Disusun Oleh:
Dosen Pengampu:
PASCASARJANA
TAHUN 2023/2024
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Menyetubuhi Wanita Haidh “ ini tepat pada waktunya. Shalawat
beriringan salam penulis do’akan kepada Allah SWT agar dikirimkan kepada
junjungan umat yakni Nabi Muhammad Saw yang telah mewariskan pedoman
hidup bagi umat manusia yaitu Al-Qur’an dan sunnah.
Tema ini diberikan sebagai penyajian dalam bentuk makalah untuk menjelaskan
tentang paradigma penelitian didalam makalah ini juga terdapat point-point
penting lainnya untuk menambah ilmu pengetahuan. Mengingat segala
keterbatasan dan kemampuan, penulis menyadari masih adanya kekurangan pada
makalah ini, akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi penulis.
Penulis
PEMBAHASAN
َو َيْس َأُلوَنَك َع ِن اْلَم ِح يِض ُقْل ُهَو َأًذ ى َفاْعَتِز ُلوا الِّنَس اَء ِفي اْلَم ِح يِض َو اَل َتْقَر ُبوُهَّن َح َّتى َيْطُهْر َن َفِإَذ ا َتَطَّهْر َن
َفْأُتوُهَّن ِم ْن َح ْيُث َأَم َر ُك ُم ُهَّللا ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب الَّتَّواِبيَن َو ُيِح ُّب اْلُم َتَطِّهِريَن
Dari Anas bin Malik disebutkan bahwa orang Yahudi biasanya ketika istri-
istri mereka haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak kumpul-kumpul
dengan istrinya di rumah. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akhirnya menanyakan tentang hal itu. Allah Ta’ala lantas menurunkan ayat
di atas. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أجمع المسلمون علي تحريم وطئ الحائض لآلية الكريمة واالحاديث الصحيحة
َو َو ْطُء الُّنَفَس اِء َك َو ْطِء اْلَح اِئِض َح َر اٌم ِباِّتَفاِق اَأْلِئَّمِة
صلى هللا عليه وسلم- َم ْن َأَتى َح اِئًضا َأِو اْمَر َأًة ِفى ُد ُبِر َها َأْو َك اِهًنا َفَقْد َكَفَر ِبَم ا ُأْنِز َل َع َلى ُمَحَّمٍد-
Para ulama berselisih pendapat kafaroh (tebusan) bagi orang yang menyetubuhi
istrinya ketika haidh. Ada empat pendapat dalam masalah ini:
Pertama, banyak memohon ampun pada Allah dan tidak ada kafaroh. Inilah
pendapat Imam Malik, pendapat terbaru Imam Asy Syafi’i, ulama Zhohiriyah
(Ibnu Hazm, cs), dan Abu Hanifah.
Kedua, bersedakah dengan satu dinar atau setengah dinar. Demikian pendapat
Imam Ahmad bin Hambal dari dua pendapat beliau yang dinilai lebih kuat.
Ketiga, jika menyetubuhinya ketika masih keluar darah haidh, maka wajib
bersedekah dengan satu dinar. Jika menyetubuhinya setelah darah berhenti
(namun belum mandi wajib), maka wajib bersedekah dengan setengah dinar.
Demikian dikatakan oleh sebagian ulama hadits.
Boleh bercumbu dengan wanita haidh selama tidak melakukan jima’ di kemaluan.
Dalam hadits disebutkan,
“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haidh) selain jima’ (di kemaluan).”
(HR. Muslim no. 302)
َفَأَر اَد َر ُسوُل ِهَّللا – صلى هللا عليه وسلم – َأْن، َع ْن َعاِئَشَة َقاَلْت َكاَنْت ِإْح َداَنا ِإَذ ا َكاَنْت َح اِئًضا
َقاَلْت َو َأُّيُك ْم َيْمِلُك ِإْر َبُه َك َم ا َك اَن الَّنِبُّى – صلى هللا. َأَم َر َها َأْن َتَّتِز َر ِفى َفْو ِر َح ْيَضِتَها ُثَّم ُيَباِش ُرَها، ُيَباِشَر َها
عليه وسلم – َيْمِلُك ِإْر َبُه
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ada yang mengalami hadidh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk
memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haidh, kemudian
beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara
kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?” (HR. Bukhari no. 302 dan
Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab
mencumbu wanita haidh di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya
darah haidh atau selain kemaluannya.
َلِكْن َلُه َأْن َيْسَتْمِتَع ِم ْن اْلَح اِئِض َو الُّنَفَس اِء ِبَم ا َفْو َق اِإْل َزاِر َو َس َو اٌء اْسَتْم َتَع ِم ْنَها ِبَفِمِه َأْو ِبَيِدِه َأْو ِبِر ْج ِلِه َفَلْو َو ِط َئَها
َو ُهَّللَا َأْعَلُم. َو َلْو اْسَتْم َتَع ِبَفِخ َذ ْيَها َفِفي َج َو اِز ِه ِنَز اٌع َبْيَن اْلُع َلَم اِء. ِفي َبْطِنَها َو اْسَتْم َنى َج اَز.
“Boleh bagi seorang suami mencumbu wanita haidh atau wanita yang mengalami
nifas di atas sarungnya. Ia boleh mencumbunya dengan mulut, tangan atau
kakinya. Seandainya ia menyetubuhinya di perutnya, lalu keluarlah mani, maka
itu masih dibolehkan. Namun jika ia mencumbu istrinya pada kedua paha istrinya
(belum sampai kemaluan, pen), maka tentang bolehnya diperselisihkan para
ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624)
Penyebutan dalam ayat amatlah jelas, “Dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 222). Jadi barulah
boleh menyetubuhi wanita haidh ketika darah haidhnya telah berhenti dan telah
bersuci.
Bagaimana jika tidak mampu menggunakan air untuk wanita itu bersuci?
Sebagai ganti dari mandi adalah tayammum jika memang sulit mendapati air atau
tidak bisa menggunakan air. Setelah bertayamum, suaminya boleh
menyetubuhinya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun wanita haidh
ketika darahnya berhenti, maka suaminya tidak boleh menyetubuhinya sampai ia
mandi jika ia mampu mandi. Jika tidak mampu, maka sebagai gantinya adalah
tayamum. Demikian pendapat jumhur ulama seperti Imam Malik, Imam Ahmad
dan Imam Asy Syafi’i.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624-625)
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir dan Totok Jumantoro. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih.
Jakarta: Amzah.
Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua). Jakarta: Kencana.
Ramayulis. 1989. Sejarah dan Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta: Kalam Mulia.