Anda di halaman 1dari 7

Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah

Yulian Purnama, S.Kom.

Hendaknya kaum Muslimin memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan bersama pemerintah. Sehingga
tercapai persatuan dan kebersamaan dalam melaksanakan ibadah yang agung ini.

Dalam sebuah hadits,

َ ُّ‫ُون َواَأْلضْ َحى َي ْو َم ُتضَح‬


‫ون‬ َ ‫ُون َو ْالف ِْط ُر َي ْو َم ُت ْفطِ ر‬ َ َّ‫ َأنّ ال َّن ِبي‬، ‫َعنْ َأ ِبي ه َُري َْر َة‬
َ ‫ ” الص َّْو ُم َي ْو َم َتصُوم‬: ‫ َقا َل‬، ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬

“Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Hari
puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan
Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385).

Dalam lafadz yang lain:

َ ‫ َوف ِْط ُر ُك ْم َي ْو َم ُت ْفطِ ر‬, ‫ُون‬


‫ُون‬ َ ‫ص ْو ُم ُك ْم َي ْو َم َتصُوم‬
َ

“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka”
(HR Ad Daruquthni 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 238).

Derajat Hadits

At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib”. An Nawawi berkata: “Sanad hadits ini hasan” (Al Majmu’,
6/283). Syaikh Al Albani berkata: “Sanad hadits ini jayyid” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).

Faidah Hadits

Pertama: Puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang setempat
At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama
menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al
Jama’ah dan mayoritas manusia”.

Ash Shan’ani berkata: “Hadits ini dalil bahwa penetapan lebaran itu mengikuti mayoritas manusia. Orang
yang melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat
Ied, lebaran dan idul adha” (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash Shahihah 1/443)

Al Munawi mengatakan: “Makna hadits ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas
manusia” (At Taisiir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/106)

Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, ketika Masruq
(seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir
hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu ‘Aisyah menjelaskan
kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah. ‘Aisyah radhiallahu’anha berdalil
dengan hadits:

‫ والفطر يوم يفطر الناس‬،‫النحر يوم ينحر الناس‬

“An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika
orang-orang berlebaran” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah 1/444)

Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adalah umat Islam yang berkumpul bersama ulama
dan penguasa muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Mengenai istilah ini silakan baca artikel Makna Al
Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Maka mengikuti Al Jama’ah dalam hal penentuan Ramadhan dan hari
raya adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya
yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :

‫أطِ يعُوا هللا وأطِ يعُوا الرَّ سُو َل َوُأولى األ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬

“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, semisal
melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian
yang sebenarnya salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan
kepada kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar ta’at dan menasehati dengan baik jika ada
kesalahan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا‬

“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi
kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)

Kedua: Urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah

As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha,
bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah
urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada
imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam
menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri,
melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509).

Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran
adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu Umar berkata:

َ ‫ َوَأ َم َر ال َّن‬،ُ‫صا َمه‬


«ِ‫اس ِبصِ َيا ِمه‬ َ ‫ َأ ِّني َرَأ ْي ُت ُه َف‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ُ ْ‫» َفَأ ْخ َبر‬،‫َت َراِئى ال َّناسُ ْال ِهاَل َل‬
َ ِ ‫ت َرسُو َل هَّللا‬

“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa
aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

‫صاَّل ُه ْم‬ ِ ‫ُون َأ َّن ُه ْم َرَأوُ ا ْال ِهاَل َل ِباَأْل‬


َ ‫ َوِإ َذا َأصْ َبحُوا َأنْ َي ْغدُوا ِإلَى ُم‬،‫ َفَأ َم َر ُه ْم َأنْ ُي ْفطِ رُوا‬،‫مْس‬ َ ِّ‫َأنَّ َر ْكبًا َجاءُوا ِإلَى ال َّن ِبي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َي ْش َهد‬

“Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ia bersaksi
bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan
memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah
bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.

Ketiga: Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menuturkan:

Ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat yang samahah ini yang salah satu tujuannya adalah
persatuan ummat dan bersatunya mereka dalam satu barisan, serta menjauhkan segala usaha untuk
memecah belah umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu
(walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa, shalat jama’ah, pendapat-
pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.

Tidakkah anda lihat para sahabat Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka
ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah pembatal
wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat demikian. Sebagian mereka ada yang shalat dengan
rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang meng-qashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka
enggan bersatu dalam satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap
shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah-belah dalam masalah agama itu lebih
buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.

Pernah terjadi di antara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam
yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan
pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan
pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan

‫ ومع أبي‬،‫ صليت مع النبي صلى هللا عليه وسلم ركعتين‬:‫ فقال عبد هللا بن مسعود منكرا عليه‬،‫أن عثمان رضي هللا عنه صلى بمنى أربعا‬
‫ ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين‬،‫ ومع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها‬،‫ ومع عمر ركعتين‬،‫بكر ركعتين‬
‫ الخالف شر‬:‫ عبت على عثمان ثم صليت أربعا؟ ! قال‬:‫ ثم إن ابن مسعود صلى أربعا! فقيل له‬،‫متقبلتين‬

‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu shalat di Mina empat raka’at. Maka Ibnu Mas’ud pun mengingkari
hal ini dan berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dua raka’at (diqashar),
bersama Abu Bakar dua raka’at, bersama Umar dua rakaat, dan bersama ‘Utsman di awal
pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at, tidak diqashar). Setelah itu
berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu
tetap menjadi dua raka’at. Namun setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Ada yang bertanya:
‘Ibnu Mas’ud, engkau mengkritik Utsman namun tetap shalat empat raka’at?’. Ibnu Mas’ud menjawab:
‘Perselisihan itu buruk’”

Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155) semisal ini dari sahabat Abu Dzar
radhiallahu’anhu.

Renungkanlah hadits ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja
berselisih dalam shalat mereka, tidak mengikuti para imam masjid. Terutama dalam shalat witir di bulan
Ramadhan, dengan alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada yang menyerukan ilmu falak, lalu
mereka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum muslimin, karena
menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh-tak-acuh mereka menyelisihi kaum
muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan ilmu yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka
bisa memahaminya. Sebagai obat dari kejahilan dan ketertipuan mereka. Sehingga akhirnya mereka bisa
bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain, karena tangan Allah bersama Al Jama’ah
(Silsilah Ahadits Shahihah, 1/445)

Keempat: Isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa

Hadits di atas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa akan ada orang dan kelompok-kelompok yang
menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penentuan waktu puasa. Al Mubarakfuri berkata: “Sebagian ulama
menafsirkan hadits ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-
kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok
yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syi’ar kelompok mereka,
merekalah bathiniyyah. Namun yang selain mereka adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan
orang-orang yang zhahir ‘alal haq, merekalah yang didalam hadits di atas disebut an naas, merekalah as
sawaadul a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313)

Jika Pemerintah Menggunakan Metode Hisab?

Syaikh Dr. Saad asy Syatsri, mantan anggota Lajnah Daimah dan Haiah Kibar Ulama KSA, mengatakan,
“Seandainya penguasa di sebuah negara menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka apa yang
seharusnya dilakukan oleh rakyat ketika itu?” Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Mayoritas ulama mengatakan hendaknya rakyat mengikuti keputusan pemerintah. Dosa ditanggung
pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait hal ini.

Alasan mayoritas ulama adalah karena dalil-dalil syariat memerintahkan dan mewajibkan rakyat untuk
mentaati pemerintah. Dengan demikian, gugurlah kewajiban rakyat dengan mentaati keputusan
pemerintah dan tanggung jawab di akhirat tentang hal ini dipikul oleh pemerintah.

Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab
maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar.
Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut.

Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab
tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya
hal tersebut.

Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang
memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits

‫إنما الطاعة في المعروف‬

‘Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan’

dan hadits:

‫ال طاعة لمخلوق في معصية هللا‬

‘Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah’

Kesimpulannya, yang tepat pendapat mayoritas ulama dalam masalah ini itu lebih kuat dari pada
pendapat Imam Malik. Sehingga wajib bagi rakyat untuk mengikuti keputusan pemerintah terkait
penetapan hari raya sedangkan dosa menjadikan hisab sebagai landasan penetapan hari raya itu
ditanggung oleh pemerintah yang memutuskan hari raya berdasarkan hisab” (Di kutip dari blog ustadz
aris munandar)

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/9675-puasa-dan-berhari-raya-bersama-pemerintah.html

Anda mungkin juga menyukai