Anda di halaman 1dari 8

HAID

Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim seorang
wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena
adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah
ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang
kental, keluar dalam jangka waktu tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau
tidak sedap.

Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita
kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan rasa sakit pada
bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang lama haidnya 3 hari, ada pula
yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada
pula yang langsung berupa darah merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus
dikenali oleh setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah
akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang keluar
kemudian.

Cara mengetahui kesucian haid adalah dengan meletakkan kapas di tempat keluarnya darah. Jika
kapas tersebut bersih maka haid dianggap telah berhenti, tapi jika masih ada warna kekuningan
atau keruh maka dianggap belum selesai.

5 Hari 7 Hari 18 Hari 5 Hari 7 Hari 18 Hari

Suci Haid Suci Suci Haid Suci

BULAN PERTAMA BULAN KEDUA


Tabel: Contoh siklus haid dalam dua bulan

Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan
berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca Al-
Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan
menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh
melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

ُ ‫ط َّه ْرنَ فَأْتُوه َُّن ِم ْن َحي‬


‫ْث‬ ْ َ‫ى ي‬
َ َ ‫ط ُه ْرنَ فَإِذَا ت‬ ِ ‫ساء فِي ْال َم ِح‬
َ َّ‫يض َوالَ ت َ ْق َربُوه َُّن َحت‬ ِ ‫َويَ ْسأَلُونَكَ َع ِن ْال َم ِح‬
َ ِِّ‫يض قُ ْل ه َُو أَذًى فَا ْعت َِزلُواْ الن‬
ِّ ‫أَ َم َر ُك ُم‬
ُ‫للا‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran
(najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya
(kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila
mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

ِ‫ص ََلة‬
َّ ‫اء ال‬
ِ ‫ض‬َ َ‫ص ْو ِم َو َال نُؤْ َم ُر ِبق‬
َّ ‫اء ال‬
ِ ‫ض‬َ َ‫ُصيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْ َم ُر ِبق‬
ِ ‫َكانَ ي‬

“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)

Batasan Haid :

 Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas
maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah Istihadhah dan
wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat.
 Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa tidak ada
batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan pendapat inilah
yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh sebagian besar ulama,
termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil
tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa haid :

Firman Allah Ta’ala.

ْ ‫يض ۖ َو َال ت َ ْق َربُوه َُّن َحت َّ ٰى َي‬


َ‫ط ُه ْرن‬ ِ ‫سا َء فِي ْال َم ِح‬ ِ ‫َو َي ْسأَلُونَكَ َع ِن ْال َم ِح‬
َ ِِّ‫يض ۖ قُ ْل ه َُو أَذًى فَا ْعت َِزلُوا الن‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh
sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu
mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir setelah
suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan tergantung pada jumlah hari
tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau patokannya adalah keberadaan darah haid
itu sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika
tidak dijumpai darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid
padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada
batasan hari tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang
menjelaskan tentang hal ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Pada prinsipnya, setiap darah yang
keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu
istihadhah.”
Berhentinya haid :

Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih (seperti
keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya lendir putih ini,
maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina.
Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib mandi dan
shalat.

Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu


‘anhadengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah
mengatakan :

َّ َ‫الَ ت َ ْع َج ْلنَ َحتَّى ت ََريْنَ الق‬


َ ‫صةَ ال َب ْي‬
‫ضا َء‬

“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat
dalam Shahih Bukhari).

NIFAS

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah ini
tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya
proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah
darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun
sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada
dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan
rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses
persalinan, maka itu bukan nifas.

Sebuah darah tidak dapat disebut darah nifas kecuali jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Darah itu keluar setelah rahim kosong dari janin.
2. Darah itu keluar sebelum 15 hari setelah kosongnya rahim.
3. Jika darah itu terpotong maka jarak bersih antara darah terakhir dengan darah setelahnya tidak
lebih dari 15 hari. Jika tidak maka darah kedua dianggap darah haid.
4. Darah itu tidak lebih dari 60 hari.
Masa terpendek darah nifas adalah sekejab saja. Rata-rata kemunculan adalah 40 hari, dan paling
lama 60 hari. Semua ini berdasarkan penelitian terhadap kebiasaan perempuan.
Batasan Nifas
Jika darah nifas terputus lalu muncul darah lagi setelah beberapa waktu maka:
1. Jika darah kedua muncul sebelum hari ke-60 hari sejak melahirkan maka:
Jika jarak putus (masa suci) lebih dari 15 hari maka darah kedua dinyatakan sebagai haid.
Jika jarak putus itu kurang dari 15 hari maka dianggap sebagai darah nifas.
2. Jika darah kedua muncul setelah 60 hari sejak melahirkan maka:
Jika darah nifas terhenti setelah genap 60 hari meskipun hanya sebentar maka darah yang muncul
setelahnya dinyatakan sebagai darah haid.
Jika darah nifas tidak berhenti (terus mengalir) maka darah setelah hari ke-60 dianggap sebagai
darah istihadah (darah penyakit).

Perbandingan antara darah nifas dan haid


HAID NIFAS
1 Masa terpendek: sehari semalam (24 jam) Masa terpendek: sekejap

2 Masa terlama: 15 hari Masa terlama: 60 hari

3 Masa rata-rata: 6-7 hari Masa rata-rata: 40 hari

Masalah yang berkaitan dengannya: balig,


4 iddah, dan istibra` Tidak berkaitan dengan masalah-masalah itu

Kewajiban shalat dimungkinkan untuk Kewajiban shalat tidak dimungkinkan gugur


5 gugur dalam masa terpendek dalam masa terpendek
Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid, yaitu
tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suaminya
pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh
mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti
komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya
kecuali pada kemaluannya.

Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid. Namun,
berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah nifas ini lebih
banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan
hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah haid.

Darah Istihadah
Darah istihadah (darah penyakit) adalah darah yang muncul setelah masa terlama dari haid atau
nifas. Atau darah istihadah adalah darah yang keluar pada selain waktu haid atau nifas.
Diriwayatkan oleh Aisyah RA bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy RA mengalami darah
istihadhah. Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya:
‫ فَإِنَّ َما ه َُو ِع ْر ٌق‬،‫ص ِلِّي‬ َّ ‫ فَإِذَا َكانَ ذَلِكَ فَأ َ ْم ِس ِكي َع ِن ال‬،‫ف‬
َّ ‫ فَإِذَا َكانَ ْاْلخ َُر فَت ََو‬،ِ‫ص ََلة‬
َ ‫ َو‬،‫ضئِي‬ ِ ‫ِإ َّن دَ َم ْال َحي‬
ُ ‫ْض دَ ٌم أَس َْود ُ يُ ْع َر‬
“Sesungguhnya darah haid adalah darah hitam yang sudah diketahui. Jika datang itu maka
tahanlah dari melaksanakan shalat. Jika yang terlihat adalah yang lain maka berwudhulah dan
laksanakanlah shalat, karena sesungguhnya darah itu hanya darah yang mengalir keluar.” (HR.
Abu Daud dan Nasa`i).
Terdapat beberapa istilah yang biasa dipakai dalam masalah istihadah, yaitu:
1. Mubtada`ah, yaitu perempuan yang baru pertama kali mendapatkan haid.
2. Mumayyizah, yaitu perempuan yang mampu membedakan warna maupun sifat darah yang
terlihat pada dirinya.
Warna darah haid ada lima sesuai dengan tingkat kepekatannya, yaitu hitam, merah, orange
(merah dan kuning) kuning dan abu-abu.
Sifat darah haid dibagi menjadi dua, yaitu kuat dan lemah. Darah yang kuat dilihat dari tiga hal,
yaitu kekentalan, bau dan kepekatan warna. Sementara darah yang lemah adalah kebalikannya.
Suatu darah dinyatakan juga sebagai darah kuat jika memiliki lebih banyak sifat kuat. Misalnya
darah yang memiliki tiga sifat lebih kuat dari yang memiliki dua sifat, seperti hitam kental
berbau lebih kuat dari hitam kental tidak berbau. Jika dua darah memiliki derajat yang sama,
seperti hitam tidak kental dan merah kental, maka darah yang muncul pertama adalah darah haid.
Dalam membedakan sifat darah ini harus memenuhi beberapa syarat berikut:
 Sifat kuat tidak boleh tampak kurang dari masa terpendek haid (satu hari satu malam).
 Sifat kuat tidak boleh tampak lebih dari masa terlama haid (15 hari).
 Sifat lemah tidak boleh tampak kurang dari masa terlama suci (15 hari).
 Sifat lemah harus tampak secara bersambung (tidak terputus).
3. Mu’tadah, yaitu perempuan yang pernah mendapatkan haid dan masa suci.
4. Mutahayyirah, yaitu perempuan yang tidak ingat kebiasaan haidnya baik dalam jumlah hari
maupun waktu kemunculannya (awal, pertengahan atau akhir bulan).

Hukum darah istihadah dalam siklus haid


Darah istihadah memiliki tujuh bentuk yang terbagi dalam dua bagian besar, yaitu:
1. Mubtada`ah. Yaitu perempuan yang baru pertama kedatangan haid. Perempuan ini ada dua
macam, yaitu yang melihat darahnya berbeda sifat (mumayyizah) dan yang tidak melihat
darahnya berbeda sifat (tidak mumayyizah) atau salah satu syarat membedakan sifat darah tidak
terpenuhi.
1.a. Mumayyizah.
Maksudnya: seorang perempuan baru pertama melihat darah dan terlihat bahwa darahnya
memiliki sifat yang berbeda, misalnya hitam lalu merah, kental lalu tidak, atau sebaliknya.
Hukumnya: darah yang kuat adalah haid dan darah yang lemah adalah darah istihadah.
Misalnya, seorang perempuan mengatakan: “Terlihat darah pada diri saya untuk pertama kali
selama 20 hari berturut-turut. Tiga hari diantaranya adalah darah berwarna hitam (sifat kuat) dan
tujuh belas hari adalah darah merah (sifat lemah).” Maka kita menghukumi bahwa haidnya
adalah tiga hari dan istihadahnya adalah tujuh belas hari.
1.b. Tidak mumayyizah.
Maksudnya: perempuan yang baru pertama kedatangan haid dan darahnya terlihat dalam satu
sifat, misalnya terlihat merah semua. Atau perempuan yang tidak dapat memenuhi syarat
membedakan darah.
Hukumnya: haidnya adalah satu hari satu malam dan masa sucinya adalah 29 hari. Hukum ini
jika perempuan tersebut mengetahui awal permulaan datangnya darah. Namun, jika tidak maka
ia dianggap sebagai mutahayyirah.
2. Mu’tadah. Yaitu perempuan yang sudah pernah kedatangan haid. Perempuan ini memiliki
empat keadaan, yaitu:
2.a. Mumayyizah.
Maksudnya: perempuan yang sudah pernah haid dan suci, serta melihat darah yang berbeda.
Hukumnya: yang dijadikan ukuran adalah yang terlihat dari sifat darah, meskipun menyelisihi
kebiasaannya karena perbedaan sifat lebih kuat dari kebiasaan dan karena sifat itu adalah tanda
darah yang menunjukkan keadaan dari pemiliknya.
Misalnya, seorang perempuan berkata, “Saya haid pada bulan lalu selama 5 hari, lalu suci. Pada
bulan ini saya melihat darah selama 25 hari. 10 hari berwarna hitam dan dan 15 hari berwarna
merah.” Maka kita menghukumi bahwa haidnya adalah 10 hari dan sisanya adalah istihadah.
2.b. Tidak mumayyizah.
Maksudnya: perempuan yang sudah pernah kedatangan haid dan suci tetapi tidak melihat sifat
darah yang berbeda (semuanya sama). Keadaan ini terbagi menjadi tiga yaitu:
1) Ingat kebiasaannya baik jumlah hari maupun waktu terjadinya (awal, pertengahan atau akhir
bulan).
Hukumnya: dikembalikan kepada kebiasaan perempuan tersebut baik dari segi jumlah hari
maupun waktu haid. Kebiasaan ini diukur dengan haid pada bulan sebelumnya.
Misalnya, seorang perempuan berkata, “Haid saya pada bulan lalu adalah 7 hari. Lalu pada bulan
ini saya melihat darah selama 17 hari dalam warna saya sama.” Maka kita menghukuminya
bahwa haidnya adalah 7 hari sesuai dengan haid bulan lalu karena ini adalah kebiasaannya, dan
sisanya –yaitu 10 hari– adalah darah istihadah.
2) Lupa kebiasaannya baik jumlah hari maupun waktu (mutahayyirah).
Misalnya, seorang perempuan kedatangan darah selama 20 hari dalam satu sifat, tapi ia lupa
jumlah hari haidnya dan apakah haidnya di awal, pertengahan atau akhir bulan.
Hukumnya: perempuan ini dihukumi sebagai perempuan haid selama masa 20 hari tersebut
dalam hal larangan digauli oleh suaminya, larangan membaca Alquran di luar shalat, memegang
dan membawa Alquran serta berdiam dan melewati masjid jika khawatir mengotorinya.
Tetapi dihukumi sebagai perempuan yang suci (tidak haid) dalam masalah kewajiban
melaksanakan shalat dan puasa, kebolehan bertawaf dan i’tikaf (jika tidak khawatir mengotori
masjid) serta kebolehan menceraikannya.
3) Ingat kebiasaannya dalam jumlah hari saja tanpa waktu.
Misalnya, seorang perempuan berkata, “Haid saya bulan lalu adalah 5 hari pada sepuluh hari
pertama bulan lalu tapi saya tidak tahu hari keberapa mulainya. Namun, saya ingat bahwa hari
pertama masih dalam keadaan suci. Sementara di bulan ini, darah datang secara penuh dalam
satu bulan.”
Maka hukum perempuan ini adalah bahwa hari ke-6 adalah haid. Hari pertama adalah suci.
Begitu pula 20 hari sisanya (hari ke-11 hingga akhir bulan). Hari ke-2 hingga ke-5 memiliki
kemungkinan suci atau haid. Begitu pula hari ke-7 hingga ke-10. Untuk masa yang memiliki
kemungkinan suci atau haid dihukumi seperti perempuan yang mutahayyirah (yang tidak
mengetahui jumlah hari maupun waktu kemunculan haidnya).
4) Ingat kebiasaannya dalam waktu saja tanpa jumlah hari.
Misalnya seorang perempuan berkata, “Haid saya terjadi di awal bulan tetapi tidak tahu jumlah
harinya. Di bulan ini darah datang penuh dalam sebulan.”
Hukumnya: hari pertama adalah haid. Hari ke-16 hingga ke-30 dari bulan ini (bulan terakhir)
adalah suci. Hari ke-2 hingga ke-15 memiliki kemungkinan suci atau haid sehingga dihukumi
sebagai perempuan mutahayyirah.

Hukum darah istihadah dalam masa nifas


Jika seorang perempuan sedang dalam keadaan nifas lalu muncul darah istihadah (setelah lewat
60 hari) maka hukumnya seperti hukum istihadah dalam haid.
1. Mubtada`ah dan mumayyizah.
Yaitu perempuan yang baru pertama nifas dan melihat darah yang berbeda dari nifasnya.
Hukumnya adalah darah yang memiliki sifat kuat adalah darah nifas jika tidak lebih dari 60 hari.
2. Mubtada`ah tapi tidak mumayyizah.
Yaitu perempuan yang pertama nifas dan melihat kesamaan sifat darah nifasnya. Hukumnya
adalah bahwa nifasnya hanya sekejap (batas terpendek nifas).
3. Mu’tadah dan mumayyizah.
Yaitu perempuan yang pernah nifas dan melihat perbedaan sifat darah nifasnya. Hukum nifasnya
dikembalikan kepada perbedaan warna bukan kepada kebiasaannya (nifas terakhir). Darah
dengan sifat kuat adalah nifas dan darah dengan sifat lemah adalah istihadah.
4. Mu’tadah tapi tidak mumayyizah dan ingat waktu nifas dan jumlah hari.
Yaitu perempuan yang pernah nifas dan melihat kesamaan sifat darah nifasnya serta ingat waktu
nifas dan jumlah harinya. Hukum nifasnya dikembalikan kepada kebiasaan nifas (nifas terakhir).
5. Mu’tadah tapi tidak mumayyizah dan tidak ingat waktu nifas dan jumlah hari.
Yaitu perempuan yang pernah nifas dan melihat kesamaan darah nifasnya namun tidak ingat
waktu nifas sebelumnya dan jumlah harinya. Hukumnya adalah bahwa nifasnya hanya sekejap
(jarak nifas terpendek), tapi setelah itu ia harus mandi setiap kali akan melaksanakan ibadah
wajib –seperti shalat lima waktu– hingga sempurna 60 hari. Setelah itu, jika darah masih ada
maka ia wajib berwudhu untuk setiap ibadah wajib.

Hukum perempuan yang memiliki darah istihadah


Perempuan yang mendapatkan darah istihadah (mustahadah) berbeda dengan perempuan yang
mendapatkan haid atau nifas. Perempuan mustahadah tetap harus melaksanakan shalat. Shalatnya
sah dan tidak perlu diulang. Jika datang puasa Ramadhan ia harus berpuasa. Dan suaminya juga
boleh menggaulinya meskipun masih ada darah yang keluar.
Jika seorang perempuan mustahadah hendak melaksanakan shalat maka ada beberapa hal yang
harus ia lakukan, yaitu:
1. Membersihkan semua najis yang ada di tubuh atau pakaiannya termasuk darah.
2. Menyumpal bagian yang mengeluarkan darah dengan kapas atau sejenisnya kecuali jika merasa
sakit karenanya atau ia sedang dalam keadaan puasa karena kapas itu dapat membatalkan
puasanya. Jika penyumpalan tidak cukup maka ia harus memasang sejenis kain perban, seperti
pembalut.
3. Ia harus bersegera untuk berwudhu. Disyaratkan dalam wudhunya harus setelah masuk waktu
shalat dan harus berkelanjutan (muwalah).
4. Setelah itu ia harus segera melaksanakan shalat dan tidak boleh ditunda kecuali untuk melakukan
tindakan yang berkaitan dengan shalat seperti menjawab azan, melaksanakan shalat sunah
qabliyah dan menunggu jamaah shalat.

Anda mungkin juga menyukai