Anda di halaman 1dari 5

PENGERTIAN METODE BANDONGAN WETHONAN

Bandungan berasal dari kata ngabandungan yang berarti "memperhatikan" secara seksama
atau "menyimak". Bandungan (bandongan atau wetonan merupakan metode utama sistem
pengajaran di lingkungan pesantren. Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren
besar menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandungan (halaqoh) untuk mengajarkan
mulai kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi, yang diselenggarakan setiap hari (kecuali
hari Jumat), dari pagi buta setelah shalat shubuh sampai larut malam.
Pengajian pesantren sistem bandongan / wetonan adalah sistem transfer keilmuan atau
proses belajar mengajar yang ada dipesantren salaf di mana kyai atau ustadz membacakan
kitab, menerjemah dan menerangkan. Sedangkan santri atau murid mendengarkan,
menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh kyai.
Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa
yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.

PENERAPAN METODE BANDONGAN WETONAN


Kitab-kitab Islam klasik yang lebih popular dengan sebutan kitab kuning. Kitab-kitab ini
ditulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Kepintaran dan kemahiran
seorang santri diukur dari kemampuannya membaca, serta mensyarahkan (menjelaskan) isi
kitab-kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang santri
dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahwu, syaraf, balaghah, maani, bayan,
dan lain sebagainya.

SISTEM EVALUASI METODE BANDONGAN


Seorang ustadz atau kyai menilai terhadap berbagai aspek yang ada pada santri, baik aspek
pengetahuan terhadap pengasaan materi kitab itu atau perilaku yang mesti ditunjukkan dari
pengkajian materi kitab, ataupun ketrampilan tertentu yang diajarkan dalam kitab tersebut.
a. Aspek pengetahuan (kognitif) dilakukan dengan menilai kemampuan santri dalam
membaca, menterjemahkan dan menjelaskan.
b. Aspek sikap (afektif) dapat dinilai dari sikap dan kepribadian santri dalam kehidupan

keseharian.
c. Aspek keterampilan (skill) yang dikuasai oleh para santri dapat dilihat melalui praktek
kehidupan sehari-hari ataupun dalam bidang fiqh, misalnya dapat dilakukan dengan praktek
atau demonstrasi yang dilakukan oleh para santri pada halaqah tersebut.

KEKURANGAN DAN KELEBIHAN SISTEM PENGAJIAN BANDONGAN


a. Kekurangan.
1). Metode ini dianggap lamban dan tradisional, karena dalam menyampaikan materi sering
diulang-ulang.
2). Guru lebih kreatif dari pada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu jalur
(monolog).
3). Dialog antara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat bosan.
4). Metode bandongan ini kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi yang
disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya.
b. Kelebihan
1). Lebih cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya banyak.
2). Lebih efektif bagi murid yang telah mengikuti system sorogan secara intensif.
3). Materi yang diajarkan sering diulang-ulang sehinnga memudahkan anak untuk
memahaminya.
4). Sangat efisien dalam mengajarkan ketelitian memahami kalimat yang sulit dipelajari

METODE BANDONGAN
A. METODE BANDONGAN
1. Pengertian Metode Bandongan
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren adalah
sistem bandongan atau seringkali juga disebutweton. Dalam sistem ini sekelompok murid
(antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan,
menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Seorang murid
memperhatikan bukunya sendiri-sendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata-kata yang
sulit.
Metode bandongan adalah kiyai menggunakan daerah setempat, kiyai membaca,
menerjemahkan, menerangkan, kalimat demi kalimat kitab yang dipelajarinya, santri secara
cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kyai dengan memberikan catatan-catatan

2.

a.
b.
c.
d.

a.
b.
c.

d.

tertentu pada kitabnya masing-masing dengan kode-kode tertentu sehingga kitabnya disebut
kitab jenggot karena banyaknya catatan yang menyerupai jenggot seorang kiayi. Dengan
metode pengajaran bandonganini lama belajar santri tidak tergantung lamanya tahun belajar
tetapi berpatokan kepada waktu kapan murid tersebut menamatkan kitabnya yang telah
ditetapkan.
Pendidikan tradisional di pesantren salah satunya meliputi pemberian pengajaran
dengan struktur, metode, dan literatur tradisional. Pemberian pengajaran tradisional ini dapat
berupa pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang
bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah dalam bentuk
pengajianweton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara pemberian
pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah atas suatu kitab tertentu.
Dalam prakteknya selalu berorientasi pada pemompaan materi tanpa
melalui kontrol tujuan yang tegas. Dalam metode ini santri bebas mengikuti pelajaran karena
tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui santri-santri yang tidak mengikuti
pelajaran terutama jika jumlah mereka puluhan atau ratusan orang.
Metodologi pengajaran yang dikenal dengan nama sorogan, wetonan, dan
khataman semuanya menampilkan liberalisasi proses pembelajaran. Santri bebas untuk
mengikuti pengajian atau tidak, dimana pelajaran tidak diatur dalam silabus yang terprogram,
melainkan berpegang pada bab-bab yang tercantum didalam kitab.
Penerapan Metode Bandongan
Kitab-kitab Islam klasik yang lebih popular dengan sebutan kitab kuning. Kitabkitab ini ditulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Kepintaran dan kemahiran
seorang santri diukur dari kemampuannya membaca, serta mensyarahkan (menjelaskan) isi
kitab-kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang santri dituntut
untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahwu, syaraf, balaghah, maani, bayan, dan lain
sebagainya.
Ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam mengikuti proses pembelajaran
kitab di pesantren, yang menyangkut interaksi guru-murid dan sumber belajar, antara lain
sebagai berikut:
Kyai sebagai guru dipatuhi secara mutlak, dihormati termasuk anggota keluarganya, dan
kadang dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat memberi berkah.
Diperoleh tidaknya ilmu itu bukan semata-mata karena ketajaman akal, ketetapan metode
mencarinya, dan kesungguhan berusaha, melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa,
restu, dan berkah kyai serta upaya ritual keagamaan seperti puasa, doa, dan riadhah.
Kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Karena itu, ia harus dihormati
dan dihargai atas jasanya yang telah banyak mengajar santri.
Transmisi lisan para kyai adalah penting. Meskipun santri mampu menelaah kitab sendiri,
yang demikian ini belum disebut ngaji.
Untuk melaksanakan kegiatan pembalajaran dengan menggunakan metode
bandongan biasanya dilakukan langkah-langkah berikut ini:
Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan para santri.
Memperhatikan situasi dan kondisi serta sikap para santri apakah sudah siap untuk belajar
atau belum.
Seorang kyai atau ustadz dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membaca teks
Arab gundul kata demi kata disertai dengan terjemahannya dan pembacaan tanda-tanda
khusus (seperti utawi, iku, sopo, dan sebagainya) pada topik atau pasal tertentu
disertai pula dengan penjelasan dan keterangan-keterangan.
Pada pembelajaran tingkat tinggi, seorang kyai atau ustadz terkadang tidak langsung
membaca dan menterjemahkan. Ia terkadang menunjuk secara bergiliran kepada para

e.

f.

3.

a.
b.
c.

4.
a.
1).
2).
3).

santrinya untuk membaca dan menterjemahkan sekaligus menerangkan suatu teks tertentu.
Disini kyai atau ustadz berperan sebagai pembimbing yang membetulkan apabila terdapat
kesalahan dan menjelaskan bila ada hal-hal yang dipandang oleh para santri sebagai sesuatu
yang asing atau rumit.
Setelah menyelesaikan pembacaan pada batasan tertentu, seorang kyai atau ustadz memberi
kesempatan kepada para santri untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas. Jawaban
dilakukan langsung oleh kyai atau ustadz atau memberi kesempatan terlebih dahulu kepada
para santri yang lain.
Sebagai penutup terkadang seorang kyai atau ustadz menyebutkan kesimpulan-kesimpulan
yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung.
Bentuk lingkaran kegiatan pengajian para santri dengan menggunakan metode
bandongan pada prakteknya dilakukan bermacam-macam, ada yang menggunakan bentuk
lingkaran penuh seperti huruf O atau berbentuk setengah lingkaran seperti huruf U atau
berbentuk berjejer lurus dan berbanjar kebelakang menghadap berlawanan arah dengan kyai.
Dari berbagai macam bentuk ini yang jelas para santri dalam pengajiannya mengelilingi
secara berkerumun dengan duduk bersila menghadap kyai.
Pembelajaran terhadap kitab-kitab klasik dipandang penting karena dapat
menjadikan santri menguasai dua materi sekaligus. Pertama, bahasa Arab yang merupakan
bahasa kitab itu sendiri. Kedua, pemahaman atau penguasaan muatan dari kitab tersebut.
Dengan demikian, seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren
diharapkan mampu memahami isi kitab secara baik, sekaligus dapat menerapkan bahasa kitab
tersebut menjadi bahasa kesehariannya.
Sistem Evaluasi Metode Bandongan
Seorang ustadz atau kyai menilai terhadap berbagai aspek yang ada pada santri,
baik aspek pengetahuan terhadap pengasaan materi kitab itu atau perilaku yang mesti
ditunjukkan dari pengkajian materi kitab, ataupun ketrampilan tertentu yang diajarkan dalam
kitab tersebut.
Aspek pengetahuan (kognitif) dilakukan dengan menilai kemampuan santri dalam membaca,
menterjemahkan dan menjelaskan.
Aspek sikap (afektif) dapat dinilai dari sikap dan kepribadian santri dalam kehidupan
keseharian.
Aspek keterampilan (skill) yang dikuasai oleh para santri dapat dilihat melalui praktek
kehidupan sehari-hari ataupun dalam bidang fiqh, misalnya dapat dilakukan dengan praktek
atau demonstrasi yang dilakukan oleh para santri pada halaqah tersebut.
Dalam sumber yang lain dijelaskan pada umumnya pesantren yang belum
mencangkok sistem pendidikan modern belum mengenal sistem penilaian (evaluasi).
Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri sendiri
yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk
mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga memberikan
kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu
yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat, dan kalau santri belum puas,
tidak salah baginya untuk pindah pesantren lain dalam rangka mendalami ilmunya.
Kekurangan dan Kelebihan Metode Bandongan
Kekurangan.
Metode ini dianggap lamban dan tradisional, karena dalam menyampaikan materi sering
diulang-ulang.
Guru lebih kreatif dari pada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu
jalur (monolog).
Dialog antara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat bosan.

4). Metode bandongan ini kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi yang
disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya.
b. Kelebihan.
1). Lebih cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya banyak.
2). Lebih efektif bagi murid yang telah mengikuti system sorogan secara intensif.
3). Materi yang diajarkan sering diulang-ulang sehinnga memudahkan anak untuk
memahaminya.
4). Sangat efisien dalam mengajarkan ketelitian memahami kalimat yang sulit dipelajari
Daftar Pustaka:
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3ES, 1994.
Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi.
Surabaya: Erlangga, 2008.
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004.
Haidar Putra Dauly, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009.
Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo, 2001.
Faiqoh, Pola Pembalajaran di Pesantren. Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama
Islam, 2003.
Amiruddin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: Gama Media, 2008.

Anda mungkin juga menyukai