Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar belakang Pembahasan fiqhi kita pada edisi ini sudah sampai pada bab terakhir dari kitab tentang thaharah (bersuci), yaitu bab tentang haid, nifas dan istihadhah. Bab ini termasuk bab terpenting dalam masalah thaharah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abidin -rahimahullah- dalam Radd Al-Muhtar (1/282), Mengetahui masalah-masalah yang ada di dalamnya termasuk dari perkara-perkara penting yang terbesar, karena banyak sekali hukum-hukum yang dibangun dari masalah (haid) ini. Karenanya wajib atas seorang wanita atau yang bertanggung jawab terhadapnya untuk mempelajari masalah haid ini. Asy-Syarbini -rahimahullahberkata dalam Mughni Al-Muhtaj (1/120), Wajib atas wanita untuk mempelajari ilmu yang dia butuhkan berupa hukum-hukum haid, istihadhah, dan nifas. Kalau suaminya berilmu tentangnya maka dia harus mengajari istrinya, dan kalau tidak maka boleh bagi wanita tersebut untuk keluar rumah guna bertanya kepada ulama, bahkan itu wajib atasnya. Dan diharamkan bagi suaminya (dalam hal ini) untuk melarangnya keluar, kecuali kalau dia (suami) yang bertanya lalu mengabarkan jawabannya kepada istrinya sehingga istrinya tidak perlu keluar.

Dan sudah masyhur di kalangan ulama bahwa bab haid ini termasuk dari bab tersulit dalam bab-bab fiqhi, sampai-sampai masyhur dari Imam Ahmad rahimahullah- bahwa beliau berkata, Saya duduk mempelajari masalah haid selama 9 tahun sampai akhirnya saya bisa memahaminya. Karenanya untuk mendekatkan pemahaman masalah ini kepada kaum muslimin sekalian -terkhusus kaum muslimah-, kami mencoba untuk meringkas masalah-masalah yang terdapat dalam bab haid ini, wallahul muwaffiq.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa darah yang keluar dari kemaluan wanita ada tiga jenis: Darah haid, darah nifas, dan darah istihadhah.

B. Rumusan maslah 1. Apa yang dimaksud dengan haid 2. Bagaimana ciri-ciri haid 3. Bagaimana penentuan masa haid

C. Tujuan 1. Mengetahui definisi tentang haid 2. Mengetahui cirri-ciri haid 3. Mengetahui penentuan masa haid

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi haid Haid secara bahasa bermakna mengalir.Adapun secara istilah, Al-Bahuti berkata, Dia adalah darah kebiasaan wanita yang berasal dari dasar rahim, pada waktu-waktu tertentu. (Ar-Raudh Al-Murbi -Hasyiah Ibni Qasim-: 1/370) Dan sebagian ulama ada yang menambahkan definisinya: Bukan dikarenakan sebab melahirkan.Ucapan Al-Bahuti, Darah kebiasaan, maka bukan tergolong haid, darah yang keluar karena adanya penyakit dan semacamnya.Kalimat dalam rahim, menunjukkan darah istihadhah bukanlah haid karena dia berasal dari urat yang pecah yang bernama al-adzil.Pada waktu-waktu tertentu maksudnya: Darah haid ini keluar pada waktu-waktu tertentu saja, yang mana waktu tertentu tersebut sudah diketahui oleh setiap wanita dan mereka menamakannya sebagai adat keluarnya haid. Bukan dikarenakan sebab melahirkan, keluar darinya darah nifas, karena dia keluar akibat melahirkan.[Lihat: Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa AnNifas wa Al-Istihadhah hal. 13-14]

B. Ciri-ciri darah haid Dia adalah darah tebal yang keluar dari rahim, berwarna hitam lagi busuk baunya, dan setelah keluar tetap dalam keadaan cair.Ciri-ciri di atas harus diperhatikan dengan baik, karena akan diterangkan bahwa darah istihadhah mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengannya. Sementara hukum-hukum haid dan istihadhah itu berbeda. Karenanya barangsiapa yang tidak bisa membedakan antara kedua jenis darah ini maka dia akan terjatuh dalam kesalahan dalam memberikan hukum pada wanita yang terkena haid atau istihadhah.

Najisnya Darah Haid. Darah haid adalah najis berdasarkan firman Allah Taala, Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran (najis). (QS. Al-Baqarah: 222). Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah bersabda tentang pakaian yang terkena darah haid, Hendaknya dia mengeruknya lalu menggosoknya dengan air lalu menyiramnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Asma` bintu Abi Bakr) Dan ini jelas menunjukkan najisnya. Dan An-Nawawi menukil ijma kaum muslimin akan najisnya darah haid.

C. Penentuan masa haid Ada dua perkara yang dijadikan sandaran dalam menentukan masa haid: 1. Adat. Yaitu lama biasanya darah haid keluar dari seorang wanita setiap bulannya. Misalnya kalau setiap bulan darah haidnya keluar selama 7 hari, maka berarti adat haidnya 7 hari. Kalau biasanya haid keluar setiap akhir bulan selama sekitar 5 atau 6 hari, maka berarti adat dia setiap akhir bulan berkisar antara 5 atau 6 hari. Demikian seterusnya.

Dalilnya adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Jahsy, akan tetapi tinggalkanlah shalat selama hari-hari yang biasanya kamu haid pada hari-hari itu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah) Perlu diketahui bahwa suatu durasi dikatakan dia sebagai adat dari wanita tersebut kalau durasi itu berulang selama tiga kali berturut-turut. Karenanya wanita yang pertama kali haid belum bisa diketahui berapa adatnya, sampai dilihat kapan darahnya keluar pada bulan pertama haidnya. Kalau pada bulan kedua dan ketiga, darah haid keluar pada waktu yang sama pada bulan pertama maka barulah dikatakan itu adalah adat haidnya, wallahu alam. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah, Asy-

Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.

2. Tamyiz. Yaitu dengan memperhatikan darah yang keluar dari kemaluannya. Kalau yang keluar sesuai dengan ciri-ciri haid yang telah disebutkan di atas maka berarti dia sekarang terkena haid. Tapi kalau tidak sesuai dengan ciri-ciri haid maka berarti dia tetap suci walaupun ada darah yang keluar.

Dalilnya adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Abi Hubaisy yang terkena istihadhah, Itu hanyalah urat yang pecah dan bukan darah haid. Kalau darah haid sudah datang maka tinggalkanlah shalat dan kalau dia sudah berlalu maka cucilah darah darimu lalu shalatlah. (HR. Al-Bukhari no. 306 dan Muslim no. 333)

Dalah hadits ini beliau menjadikan tanda datangnya haid adalah dengan datangnya darah yang sesuai dengan ciri-ciri haid. Tanda Datang dan Selesainya Haid. Datangnya haid ditandai dengan keluarnya darah hitam lagi busuk, pada waktu-waktu yang biasanya dia haid di situ. Adapun selesainya haid, maka bisa diketahui dengan dua cara: 1. Keluarnya al-qashshah al-baidha`, yaitu cairan putih yang keluar dari kemaluannya di akhir masa adat haid. Aisyah -radhiallahu anha- berkata kepada para wanita, Janganlah kalian tergesa-gesa (mandi suci) sampai kalian melihat al-qashshah al-baidha`, yang dia maksudkan adalah tanda suci dari haid. (HR. Malik hal. 59 dan Abdurrazzaq: 1/302) 2. Dengan al-jufuf, yaitu seorang wanita meletakkan kain katun atau yang semacamnya ke dalam kemaluannya, kalau kainnya kering maka berarti dia telah suci. Durasi Minimal dan Maksimal Masa Haid.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini. Ibnu Al-Mundzir berkata, Ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa masa haid itu tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya. Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Quran, Sunnah dan logika. Selesai ucapan Asy-Syaikh. Jadi, tidak ada durasi minimal dan maksimal masa haid, akan tetapi semua ini dikembalikan kepada adat kebiasaan seorang wanita. Dalilnya adalah firman Allah Taala, Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci(QS. Al Baqarah: 222).

Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya.

Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut. Ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib, Imam Malik, Maimun bin Mihran, Al-Auzai dan Daud AzhZhahiri, serta dikuatkan pula oleh Imam Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiah dan Ibnu Rajab. Usia Minimal dan Maksimal Wanita Terkena Haid. Tidak ada keterangan dari Al-Kitab dan As-Sunnah dalam masalah ini, maka yang benarnya dikembalikan kepada adat kebiasaan seorang wanita. Kapan ada darah yang keluar dari kemaluannya pada masa-masa yang

biasanya dia haid di situ dan ciri-cirinya adalah darah haid, maka itu dihukumi sebagai haid, berapapun usia wanita tersebut.Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin berkata, Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya. Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut? Ad-Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini, mengatakan: Hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu. Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah Taala dan Rasul-Nya mengaitkan hukumhukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut. Ini juga adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Al-Mundzir, An-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahumullah.

Usia Minimal dan Maksimal Wanita Terkena Haid.


Tidak ada keterangan dari Al-Kitab dan As-Sunnah dalam masalah ini, maka yang benarnya dikembalikan kepada adat kebiasaan seorang wanita. Kapan ada

darah yang keluar dari kemaluannya pada masa-masa yang biasanya dia haid di situ dan ciri-cirinya adalah darah haid, maka itu dihukumi sebagai haid, berapapun usia wanita tersebut. Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin berkata, Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya. Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut? Ad-Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini, mengatakan: Hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjad i acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu. Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah Taala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut. Ini juga adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Al-Mundzir, An-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumullah-. Hukum ash-shufrah (cairan kuning yang bercampur merah) dan al-kudrah (cairan keruh yang menyerupai nanah). Dari Ummu Athiyah -radhiallahu anha- dia berkata, Kami (di zaman Nabi) sama sekali tidak menghukumi ash-shufrah dan al-kudrah sebagai haid, kalau keduanya keluar setelah masa suci. (HR. Abu Daud no. 307, An-Nasai: 1/186 dan Ibnu Majah no. 647)

Maka hadits ini tegas menunjukkan bahwa: Kalau keduanya keluar pada masa adat haid maka keduanya dihukumi haid. Tapi kalau keluarnya setelah berlalunya masa adat haid, maka dia tidak dianggap haid sama sekali, bahkan dia suci dan tetap wajib mengerjakan shalat serta kewajiban lainnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya: Aisyah -radhiallahu anha-, Said bin AlMusayyab, Atha`, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Abu Hanifah, Ishaq bin Rahawaih, Abdurrahman bin Mahdi dan selainnya.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Karenanya wajib atas seorang wanita atau yang bertanggung jawab terhadapnya untuk mempelajari masalah haid ini. Asy-Syarbini -rahimahullahberkata dalam Mughni Al-Muhtaj (1/120), Wajib atas wanita untuk mempelajari ilmu yang dia butuhkan berupa hukum-hukum haid, istihadhah, dan nifas. Kalau suaminya berilmu tentangnya maka dia harus mengajari istrinya, dan kalau tidak maka boleh bagi wanita tersebut untuk keluar rumah guna bertanya kepada ulama, bahkan itu wajib atasnya. Dan diharamkan bagi suaminya (dalam hal ini) untuk melarangnya keluar, kecuali kalau dia (suami) yang bertanya lalu mengabarkan jawabannya kepada istrinya sehingga istrinya tidak perlu keluar.

Dan sudah masyhur di kalangan ulama bahwa bab haid ini termasuk dari bab tersulit dalam bab-bab fiqhi, sampai-sampai masyhur dari Imam Ahmad rahimahullah- bahwa beliau berkata, Saya duduk mempelajari masalah haid selama 9 tahun sampai akhirnya saya bisa memahaminya. Karenanya untuk mendekatkan pemahaman masalah ini kepada kaum muslimin sekalian -terkhusus kaum muslimah-, kami mencoba untuk meringkas masalah-masalah yang terdapat dalam bab haid ini, wallahul muwaffiq.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa darah yang keluar dari kemaluan wanita ada tiga jenis: Darah haid, darah nifas, dan darah istihadhah

10

B. Saran Segala puji bagi Allah SWT,yang karena karunianya,akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah kami.semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmatnya kepada kami untuk membuat karya yang lebih baik untuk waktu-waktu yang akan datang. Kami berharap sekali-kritik dan saran dari para pembanca sangat kami harapkan.semoga dapat menjadi khazana baru buat kami untuk karya kami berikutnya.

11

DAFTAR PUSTAKA

http://al-atsariyyah.com/mengenal-hukum-hukum-haid-1.html http://al-atsariyyah.com/mengenal-hukum-hukum-haid-2.html http://salafy-indonesia.web.id/mengenal-hukum-hukum-haid-1-hukum-haid-tidakteraturbab-haidtentang-haidhukum-menstruasiapa-penyebab-sering-mengeluarkandarah-sehabis-campur-665.htm

iii12

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur hanya untuk Allah SWT. Yang telah memberikan taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam senantiasa dicurahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan segenap keluarganya serta orang-orang yang meneruskan risalahnya sampai akhir zaman. Makalah yang berjudul masa waktu haida dalam ketentuan syarat disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kebaikan makalah ini sangat diharapkan dari para pembaca. Akhir kata, semoga karya tulis sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, April 2013

Penulis

i 13

MAKALAH
FIQH
MASA

WAKTU HAID DALAM KETENTUAN SYARAT

Di susun oleh : Radati 2103526840 Dosen pembimbing :

QOLBI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU (IAIN)

2013

14

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2 C. Tujuan................................................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian haid .................................................................................. 3 B. Cirri-ciri darah haid ............................................................................ 3 C. Penentuan masa haid .......................................................................... 4

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 10 B. Saran ................................................................................................... 11 DAFTAR PUSTAKA

ii 15

Anda mungkin juga menyukai