitri (’Iedul Fitri).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shohih)
Dua hari raya yang dimiliki penduduk Madinah saat itu adalah hari Nairuz dan Mihrojan, yang
dirayakan dengan berbagai macam permainan. Kedua hari raya ini ditetapkan oleh orang-orang
yang bijak pada zaman tersebut karena cuaca dan waktu pada saat itu sangat tepat/bagus.
(Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Tatkala Nabi datang, Alloh mengganti kedua hari tersebut
dengan dua hari raya pula yang Alloh pilih untuk hamba-hamba-Nya. Sejak saat itu, dua hari raya
yang lama tidak diperingati lagi. Berdasarkan hal ini, pensyariatan hari raya
adalah tauqifiyyah (sesuai dengan perintah Alloh). Seseorang tidak diperbolehkan menetapkan hari
tertentu untuk perayaan/peringatan kecuali memang ada dalil yang benar dari Alloh (Al Qur’an)
maupun Rosul-Nya (Al Hadits). Sehingga tidak benar, apa yang dilakukan sebagian besar kaum
muslimin saat ini, dengan melakukan berbagai macam peringatan/perayaan yang sama sekali tidak
ada tuntunannya. Di antaranya: peringatan/perayaan maulid Nabi, Isro Mi’roj, Nuzulul Quran, hari
Kartini, hari ibu, dan hari ulang tahun.
Tuntunan Nabi Saat Hari Raya
Perayaan ‘Iedul Fitri maupun ‘Iedul Adha merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Alloh. Dan
ibadah tidak terlepas dari dua hal, yang semestinya harus ada, yaitu: (1) Ikhlas ditujukan hanya
untuk Alloh semata dan (2) Sesuai dengan tuntunan Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam.
Ada beberapa hal yang dituntunkan Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam terkait dengan
pelaksanaan hari raya, di antaranya:
1. Mandi Sebelum ‘Ied: Disunnahkan bersuci dengan mandi untuk hari raya karena hari itu
adalah tempat berkumpulnya manusia untuk sholat. Namun, apabila hanya berwudhu saja,
itu pun sah. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia). Dari Nafi’,
bahwasanya Ibnu Umar mandi pada saat ‘Iedul fitri sebelum pergi ke tanah lapang untuk sholat
(HR. Malik, sanadnya shohih). Berkata pula Imam Sa’id bin Al Musayyib, “Hal-hal yang
disunnahkan saat Iedul Fitri (di antaranya) ada tiga: Berjalan menuju tanah lapang, makan
sebelum sholat ‘Ied, dan mandi.” (Diriwayatkan oleh Al Firyabi dengan sanad shohih, Ahkamul
Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
2. Makan di Hari Raya: Disunnahkan makan saat ‘Iedul Fitri sebelum melaksanakan sholat dan
tidak makan saat ‘Iedul Adha sampai kembali dari sholat dan makan dari daging sembelihan
kurbannya. Hal ini berdasarkan hadits dari Buroidah, bahwa beliau berkata: “Rosululloh
dahulu tidak keluar (berangkat) pada saat Iedul Fitri sampai beliau makan dan pada Iedul Adha
tidak makan sampai beliau kembali, lalu beliau makan dari sembelihan kurbannya.” (HR. Tirmidzi
dan Ibnu Majah, sanadnya hasan). Imam Al Muhallab menjelaskan bahwa hikmah makan
sebelum sholat saat ‘Iedul Fitri adalah agar tidak ada sangkaan bahwa masih ada kewajiban
puasa sampai dilaksanakannya sholat ‘Iedul Fitri. Seakan-akan Rosululloh mencegah
persangkaan ini. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
3. Memperindah (berhias) Diri pada Hari Raya: Dalam suatu hadits, dijelaskan bahwa Umar
pernah menawarkan jubah sutra kepada Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam agar dipakai
untuk berhias dengan baju tersebut di hari raya dan untuk menemui utusan. (HR. Bukhori
dan Muslim). Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang ada dalam
persepsi Umar, yaitu bahwa saat hari raya dianjurkan berhias dengan pakaian terbaik, hal ini
menunjukkan tentang sunnahnya hal tersebut. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Perlu
diingat, anjuran berhias saat hari raya ini tidak menjadikan seseorang melanggar yang
diharamkan oleh Alloh, di antaranya larangan memakai pakaian sutra bagi laki-laki, emas
bagi laki-laki, dan minyak wangi bagi kaum wanita.
4. Berbeda Jalan antara Pergi ke Tanah Lapang dan Pulang darinya: Disunnahkan mengambil
jalan yang berbeda tatkala berangkat dan pulang, berdasarkan hadits dari Jabir, beliau
berkata, “Rosululloh membedakan jalan (saat berangkat dan pulang) saat iedul fitri.” (HR. Al
Bukhori). Hikmahnya sangat banyak sekali di antaranya, agar dapat memberi salam pada
orang yang ditemui di jalan, dapat membantu memenuhi kebutuhan orang yang ditemui di
jalan, dan agar syiar-syiar Islam tampak di masyarakat. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin
Hasan). Disunnahkan pula bertakbir saat berjalan menuju tanah lapang, karena
sesungguhnya Nabi apabila berangkat saat Iedul Fitri, beliau bertakbir hingga ke tanah
lapang, dan sampai dilaksanakan sholat, jika telah selesai sholat, beliau berhenti bertakbir.
(HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih).
Diperbolehkan saling mengucapkan selamat tatkala ‘Iedul Fitri dengan “taqobbalalloohu minnaa wa
minkum” (Semoga Alloh menerima amal kita dan amal kalian) atau dengan “a’aadahulloohu ‘alainaa
wa ‘alaika bil khoiroot war rohmah” (Semoga Alloh membalasnya bagi kita dan kalian dengan
kebaikan dan rahmat) sebagaimana diriwayatkan dari beberapa sahabat. (Ahkamul Iedain, Dr.
Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia).
Jika Terkumpul Hari Jum’at dan Hari Raya Dalam Satu
Hari
Jika hari raya dan hari Jumat berbarengan dalam satu hari, gugurlah kewajiban sholat Jum’at bagi
orang yang telah melaksanakan sholat ‘Ied, namun bagi Imam hendaknya tetap mengerjakan sholat
Jum’at agar dapat dihadiri oleh orang yang ingin menghadirinya dan orang yang belum sholat ‘Ied.
Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Diperbolehkan bagi mereka (kaum muslimin), jika ‘ied jatuh
pada hari Jum’at untuk mencukupkan diri dengan sholat ‘ied saja dan tidak menghadiri sholat
Jumat.” (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia).
Hal-Hal yang Terkait Sholat Ied Secara Ringkas
Karena terbatasnya jumlah halaman, berikut kami ringkaskan hal-hal yang terkait dengan sholat
‘Ied, di antaranya:

1. Dasar disyari’atkannya: QS. Al Kautsar ayat 2, dan hadits dari Ibnu Abbas, beliau
berkata, “Aku ikut melaksanakan sholat ‘Ied bersama Rosululloh, Abu Bakar dan Umar, mereka
mengerjakan sholat ‘Ied sebelum khutbah.” (HR. Buhori dan Muslim)
2. Hukum sholat ‘Ied: Fardhu ‘Ain, menurut pendapat terkuat.
3. Waktu sholat ‘Ied: Antara terbit matahari setinggi tombak sampai tergelincirnya matahari
(waktu Dhuha), menurut kebanyakan ulama.
4. Tempat dilaksanakannya: Disunnahkan di tanah lapang di luar perkampungan (berdasarkan
perbuatan Nabi), jika terdapat udzur dibolehkan di masjid (berdasarkan perbuatan Ali bin Abi
Tholib).
5. Tata cara sholat ‘Ied: Dua roka’at berjama’ah, dengan tujuh takbir di roka’at pertama
(selain takbirotul ihrom) dan lima takbir di roka’at kedua (selain takbir intiqol -takbir
berpindah dari rukun yang satu ke rukun yang lain).
6. Adzan dan iqomah pada sholat ‘Ied: Tidak ada adzan dan iqomah, atau seruan apapun
sebelum dilaksanakan sholat karena tidak adanya dalil untuk hal tersebut.
7. Khutbah pada sholat ‘Ied: Satu kali khutbah tanpa diselingi dengan duduk, menurut
pendapat yang terkuat.
8. Qodho’ sholat ‘Ied jika terluput: Tidak perlu meng-qodho’, menurut pendapat yang terkuat.
Kemungkaran yang Biasa Dilakukan Tatkala ‘Iedul Fitri
1. Tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang kafir dalam pakaian dan mendengarkan
musik/nyanyian (kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita yang masih kecil).
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum,
maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan) dan sabda Nabi yang
lain, “Akan datang sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya
haram) perzinaan, pakaian sutra bagi laki-laki, khomr (sesuatu yang memabukkan), dan alat
musik…” (HR. Al Bukhori secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini shohih
dan bersambung sesuai syarat shohih). Dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu mengatakan
bahwa yang dimaksud ‘Lahwal Hadits’ (perkataan yang tidak bermanfaat) dalam surat
Luqman ayat 6 adalah Al Ghinaa‘ (nyanyian).
2. Tabarruj-nya (memamerkan kecantikan) wanita, dan keluarnya mereka dari rumahnya tanpa
keperluan yang dibenarkan syariat agama. Hal tersebut diharamkan di dalam syari’at ini, di
mana Alloh berfirman, “Dan hendaklah kamu (wanita muslimah) tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu, dan
dirikanlah sholat serta tunaikanlah…” (QS. Al Ahzab: 33). Dalam suatu hadits disebutkan
bahwa ada dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah dilihat oleh Nabi: “….salah satu di
antaranya adalah wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang (tidak menutup seluruh
tubuhnya, atau berpakaian namun tipis, atau berpakaian ketat) yang melenggak-lenggokkan
kepala. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.” (HR. Muslim)
3. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah
yang sudah sangat merata. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirohmati
Alloh. Padahal perbuatan ini adalah haram berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu’alaihi
wa sallam, “Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik
daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal dia sentuh.” (lihat Silsilah Al Ahadits As
Shohihah 226) (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
4. Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘Ied. Tidak terdapat satu dalil pun yang
menunjukkan perintah Alloh ataupun tuntunan Nabi untuk ziarah ke kubur pada saat ‘Iedul
Fitri. Ziarah kubur memang termasuk ibadah yang disyariatkan, namun, pengkhususan
waktu untuk ziarah saat ‘Iedul Fitri membutuhkan dalil. Jika tidak terdapat dalil, perbuatan
tersebut bukan tuntunan Nabi dan tidak boleh dilaksanakan. Rosululloh shollallohu’alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal suatu amalan (untuk tujuan ibadah) di mana tidak
termasuk dalam urusan kami, maka amalnya tersebut tertolak (tidak akan diterima).” (HR.
Muslim)
5. Begadang saat malam ‘Iedul Fitri. Banyak di antara kaum muslimin yang menghidupkan
malam ‘Ied dengan takbir via mikrofon. Hal ini sangat mengganggu kaum muslimin yang
hendak beristirahat. Hukum mengganggu orang lain adalah haram.
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Muslim (yang baik) adalah yang tidak
mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim). Sehingga jika
memang hendak bertakbir, hendaknya tidak dengan suara yang keras. Ada lagi di antara
kaum muslimin yang menjadikan malam ‘Ied untuk begadang dengan bermain catur, kartu
atau sekedar ngobrol tanpa tujuan. Akibatnya, tatkala pagi datang, kebanyakan dari mereka
sulit menjalankan sholat subuh secara berjamaah. Bahkan ada yang sampai ogah-
ogahan menjalankan sholat ‘Ied.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat. Semoga Alloh memberikan balasan yang baik bagi yang
menulis, membaca, dan yang menyebarkannya.

***

Penulis: Adid Adep Dwiatmoko


Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/370-bimbingan-idul-fitri.html

-PENUTUP-
Demikian yang dapat saya sampaikan, saya ……. . Sesungguhnya kebenaran hanya milik Allah SWT
dan kekhilafanlah datangnya dari saya.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwaamithooriq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Anda mungkin juga menyukai