Anda di halaman 1dari 29

1.

BATASAN BOLEHNYA MENCUMBUI ISTERI HAID

Seluruh ulama fiqih dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) sepakat bahwa wanita
yang sedang mengalami haid dilarang untuk berjima’ atau berhubungan intim[1].
Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:

َّ‫ِيض َوالَ َت ْق َربُوهُنَّ َح َّت َى َي ْطهُرْ َن َفإِ َذا َت َطهَّرْ َن َفأْ ُتوهُن‬
ِ ‫ِيض قُ ْل ه َُو أَ ًذى َفاعْ َت ِزلُو ْا ال ِّن َساء فِي ْال َمح‬ ِ ‫َو َيسْ أَلُو َن َك َع ِن ْال َمح‬
‫ين‬ َ ‫ْث أَ َم َر ُك ُم هّللا ُ إِنَّ هّللا َ ُيحِبُّ ال َّت َّو ِاب‬
َ ‫ين َو ُيحِبُّ ْال ُم َت َطه ِِّر‬ ُ ‫مِنْ َحي‬
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri.. (QS. Al-Baqarah:222)
Dalil keharamannya juga disebutkan dalam hadits ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:

:‫ َف َقا َل ال َّن ِبيُّ صلى هللا عليه وسلم‬،‫ت ال َمرْ أَةُ فِي ِْه ْم لَ ْم ي َُؤا ِكلُو َها‬ َ ‫رضي هللاُ َع ْن ُه أَنَّ ال َيهُودَ َكانت إِذا َح‬
ِ ‫اض‬ َ ‫س‬ ٍ ‫َو َعنْ أَ َن‬
َ ‫اصْ َنعُوا ُك َّل َشى ٍء إِالَّ ال ِّن َك‬
‫ َر َواهُ مُسْ لِ ٌم‬،‫اح‬
Dari Anas RA bahwa orang yahudi bila para wanita mereka sedang mendapat haidh, mereka tidak
memberikan makanan pada para wanita itu. Rasulullah SAW bersabda, "Lakukan segala yang kau
mau kecuali nikah (hubungan badan)." (HR Muslim).
Batasan mengenai larangan hubungan badan yang disepakati para ulama diatas adalah apabila
terjadi jima’ dalam arti yang sesungguhnya, yakni terjadinya dukhul atau penetrasi.
Mereka juga membolehkan percumbuan yang dilakukan dengan isterinya itu, di anggota tubuh
SELAIN yang ada di antara pusar dan lutut isteri. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh
Ummul Mukminin Aisyah RA :

، ٌ‫ َف ُيبَاشِ ُرنِي َوأَ َنا َحا ِئض‬،ُ‫هللا صلى هللا عليه وسلم َيأْ ُم ُرنِي َفأ َ َّت ِزر‬ َ ‫ َك‬:‫رضي هللاُ َع ْن َها َقالَت‬
ِ ‫ان َرسُو ُل‬ َ ‫َو َعنْ َعا ِئ َش َة‬
‫ُم َّت َف ٌق َعلَ ْي ِه‬
"Dari Aisyah RA beliau berkata : Rasululullah SAW menyuruhku untuk memakai sarung, kemudian
beliau mencumbuiku dalam keadaan haid." (Muttafaq Alaih)
Dalam hadits yang lain dari Aisyah RA:
"Jika salah satu dari kami (isteri Nabi) ada yang haid, dan Rasulullah SAW ingin mencumbuinya,
maka beliau Saw menyuruh isterinya yang haid itu untuk memakai kain sarung, kemudian beliau
mencumbuinya." (HR. Bukhari)`.
Dalam hadits dari Ummul Mukminin Maimunah RA:
“Rasulullah Saw mencumbui isterinya dalam keadaan haid, apabila isterinya itu memakai sarung”
(HR. An-Nasa’i)
Batasan Mencumbui Bagian-Bagian Antara Pusar dan Lutut Isteri Saat Haid
Ketika para ulama membolehkan percumbuan dengan selain yang ada di antara pusar dan lutut, lalu
bagaimana hukumnya mencumbui bagian itu jika tidak sampai terjadi jima'?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat sebagaimana berikut :
1. Madzhab Hanafi
Ulama dalam madzhab ini membolehkan seorang suami untuk mencumbui anggota tubuh isterinya
yang ada di antara lutut dan pusarnya. Dengan syarat, percumbuan itu terjadi dengan adanya
penghalang, seperti sarung, kain, atau sejenisnya. Namun suami tidak boleh melihat bagian-bagian
tersebut.
Suami boleh memegang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat, selama bagian-bagian itu
ditutupi dengan penghalang. Intinya tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung dan tidak boleh
melihat.[2].
2. Madzhab Maliki
Ulama dalam madzhab ini berbeda dengan madzhab Hanafi. Fuqaha’ dalam madzhab Maliki
mengatakan bahwa seorang suami dilarang memegang dan mencumbui anggota tubuh istri yang
ada di antara lutut dan pusarnya pada saat isterinya itu sedang mengalami haid, walaupun itu
dibatasi dengan kain penghalang. Namun mereka membolehkannya untuk melihat bagian-bagian
tersebut, walaupun dengan syahwat.
Madzhab ini berpendapat bahwa suami hanya boleh melihat atau memandang bagian-bagian yang
ada diantara pusar dan lutut isterinya itu, tanpa boleh mencumbuinya lebih jauh[3].
3. Madzhab Syafi’i
Ketika seorang isteri dalam keadaan haid, suaminya boleh mencumbuinya itu di bagian mana saja
yang diinginkan. Hanya saja, percumbuan itu harus dibatasi dengan kain penghalang, sehingga
tidak ada sentuhan kulit secara langsung.[4]
Madzhab ini juga membolehkan suami untuk melihat dan memandang bagian-bagian itu, dengan
atau tanpa syahwat.[5]
Dalam madzhab syafi’i, seorang suami boleh mencumbui isterinya yang sedang haid di bagian-
bagian yang ada diantara pusar dan lutut dalam batasan : boleh melihatnya, dan boleh mencumbu
dengan adanya penghalang, sehingga tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung.
4. Madzhab Hambali
Agak berbeda dengan ketiga madzhab diatas, madzhab Hambali membolehkan suami mencumbui
isterinya yang sedang haid di bagian manapun yang ia inginkan. Syaratnya tidak sampai terjadi jima’
yang sesungguhnya, yakni dukhul (penetrasi).
Seorang suami boleh mencumbui isterinya di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut,
kecuali organ intim, baik itu dengan melihat ataupun menyentuh, dengan atau tanpa penghalang.[6]
Namun demikian, para ulama dalam madzhab ini menganjurkan isteri yang sedang haid untuk
menutupi organ intimnya dengan penghalang selama percumbuan dilakukan.
Al-Mardawi (w. 885 H.), salah satu ulama dalam madzhab Hambali mengatakan dalam kitabnya “Al-
Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf” bahwa jika seorang suami tidak yakin bisa menahan
syahwatnya, dan kuatir akan terjadi jima’ apabila mencumbui bagian tubuh isterinya yang ada
diantara pusar dan lutut, maka haram baginya mencumbui isterinya di bagian itu. Sebab
menghindari itu akan membuat dirinya lebih selamat dan tidak terjerumus dalam perbuatan dosa.[7]
HAMIL & MENYUSUI TAK PUASA: QADHA' ATAU FIDYAH?

1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya


Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari
yang lain ketika telah sanggup berpuasa.

Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan
keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,

“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)

Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah  mengatakan, “Kami


tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena
keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni:
4/394)

2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya


dan Buah Hati Bila Berpuasa

Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha
(saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah
sanggup melaksanakannya.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama


Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya
khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka
dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan
semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang
hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya
dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha,
tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).'” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari
majalah Al Furqon)

3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah


Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena
itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si
buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan
kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa
puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan
diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya
seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)

Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran
puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.

Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja.

Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua,
yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana
orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di
rahimahumallah

Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja.

Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para ulama yang
mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu,
“Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka
berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)

dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang


wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka
dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang
miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan  dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)

Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui
hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu)
membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)

Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya
dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.

Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh
Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai
membayar fidyah

Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi
pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk
mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama
berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam
syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.

Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini
termasuk dalam keumuman ayat berikut,

“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-
Baqarah [2]:184)

Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita


hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka
dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh
Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu
‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir
terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan
seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”

Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya


menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal
tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat
Ramadhan.

Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang dapat kami bawakan.
Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun ketika ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita menjalankan
salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita
pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut
melakukan suatu kesalahan.
1. SIAPA SAJAKAH MAHRAM JALUR NASAB?

Mahram berasal dari kata ‘haram’ yang maksudnya adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi,
baik keharaman itu  bersifat selamanya maupun bersifat temporer.
Mereka yang haram dinikahi untuk selama-lamanya disebut dengan istilah Mahram Mu’abbad.
Maksudnya, orang-orang yang masuk dalam kategori ini tidak boleh kita nikahi selama-lamanya,
apapun yang terjadi. Misalnya, seorang wanita tidak boleh menikah dengan ayah kandungnya
selama-lamanya. Sebab ayah kandung adalah mahram mu’abbad baginya.
Sedangkan mereka yang haram dinikahi untuk sementara / temporer disebut dengan Mahram
Mu’aqqat. Artinya, orang-orang yang masuk dalam kategori ini tidak boleh ia nikahi dalam waktu
sementara, karena adanya satu sebab yang melarang. Jika sebab tersebut sudah hilang, maka
hilanglah pula kemahraman, yang akhirnya menjadikan keduanya boleh menikah.
Contoh Mahram Mu'aqqat misalnya antara seorang wanita dengan abang iparnya. Selama iparnya
masih menjadi suami dari kakak perempuannya, maka ia tidak boleh menikahi abang iparnya itu.
Sebab, selama abang iparnya itu terikat pernikahan dengan kakak perempuannya, maka abang
iparnya itu menjadi mahram mu'aqaat baginya.
Sedangkan jika lelaki itu sudah tidak lagi menjadi iparnya, maka mereka boleh menikah. Misalnya
jika abang iparnya itu sudah bercerai dari kakak perempuannya, atau jika kakak perempuannya
sudah meninggal dunia. Sebab, ketika abang iparnya tidak lagi terikat pernikahan dengan kakak
perempuannya, maka (mantan) abang ipar itu bukan lagi menjadi mahram mu'aqqat baginya.
Maka, dalam satu waktu, wanita dilarang menikahi iparnya. Sedangkan di waktu yang lain ia boleh
menikahi (mantan) iparnya itu.
Penting bagi wanita muslimah untuk mengetahui siapa saja mahramnya. Sebab itu memberikan
banyak konsekwensi hukum. Adapun konsekuensi hukum antara mahram mu’abbad dengan
mu’aqqat adalah sebagai berikut:

1. Seorang wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang menjadi mahramnya, baik
mahram mu’abbad maupun mu’aqqat.
2. Seorang wanita juga boleh memperlihatkan sebagian auratnya pada mahram mu’abbad,
namun tidak pada mahram mu’aqqat.
3. Seorang wanita boleh berkhalwat dan bepergian berdua dengan salah satu dari mahram
mu’abbad-nya, namun tidak demikian pada mahram mu’aqqat-nya.

Siapa Saja Laki-Laki Yang Menjadi Mahram Mu'abbad Bagi Wanita?


Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang wanita menjadi mahram mu’abbad bagi orang lain.
Yakni sebab hubungan darah/nasab atau kekerabatan (Al-Qarabah), hubungan yang terjadi akibat
pernikahan (mushaharah), dan hubungan persusuan (radha’ah).
Adapun dari jalur nasab, disebutkan dalam Al-Quran surah At-Thalaq ayat 23 disebutkan:
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;.....”
Dalam ayat diatas disebutkan wanita-wanita yang menjadi mahram bagi seorang laki-laki, yakni:

 Ibu kandung,
 Anak perempuan,
 Kakak/adik perempuan,
 Kakak/adik perempuan dari ayah (Bibi dari pihak ayah)
 Kakak/adik perempuan dari ibu (Bibi dari pihak ibu)
 Anak perempuan dari kakak/adik perempuan (keponakan)
 Anak perempuan dari kakak/adik laki-laki (keponakan)

Ayat diatas secara tidak langsung menjelaskan pihak-pihak yang menjadi mahram mu’abbad bagi
seorang wanita dari jalur Al-Qarabah, sebagai berikut:

 Ayah kandung, kakek kandung (ayahnya ayah /ayahnya ibu), dst.


 Anak laki-laki, Cucu laki-laki, dst
 Kakak/adik laki-laki,
 Kakak/adik laki-laki dari ayah (Paman dari pihak ayah)
 Kakak/adik laki-laki dari ibu (Paman dari pihak ibu)
 Anak laki-laki dari kakak/adik perempuan (Keponakan)
 Anak laki-laki dari kakak/adik laki-laki (Keponakan)

‘Paman’ yang dimaksud disini adalah laki-laki yang punya hubungan persaudaraan langsung
dengan ayah atau ibu kita. Artinya ia merupakan kakak/adik dari ayah atau ibu. Baik si ‘Paman’ ini
punya hubungan persaudaraan kandung, atau seayah tapi lain ibu, atau seibu tapi lain ayah. Dalam
bahasa kita biasanya disebut: Paman Kandung dan Paman tiri.
Sedangkan ‘Keponakan’ yang dimaksud disini adalah anak laki-laki dari kakak/adik. Artinya, kita
dengan orang tua si ‘Keponakan’ ini punya hubungan persaudaraan. Baik hubungan itu sekandung
(seayah dan seibu), atau seayah tapi lain ibu, atau seibu tapi lain ayah.
Inilah 7 pihak yang menjadi mahram bagi seorang wanita dari jalur nasab. Adapun mahram dari jalur
mushaharah (yang terjadi sebab terjadinya pernikahan) dapat dibaca disini : Siapa Keluarga Isteri
Yang Jadi Mahram Bagi Suaminya?
1. BATASAN AURAT WANITA BAGI MAHRAMNYA

Aurat Wanita Bagi Mahramnya


Jika anggota tubuh wanita yang boleh dilihat oleh non-mahram sangat begitu terbatas sebagaimana
ulasan diatas. Maka, dihadapan mahramnya, sejauh mana seorang wanita boleh memperlihatkan
auratnya?
Yang di maksud dengan 'mahram' disini adalah mahram mu'abbad, yakni laki-laki yang tidak boleh
menikahi si wanita selama-lamanya. Kemahraman ini bisa terjadi dari beberapa sebab:

 Hubungan Nasab : seperti ayahnya, anak laki-lakinya, abangnya, dll.

 Hubungan Mushaharah : yaitu lantaran terjadinya pernikahan (mushaharah), seperti bapak


mertua, anak laki-laki dari suaminya, menantu laki-laki, dll.

 Hubungan Persusuan : hubungan persusuan (radha'ah), seperti saudara persusuan, suami


dari ibu yang menyusui, dll.

Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan anggota tubuh yang boleh diperlihatkan oleh
wanita terhadap mahramnya. Berikut pendapat ulama dari empat madzhab besar:
1. Madzhab Al-Hanafiyah
Dalam madzhab ini dikatakan bahwa batasan aurat antara wanita dengan mahramnya adalah:
anggota tubuh yang ada di antara pusar dan lutut, punggungnya, dan perutnya.
Artinya, anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah yang selain dari anggota
tubuh tersebut, jika ada dalam keadaan aman dari fitnah dan tidak disertai syahwat.
Dalilnya adalah firman Allah SWT 

َّ‫ِين ِزي َن َتهُنَّ إِاَّل لِ ُبعُولَت ِِهنَّ أَ ْو آ َبائ ِِهنَّ أَ ْو آ َباء ُبعُولَت ِِهنَّ أَ ْو أَ ْب َنائ ِِهنَّ أَ ْو أَ ْب َناء ُبعُولَت ِِهن‬
َ ‫…واَل ُي ْبد‬
َ
Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka...." (QS. An-Nur : 31)
Yang dimaksud dengan kalimat 'jangan menampakkan perhiasannya' dalam ayat di atas adalah
bahwa larangan untuk menampakkan 'anggota tubuh' yang menjadi objek yang biasa dipakaikan
perhiasan. Sebab, melihat perhiasan itu sendiri hukumnya mubah secara mutlak.
Maka kepala boleh dilihat oleh mahram, karena ia anggota tubuh untuk dipakaikan mahkota, leher
dan dada untuk kalung, telinga untuk anting, pergelangan tangan untuk gelang, pergelangan kaki
untuk gelang kaki, jari untuk cincin, punggungnya telapak kaki untuk dihiasi daun pacar, dll. Berbeda
dengan perut, punggung dan paha yang lazimnya tidak untuk dipakaikan perhiasan. [5]
2. Madzhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut ulama dari Madzhab Maliki dan pendapat resmi dari kalangan Madzhab Hambali, anggota
tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya hanya: wajah, kepala, dua tangan dan dua kaki.
Maka haram baginya menampakkan dada, payudara, dan anggota tubuh lainnya dihadapan
mahramnya. Dan haram pula bagi ayah, anak laki-lakinya dan mahramnya yang lain untuk melihat
aurat dirinya selain pada empat anggota tersebut, walaupun tanpa syahwat. [6]
Sedangkan Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali sedikit berbeda dengan pendapat resmi
madzhabnya. Menurut beliau, batasan aurat bagi wanita dengan mahramnya adalah seperti aurat
antara laki-laki dengan laki-laki, dan wanita dengan wanita. Yakni anggota tubuh yang ada di antara
pusar dan lutut. [7]
Pendapat resmi ulama dari Madzhab Hambali menambahkan bahwa mahram yang boleh melihat
sebagian aurat si wanita itu maksudnya mahram yang muslim maupun yang kafir. Dalilnya adalah
bahwa Abu Sufyan Bin Harb pernah masuk ke rumah putrinya yang bernama Ummu Habibah (salah
satu istri Rasulullah SAW) dalam keadaan tidak berhijab, tidak menutupi seluruh auratnya. Dan saat
itu Rasulullah SAW tidak menyuruh Ummu Habibah untuk menutupi auratnya di hadapan Abu
Sufyan, ayahandanya yang masih kafir. [8]
3. Madzhab Asy-Syafi'yah
Mayoritas ulama dalam Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa aurat wanita yang boleh terlihat oleh
mahramnya adalah anggota tubuhnya selain yang ada di antara pusar dan lutut.
Walaupun ada sebagian lagi yang mengatakan bahwa anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh
mahramnya adalah anggota tubuh yang biasa ia tampakkan saat ia beraktifitas di dalam rumah.
Seperti kepala, leher, dan tangan hingga siku, juga kaki hingga lutut. Dan anggota-anggota tubuh
tersebut juga menjadi batasan aurat yang boleh dilihat wanita terhadap aurat mahramnya.[9]
Penutup
Demikian beberapa pandangan dari empat madzhab besar yang ada. Oleh karena perbedaan yang
ada ini, maka para muslimah di berbagai negara mungkin akan sedikit berbeda dalam
berpenampilan.
Jika kita ke Arab Saudi misalnya, akan kita dapati para muslimahnya menutup seluruh tubuhnya
tanpa kecuali, saat mereka keluar rumah. Sebab masyarakat di negeri ini kebanyakan lebih condong
bermadzhab Hambali. Begitupula saat mereka beraktifitas di dalam rumah, tak banyak
menampakkan anggota tubuhnya, kecuali kepala, leher, tangan dan kaki. Sebab –dalam madzhab
ini- hanya bagian tubuh inilah yang boleh tampak oleh mahramnya.
Begitu pula jika kita berkujung ke Asia Selatan, seperti India dan Pakistan. Maka disana akan
ditemui bahwa para muslimahnya kebanyakan tidak menutup kaki hingga mata kakinya, bahkan
saat menunaikan shalat. Sebab mayoritas masyarakat disana cenderung bermadzhab Hanafi.
Lain lagi dengan kita yang tinggal di Indonesia. Hampir semua muslimahnya tidak menutup wajah
dan telapak tangannya, namun tetap banyak yang mengenakan kaos kaki agar bagian kakinya
tertutupi dengan baik.

Begitupula saat para wanita kita beraktifitas di dalam rumah bersama mahramnya, banyak yang
tetap menampakkan sebagian punggung dan lengan atasnya. Hal ini disebabkan masyarakatnya
lebih banyak yang condong pada Madzhab Syafi'i.
ANGIN KELUAR LEWAT VAGINA, BATALKAH WUDHU
Umumnya para ulama sepakat bahwa apabila ada sesuatu keluar lewat dua jalan, yaitu kemaluan
depan atau pun belakang, maka dapat membatalkan wudhu'. Artinya, jika setelah berwudhu ternyata
ada angin keluar dari dubur (kemaluan belakang) maka wudhu'nya menjad batal. Dan jika angin itu
keluar ketika sedang menunaikan shalat, maka ia harus mengulang shalatnya.

Dasar yang melandasinya adalah firman Allah SWT :

ِ‫أَ ْو َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم م َِن ْال َغائِط‬


Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air. (QS. Al-Maidah : 6)
Dan juga sabda Rasulullah SAW

‫ص ْو ًتا أَ ْو‬ َ ‫ َفالَ َي ْخر‬،َ‫إِ َذا َو َجدَ أَ َح ُد ُك ْم فِي َب ْط ِن ِه َش ْي ًئا َفأ َ ْش َكل َعلَ ْي ِه أَ َخ َر َج ِم ْن ُه َشيْ ٌء أَ ْم ال‬
َ ‫ُجنَّ م َِن ْال َمسْ ِج ِد َح َّتى َيسْ َم َع‬
‫َي ِجدَ ِريحً ا‬
Bila kallian mendapatkan sesuatu (angin) dalam perut dan ragu apakah keluar atau tidak, maka
janganlah keluar dari masjid kecuali bila mendengar suara atau bau. (HR. Muslim)
Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air kencing, air mani, wadi, mazi,
darah, nanah, atau cairan apapun. Juga berupa benda padat seperti kotoran manusia, batu ginjal
dan lainnya. Termasuk juga najis yang wujudnya berupa benda gas seperti kentut. Semuanya itu
bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat wudhu' yang bersangkutan menjadi batal.
Namun bagaimana jika ada angin atau gas yang keluar melalui vagina wanita? Apakah itu dihukumi
seperti gas yang keluar lewat dubur (kentut) atau tidak?
1. Pendapat Yang Tidak Membatalkan

Keluar angin dari kemaluan wanita atau Vagina Flatuence bisa terjadi setelah seorang wanita
bersenggama dengan suaminya atau karena kendurnya otot vagina sehingga tidak dapat mencegah
masuknya angin ke dalam vagina, yang kemudian akan keluar lagi seperti lazimnya orang buang
angin dari dubur.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa hal itu tidak
membatalkan dan sebagian lagi menyatakan sebaliknya.

Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan sebagian riwayat dari mazhab Al-Hanabilah berpendapat
bahwa keluarnya udara lewat kemaluan depan, baik laki-laki atau perempuan tidak membatalkan
wudhu'.
Hal itu dikarenakan udara yang keluar tidak dari jalan najis yang seharusnya, yakni dubur. Dan
angin tersebut dianggap tidak bersumber dari dalam perut sebagaimana yang umumnya terjadi saat
buang angin (kentut).
Az-Zaila'i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya, Tabyinul
Haqaiq, sebagai berikut :

‫يح‬ ْ ‫ار ُج مِنْ قُب ُِل ْال َمرْ أَ ِة َو َذ َك ِر الرَّ ج ُِل اَل َي ْنقُضُ ْالوُ ضُو َء أِل َ َّن ُه‬
َ ‫اخ ِتاَل ٌج َولَي‬
ٍ ‫ْس ِب ِر‬ ِ ‫َوالرِّ ي ُح ْال َخ‬
Angin yang keluar dari vagina wanita dan juga kemaluan laki-laki tidak membatalkan wudhu, karena
itu hanyalah ikhtilaj dan bukan angin. [1]
Ibnu Abdin (w. 1252 H)  salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya, Radd
Al-Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar, sebagai berikut :

  ‫ ولو‬، ‫ال ينقض خرو ُج ريح مِن قُبُل َو َذكر ؛ ألنه اختالج ؛ أي ليس بريح حقيقة‬
‫كان ريحا فليست بمنبعثة عن محل النجاسة فال تنقض‬
Keluarnya angin dari kemaluan wanita dan laki-laki tidak membatalkan wudhu karena itu bukan
angin yang hakiki. Kalau seandainya itu berupa angin, maka angin itu tidak keluar dari tempat najis
(dubur), maka tidak membatalkan. [2]
Seorang mufti kontemporer dari Arab Saudi Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin mengatakan: “Yang
demikian ini tidak membatalkan wudhu, karena angin tersebut tidak keluar dari tempat najis seperti
angin yang keluar dari dubur,” [3].
2. Pendapat Yang Membatalkan

Dalam hal ini mazhab Syafii dan sebagian ulama dari madzhab Hambali berpendapat bahwa
keluarnya angin lewat kemaluan depan, baik laki-laki atau perempuan dapat membatalkan wudhu'.
Alkhatib As-Syirbini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj menyampaikan bahwa sesuatu yang keluar
lewat dzakar lelaki maupun vagina wanita merupakan hadats yang mewajibkan wudhu.
Pendapat ini senada dengan apa pendapat Ibnu Qudamah dalam kitab beliau Al-Mughni
sebagaimana dikutip dalam al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyyah sebagai berikut:

، . ‫ث يُو ِجبُ ْالوُ ضُو َء‬ ٌ َ‫الذ َك ِر أَ ْو قُبُل ْال َمرْ أَ ِة َحد‬ َّ ‫ إِنَّ ْال َخار َج َة م َِن‬:ِ‫َو َقال ال َّشافِ ِع َّي ُة َوه َُو ر َوا َي ٌة أ ُ ْخ َرى عِ ْندَ ْال َح َن ِابلَة‬
ِ ِ
‫يح‬ ‫ر‬ ‫و‬ْ َ‫ت أ‬
ٍ ‫و‬ْ ‫ص‬
َ ْ‫ِن‬‫م‬ َّ ‫ال‬ِ ‫إ‬ ‫ء‬
َ ‫ُو‬‫ض‬ ُ‫و‬ َ ‫ال‬ : ‫م‬
َ َّ ‫ل‬ ‫س‬
َ ‫و‬
َ ‫ه‬
ِ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ ‫هَّللا‬ ‫ى‬َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ‫ه‬
ِ ِ ‫ل‬ ‫و‬ْ َ
‫ق‬ ِ ‫ل‬
ٍ ِ
"Ulama dari madzhab as-Syafi'iyah dan salah satu riwayat dari ulama madzhab al-Hanabilah :
Sesuatu yang keluar dari dzakar seorang lelaki atau vagina seorang wanita adalah hadats yang
mewajibkan wudhu', sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW "Tidak wajib berwudhu
kecuali jika mendengar suara atau mencium bau". [4]

Kesimpulan
Dari pendapat para ulama di atas, kita dapat menarik benang merah. Yakni jika vagina flatuence
yang terjadi pada seorang wanita benar-benar dipastikan memang angin yang keluar, dan
bersumber dari udara yang berasal dari dalam perut sebagaimana kentut, maka wudhunya batal,
sebagaimana yang disampaikan oleh ulama dari madzhab as-Syafi'iyyah dan sebagian ulama dari
madzhab al-Hanabilah.
Namun jika angin yang keluar itu hanya sekedar hasil ketupan yang diakibatkan tertutupnya vagina
setelah sempat terbuka, seperti bunyi ketiak ketika dihimpit dengan tangan yang menyebabkan
bunyi dari himpitan tersebut, maka itu tidak membatalkan wudhu. Begitu pula jika ragu apakah itu
angin yang keluar dari vagina atau bukan, wudhu dan shalatnya tidak batal, karena biasanya hal itu
disebabkan oleh rasa waswas dari setan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh ulama dari madzhab
al-Hanafiyah, al-Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab al-Hanabilah.
Sebuah hadits riwayat Abu Hurairah RA menyebutkan, seseorang merasakan sesuatu di dalam
perutnya sehingga dia ragu apakah keluar sesuatu darinya atau tidak, kemudian Rasulullah SAW
bersabda:

َ ‫ َح َّتى َي ْس َم َع‬-ِ‫الصالَة‬
  ()‫ص ْو ًتا اَ ْو َي ِجدَ ِر ْي ًحا (رواه البخاري‬ َّ ُ ‫ َي ْخ ُر‬ َ‫ال‬
َ‫ج –اَ ْي مِن‬
 “Janganlah dia keluar (membatalkan shalatnya) sehingga dia mendengar bunyi atau dia mencium
bau (dari buang anginnya) itu.” (HR Al-Bukhari)
1. TRIK ‘MENCICIL’ MANDI JANABAH

Bolehkah Mencicil Mandi Janabah ?


Lazimnya, orang tidak akan menyudahi mandinya sebelum seluruh tubuhnya basah dengan siraman
air. Namun jika ada orang ingin 'mencicil' mandi janabahnya karena suatu hal, apakah dibolehkan?
Misalnya, malam hari mencuci kepala dan rambut, lalu shubuh menyempurkan mandi dengan
menyiram anggota tubuh yang lain
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mengatakan boleh, sebagian lagi tidak.
Perbedaan ini didasari apakah al-muwalah dalam mandi janabah itu hukumnya wajib, ataukah
sunnah. Jika wajib, maka tidak boleh mandi janabah sambil diselingi dengan hal yang lain dengan
durasi yang cukup lama. Sedangkan bagi yang mengatakan bahwa al-muwalah hukumnya sunnah,
maka boleh.  Berikut pemaparan masing-masing:
a. Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Sunnah.
Mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah, asy-Syafi'iah (qaul jadid) dan al-Hanabilah
mengatakan bahwa al-muwalah dalam mandi janabah hukumnya sunnah. Artinya, al-muwalah tidak
menjadi parameter sah dan tidaknya mandi janabah, sebab ia bukan termasuk rukunnya. Jika
seseorang mandi janabah misalnya, lalu niat dan membasahi sebagian tubuhnya, lalu keluar kamar
mandi dan melakukan hal lain, kemudian kembali ke kamar mandi dan menyelesaikan siraman ke
sisa tubuh yang lain, mandi janabahnya ini sah menurut ulama dari madzhab ini.
Al-Imam As-Sarakhsi (w.483), salah satu ulama dari madzhab Al-Hanafiyah dalam kitabnya Al-
Mabsuth mengatakan :

‫ وترك البعض حتى جف ما قد غسل أجزأه؛ ألن المواالة‬،‫وإن غسل بعض أعضائه‬
‫سنة عندنا‬
"Dan bahkan ketika ia membasuh sebagian tubuhnya, dan tidak membasuh sebagian yang lain
hingga anggota tubuh yang tadi dibasuh menjadi kering, sebab al-muwalah dalam madzhab kami
hukumnya sunnah" (Al-Mabsuth jilid 1, hal. 58)
Ibnu 'Abdin (w.1252) yang juga ulama dari madzhab Al-Hanafiyyah mengatakan :

‫ كسنن الوضوء) أي من البداءة بالنية والتسمية والسواك‬:‫ (قوله‬: ‫سنن الغسل‬


‫والتخليل والدلك والوالء‬
"Sunnah-sunnah mandi janabah sama dengan sunnah-sunnah di dalam wudhu', yakni dari awal
dimulai dari niat, basmalah, bersiwak, dan menyela-nyelai, memijat, dan muwalah". (Radd al-Muhtar
ala ad-Dur al-Mukhtar, jilid 1, hal. 156)
Ibnu Najim dari madzhab Al-Hanafiyah sedikit menyempitkan bolehnya menjeda mandi janabah.
Beliau mengatakan bahwa 'mencicil' mandi janabah hukumnya boleh jika ada udzur (alasan yang
dibenarkan syariat). Misalnya karena minimnya ketersediaan air dimana airnya tidak cukup
digunakan untuk mandi, lalu ia pergi mencari-cari air beberapa saat, lalu melanjutkan mandinya
yang tadi belum selesai. (al-Bahru ar-Raiq jilid 1, hal. 28)
Al-Imam An-Nawawi (w.676), ulama dari madzhab As-Syafi'iyyah menguatkan pendapat ulama dari
madzhab Al-Hanafiyah bahwa al-muwalah dalam mandi janabah hukumnya sunnah, sebagaimana
yang beliau tulis dalam Al-Majmu' :

‫وأما مواالة الغسل فالمذهب أنها سنة‬


"Dan adapun muwalah dalam mandi janabah menurut madzhab ini (As-Syafi'i) hukumnya sunnah."
(Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, jilid 2, hal. 184)
Begitu juga ulama dari madzhab Hambali, mereka memiliki pendapat yang sama. Al-Imam Al-
Mardawi (w.885) dari madzhab Al-Hanabilah mengatakan:

‫ على الصحيح من المذهب‬،‫ال يشترط للغسل مواالة‬


"Muwalah tidak disyaratkan dalam mandi janabah menurut madzhab ini (Al-Hanabilah)." (Al-Inshaf
Fi Ma'rifati ar-Rajih Min al-Khilaf jilid 1, hal. 141)
Ibnu Qudamah yang juga dari madzhab Al-Hanabilah menambahkan bahwa al-muwalah tidak
masuk dalam rukun mandi janabah :

‫ وغسل جميع البدن‬،‫ النية‬: ‫فعلى هذا تكون واجبات الغسل شيئين ال غير‬
"Dan oleh karena itu, hal-hal yang wajib dilakukan saat mandi janabah hanya dua saja, yakni : niat
dan membasuh/menyiram seluruh tubuh" (Al-Mughni, jilid 1, hal. 162)
Ulama dari madzhab Al-Hanabilah dan salah satu pendapat dari madzhab Syafi'i mengatakan
bahwa mandi janabah yang terpotong (dijeda oleh hal lain) hukumnya sah, asalkan ketika kembali
menyelesaikan mandinya ia wajib memperbarui niat sebelum menyiramkan air pada sisa anggota
tubuh lainnya. Sebab niatnya di awal terpotong dengan jeda waktu yang cukup lama (Raudhah at-
Thalibin, jilid 1, hal. 64).
Akan tetapi sebagian ulama lain dari madzhab as-Syafi'iyah tidak mewajibkan untuk memperbarui
niat saat ia kembali menyelesaikan siraman pada sisa anggota tubuh yang lain (Al-Majmu' Syarah
al-Muhadzdzab, jilid1 , hal. 453)
b. Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Wajib
Ulama dari madzhab al-Malikiyyah mengatakan bahwa al-muwalah hukumnya fardhu dalam mandi
janabah. Dalam melakukan mandi janabah, seseorang harus menyelesaikan mandinya dalam satu
waktu, tanpa harus disela-selai atau dipotong dengan hal yang lain.
Al-Qarafi (w.684), salah satu ulama dari madzhab ini mempertegas dalam kitabnya Adz-Dzakhirah :

‫ المواالة فرض في الوضوء والغسل خالفا ألحمد بن حنبل‬: ‫لخامس‬


"(Rukun) kelima ; al-muwalah hukumnya fardhu dalam wudhu dan mandi janabah, pendapat ini
berbeda dengan pendapat Imam Ahmad Bin Hambal." (Adz-Dzakhirah, jilid 1, hal. 273)
Ad-Dasuki dari madzhab ini mengatakan bahwa kedudukan al-muwalah dalam mandi janabah
adalah wajib, selama ia tidak lupa dan tidak ada udzur. Maka, jika di tengah-tengah mandi janabah
ia melakukan perbuatan lain dengan durasi yang cukup lama, kemudian ia melanjutkan mandinya,
maka mandi janabahnya tidak sah. Akan tetapi, bagi yang punya udzur syar'i seperti ketersediaan
air yang sangat minim, atau udzur syar'i lain, maka ia boleh menjeda mandi janabahnya tanpa harus
memperbarui niat saat melanjutkan mandi dan menyiram pada sisa angota tubuh lainnya. (Hasyiyah
ad-Dasuki, jilid 1, hal. 133)

Kesimpulan
Mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah, asy-Syafi'iyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa
al-muwalah hukumnya sunnah dalam mandi janabah, bukan rukun yang wajib dilakukan. Akan tetapi
ulama dari madzhab al-Malikiyah mengatakan bahwa al-muwalah fardhu yang wajib dilakukan.
Pendapat mayoritas ulama menjadi angin segar bagi para pengantin baru yang notabene malu jika
rambutnya terlihat basah di pagi hari. Terlebih jika masih tinggal di rumah mertuanya. Kedudukan al-
muwalah yang sunnah, memberi keringanan bagi mereka untuk 'mencicil' mandi janabah.
Misalnya, jika di malam hari ia melakukan hubungan suami isteri dan enggan segera mandi karena
udara masih terlalu dingin. Solusinya, bisa saja malam hari membasahi kepala (keramas) dulu tanpa
menyiram badan, lalu esok saat hendak melaksanakan shalat shubuh, ia melanjutkan mandi dengan
menyiram tubuh tanpa keramas.

Contoh di atas menjadi mandi janabah yang sah walaupun terkesan 'dicicil' karena mandinya tidak
dilakukan dalam satu waktu sekaligus. Dengan syarat, saat keramas di malam hari ia harus
meniatkannya untuk mandi janabah.
Wallahu A'lam Bishshowab.
1. BOLEHKAH MENGGANTIKAN KEWAJIBAN SHALAT ORANG TUA
YANG SEDANG KOMA
Secara umum, orang yang meninggalkan shalat saat sakit tidak sunyi dari dua
kondisi;

1. Meninggalkan shalat saat sakit, karena hilang akalnya. Dia juga tidak wajib
qadha, jika ternyata kemudian sembuh kembali.
2. Meninggalkan shalat saat saat sakit padahal akalnya masih sadar, namun
dia tinggalkan dengan perkiraan bahwa shalat tidak diwajibkan dalam kondisi
seperti itu. Orang seperti ini semoga mendapatkan ampunan Allah karena
ketidaktahuannya. Meskipun yang wajib bagi seorang muslim, untuk belajar
perkara agamanya.
Dalam kedua kondisi tersebut, tidak perlu diqadha untuknya, apabila dia
meninggalkan setelah itu.

Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, 25/257, "Jika orang tua ana saat sakit,
hilang akalnya, tidak sadar sama sekali, maka shalat gugur baginya. Karena
ketika itu dia bukan orang yang terkena kewajiban beban. Karena beban
kewajiban shalat dikaitkan dengan akal, sementara dia telah hilang akal. Adapun
jika akal dan kesadarannya tidak hilang, akan tetapi dia meninggalkannya karena
tidak tahu bahwa dirinya tetap diwajibkan untuk melaksanakannya sesuai
kemampuannya, semoga Allah memaafkan dan menerima uzurnya karena
ketidaktahuannya dan tidak adanya orang yang menjelaskan hukum syar'i hingga
akhirnya dia meninggal, semoga Allah merahmati dan mengampuninya. Dalam
kedua kondisi tersebut, tidak boleh dilakukan shalat untuk orang tua anda.
Karena shalat tidak boleh dilakukan untuk orang lain. Asalnya shalat tidak dapat
diwakilkan."

Ketiga:

Adapun qadha puasa, jika dia meninggalkan qadha tanpa uzur, maka disunahkan
untuk melakukan puasa untuknya, berdasarkan riwayat Bukhari, no. 1952 dan
Muslim, no. 1935, dari hadits Aisyah radhiallahu anha, sesungguhnya Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

"Siapa yang meninggal sedangkan dia memiliki tanggungan puasa, maka walinya
melakukan puasa untuknya."

Sebagai tambahan, lihat jawaban soal no.   130283 dan no. 130647

Dibolehkan mengqadha puasa untuk mayat dari ahli warisnya, sekali untuk setiap
hari, boleh juga qadha dilakukan oleh beberapa ahli waris.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Masalah; Apakah jika kita katakan
bahwa puasa tersebut (qadha untuk mayat) mencakup perkara wajib berdasarkan
pokok syariat, atau wajib karena nazar, maka dia harus dilakukan seorang saja
dari ahli warisnya, karena puasanya wajib atas satu orang? Beliau menjawab,
tidak harus, karena beliau bersabda, "Hendaknya walinya berpuasa untuknya."
Dalam bentuk mufrad dan diidhafahkan (disandarkan), maka hal itu berarti
berlaku umum untuk seluruh walinya yang menjadi ahli warisnya. Jika misalnya
orang tersebut memiliki lima belas anak, dan setiap anak ingin melakukan puasa
dua hari dari 30 hari hutang puasa mayat, maka hal itu boleh. Seandainya ahli
warisnya ada 30 dan setiap orang berpuasa satu hari, maka hal itu boleh, karena
mereka (keseluruhan) dianggap berpuasa 30 hari. Tidak ada bedanya apakah
mereka berpuasa pada satu hari, atau jika salah seorang berpuasa hari ini, maka
yang lain berpuasa esok harinya, hingga sempurna 30 hari." (Asy-Syarhul Mumti',
6/452)

Keempat:

Siapa yang pergi haji atau umrah untuk kedua orang tuanya, sedangkan
sebelumnya dia telah melakukan haji untuk dirinya sendiri, maka pahala haji dan
umrahnya itu akan sampai kepada kedua orang tuanya. Maka perbuatan anak
tersebut merupakan salah satu bentuk bakti kepada kedua orang tuanya.

Imam Muslim no. 1939, meriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya
radhiallahu anhu, dia berkata, 

ِ ‫ص َّد ْقتُ َعلَى أ ُ ِّمي ِب َج‬


، َ ‫ َوإِ َّن َها َما َتتْ َقال‬، ‫ار َي ٍة‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫ إِ ِّني َت‬: ْ‫ َف َقالَت‬، ٌ‫سلَّ َم إِ ْذ أَ َت ْت ُه ا ْم َرأَة‬ َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ ‫س‬ُ ‫ِس عِ ْن َد َر‬ٌ ‫َب ْي َنا أَ َنا َجال‬
‫صومِي‬ ُ : َ ‫صو ُم َع ْن َها ؟ َقال‬ ُ َ ‫ش ْه ٍر أَ َفأ‬ َ ‫سول َ هَّللا ِ إِ َّن ُه َكانَ َعلَ ْي َها‬
َ ‫ص ْو ُم‬ ُ ‫ َيا َر‬: ْ‫ َقالَت‬. ‫اث‬ ُ ‫ِير‬ َ ‫ َو َر َّدهَا َعلَ ْيكِ ا ْلم‬، ِ‫ َو َج َب أَ ْج ُرك‬: َ ‫َف َقال‬
َ َ
‫ ُح ِّجي َع ْن َها‬: َ ‫ إِ َّن َها لَ ْم َت ُح َّج َق ُّط أ َفأ ُح ُّج َع ْن َها ؟ َقال‬: ْ‫ َقالَت‬. ‫َع ْن َها‬

"Ketika kami duduk di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, datanglah


seorang wanita, dia berkata, 'Sungguh aku telah bersadaqah seorang budak
wanita kepada ibuku, lalu ibuku meninggal.' Beliau berkata, 'Pahalanya telah
berlaku, dan kini dia dikembalikan kepada anda dalam bentuk waris.' Dia berkata
lagi, 'Wahai Rasulullah, jika dia memiliki hutang puasa sebulan, bolehkah aku
berpuasa untuknya?' Beliau bersabda, 'Berpuasalah untuknya' Dia berkata lagi,
'Sesungguhnya dia belum pernah menunaikan haji sama sekali, apakah aku
menunaikan haji untuknya?' Dia berkata, 'Lakukanlah haji untuknya." 

Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, 25/257, "Adapun haji dan umrah anda
untuk kedua orang tua anda, maka itu termasuk bentuk bakti anda kepada kedua
orang tua, juga jika anda bersadaqah kepadanya dari waktu ke waktu. Juga
dengan anda mendoakannya dan memohonkan ampunan untuknya serta
bersilarurahim kepada kerabatnya dan teman-temannya serta berbuat baik
kepada mereka. Semua itu merupakan bentuk bakti kepada kedua orang tua anda
setelah kematiannya. Baginya pahala yang banyak Insya Allah atas apa yang
telah anda berikan di jalan itu."
1. HUKUM TERKAIT BENDA TEMUAN ATAU HARTA TEMUAN
Hukum pengambilan barang temuan, oleh ulama dibagi ke dalam beberapa tingkatan dan di
antaranya sebagai berikut :

1. Apabila barang temuan ditemukan oleh orang yang memiliki kepercayaan tinggi dan ia
mampu mengurus benda-benda temuan itu sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat
bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab, maka atasnya berhak mengambil barang temuan tersebut
2. Apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda
temuan itu dengan sebagaimana mestinya, tetapi bila tidak diambil pun barang barang tersebut tidak
dikhawatirkan akan hilang sia-sia.
3. Apabila harta itu ditemukan, kemudian yang bersangkutan ragu -ragu antara mampu
memelihara dengan mengesampingjkan harta yang ditemukan.
4. Penetapan hukum terhadap barang temuan oleh kebanyakan ulama fiqh adalah “boleh”.
Tentunya penetapan tersebut didasari oleh penalaran dalil-dalil yang ada, dan hukum tersebut
berlaku bagi orang yang meyakini dirinya mampu memelihara dan mengumumkannya, dasar hukum
tentang kewajiban bagi penemu untuk mengumumkan barang temuan adalah hadits Nabi SAW:
5. “Dari Zaid bin Khalid r.a. berkata; Seorang datang kepada Rasulullah SAW, menanyakan
tentang luqathah, Rasulullah SAW bersabda: Kenalilah wadah dan tali pengikatnya, kemudian
umumkan selama satu tahun, maka jika dating pemiliknya (kembalikan padanya), jika tidak maka
sesukamu. Ditanya: Jika menemukan kambing? Rasulullah SAW menjawab: Kambing itu untukmu
atau saudaramu atau bagi srigala. Jika mendapatkan unta? Rasulullah SAW bersabda: Apa
urusanmu dengan unta? Dia sanggup cukup dengan minumnya dan kakinya, dia dapat mencari
minum dan makanannya sehingga bertemu dengan pemiliknya.” (HR Bukhari-Muslim)
6. Abu Daud juga merawikan hadits tentang larangan Rasulullah SAW mengambil barang
temuan pada saat orang-orang sedang mengerjakan ibadah haji, hadits tersebut ialah
7. Artinya: “Diceritakan Yazid ibn Khalid Mauhab dan Ahmad ibn Shalih berkata diceritakan ibn
Wahab dikabarkan ‘Umar dari Bakir dari Yahya ibn Abdurrahman ibn Hathib dari Abdurrahman ibn
‘Ustman al-Taymi sesungguhnya Rasulullah Saw., melarang mengambil barang yang hilang
kepunyaan orang-orang yang sedang mengerjakan ibadah haji, kemudian berkata Ahmad berkata
ibnu Wahab yakni tinggalkanlah barang temuan di waktu haji sampai ada orang yang mempunyai
mengambilnya berkata seperti itulah ibnu Mauhab dari ‘Umar”. (H.R. Abu Dawud)
8. Apabila orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya
sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang
tersebut.

Dalam pandangan imam Malik, bahwa barang temuan itu tetap menjadi tanggungan (ganti rugi;
biaya) bagi si penemu sekiranya ia telah melakukan tindakan, baik dengan cara menyedekahkan
dan atau memanfaatkan. Alasan imam Malik lantaran barang temuan itu adalah serupa dengan
wadi’ah (barang titipan), sehingga bagaimana pun keadaan barang tersebut tentu tidak berpindah
status kepemilikan kepada orang lain (si penemu); karenanya jika rusak perlu mengganti atau
membayarkannya

Di kisahkan bahwa ada seorang laki-laki pernah datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW.,
mengenai Luqhatah . Beliau menjawab : “ perhatikanlah bejana tempatnya dan tali pengikatnya, lalu
umumkanlah (barang Itu) selama setahun. Jika pemiliknya datang maka serahkanlah kepada
mereka dan jika tidak maka manfaatkanlah . Lelaki itu bertanya lagi, “ bagaimana barang temuan
tersebut berupa kambing yang tersesat? Beliau menjawab: “Ambillah, itu milikmu, atau milik
saudaramu, atau akan di makan serigala . Lelaki itu masih bertanya “bagaimana bila itu berupa unta
yang tersesat?” Beliau menjawab “ Apa urusannya denganmu?! Ia masih memakai terompah dan
memiliki cadangan airnya sendiri sampai nanti pemiliknya datang menemukannya .”(H.R Al-Bukhari)

Pada tingkat yang pertama, ulama mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) sepakat mengenai
barang temuan untuk mengumumkan setidaknya satu tahun dari batas waktu barang itu ditemukan.
Namun demikian, yang perlu diperhatikan bahwa barang tersebut harus tahan lama (seperti emas,
perak dan barang yang sejenis dengannya). Meskipun begitu, di kalangan ulama masih tampak
berbeda pendapat sehubungan dengan barang temuan itu perlu diambil atau dibiarkan saja.

Para ulama fikih berbeda pendapat terkait dengan barang temuan di tanah haram. Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah dalam salah satu riwayatnya dan haram. Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah dalam salah satu riwayatnya dan dari Syafi’i mengatakan,”Bahwa ia seperti barang
temuan di tanah halal. dari Syafi’I mengatakan,”Bahwa ia seperti barang temuan di tanah halal.
Sementara perkataan Ahmad dan ini termasuk salah satu riwayat dari Syafi’i Sementara perkataan
Ahmad dan ini termasuk salah satu riwayat dari Syafi’I mengatakan, “Bahwa barang temuan di
haram hendaknya diumumkan untuk mengatakan, “Bahwa barang temuan di haram hendaknya
diumumkan untuk selamanya sampai datang pemiliknya. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi
selamanya sampai datang pemiliknya.

Dengan demikian, sejumlah uraian di atas dapat dikatakan bahwa hukum pengambilan barang
temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya
Dikarenakan status hukum barang temuan itu dibolehkan untuk diambil, maka anjuran atasnya juga
dituntut untuk memeliharanya dengan baik. Dengan demikian, identitas kepercayaan seseorang
untuk menerima tanggungan dalam rangka memelihara barang temuan menjadi tindakan yang tidak
boleh disia-siakan.
HUKUM SEORANG LAKI-LAKI MENJADI DOKTER KANDUNGAN
Bagi orang yang sudah terlanjur sakit kemudian tidak menemukan dokter lain selain dokter
lawan jenis, maka ada tuntunan syariat yang harus diupayakan untuk diikuti antara lain
sebagai berikut: 1. Kondisinya terpaksa, sementara tidak ada dokter lain yang tunggal jenis
kelamin di wilayahnya atau wilayah terdekat dengannya 2. Ketika pasien lawan jenis
diperiksa, maka ia harus ditemani perempuan lain atau orang yang menjadi mahramnya,
suami/istrinya, atau sayyid-nya (tuannya bila pasien adalah hamba sahaya, red). 3. Aurat
yang boleh dibuka dan dipegang adalah sekadar yang diperlukan untuk keperluan
pemeriksaan 4. Bila terpaksa harus ke dokter lain jenis, maka harus diupayakan terlebih
dulu dokternya adalah seorang yang muslim yang bisa dipercaya untuk pasien perempuan,
dan dokter muslimah yang bisa dipercaya untuk pasien kaum laki-laki. Dan bila tetap ia
tidak menjumpai, maka boleh ke kafir dzimmy dengan syarat bisa dipercaya juga aman dari
fitnah.  Ketentuan ini berangkat dari keterangan dari kitab Hâsyiyah al-Bâjury, antara lain
sebagai berikut: ‫فيجوز نظر الطبيب من االجنبية الى المواضع التي يحتاج اليها في المداوة حتى مداوة الفرج ويكون ذلك‬
‫ بحضور محرم اوزوج اوسيد وأن التكون هناك امرأة تعاجلها‬Artinya: “Hukumnya boleh, melihatnya dokter ke
perempuan bukan mahram pada anggota badan yang dibutuhkan untuk pengobatan,
bahkan di area farji. Namun demikian itu (harus) disertai kehadiran mahram, suami, atau
sayid, [dengan catatan] jika tidak dijumpai adanya perempuan yang bisa mengobatinya.”
(Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, Hâsyiyah al Bâjury
‘alâ Sharhi al-Allaâmah Ibni Qâsiīm al-Ghâzi ‘alâ Matni Abī Shujjâ’, Beirut, Dâru al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 2, halaman 99) Adapun tentang kebolehan menyentuh, memeriksa
pasien, berobat ke dokter lawan jenis yang muslim dan bila dalam kondisi sangat terpaksa
ke dokter golongan dzimmi, kita bisa ambil keterangan berikut: ‫ذهب جمهور الفقهاء إلى أنه يجوز عند‬
‫ويجوز للطبيب المسلم إن لم‬....... :‫ وقالوا‬.‫الحاجة الملجئة كشف العورة من الرجل أو المرأة ألي من جنسهما أو من الجنس اآلخر‬
‫ وينظر منها ويلمس ما تلجئ الحاجة إلى نظره أو لمسه فإن لم توجد طبيبة‬,‫توجد طبيبة أن يداوي المريضة األجنبية المسلمة‬
‫والطبيب مسلم جاز للطبيب الذمي ذلك‬.  Artinya: “Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwasannya boleh
bagi dokter ketika adanya hajat yang mendesak untuk membuka aurat pasien baik laki-laki
maupun perempuan, baik yang berjenis kelamin sama dengannya atau berjenis kelamin
berbeda. Para fuqaha’ selanjutnya berpendapat: .....boleh bagi seorang dokter muslim jika
tidak ditemukan dokter perempuan untuk mengobati pasien wanita ajnabiyah yang muslim,
serta melihatnya dan menyentuhnya sekedar hajar kebutuhan yang mendesak, dengan
catatan jika tidak ditemukan adanya dokter perempuan. Dan dalam kondisi ketiadaan
dokter muslim, boleh periksa ke dokter dzimmy.” (Wazâratu al-auqâf wa al-Syu-ûn al-
Islamiyyah, al-Mausûatu al-Fiqhiyah, Kuwait, ‘Umûm-Ghīlah,  1994, Juz 31, halaman 56) 
1. SENTUHAN SUAMI ISTERI MEMBATALKAN WUDHU ?
Akar perbedaannya ada pada berbedanya ulama dari empat madzhab dalam menarik kesimpulan
hukum dari QS. Al-Maidah ayat 6, yang bunyinya:

َ ‫أَ ْو الَ َمسْ ُت ُم ال ِّن َساء َفلَ ْم َت ِج ُدو ْا َماء َف َت َي َّممُو ْا‬
‫صعِي ًدا َط ِّيبًا‬
“...atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapati air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)...”
Secara harfiyah, ayat tersebut menyatakan bahwa menyentuh wanita menyebabkan batalnya
wudhu’ sehingga ia diperintahkan mencari air untuk berwudhu’ kembali, dan jika tidak menemukan
air maka diperintahkan untuk bertayammum.
Akan tetapi, ayat diatas tidak menjelaskan secara terperinci mengenai:

 Wanita manakah yang jika disentuh menjadikan wudhu’ seseorang menjadi batal? Wanita
yang menjadi mahramnya atau bukan? Wanita yang sudah baligh ataukah yang belum?

 Siapakah yang jika menyentuh wanita bisa membatalkan wudhu? Apakah semua gender,
ataukah terbatas lelaki saja?

 Manakah anggota tubuh wanita yang membuat penyentuhnya jadi batal wudhu’nya?
Kulitnya saja ataukah gigi dan rambutnya juga?

Hal-hal tersebut membuat para ulama menarik kesimpulan berbeda dari QS. Al-Maidah ayat 6
diatas. Tentu dengan metode istimbath ahkam yang dimiliki oleh masing-masing madzhab. Berikut
penjelasannya:

1. Batal Secara Mutlak

Para ulama fiqih dari madzhab Syafi’i memandang bahwa bersentuhan kulit secara langsung antara
laki-laki  dan wanita yang bukan mahramnya dapat membatalkan wudhu’ jika sentuhan itu tidak
dihalangi oleh apapun seperti kain, kertas, atau lainnya.
Parameter utama dalam madzhab Syafi’i adalah “mujarrad iltiqa’ al-basyaratain”. Artinya, sentuhan
kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita dapat membatalkan wudhu’ walau tanpa syahwat,
sengaja atau tidak sengaja.
Wanita yang menjadikan laki-laki batal wudhu’ saat menyentuhnya adalah ‘musytahah’, yakni wanita
yang lazimnya memiliki peluang untuk membuat laki-laki tertarik kepadanya. Ciri-cirinya antara lain :
wanita yang sudah baligh dan bukan mahramnya sendiri.
Isteri bukanlah mahram bagi suaminya. Maka dalam madzhab ini sentuhan kulit antara suami-isteri
membatalkan wudhu. Sengaja atau tidak sengaja. Dengan atau tanpa syahwat. Menjadi pihak yang
menyentuh, ataupun yang disentuh.[1]
Dalam kitab Raudhah at-Thalibin Bab Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu’, Imam Nawawi
menjelaskan sebagai berikut:
‫ أو بشرة صغيرة لم تبلغ حد‬،‫ أو ظفرا‬،‫ أو سنا‬،‫ فإن لمس شعرا‬،‫ لمس بشرة امرأة مشتهاة‬:‫الناقض الثالث‬
‫ لم ينتقض على‬،‫ أو مصاهرة‬،‫ أو رضاع‬،‫ وإن لمس محرما بنسب‬.‫ على األصح‬،‫ لم ينتقض وضوءه‬،‫الشهوة‬
،‫ أو عن غير قصد‬،‫ أو لمس بغير شهوة‬،‫ أو زائدا‬،‫ أو عضوا أشل‬،‫ أو عجوزا ال تشتهى‬،‫وإن لمس ميتة‬.‫األظهر‬
‫ وينتقض وضوء الملموس على األظهر‬،‫انتقض على الصحيح في جميع ذلك‬.
Pembatal (wudhu’) yang ketiga adalah menyentuh wanita musytahah. Jika ia menyentuh rambut,
gigi, atau kuku wanita, atau menyentuh anak kecil yang tidak mengundang syahwat maka
wudhunya tidak batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab ini (Syafi’i). Begitu juga
menyentuh mahram, baik mahram karena nasab, sepersusuan atau mushaharah, maka wudhu’nya
tidak batal. Adapun jika ia menyentuh wanita yang sudah meninggal atau wanita tua yang sudah
tidak mengundang syahwat, atau anggota tubuh wanita yang cacat atau yang organ tambahan, atau
ia sentuhan tanpa syahwat dan tidak disengaja maka wudhunya batal menurut pendapat yang
shahih dalam madzhab, begitu juga batalnya wudhu orang yang disentuh.

2. Tidak Batal Secara Mutlak.

Berbeda dengan madzhab Syafi’i, para ulama dalam madzhab Hanafi cenderung memaknai kalimat
“‫ ”الَ َمسْ ُت ُم ال ِّنسَ اء‬dengan makna majazi, yakni jima’ atau hubungan seksual.
Dalam madzhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sentuhan kulit antara laki-laki dan
wanita non-mahram (termasuk isterinya) tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak, walaupun
sentuhan itu dilakukan dengan syahwat. Sebab yang menjadi patokan batalnya wudhu dalam hal ini
adalah terjadinya jima’. Maka, sentuhan yang tidak sampai pada taraf hubungan seksual tidak
membatalkan wudhu’.[2]
Namun ulama dalam madzhab Hanafi berbeda pendapat mengenai percumbuan antara laki-laki dan
wanita dengan tanpa busana, yang menjadikan hampir seluruh tubuh mereka saling bersentuhan
dengan syahwat. Tidak terjadi penetrasi, juga tidak sampai keluar air mani.
Abu Hanifah dan Yusuf memandangnya dengan kacamata istihsan yang menjadikan keduanya
berhadats, sehingga otomatis membatalkan wudhu’. Berbeda dengan Muhammad Bin Hasan as-
Syaibani  yang menghukuminya dengan qiyas, perbuatan tersebut tidak membatalkan wudhu’ sebab
tidak sampai terjadi penetrasi atau jima’ yang sesunguhnya.[3]
Dalam kitab Fathul Qadir, Ibnul Humam menjelaskan sebagai berikut :

‫ لنا في األولى‬.‫ ولمالك إذا مس بشهوة‬،‫ خالفا للشافعي مطلقا‬،‫وال يجب من مجرد مسها ولو بشهوة ولو فرجها‬
‫ وقوله تعالى {أو المستم النساء} مراد به‬،‫عدم دليل النقض بشهوة وبغير شهوة فيبقى االنتقاض على العدم‬
‫الجماع وهو مذهب جماعة من الصحابة‬
Tidak wajib berwudhu karena menyentuh wanita, sekalipun dengan adanya syahwat, sekalipun
pada kemaluannya. Pendapat ini berbeda dengan Imam Syafi’i yang mengatakn bahwa menyentuh
wanita mewajibkan wudhu secara mutlaq, dan Imam Malik yang berpendapat bahwa menyentuh
wanita dnegan syahwat mewajibkan wudhu. Bagi kami (madzhab Hanafi) tidak ada dalil yang
menegaskan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak.
Adapun yang dimaksud dalam firman Allah: { ‫ }أو المستم النساء‬adalah Jima’, dan ini adalah pendapat
sebagian sahabat Rasulullah.

3. Batal Jika Disertai Syahwat


Ulama dari madzhab Maliki dan Hambali sepakat bahwa yang membatalkan wudhu’ adalah
sentuhan yang disertai syahwat. Maka, sekedar menyentuh saja tidak membatalkan wudhu’ jika
tidak disertai adanya syahwat.
Akan tetapi ada beberapa perbedaan mendasar antara madzhab Maliki dan Hambali dalam masalah
ini sebagaimana berikut:
       a. Madzhab Maliki
Dari segi pelaku dan objeknya, madzhab ini mengatakan bahwa yang membatalkan wudhu adalah
sentuhan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah baligh terhadap orang lain sambil menikmati
sentuhan tersebut, baik pihak yang disentuh itu:

 sudah baligh atau belum baligh,


 isterinya atau bukan,
 mahramnya sendiri atau bukan,
 sesama jenis atau lawan jenis,
 langsung pada kulitnya atau dengan adanya penghalang (kain) yang tipis.

Semuanya membatalkan wudhu’ jika sentuhan yang dilakukan itu disertai adanya syahwat. Maka,
dalam madzhab ini, laki-laki yang menyentuh sesama laki-laki dapat membatalkan wudhu jika
sentuhan itu disertai dengan syahwat. Begitu juga jika itu terjadi antara wanita dengan sesama
wanita.
Dari segi organ tubuh yang disentuh, madzhab ini tidak membedakan antara kulit atau bukan. Maka,
menyentuh organ tubuh manapun jika disertai syahwat dapat membatalkan wudhu’, bahkan jika
yang disentuh adalah kuku dan giginya.[4]
Dalam kitabnya Al-Kafi fi Fiqhi Ahli Al-Madinah, Ibnu Abdil Barr menjelaskan sebagai berikut :

‫ وهي ما دون الجماع من دواعي الجماع فمن قبل امرأة لشهوة كانت من ذوات محارمه أو غيرهن‬،‫المالمسة‬
‫ ومن قصد إلى لمس امرأة فلمسها بيده انتقض وضوؤه إذا التذ بلمسها من‬.‫وجب عليه الوضوء التذ أم لم يلتذ‬
‫فوق الثوب الرقيق الخفيف أو من تحته وسواء مس منها عند مالك شعرها أو سائر جسدها إذا التذ بلمس ذلك‬
‫منها‬.
Mulamasah adalah salah satu bentuk percumbuan yang dilakukan suami isteri tetapi tidak sampai
kepada Jima’. Orang yang mencium perempuan disertai syahwat baik itu mahramnya ataupun
bukan maka ia wajib berwudhu, baik ia menikmatinya atau tidak. Seseorang yang bermaksud
menyentuh perempuan, kemudian ia menyentuhnya dengan tangannya maka wudhunya batal jika
sentuhan itu disertai taladzdzudz (kenikmatan), baik sentuhan itu dilakukan di atas pakaian yang
tipis (adanya penghalang tipis) atau dari bawahnya (secara langsung), baik yang ia sentuh itu
-menurut imam malik- rambutnya atau apapun dari anggota tubuh wanita tersebut jika disertai
taladzdzudz.
Penjelasan senada diungkapkan oleh al-Qarafi dalam kitabnya Adz-Dzakhirah sebagaimana
berikut :

‫المالمسة مس أحد الزوجين صاحبه للذة من فوق ثوب أو من تحته أو قبلة في غير الفم يوجب الوضوء‬
Mulamasah adalah saling menyentuh antara suami dan isteri yang disertai ladzdzah (menikmati),
baik dari atas pakaian (ada penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung), atau ciuman pada
selain mulut, maka hal tersebut mewajibkan wudhu.
          b. Madzhab Hambali
Ketentuan sentuhan yang membatalkan wudhu dalam madzhab Hambali adalah jika yang disentuh
dengan syahwat itu adalah:

 lawan jenis,
 bukan mahramnya, baik itu isterinya atau bukan,
 sudah baligh,
 langsung pada kulitnya tanpa ada penghalang sama sekali,

Maka dalam madzhab Hambali, objek yang disentuh harusnya kulit lawan jenis non mahram
(termasuk isteri) tepat pada kulitnya langsung. Sebab menyentuh gigi atau rambut tidak
membatalkan wudhu’.[5]
Pendapat madzhab Hambali sebenarnya sangat mirip dengan madzhab Syafii’i, hanya saja
madzhab Hambali mensyaratkan adanya syahwat sedangkan madzhab Syafi’i tidak.
Dalam kitabnya Al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan sebagai berikut:

‫ وعن‬.‫ وال ينقضه لغير شهوة‬،‫ أن لمس النساء لشهوة ينقض الوضوء‬،- ‫ رحمه هللا‬- ‫المشهور من مذهب أحمد‬
،‫ عموم النص‬،‫ ولنا‬.‫ رواية ثالثة أن اللمس ينقض بكل حال‬،‫ وعن أحمد‬.‫ ال ينقض اللمس بحال‬،‫أحمد رواية ثانية‬
‫ وال‬،‫ وال ينقض مس شعر المرأة‬.‫ ومتى وجدت الشهوة فال فرق بين الجميع‬،‫واللمس الناقض تعتبر فيه الشهوة‬
‫ أنه لم يلمس جسم المرأة؛ فأشبه ما لو لمس ثيابها‬،‫ لنا‬.‫ وهذا ظاهر مذهب الشافعي‬،‫ وال سنها‬،‫ظفرها‬
Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad Bin Hambal Rahimahullah bahwa
menyentuh wanita yang disertai syahwat membatalkan wudhu, namun tidak membatalkan wudhu
jika tanpa syahwat. Dan riwayat kedua dari Imam Ahmad bahwa menyentuh wanita tidak
membatalkan wudhu secara muthlaq. Dan riwayat ketiga bahwa menyentuh wanita membatalkan
wudhu secara muthlaq. Dan menurut pendapat yang kami pilih (mayoritas ulama madzhab Hambali)
adalah keumuman nash, dan sentuhan yang membatalkan adalah sentuhan yang disertai syahwat,
jika sentuhan terhadap wanita itu disertai syahwat maka tidak ada perbedaan antara mahram dan
wanita ajnabiyah (non-mahram), wanita dewasa ataupun anak kecil. Dalam dzahir madzhab Syafi’i,
menyentuh rambut wanita, kukunya atau giginya tidak membatalkan wudhu. Dan bagi kami
(madzhab Hambali) hal demikian (menyentuh gigi dan kuku) tidak diaggap menyentuh tubuh wanita,
sebagaimana menyentuh pakaiannya.
Ibnu Taimiyyah menuliskan dalam kitabnya Majmu' Fatawa sebagai berikut :

‫ أنه إن كان بشهوة نقض الوضوء وإال فال‬:- ‫المشهور عن أحمد‬


Pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad Bin Hambal bahwa menyentuh wanita jika disertai
syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat maka tidak membatalkan.
Penutup
Demikian pendapat masing-masing madzhab yang cenderung berbeda satu sama lain.  Namun
tidak untuk dijadikan ajang perselisihan di kalangan umat Islam. Sebab tiap pendapat para ulama
madzhab tentu melalui proses 'istimbath ahkam' dengan metode Ushul Fiqh yang sudah dirumuskan
oleh para mujtahid yang kompeten di bidangnya.
1. HARUSKAH MENGURAI RAMBUT MANDI JANABAH
Jumhur (mayoritas) ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan sebagian dari Hambali
berpendapat bahwa dalam melakukan mandi janabah, wanita tidak wajib mengurai rambutnya yang
terkepang atau tergelung, yang penting air sampai ke kulit kepalanya dan membasahi seluruh kulit
dan rambutnya.
Namun, jika tanpa menguraikan kepangan itu air menjadi tidak bisa membasahi seluruh rambut dan
kulit kepalanya, maka gelungan dan kepangannya harus diuraikan. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan dari Ummu Salamah, isteri Rasulullah :

‫ إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثالث‬،‫ ال‬:‫ إني امرأة أشد ضفر رأسي فأنقضه لغسل الجنابة؟ قال‬،‫يا رسول هللا‬
‫ ثم تفيضين عليك الماء فتطهرين‬،‫حثيات‬
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang memiliki kepangan rambut yang sangat
kuat, apakah aku harus menguraikannya pada saat mandi janabah? Rasul Menjawab: Tidak, cukup
engkau memercikkan air tiga kali ke atas kepalamu, kemudian mengguyurkan air ke atasnya, lalu
engkau menjadi suci" (HR. Muslim)
Ulama dari Madzhab Hambali sepakat dengan pendapat jumhur ulama mengenai tidak wajibnya
mengurai kepangan dan gelungan rambutnya pada saat mandi janabah dari jima', Namun sebagian
yang lain berbeda dalam hal mandi janabah dari Haid dan Nifas.
Dalam hal wanita yang suci dari haid dan nifas, ulama Madzhab Hambali terbagi menjadi dua
pendapat: Sebagian mengatakan bahwa wanita yang suci dari haid dan nifas wajib membuka
gelungan dan kepangan rambutnya pada saat mandi janabah.
Namun, sebagian ulama lain dari madzhab ini mengatakan sebaliknya. Yakni bahwa wanita tidak
wajib menguraikan gelungan dan kepangan rambutnya. Adapun pendapat kedua inilah yang
sepakat dengan pendapat mayoritas ulama.
Mengapa sebagian ulama dari Madzhab Hambali membedakan antara mandi janabah dari jima' dan
dari haid atau nifas?
Sebab mandi janabah dari jima' jauh lebih sering dilakukan. Maka akan memberatkan bagi wanita
jika ia harus membuka gelungan dan kepangan rambutnya berkali-kali, apalagi jika ia menjadi
pengantin baru.
Berbeda dengan wanita yang suci dari haid dan nifas, dimana ini tidak terlalu sering dilakukannya.
Maka, dalam hal ini madzhab Hambali mengharuskan wanita untuk mengurai kepangan dan
gelungannya saat mandi untuk bersuci. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW pada bunda Aisyah
saat beliau baru bersih dari haid:

‫انقضي شعرك وامتشطي‬


"uraikanlah rambutmu, dan bersisirlah"
Disini, Rasul memerintahkan Aisyah agar menguraikan dan menyisir rambutnya terlebih dahulu
sebelum mandi janabah dari haidnya. Memang pada dasarnya, wanita harus membuka kepangan
dan gelungannya pada saat mandi agar air mudah merata sampai pada kulit kepada dan
rambutnya.
Adapun bolehnya untuk tidak membuka kepangan dan gelungan pada saat mandi janabah dari jima'
itu merupakan keringanan untuk menghilangkan masyaqqah (kesulitan) karena lebih sering
dilakukan dari pada mandi dari haid dan nifas.
Walau terbagi menjadi 2 pendapat, namun yang menjadi pendapat resmi dalam madzhab Hambali
adalah bahwa membuka gelungan rambut saat mandi janabah, baik dari jima' maupun haid tidaklah
wajib bagi wanita, melainkan sekedar anjuran saja. Yang penting kulit kepala dan rambutnya dapat
terbasahi oleh air saat mandi.
Hal ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni jilid 1 halaman 226-227 :

‫ وهو الصحيح إن شاء هللا؛ ألن في بعض‬،‫ وهو قول أكثر الفقهاء‬،‫ هذا مستحب غير واجب‬:‫قال بعض أصحابنا‬
‫ صلى هللا عليه وسلم إني امرأة أشد ضفر رأسي فأنقضه للحيضة والجنابة؟‬:‫ألفاظ حديث أم سلمة أنها قالت للنبي‬
‫ وهي زيادة يجب‬. ‫ ثم تفيضين عليك الماء فتطهرين‬،‫ إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثالث حثيات‬،‫ ال‬:‫فقال‬
‫ وهذا صريح في نفي الوجوب‬،‫قبولها‬
"Sebagian ulama dari madzhab kami (Hambali): hal ini (mengurai rambut) sifatnya mustahab
(dianjurkan), dan inilah pendapat mayoritas ulama fiqih, dan inilah pendapat yang benar insyaa
Allah, Sebagaimana hadits dari Ummu Salamah yang isinya:
'Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang memiliki kepangan rambut yang sangat
kuat, apakah aku harus menguraikannya pada saat mandi janabah (dari jima') dan dari haid?
Tidak, cukup engkau memercikkan air tiga kali ke atas kepalamu, kemudian mengguyurkan air ke
atasnya, lalu engkau menjadi suci'.
Lafadz HAID dalam hadits ini adalah tambahan dalil yang wajib untuk diterima, dan hadits tersebut
menjelaskan tidak adanya kewajiban untuk menguraikan rambutnya (saat mandi janabah, baik dari
haid maupun jima')".
Kesimpulan
Sebagian ulama dari madzhab Hambali mewajibkan wanita membuka gelungan dan kepangan
rambutnya pada saat mandi janabah dari Haid dan Nifas. Namun itu bukan menjadi pendapat resmi
madzhab ini.
Adapun pendapat resmi dari madzhab Hambali adalah bahwa membuka gelungan dan kepangan
rambut bagi wanita pada saat mandi janabah itu TIDAK WAJIB, melainkan anjuran saja. Baik mandi
dari Jima' maupun dari Haid dan Nifas. Asalkan air bisa merata di kulit kepala dan rambutnya. Dan
inilah yang disepakati oleh Mayoritas ulama dari empat madzhab.
POTONG RAMBUT DAN KUKU SAAT HAIDH, HARAMKAH
Suatu ketika ada seorang ukhti dalam pengajian para akhwat bertanya tentang hukum larangan
ketika berjanabah. Dia bercerita bahwa waktu di masih di pesantren salaf dulu, dirinya dan santriwati
lainnya dilarang motong rambut dan kuku saat haid. Dan apabila rambut mereka ada yang rontok,
dianjurkan untuk menyimpannya sampai masa haid selesai.

Setelah haid berakhir dan mau mandi besar (janabah), maka rambut yang pernah rontok dan kuku
yang terpotong semasa haid harus disertakan waktu mandi. Maksudnya agar ikut dibersihkan juga
dengan air.

Pertanyaannya, apa sebenarnya hukum memotong rambut dan kuku saat haid? Apa itu wajib,
Sunnah atau bagaimana?

Pertanyaan serupa rupanya juga banyak ditanyakan. Terus terang Penulis belum menemukan dalil
yang sharih (jelas) mengenai larangan memotong rambut dan kuku semasa haid. Demikian pula
tentang wajibnya mencuci rambut dan kuku yang tidak sengaja rontok saat haid, kami belum
menemukan dalil eksplisitnya.
Yang jelas-jelas diwajibkan adalah sebatas mandi janabah, dengan meratakan air ke seluruh
anggota badan setelah masa haid selesai. Adapun rambut dan kuku yang sudah rontok
sebelumnya, maka tidak wajib dicuci, karena sudah bukan bagian dari badan kita saat melakukan
mandi besar.
Bahkan di sisi lain, ternyata Rasulullah SAW membolehkan Ummul Mukminin
Aisyah radhiyallahuanha untuk mengurai dan menyisir rambutnya saat Aisyah sedang mengalami
masa haid. Padahal dengan menyisir rambut, sangat besar kemungkinan tercabutnya rambut. Coba
perhatikan sisir para wanita, biasanya ada saja helai-helai rambut yang menempel.
Izin dari Nabi SAW ini secara tidak langsung menunjukkan bolehnya wanita haidh memotong rambut
dan kuku.
Berikut sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada `Aisyah radhiyallahu `anhaa ketika
haji wada`:

‫انقضي رأسك وامتشطي وأهلي بالحج ودعي العمرة‬


“Uraikanlah rambutmu dan sisirlah, kemudian berniatlah untuk haji dan tinggalkan umrah”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Dari hadits di atas, maka dapat kita pahami bahwa memotong rambut atau kuku saat haidh tidaklah
dilarang. Demikian pula apabila rambut dan kuku kita gugur tidak sengaja saat haidh, maka tidak
pula diwajibkan untuk ikut dicuci saat kita melakukan mandi janabah.
Seorang mufti bernama Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:

… ‫ ويجوز أن تغتسل من الجنابة‬، ‫فالحائض يجوز لها قص أظافرها ومشط رأسها‬


‫فهذا القول الذي اشتهر عند بعض النساء من أنها ال تغتسل وال تمتشط وال تكد‬
‫رأسها وال تقلم أظفارها ليس له أصل من الشريعة فيما أعلم‬
Artinya:
“Wanita yang haidh boleh memotong kukunya dan menyisir rambutnya, dan boleh mandi junub, …
pendapat yang dianut oleh sebagian wanita bahwasanya wanita yang haidh tidak boleh mandi,
menyisir rambutnya, dan memotong rambutnya maka ini tidak ada asalnya (dalilnya) di dalam
syari’at, sebatas pengetahuan saya”.

Anda mungkin juga menyukai