Anda di halaman 1dari 11

Diskusi Ilmiah

KETENTUAN MASA HAID PADA WANITA MU’TAADAH YANG ISTIHADHOH


MENURUT MADZHAB SYAFI’I

Disusun Oleh:
Indana Lazulfa
NIM: 021.016.0400

MA’HAD ‘ALY HIDAYATURRAHMAN


PROGRAM AD-DIRASAH AL-ISLAMIYYAH
JURUSAN FIQIH DAN USHUL FIQIH
SRAGEN
2023
KETENTUAN MASA HAID PADA WANITA MU’TAADAH YANG
ISTIHADHOH MENURUT MADZHAB SYAFI’I

I. PENDAHULUAN
Haid merupakan perkara yang telah Allah Ta’la tetapkan dan sebuah anugerah
besar yang Allah Ta’la berikan kepada anak cucu perempuan nabi Adam sebagai bentuk
cobaan kepada mereka1. Oleh karenanya, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan haid
merupakan salah satu ilmu yang wajib bagi para wanita untuk mempelajarinya2.
Melihat relita yang terjadi, banyak wanita pada zaman sekarang tidak memahami
ilmu yang berkaitan dengan haid sehingga ketika mereka mendapat suatu permasalahan
tentang haid, mereka mengalami kebingungan dalam penyelesaiannya. Apalagi ketika
haid itu terjadi pada wanita mustahadhoh (wanita yang mengeluarkan darah istihadhoh).
Sedangkan hukum diantara kedua darah tersebut memiliki perbedaan baik dari waktu
keluarnya atau sifat darahnya. Lantas kemudian menimbulkan persoalan apakah masa
haidnya ditentukan dengan kebiasaan haidnya atau dengan sifat darahnya. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk membahasnya. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

II. PEMBAHASAN
A. Definisi
1. Haid

Haid secara etimologi adalah bentuk akar dari ‫ َح اَض – ِحَي ْيُض – َح ْيًض ا‬yang
artinya keluar darah haid.3 Dikatakan pula ‫َح اَض‬ yaitu mengalir apabila

melimpah. Apabila ‫َح اَض ْت ا ْر َأُة‬ maka artinya adalah wanita yang mengalir
‫َمل‬
darahnya.4


Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi ilmiah Ma’had ‘Aly Hidayaturrahman pada Ahad, 1
Januari 2023
1
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah wa Al-Ifadhoh, (Surabaya: Al-
Haramain Jaya Indonesia, 2019), hlm. 16.
2
Ibid., hlm. 9.
3
Ahmad Warison Munawir, Al-Munawir Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), cet. ke-14, hlm. 314.
4
Wizarah Al-Auqaf wa Al-Syu’un Al-Islamiyyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,
(Kuwait: Dar Al-Shafwah, 1993), Jilid 18, hlm. 291.

1
Adapun secara terminologi, haid adalah darah yang biasa keluar dari
rahim wanita bagian paling dalam, dalam keadaan sehat tanpa adanya sebab dan
keluar dalam waktu-waktu tertentu.5
2. Mu’taadah

Mu’taadah secara etimologi adalah bentuk pecahan dari – ‫ِاْعَت اَد – َيْع َت اُد‬

‫ِاْع ِتَو اًد ا‬ yang artinya membiasakan.6 Adapun secara terminologi mu’taadah adalah

wanita yang telah melewati masa haid dan suci serta mengetahui kadar haid dan
sucinya.7
3. Istihadhoh
Darah istihadhoh adalah darah yang keluar dari bagian rahim yang paling
dekat dan keluar di selain waktu keluarnya darah haid dan nifas 8 dalam keadaan
tidak sehat.9 Batas minimal keluarnya darah haid adalah satu hari satu malam dan
batas maksimalnya adalah lima belas hari 10 sedangkan batas minimal keluarnya
darah nifas adalah sebentar dan batas maksimalnya adalah enam puluh hari 11.
Darah istihadhoh berkaitan dengan dua keadaan, baik darah tersebut bersambung
dengan haid yang berkelanjutan sampai melebihi batas maksimal haid atau tidak
bersambung. Darah yang tidak bersambung adalah darah fasad.12
Darah istihadhoh merupakan hadas13 yang selalu ada, oleh karena itu dia
tidak dilarang untuk berpuasa dan sholat atau hal-hal yang dilarang ketika haid, 14
akan tetapi ia membatalkan wudhu.15 Wanita yang mengeluarkan darah istihadhoh
disebut mustahadhoh.16
B. Landasan Hukum
1. Al-Qur’an

5
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 12.
6
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir…, hlm. 983.
7
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 79.
8
Ibid., hlm. 18.
9
Abi Abdillah Muhammad bin Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib Al-Mujib fi Syarh Alfadz Al-Taqrib,
(Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 2003), Jilid 1, hlm. 15.
10
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 23.
11
Ibid., hlm.37
12
Muhammad Mahfudz bin Abdillah Al-Tarmasi, Hasyiyah Al-Tarmasi, (Jeddah: Dar Al-Minhaj,
2021), Jilid 2, hlm. 293.
13
Sesuatu yang tidak nampak yang terdapat di tubuh seseorang yang menghalangi kesahan ibadah.
14
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khotib, Al-Iqna fi Alfadzi Abi Suja’, (Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Islamiyyah, 2011), Jilid 1, hlm. 240.
15
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 60.
16
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir…, hlm. 314.

2
Allah Ta’la berfirman,

‫َو َيْسَئُلْو َنَك َعِن اِحمل ْيِۗض ُقْل ُه َو َأًذى َفاْعَتِز ُلوا الِّنَس ۤاء يِف اِحمل ْيِض َو اَل َتْق ُر ُبوُه َّن َح ىَّت َيْطَه ْر ۗن َفِإَذا‬
‫ِب ِحُي‬ ‫ِحُي‬ ‫ِإ‬ ‫ِم‬
‫َتَطَّه ْر َن َفْأُتوُه َّن ْن َح ْيُث َأَم َر ُك ُم ال َّن اَهلل ْيُب الَّتَو ا َنْي َو ْيُب املَتَطِّه ِر ْيَن‬
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang masa haid.
Katakanlah, ‘itu adalah sesuatu yang kotor’. Karena itu jauhilah istri pada
waktu haid dan janganlah kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, campurilah mereka dengan (ketentuan) yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sungguh Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai
orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 222)

Maksud dari kalimat ‫ُق ْل ُه َو َأًذى‬, Abu Ja’far menafsirkan, “katakanlah

kepada yang orang yang bertanya kepadamu di antara sahabatmu wahai Nabi
Muhammad tentang haid bahwasanya haid adalah suatu hal yang menggangu.”
Hal yang menggangu itu adalah apa-apa yang menggangu dengan adanya suatu
hal yang dibenci di dalamnya, bau anyirnya, kotornya serta najisnya. Adapun

Qotadah menafsirkan ‫ أذى‬sebagai hal yang kotor17.

2. Hadits
Dari Ummu Salamah istri Rasulullah salallahu ‘alahi wa salam,
bahwasanya pada zaman Rasulullah terdapat seorang wanita yang terus menerus
mengeluarkan darah. Kemudian Ummu Salamah menanyakan tentangnya kepada
Rasulullah salallahu ‘alahi wa salam, maka Rasulullah bersabada,
‫ِل ْنُظ ِعَد ًة الَّل اِل اَأل اِم اَّليِت َك اَن ِحَت ُض َّن ِم الَّش ِر َأْن ِص ا اَّلِذ َأ ا ا ْلَت ِك‬
‫ْت ْي ُه َن ْه َقْب َل ُي ْيَبَه ْي َص َبَه َف ْتُر‬ ‫َي َو َي‬ ‫َت ْر‬
‫الَّصاَل َة َقْد َذاِلَك ِم الَّش ِر َفِإَذا َّل َذاِلَك ْل ْغَتِس َّمُث ِلَت َتْثِف ِب ٍب َّمُث ِلُت َّل ِف ِه‬
‫َص ْي‬ ‫َف َت ْل ْس ْر َثْو‬ ‫َخ َف‬ ‫َن ْه‬ ‫َر‬
“Hendaknya ia melihat berapa malam dan berapa hari ia haid dari bulan
lalu sebelum ia mengalaminya sekarang. Apabila menyelisihinya maka
hendaknya ia mandi kemudian menutup kemaluannya dengan kain lalu
hendaklah ia sholat dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 274)18

17
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thobari, Tafsir Al-Thobari, (Kairo: Dar As-Salam, 2009), Jilid 2,
hlm. 1185.
18
Imam Al-Hafidz Abi Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiah, 2013), Jilid 1, hlm.111.

3
Imam Al-Khithobi berkata, ini merupakan hukum untuk wanita yang
sebelumnya haidnya diketahui disetiap bulannya (terjadi pada hari-hari sehatnya
sebelum adanya penyakit). Kemudian ia mengalami istihadhoh dimana darahnya
mengalir secara terus menerus. Oleh karena itu, Rasulullah salallahu ‘alahi wa
salam menyuruhnya untuk meninggalkan sholat pada bulan tersebut sesuai
dengan kadar masa haidnya pada bulan sebelumnya sebelum hal tersebut
menimpanya sekarang. Apabila telah sempurna masa haidnya, maka hendaknya
ia mandi dan hukumnya adalah hukum wanita suci, wajib atasnya sholat dan
puasa dan diperbolehkan thowaf apabila ia menunaikan ibadah haji serta
diperbolehkan suami untuk mendatanginya. Hanya saja ia harus menutup
kemaluannya agar darahnya tidak keluar dan selalu berwudhu disetiap hendak
sholat. Ia tidak boleh melaksanakan dua sholat fardhu sekaligus dengan satu
wudhu sebagaimana tayammum.19
C. Ketentuan Mu’taadah
Terdapat beberapa pendapat mengenai penentuan kapan seorang wanita
disebut sebagai mu’taadah:
Pendapat pertama, dan ini adalah pendapat as-shah menurut kesepakatan
ulama Syafi’iyyah yaitu mu’taadah ditetapkan apabila ia telah mengalami satu kali
haid dan suci.
Pendapat kedua, tidak ditetapkan sebagai mu’taadah kecuali ia telah
mengalami dua kali haid dan suci.
Pendapat ketiga, tidak ditetapkan sebagai mu’taadah kecuali ia telah
mengalami tiga kali haid dan suci.
Pendapat keempat, mubtadaah ditetapkan dengan satu kali haid dan suci dan
mu’taadah tidak ditetapkan kecuali sudah dua kali haid dan suci.20
Para ulama Syafi’iyyah bersepakat terhadap pendapat pertama karena terdapat
hadits tentang Ummu Salamah yang meminta fatwa tentang seorang wanita yang
mengalami istihadhoh. Maka Rasulullah mengembalikannya kepada yang dialaminya
pada bulan sebelum terjadinya istihadhoh.21 Apabila seorang wanita memiliki
kebiasaan haid 5 hari disetiap bulannya kemudian disatu bulan tiba-tiba ia mengalami
19
Imam Syamsul Al-haq Al-Adziim Aabadi, ‘Aun Al-Ma’bud, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005), Jilid 1,
hlm. 303-304.
20
Abi Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, (Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Islamiah, 2011), Jilid 1, hlm. 334.
21
Abi Ishaq Ibrahim bin Ali Al-Syairozi, Al-Muhadzab fil Fiqhi Al-Syafi’i, (Kairo: Syirkah Al-Qudus,
2012), hlm. 104.

4
haid 6 hari, setelah itu pada bulan selanjutnya ia mengeluarkan darah lebih dari 15
hari, maka untuk menentukan haidnya mengikuti kebiasaan terakhirnya yaitu 6 hari
karena kebiasaan ditetapkan dengan sekali.22
Apabila kebiasaannya berbeda-beda dan berurutan maka ditetapkan dengan 2
kali23 dan paling sedikit mencapai 6 bulan.24 Seperti halnya seorang wanita haid pada
bulan pertama selama 3 hari, pada bulan kedua 5 hari, pada bulan ketiga 7 hari, pada
bulan keempat 3 hari, pada bulan kelima 5 hari, dan pada bulan keenam 7 hari
kemudian pada bulan ketujuh ia mengalami istihadhoh, maka untuk menentukan
masa haidnya mengikuti bulan pertama dan keempat yaitu 3 hari. Adapun jika ia juga
mengalami istihadhoh di bulan kedelapan, maka untuk menentukan masa haidnya
mengikuti haid bulan kedua dan kelima yaitu 5 hari dan apabila ia juga mengalami
istihadhoh dibulan kesembilan, berarti masa haidnya mengikuti haid bulan ketiga dan
keenam.25
Akan tetapi apabila kebiasaannya tidak berurutan kemudian ia mengalami
istihadhoh dibulan berikutnya, untuk menentukan masa haid maka ia mengikuti haid
bulan sebelumnya.26
Kebiasaan dapat ditentukan dengan tamyiz pada bulan sebelumnya, maka
apabila seorang wanita mengeluarkan darah hitam selama 3 hari atau 4 hari diawal
bulan kemudian mengeluarkan darah merah melebihi 15 hari, maka darah hitam
adalah haidnya. Pada bulan selanjutnya ia mengeluarkan darah yang tidak jelas
kekuatan dan kelemahannya sampai melebihi batas maksimal haid, maka untuk
menentukan darah haid mengikuti jumlah darah hitam pada bulan sebelumnya 27.
Kebiasaan seorang wanita tidak hanya meliputi masa haid saja, akan tetapi
bersamaan dengan masa suci yang disebut dengan siklus.28
D. Ketentuan Mustahadhoh
Seorang wanita dihukumi haid apabila ia mengeluarkan darah pada hari-hari
ia haid29, namun apabila darah itu keluar lebih dari batas maksimal haid yaitu lima
22
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 82.
23
Ibid.
24
Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah, Nihayatul Muhtaj ila Syarhi Al-Minhaj, (Beirut: Dar Al-Fikri,
2019), Jilid 1, hlm. 403.
25
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khotib, Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Maani Alfadzi Al-
Minhaj, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Jilid 1, hlm. 173.
26
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 83.
27
Abi Husain Yahya bin Abi Khoir Salim Al-Imroni, Al-Bayan fii Madzhab Al-Syafi’i, (Jedah: Dar Al-
Minhaj, 2014), Jilid 1, hlm. 369.
28
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 84.
29
Ibid., hlm. 34.

5
belas hari maka keadaan perempuan ini disebut mustahadhoh yang bercampur
dengan haid, baik ia mubtadaah atau mu’taadah.
Jika seorang wanita mengalami haid dalam batas minimal haid atau kurang
dari batas maksimal haid kemudian darah itu berhenti, lalu darah kembali keluar
setelah hari yang kelima belas maka wanita ini tidak dihukumi wanita mustahadhoh
akan tetapi wanita yang kurang masa sucinya.30 Apabila seorang wanita melihat
darah haid 3 hari, kemudian darah tersebut berhenti sampai 12 hari, lalu ia melihat
darah lagi selama 3 hari, maka darah yang keluar di 3 hari terakhir adalah darah
fasad31 sebagai pelengkap masa minimal suci yaitu lima belas hari.32
E. Ketentuan Masa Haid Pada Wanita Mu’taadah Yang Istihadhoh
Seorang wanita yang telah mengalami masa haid dan suci serta ia mengetahui
kadar haid dan sucinya kemudian ia mengalami istihadhoh, maka ia mempunyai dua
keadaan:
1. Mu’taadah Mumayyizah
Mu’taadah adalah wanita yang telah mengalami masa haid dan masa suci
dan mengetahui kadar haid dan sucinya. Mumayyizah adalah wanita yang bisa
melihat perbedaan antara darah kuat dan lemah serta terpenuhinya syarat
tamyyiz.33 Pada kondisi ini maka darah yang kuat adalah haid dan darah yang
lemah adalah istihadhoh.34
Adapun syarat tamyiz atau syarat untuk menghukumi darah yang kuat
adalah darah haid ada empat.
a. Hendaknya darah yang kuat tidak kurang dari batas minimal masa haid yaitu
satu hari satu malam.
b. Hendaknya darah yang kuat tidak lebih dari batas maksimal masa haid yaitu
lima belas hari.
c. Hendaknya darah yang lemah tidak kurang dari masa suci yaitu lima belas
hari apabila darahnya berkelanjutan, jika tidak maka ini tidak menjadi syarat.
d. Hendaknya darah yang lemah berkesinambungan, maksudnya tidak diselingi
dengan darah yang kuat.35
30
Ibid., hlm. 66.
31
Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar, Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj, (Mesir: Dar Al-
Hadits, 2019), hlm. 246.
32
Abdurrahman bin Abdllah bin Abdul Qadir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 67.
33
Ibid., hlm. 79.
34
Abi Zakariya Yahya bin Syarfi Al-Nawawi, Minhaju Al-Tholibin wa Umdatul Muftin, (Jakarta: Dar
Al-Kutub Al-Islamiyah, 2013), hlm. 23.
35
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 70.

6
Apabila seorang wanita memiliki kebiasaan haid 5 hari dari pertama kali
ia haid, kemudian dibeberapa bulan ia melihat darah hitam selama 10 hari pada
awal bulan dari suatu bulan. Setelah itu, ia melihat darah merah sampai akhir
bulan, maka ia dihukumi dengan tamyyiz untuk menenetukan masa haidnya yaitu
10 karena darah yang kuat adalah haid karena tamyyiz adalah tanda haid yang
berlaku pada bulan istihadhoh. Oleh karena itu, kembali kepada hukum tamyyiz
lebih utama.36
Hukum tamyyiz dapat digunakan untuk menghukumi darah haid pada
mu’taadah mumayyizah dengan syarat, hendaknya antara kebiasaanya dan darah
tamyyiz tidak diselingi minimal masa suci yaitu lima belas hari. Apabila diselingi
maka darah yang kuat yang datang setelah masa suci adalah haid yang baru.
Artinya, apabila kebiasaan seorang wanita adalah 5 hari diawal bulan kemudian
ia melihat darah merah 20 hari, setelah itu melihat darah hitam selama 5 hari,
maka wanita ini adalah wanita mustahadhoh untuk menentukan darah haidnya
mengikuti kebiasaannya yaitu 5 hari di awal bulan kemudian 15 hari setelahnya
yang berupa darah merah adalah suci dan 5 hari setelahnya yang berupa darah
hitam adalah haid yang baru.37
2. Mu’taadah Ghoiru Mumayyizah
Mu’taadah Ghoiru mumayyizah adalah seorang wanita yang telah
mengalami masa haid dan suci serta mengetahui kadar dari keduanya kemudian
ia melihat darah dengan satu sifat atau banyak sifat akan tetapi salah satu syarat
dari syarat-syarat tamyyiz belum terpenuhi, maka untuk menentukan darah
haidnya mengikuti kebiasaannya dalam masa haid dan sucinya.38
Wanita yang mengalami keadaan seperti ini, ia memiliki dua keadaan.
a. Kebiasaannya tidak berbeda-beda dan berulang secara terus menerus, maka
masa haidnya mengikuti kebiasaannya dalam kadar masa haidnya, sucinya,
dan waktunya. Apabila tidak terulang, maka yang paling benar adalah
kebiasaannya di tetapkan dengan sekali.39

36
Abi Husain Yahya bin Abi Khoir Salim Al-Imrani, Al-Bayan fii…, hlm. 370.
37
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 79-80.
38
Ibid., hlm. 81.
39
Abi Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf Al-Nawawi, Raudhotu Al-Tholibin, (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilamiyah, 2013), Jilid 1, hlm. 257.

7
b. Kebiasaannya berbeda-beda secara berurutan,40 maka kebiasaannya
ditetapkan dengan dua kali41 dan paling sedikit enam bulan.42 Apabila tidak
berurutan maka mengikuti masa haid bulan sebelumnya43.

III. PENUTUP
Berdasarkan pemaparan di atas mengenai masa haid pada wanita mu’taadah yang
istihadhoh terkhususnya Madzhab Syafi’i, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
menentukan masa haid wanita mu’taadah yang istihadhoh berkaitan dengan dua keadaan
wanita yaitu mumayyizah dan ghoiru mumayyizah. Apabila mumayyizah, maka masa
haidnya dihukumi dengan tamyyiz yaitu menjadikan darah yang kuat adalah haid dan
darah yang lemah adalah istihadhoh dengan syarat tidak diselingi dengan batas minimal
suci yaitu lima belas hari.44 Apabila ia ghoiru mumayyizah, maka masa haidnya
dikembalikan kepada kebiasaannya dalam masa haid dan sucinya.45 Wallahu a’lam bish
showab.

40
Ibid.
41
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 82.
42
Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah, Nihayatul Muhtaj…, hlm. 403.
43
Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-Saaqof, Al-Ibanah…, hlm. 83.
44
Ibid., hlm. 79.
45
Ibid., hlm. 81.

8
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Aabadi, Imam Syamsulhaq Al-Adziim, ‘Aun Al-Ma’bud, Kairo: Darul Hadits, 2005.

Asy’ats, Abi Dawud Sulaiman bin, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah,
2013.

Ghozi, Abi Abdillah Muhammad bin Qosim Al-, Fathul Qorib Al-Mujib fii Syarhi Alfadzi Al-
Taqrib, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 2003.

Hajar, Ahmad bin Muhammad bin Ali bin, Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj, Mesir:
Dar Al-Hadits, 2019.

Hamzah, Abi Al-Abbas Ahmad bin, Nihayatul Muhtaj ila Syarhi Al-Minhaj, Beirut: Dar Al-
Fikri, 2009.

Imrani, Abi Husain Yahya bin Abi Khoir Salim Al-, Al-Bayan fii Madzhab Al-Syafi’i, Jedah:
Dar Al-Minhaj, 2014.

Islamiyyah, Wizaratul Auqaf wa Al-Syu’un Al-, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwitiyyah,


Kuwait: Dar Al-Shafwah, 1993.

Khotib, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-, Al-Iqna fii Halli Alfaadzi Abi Suja’,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2011.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab Indonesia, Surabaya:


Pustaka Progressif, 1997.

Nawawi, Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarof Al-, Al-Majmu’ Syarh Al-
Muhadzab, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2011.

________, Minhaju Al-Tholibin wa Umdatul Muftin, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah,


2013.

________, Raudhotu Al-Tholibin, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2013.

Saaqof, Abdurrahman bin Abdillah bin Abdil Qodir Al-, Al-Ibanah wa Al-Ifadhoh,
Surabaya:
Al-Haramain Jaya Indonesia, 2019.

Syairozi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali Al-, Al-Muhadzab fil Fiqhi Al-Syafi’i, Kairo: Syirkah
Al-Qudus, 2012.

Tarmasi, Muhammad Mahfudz bin Abdillah Al-, Hasyiyah Al-Tarmasi, Jedah: Dar Al-Salam,
2013.

Thobari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Al-, Tafsir Al-Thobari, Kairo: Dar Al-Salam, 2019.

9
Pertanyaan:
1. Bagaimana sholatnya wanita mustahadhoh dalam safar?
Jawaban: Dalam madzab Syafi’i ada yang berpendapat sholat wanita mustahadhoh yang
sedang safar dengan menjama’ kedua sholat maka ketika ingin melaksanakan sholat yang
pertama, ia harus membersihkan farajnya, membasuh dengan air, mengganti pembalut dan
penyumbat, kemudian berwudhu, setelah berwudhu ia harus segera melaksanakan sholat
tanpa terjeda apapun kecuali hal-hal yang berkaitan dengan maslahat sholat seperti menutup
aurat, sholat rowatib, menunggu iqomah dll. Kemudian setelah melakukan sholat yang
pertama, sebelum melaksanakan sholat yang kedua. Ia harus memeriksa pembalutnya apakah
darah yang keluar banyak atau sedikit dan juga memperhatikan posisi pembalut. Jika
darahnya banyak maka ia harus mengganti pembalut dan melakukan hal-hal seperti yang
dilakukan sebelum sholat yang pertama. Jika darahnya sedikit maka tidak masalah untuk
melanjutkan sholat. Akan tetapi jika pembalutnya bergeser (maju ke depan atau turun ke
belakang), maka ia harus menggantinya dan membersihkan farajnya serta memperbarui
wudhunya baik darahnya banyak atau sedikit.

2. Bagaimana menentukan darah istihadhoh?


Jawaban: Dalam madzhab Syafi’i, untuk menentukan darah istihadhoh maka harus melihat
waktu keluarnya, jika waktu keluarnya kurang satu hari satu malam atau melebihi lima belas
hari atau waktu suci dari haid sebelumnya kurang dari lima belas hari, maka ia adalah darah
istihadhoh. Kemudian jika darah istihadhohnya bersambung dengan haid maka untuk
menentukan darah istihadhohnya dilihat dari warna atau kebiasaan sesuai dengan keadaan
wanita tersebut apakah sudah pernah mengalami haid atau belum.

3. Apakah darah yang keluar ketika hamil adalah darah haid atau darah istihadhoh?
Jawaban: Darah yang keluar ketika hamil bukanlah darah haid tapi darah yang dihukumi
dengan darah haid.

10

Anda mungkin juga menyukai