Dosen Pengampu
M. Edi Triono, M.Pd (Cand)
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat serta Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya.
Tugas ini merupakan serangkaian materi kuliah yang bertujuan agar Mahasiswa dapat
lebih memahami kosep aswaja, dan menerapkan secara langsung ilmu yang diperoleh selama
mengikuti mata kuliah ini. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Aswaja di Semester 1.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan karena
keterbatasan kami sebagai manusia. Untuk itu, kami berharap kritik dan saran yang
membangun agar Makalah ini menjadi lebih baik lagi. Kami berharap semoga laporan tugas
ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami dan bagi para pembaca.
Wassalamu‟alaikum Wr.Wb.
COVER.......................................................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................
3.1 KESIMPULAN........................................................................................................
Aswaja merupakan salah satu mata kuliah yang dalam kajiannya merujuk
pada al- Qur‟an dan as-Sunnah. Dalam tahap pemahaman Aswaja
menggunakan cara logis dan rasional, karena mengaitkan materi dengan
pengalaman mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari bukan dengan dogmatis
dan doktrin tertentu.
Pembelajaran Aswaja juga bertujuan untuk mendorong mahasiswa supaya
mendalami dan mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal Jama’ah, yang
diharapkan nantinaya akan lahir generasi-generasi kiyai yang unggul serta
mampu menjadi pilar-pilar kokoh dalam mensyi‟arkan Islam ditengah-
tengah masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai tawasuf,
tawazun, tasamuh.
1.3 TUJUAN
Doktrin merupakan pendapat atau pendirian ilmiah yang disusun dan dikemukakan
secara rasional dan dapat meyakinkan orang lain. Doktrin ini memiliki peranan
penting karena doktrin ini dikemukakan oleh seorang ilmuwan hukum yang bisa
mempengaruhi juri sprudensi dan bisa menjadi kaedah hukum,karena itu doktrin
itu dapat menjadi bagian dari sumber hukum positif.
Menurut B. Arief Sidarta istilah lain doktrin adalah ajaran. Ajaran itu jugadapat
disamakan dengan doktrin, doktrin ini merupakan tampungan dari norma sehingga
dokrin menjadi sumber hukum. Mengutip pendapat Apeldorn, doktrin hanya
membantu dalam pembentukan norma, doktrin itu harus dipindahkanlebih dahulu
ke dalam norma yang langsung misalnya putusan hakim atau peraturan perundang-
undangan sehingga doktrin itu menjadi sumber tidak langsung dalam penerapan
hukum.
Menurutnya ajaran berbeda dengan teori.Suatu ajaran membahas pada satu hal
tertentu atau satu pasal tertentu yanglebih kecil dan belum berlaku secara umum.
Ketika ajaran tersebut diobjektifkan dan berlaku secara umum maka akan berubah
menjadi teori.B. Arief Sidarta tentang pemaknaan doktrin, hampir sama seperti
yang dikemukan oleh Agell (2002). Dia mengatakan bahwa doktrin dalam ilmu
hukum diartikan sebagai “analytical study of law atau “doctrinal study of law”yang
bersifat science. “Legal doctrine” adakalanya disebut juga dengan
“legaldogmatics”.
Kedua istilah ini lazim ditemukan dalam civil law sementara itudi dalam anglo-
american istilah legal doctrine maupun legal dogmatic tidak begitu dikenal.
Jufrina Rizal (2013) memberikan pemaknaan atas kedua terminologi tersebut
sebagai berikut : ”Istilah ajaran di Indonesia penggunaannya bermacam-macam,
ada ajaran hukum alam, ajaran positivisme, ajaran hukum murni, ajaran hukum
progresif, padahal itu semua adalah teori juga. “Ajaran” digunakan untuk
menjelaskan isi dari teori
1.Doktrin -Doktrin aswaja
Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang
beliau bawa dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi
ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, Aswaja berpedoman pada aqidah
islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al’asy’ari (260 H./874
M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur al Maturidi (w. 333 H.).
Kedua tokoh Aswaja ini nyaris sepakat dalam masalah aqidah islamiyah, meliputi
sifat-sifat wajib, mustahil dan ja’iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati
keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya
berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal, yaitu dalam masalah
istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.
Ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya).
Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga.
Sedangkan Menurut Abu Hasan al ‘Asy’ari, keimanan demikian tidak cukup.
Sedangkan Asyâ’irah (pengikut Abu Hasan al Asy’ari) berbeda pendapat tentang
imannya muqallid. Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau
berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak
berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan
tidak dianggap mukmin sama sekali.
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada iman
bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd
adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara
langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman
biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan terhadap aqâ’id lima puluh dengan dalil dan
alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang ( )محجوبdalam
mengetahui Allah.
Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya
muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari
kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqîn) yaitu keimanan
yang telah terlepas dari segala yang hadîts (baru) dan tenggelam dalam fanâ’
billah. Mempelajari ilmu tauhid, fikih dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman
biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan
penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) hingga
puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau meng-Esakan Allah dalam
af’âl (perbuatan), shifah (sifat) dan dzât. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi
tiga, tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari
segala sifat; dan tauhid dzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd. Fana’ fi’li
disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqîn,
dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini
merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah, “Padahal Allah-lah
yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu,” (QS. Ashshafat: 96).
Sebagian ulama ‘arif billah menyatakan, “Barang siapa dapat menyaksikan
makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah beruntung, barang siapa
menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan barang siapa
menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah wushul”.
Konsep tauhid Aswaja mengenai af’âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara
paham Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan Mu’tazilah di pihak lain. Ketika
Jabariyah menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala
kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah
menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan
perbuatannya. Maka lahirlah Aswaja sebagai sekte moderat di antara dua paham
ektrim tersebut.
Aswaja meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun
tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam
keyakinan Aswaja, secara lahir manusia adalah ‘kuasa’ (memiliki qudrah), tetapi
secara batin, manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan Aswaja, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan
menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan
maksiat ataupun bid’ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua kalimat
syahadat, maka Aswaja tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai
orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka. Aswaja sangat berhati-hati dan tidak
gampang dalam sikap takfîr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang
yang sejatinya mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw.
Bersabda, “Ketika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai seorang yang
kafir’, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari)
Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan
wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat ditakwil, mengingkari
kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama (ma’lûm bi
adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah
lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa
meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas
ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa ditakwil.
Doktrin Keislaman
Ada alasan mendasar mengenai pembatasan Aswaja hanya kepada empat madzhab
ini. Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep
madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari
empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil
aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan).
Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud
Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu’tazilah yang cenderung
rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh Aswaja di antara dua kutub ekstrim, yaitu
antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini
sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik diantara yang
baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya: Sebaik-baiknya
perkara adalah tengahnya.
Dengan prinsip inilah Aswaja mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan
dalil Al Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung
kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga
dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh Aswaja hanya
bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan
bukan mutlak benar. Empat dalil (Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas) ini
dirumuskan dari ayat, ”Hai orangorang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya),” (QS. Annisa’: 59)
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa
dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Al Quran, Hadis, Ijma’ dan
Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada
Al Quran dan Hadis, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang
pada Ijma’ (konsensus) umat (mujtahidîn), dan perintah mengembalikan
perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas
sepanjang tidak ada nash dan ijma’. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan
sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.
Disamping itu, Aswaja juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat
yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan
melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki
kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fikih.
Dengan demikian, Aswaja tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu
ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini
‘enggan’ memasukinya.
Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja
memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti
inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh Aswaja berdasarkan firman Allah,
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui,” (QS. Annahl: 43).
Doktrin Keikhsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-
teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal,
dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan
mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir
(tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret
dari ihsan dalam sabda Rasulullah SAW, “Ihsan adalah engkau menyembah Allah
seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia
melihatmu”.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori
Aswaja meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fikih (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan
bahkan ahli hadis (muhadditsîn).
Al-Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi
Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah
wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para
Mujtahid. Kemudian ijma’ ada 2 macam : 1. Ijma’ Bayani ( ) االجماع البيانيialah
apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan
maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya. 2. Ijma’ Sukuti (|)االجماع السكوتي
ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain
diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu. Dalam
ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan
sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu
hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati. Karena para
Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud
yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut
Ulil Amri Minkum ( ) اولىاالمر| منكمAllah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’
ayat : 59 “ ياأَ ُّيهَاالَّ ِذ ْينَ أَ َمنُوْ اأَ ِط ْيعُوْ اهللاَ َوأَ ِط ْيعُوْ اال َّرسُوْ َل َوأُوْ لِى ْاألَ ْم ِر ِم ْن ُك ْمHai orang yang beriman
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”. Dan para
Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada
dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar
dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh
ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber
hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466. تى عَل َى ِ اِ َّن هللاَ الَ يَجْ َم ُع اُ َّم
َويَ ُدهللاِ َم َع ْالَ َجما َع ِة,ضالَ لَ ٍة
َ “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas
kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak. Selanjutnya, dalam kitab
Faidlul Qadir Juz 2 hal 431 اختِالَ فًا فَ َعلَ ْي ُك ْم بِال َّس َوا ِد ْا ألَ ْعظَ ِم ْ ضالَ لَ ٍة فَا ِء َذا َرأَ ْيتُ ُ|م ِ اِ َّن اُ َّم.
َ تى الَتَجْ تَ ِم ُع عَل َى
“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau
melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang
terbanyak”.
Al-Qiyas Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu
berasal dari kata Qasa () قا س. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara
keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab.
Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits
sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum
dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya,
as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok. Dengan demikian, hasil
gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun
dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan
nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan
pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam
Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman : ار |ِ صَ “ فَا ْعتَبِرُوْ ا يأُوْ لِى ْاألَ ْيAmbilah ibarat (pelajaran
dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2) ع َْن
ضىِ ال اَ ْق َ َضا ٌء ؟ ق َ َض ق َ ضى اِ َذا ع ََر ِ َك ْيفَ تَ ْق:ال َ َ لَ َما بَ َعثَهُ النَّبِ ُّى صلى هللا عليه وسلم اِل َى ْاليَ َمنِى ق: ال َ َُم َعا ٍذ ق
ِ َال فَا ِء ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللاِ َوال
فى َ َ ق,ِال فَبِ ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللا
َ َب هللاِ ؟ ق ِ ب هللاِ قَا َل فَا ِء ْن لَ ْم ت َِج ْد فِى ِكتَاِ بِ َكتَا
َ ال ْا
لح ْم ُد هللِ الَّ ِذى َ َص ْد َرهُ َوق
َ ب َرسُوْ ُ|ل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َ ض َرَ َال فَ َب هللاِ ؟ قَا َل اَجْ تَ ِه ُد بِ َر ْأيِى َوالَ الُوْ قِ ِكتَا
رواه أحمد وابو داود والترمذى.ِضاهُ َرسُوْ ُل هللا َ ْق َرسُوْ َل َرسُوْ ِل هللاِ لِ َما يَر |َ َّوف.
َ “Dari sahabat Mu’adz
berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda
bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan?
Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz
menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak
engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz
menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali;
Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata;
Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW
dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya. Kemudian Al-Imam Syafi’i
memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :
ص ْيد ََواَ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم َو َم ْن قَتَلَهُ ِم ْن ُك ْم ُمتَ َع ِمدًا فَ َجزَ ا ٌء ِم ْث ُل َما قَت ََل ِمنَ النَّ َع ِم يَحْ ُك ُم بِ ِه
َّ ياأَ ُّيهَااَّل ِذ ْينَ َء ا َمنُوْ ا الَتَ ْقتُلُوْ اا ل
“ َذ َوا َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْمHai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang
buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya
dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang
seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil
di antara kamu”. (Al-Maidah: 95). Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal
Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka
dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas
kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
3 Tokoh-Tokoh Aswaja
1. Imam abu abdillah sufyan bin said bin masruq ast tsauri (wafat : 161 H.)8)
aqidah dan madzhab sunnahnya telah dinampakan dan “diimlakan” pada abu
sholeh syuaib bin harb al baghdadi (wafat : 197 H.)9)
2. Imam Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah Al-Hilali.
Beliau telah membeberkan aqidah – aqidahnya ketika ditanya soal itu,
sebagaimana telah diriwayatkan oleh abu abdillah muhammad bin ishaq ats –
tsaqofi (wafat : 236 H.)10)
3. Imam Abu Amr Abdurrohman bin Amr Al – Auza’i.
Imam daerah syam ang telah menampakan aqidah – aqidahnya pada saat bid’ah
telah merebak. Hal ini telah diriwayatkan oleh ibrohim bin muhammad bin abdilah
bin ishaq al – fazari (wafat : 250 H.)11)
4. Imam Abu Abdirrohman ibn Mubaraok, imam daerah Khurasan.
5. Imam Abul Ali Frdloil bin ‘Iyadl, seorang zahid, tsiqoh, wira’I (wafat; 86
H.)12)
6. Imam Waqi’ bin Jarrah.
7. Imam Yusuf bin Asbat.
8. Imam Suraik bin Abdillah an-Nakha’i.
9. Imam Abu Said Yahya bin Said al-Qaththan (wafat; 197). 13)
10. Imam Abu Ishaq al-Fazazi.
11. Imam Abu Abdillah Malik bin Anas al-Asbihani al-Madani, Imam “Dar al-
Hijrah wa Faqih al-Haromain” (wafat: 79 H).14)
12. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I al-Muttholibi. Sayyidul
fuqaha’ fi zamanihi.
13. Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam.
14. Imam Abu Hasan Nadlr bin Syummail an-Nahwi al-Bisri (wafat; 203H).15)
15. Imam Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi al-Mishri. Murid Imam
Syafi’I (wafat;232 H), telah menampakkan aqidah “keqadiman al-Qur’an” pada
saat terjadi fitnah kubro dari kekhalifahan al-Ma’mun.16)
16. Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hambal. Telah menampakkan aqidahnya,
mengajak umat menetapinya, serta tabah menghadapi siksaan demi memegang “al-
Qur’an Qadim”.
17. Imam Abu Abdirrahman Zahir bin Nu’aim al-Baby as-Sijistani. (wafat pada
masa Kholifah al-Ma’mun). 17)
18. Imam Abu Yahya Zakariya bin Yahya as-Saaji. 18)
19. Imam Abu Raja’ Quthaibah bin Sa’id ats-Tsaqafi al-Baghdadi. Rawi terakhir
yang meriwayatkan hadits dari Abu Abbas Muhammad bin Ishaq as-Sarraj (wafat;
240 H). 19)
20. Imam Husain bin Abdirrahman al-Ihtiyathi. Tentang aqidahnya, telah
diriwayatkan oleh Ahmad bin Musa al-Bishri. 20)