Anda di halaman 1dari 8

QOIDAH WUDHU DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH : USTADZ M. RINO AGUNG ALBANTENY

DEFINISI WUDHU
Berwudhu adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan untuk mencuci atau mengusap anggota badan
wudhu yang khusus yang telah dijelaskan dan disyariatkan oleh Allah subhanahu wa taala.
DALIL DISYARIATKANNYA WUDHU DARI Al-QURAN
Wudhu adalah perkara yang disyariatkan dalam Islam. Seseorang yang hendak shalat hendaklah ia berwudhu
terlebih dahulu, arena shalatnya tidak akan Allah taala terima, kecuali setelah ia berwudhu. Tentang disyariatkan
dan diwajibkannnya ibadah wudhu ini, maka Allah taala berfirman,




Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka cucilah muka-muka kalian dan
tangan-tangan kalian sampai ke siku, usaplah kepalamu dan cucilah kaki-kaki kalian sampai kedua mata
kaki [QS. Al Maidah: 6]
Syeikh Shalih al Fauzan hafidzahullah berkata: Ayat yang mulia ini mewajibkan wudhu ketika hendak shalat.
Juga menjelaskan tentang anggota badan yang wajib dicuci atau diusap ketika berwudhu. Namun Ayat ini
membicarakan tentang anggota badan wudhu dengan sangat terbatas. Kemudian Nabi lah yang menjelaskan
dengan sangat gamlang tata cara wudhu dengan ucapan ddan perbuatan beliau [Al Mulakhash Al-Fiqhiy:
1/40]

DALIL DISYARIATKAN WUDHU DARI HADITS


Pertama
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,



Tidak akan diterima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadats hingga dia berwudhu [Muttafaqun alaihi,
Bukhari (135), Muslim (225)]

Jadi ketika seseorang berhadats, kemudian hendak melaksanakan sholat, maka shalatnya tidak akan diterima
sampai dia melakukan wudhu.
Kedua
Hadits dari Abdullah bin Umar Dia berkata Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda,




Tidak akan diterima shalat tanpa bersuci dan shadaqah yang didapatkan dari kecurangan [HR. Muslim (224)]
Hadits ini mirip dengan hadits yang kita sebutkan diatas, yaitu bagi orang yang hendak shalat, maka disyaratkan
baginya untuk bersuci. Dan bersuci yang dimaksudkan di sini adalah berwudhu atau mandi bagi yang berhadas
besar
Ketiga
Hadits dari Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,



Hanyasanya aku diperintah untuk berwudhu apabila hendak melakukan shalat [HR. Abu Dawud (3760),
Tirmidzi (1848)]
Ini juga hadis yang menunjukkan bahwa bersuci adalah syarat diterimanya shalat. Sehingga Nabi shallallahu
alaihi wasallam diperintahkan untuk berwudhu ketika hendak melaksanakan sholat. Karena shalat tanpa
berwudhu, maka akan sia-sia dan tidak diterima
Keempat
Dari Abu Said radhiyallahu Anhu Dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda




Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, penutupnya adalah salam [HR. Abu Dawud (60),
Tirmidzi (3), Ibnu Majah (275), dan yang lainnya. Syeikh Albani menshahihkan hadits ini dalam
Shahihul Jami (5761)]
Demikianlah empat dalil dari Hadits atau sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkenaan dengan
wajibnya berwudhu bagi orang yang hendak melaksanakan shalat.
Dalil-dalil ini sangat tegas menunjukkan tidak sah nya sholat tanpa berwudhu.

Syarat-syarat sahnya wudhu


Adapaun syarat-syarat syahnya wudhu adalah:
1).Islam,
2).Berakal,
3).Tamyiz,
Yang dimaksud dengan tasmiyah adalah membaca bismillah.
Boleh juga apabila ditambah dengan Ar-Rohmanir Rohim. Tasmiyah ketika hendak memulai shalat merupakan
syarat sah wudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama
Allah (bertasmiyah, pen).
(HR. Ibnu Majah, hasan)

4).Niat,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang diniatkannya.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, orang yang dhohirnya (secara kasat mata) berwudhu, akan tetapi niatnya hanya sekedar untuk
mendinginkan badan atau menyegarkan badan tanpa diniati untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya
dalam berwudhu serta menghilangkan hadats, maka wudhunya tidak sah. Niat yang dilafazdkan tujuannya untuk
memastikan bahwa hati, fikiran perasaan atau jiwa dan raga niat berwudhu.

5).Istinja dan Istijmar sebelumnya bila setelah buang hajat.

6).Air yang suci lagi mensucikan ( Thohir muthohir ),

(1) Suci dari najis dan mensucikan ("tohir mutohhir"), belum pernah dipakai untuk bersuci sebelumnya. Air yang
sudah terpakai dan kurang dari dua kulah yang habis dipakai berwudlu tidak sah digunakan berwudlu lagi,
walaupun suci, karena ia suci namun tidak mensucikan.

(2) Kalau airnya tidak mengalir, memang harus banyak. Ia terhitung banyak jika memenuhi minimal 2 'kulah' .
Jika dihitung dengan satuan liter, ada beberapa pendapat:
(a) menurut al-Nawawi, 2 kulah itu sama dengan 174,580 liter (55,9 cm kubik);
(b) menurut al-Rafi'i, sama dengan 176,245 liter (56,1 cm kubik); dan
(c) menurut Imam al-Bagdadi, 2 kulah sama dengan 245,325 liter (62,4 cm kubik).
(3) Air yang mutlak.
Maksudnya tidak boleh air dikatakan suci atau masih suci manakala sudah tercampur oleh zat/barang yang najis
sehingga menjadi berubah salah satu dari tiga sifat, yaitu bau, rasa dan warnanya. Apabila air telah terkena najis,
misalnya air kencing atau yang lainnya, kemudian menjadi berubah salah satu dari ketiga sifat di atas maka air
tersebut telah menjadi tidak suci lagi berdasarkan ijma. Apabila air tersebut tercampuri oleh sesuatu yang bukan
najis, maka air tersebut masih boleh dipakai untuk berwudhu apabila campurannya hanya sedikit. Namun apabila
campurannya cukup banyak sehingga menjadikan air tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai air, maka air yang
telah berubah ini tidak dapat dipakai untuk berwudhu lagi karena sudah tidak bisa dikatakan lagi sebagai air.
Misalnya air teh, air susu, air kopi dll.

7).Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap dalam pori-pori.


Tidak sah wudhu seseorang yang memakai kutek atau yang lainnya yang dapat menghalangi sampainya air ke
kulit.
Rukun dan Tata Cara wudhu yang benar
1.Dalil wajibnya adalah firman Allah Taala dalam surah Al-Maidah ayat 6 yang telah kami bawakan, dan juga
sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, Allah tidak akan menerima shalat tanpa thaharah, (HR. Al-Jamaah
kecuali Al-Bukhari)
2.Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu setiap kali mau shalat (HR. Al-Bukhari dan Imam Empat). Beliau
bersabda, Seandainya saya tidak menyusahkan umatku niscaya saya akan memerintahkan mereka untuk
berwudhu setiap kali mau shalat, dan bersama wudhu ada bersiwak. (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih
sebagaimana dalam Al-Muntaqa)

3.Niat hukumnya adalah rukun wudhu, berdasarkan sabda Nabi yang masyhur, Sesungguhnya setiap amalan
-syah atau tidaknya- tergantung dengan niat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4.Didahului dengan bersiwak atau menyikat gigi.


Hal ini berdasarkan sabda beliau, Seandainya saya tidak takut untuk menyusahkan umatku, niscaya aku akan
perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu. (HR. Malik dari Abu Hurairah)

5.Lalu membaca basmalah -dan hukumnya adalah sunnah-, dengan dalil sabda beliau -alaihishshalatu
wassalam-, Berwudhulah kalian dengan membaca bismillah. (Dihasankan oleh Al-Albani)

6.Mencuci kedua telapak tangan tiga kali dan hukumnya adalah sunnah berdasarkan kesepakatan kaum
muslimin.

7.Berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan,

Perlu untuk diperhatikan termasuk di dalamnya madhmadhoh (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air
dan menghirupnya hingga ke bagian dalam hidung).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Apabila salah seorang dari kalian berwudhu hendaklah ia melakukan
istinsyaq. (HR. Muslim). Adapun tentang madhmadhoh, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jika
engkau berwudhu, maka lakukanlah madhmadhoh. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu majah dengan
sanad yang shahih)
Berdasarkan sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, Kalau salah seorang di antara kalian berwudhu maka
hendaknya dia memasukkan air ke dalam hidungnya kemudian mengeluarkannya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah). Beliau menggabungkan antara kumur-kumur dan istinsyaq dengan cara setengah dari air yang
beliau ambil, beliau masukkan ke dalam mulut dan setengahnya lagi ke dalam hidung. Beliau istinsyaq dengan
tangan kanan dan istintsar dengan tangan kiri, berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib. Dan beliau memerintahkan
untuk bersungguh-sungguh dalam istinsyaq kecuali dalam keadaan berpuasa dengan sabdanya, Bersungguh-
sungguhlah dalam menghirup air ke hidung kecuali kalau kamu dalam keadaan berpuasa. (HR. Abu Daud dari
Laqith bin Saburah)
Sehingga orang yang berwudhu tanpa disertai dengan madhmadhoh dan istinsyaq maka wudhunya tidak sah.
8.Mencuci wajah, dan hukumnya adalah rukun wudhu karena tersebut dalam surah Al-Maidah. Disunnahkan juga
ketika mencuci wajah untuk menyelang-nyelingi jenggot.
Mencuci wajah merupakan salah satu rukan wudhu, artinya tidak sah wudhu tanpa mencuci wajah. Allah
berfirman yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah
mukamu. (QS. Al-Maidah: 6)
Termasuk salah satu kewajiban dalam wudhu adalah menyela-nyela jenggot bagi yang memiliki jenggot yang
lebat berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam berwudhu, beliau mengambil setelapak air kemudian memasukkannya ke bawah dagunya selanjutnya
menyela-nyela jenggotnya. Kemudian bersabda, Demikianlah Rabbku memerintahkanku. (HR. Abu Dawud, Al-
Baihaqi, Al-Hakim dengan sanad shahih lighoirihi).

9).Kemudian mencuci kedua tangan samapai melewati siku dan beliau juga memerintahkan untuk menyelang-
nyelingi jari-jemari. Hukum mencuci tangan samapai ke siku adalah rukun wudhu.,
Aku berkata: Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang wudhu? Nabi berkata, Sempurnakan wudhu-mu,
dan sela-selalah antara jari-jemarimu, dan bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung
kecuali jika kamu dalam keadaan berpuasa. (Diriwayatkan oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi)

Para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mencuci kedua tangan ketika berwudhu. Allah berfirman yang
artinya, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan
juga tanganmu sampai dengan siku. (QS. Al-Maidah: 6)
Perlu untuk diperhatikan bahwa siku adalah termasuk bagian tangan yang harus disertakan untuk dicuci.

10).Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mngusap kedua daun telinga),


Mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut
dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali ketempat semula memulai,
kemudian memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga dengan
kedua jempolnya.
Allah berfirman yang artinya, dan usaplah kepalamu. (QS. Al-Maidah: 6). Yang dimaksud dengan mengusap
kepala adalah mengusap seluruh bagian kepala mulai dari depan hingga belakang. Adapun apabila seseorang
mengenakan sorban, maka cukup baginya untuk mengusap rambut di bagian ubun-ubunnya kemudian mengusap
sorbannya. Demikian pula bagi wanita yang mengenakan kerudung.
Adapun mengusap kedua telinga hukumnya juga wajib karena termasuk bagian dari kepala. Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, Kedua telinga termasuk kepala. (HR. Ibnu Majah, shahih). Mengusap kedua telinga
ini dilakukan setelah mengusap kepala dengan tanpa mengambil air yang baru.

Hadits Abdullah bin Zaid, dimana beliau juga memperagakan sifat wudhu Nabi.
Dia meminta baskom berisi air lalu menuangkan air ke dua telapak tangannya dan mencuci keduanya sebanyak
tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya kedalam baskom lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar
sebanyak tiga kali dari tiga kali mengambil air. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci wajahnya sebanyak tiga
kali. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci tangan sampai sikunya sebanyak dua kali. Kemudian dia
mengambil air lalu mengusap kepalanya -ke belakang dan ke depan- sebanyak satu kali.Kemudian dia mencuci
kedua kakinya.
Dalam sebagian riwayat: Beliau memulai mengusap pada bagian depan kepalanya kemudian mendorong kedua
tangannya sampai ke tengkuknya, kemudian kedua tangannya kembali ke bagian depan kepalanya.

11).Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki,


Allah berfirman yang artinya, dan (cucilah) kakimu sampai kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah: 6)
Mencuci kedua kaki -dan hukumnya adalah rukun- sampai melewati mata kaki. Semua bagian kaki harus terkena
air wudhu, karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, Celakalah bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air,
pent) dari api neraka.
Perlu untuk diperhatikan bahwa kedua mata kaki adalah termasuk bagian kaki yang harus disertakan untuk dicuci.
Adapun menyela-nyela jari-jari kaki hukumnya juga wajib apabila memungkinkan bagian antar jari tidak tercuci
kecuali dengan menyela-nyelanya.

12).Tertib (berurutan).
Muwalat adalah berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu. Maksudnya adalah sebelum anggota tubuh yang
dibasuhnya mengering, ia telah membasuh anggota tubuh yang lainnya.
Disunnahkan memulai dengan bagian kanan dalam mencuci semua anggota wudhu yang berjumlah sepasang,
kecuali telinga karena keduanya diusap secara bersamaan. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, Kalau
kalian memakai pakaian dan kalau kalian berwudhu, maka mulailah dengan bagian kanan kalian. (HR. Abu Daud
dengan sanad yang shahih)

15.Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah berwudhu dengan mencuci setiap anggota wudhu sebanyak satu kali-
satu kali, juga pernah dua kali-dua kali dan juga tiga kali-tiga kali. Dan beliau bersabda, Barang siapa yang
menambah lebih dari itu maka sesungguhnya dia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat zhalim.
16.Setelah wudhu disunnahkan membaca doa, Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu
anna Muhammadan abduhu warasuluhu. Allahummajalni minat tawwabina wajalni minal mutathahhirina (Saya
bersaksi bahwasannya tiada ada illah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan
saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah jadiknlah saya termasuk golongan
orang-orang yang telah bersuci).
Atau membaca, Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha
Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain
Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).
Dalilnya adalah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang berwudhu
dan meninggalkan bagian sebesar kuku pada kakinya yang belum tercuci. Ketika beliau shallallahu alaihi wa
sallam melihatnya maka beliau bersabda,
Kembalilah dan perbaikilah wudhumu! (HR. Muslim).

17).Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).


Dalam suatu riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Bahwasanya Nabi melihat
seseorang sedang shalat, sementara di bagian atas kakinya terdapat bagian yang belum terkena air sebesar
dirham. Maka Nabi memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya. (HR. Abu dawud, shahih).
Dari hadits di atas, dapat kita ketahui bahwa muwalaat merupakan salah satu rukun wudhu. Hal ini karena Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tidaklah mencukupkan diri dalam memerintahkan orang yang belum sempurna
wudhunya untuk mencuci bagian yang belum tercuci sebelumnya, namun beliau memerintahkan orang tersebut
untuk mengulangi wudhunya.

Sunnah dalam wudhu

Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:




Nabi shallallahu alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut,
bersuci, dan dalam seluruh urusan beliau. (HR. Al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

Dari Abu Hurairah RA dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:



Sekiranya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak
setiap kali wudhu. (HR. Ahmad dalam beberapa tempat dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no.
70)

Dari Umar RA dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- bahwa beliau bersabda:







Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudlu, lalu bersungguh-sungguh atau menyempurnakan wudhunya
kemudian dia membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WA ANNA MUHAMMADAN ABDULLAHI
WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa
Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya) melainkan kedelapan pintu surga akan dibukakan untuknya. Dia
masuk dari pintu manapun yang dia kehendaki. (HR. Muslim no. 234)

Dalam riwayat lain dengan lafazh:




Barangsiapa yang berwudhu lalu membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH
WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang
berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya.
Di antara kesempurnaan wudhu adalah disunnahkan untuk memulai dengan mencuci anggota wudhu yang
sebelah kanan sebelum yang kiri, yakni pada kedua telapak tangan, tangan sampai siku, dan kedua kaki. Hanya
saja berhubung hukumnya sunnah, maka barangsiapa yang memulai dengan yang kiri maka sungguh dia telah
menyelisihi sunnah walaupun dia tidak berdosa dan wudhunya tidak makruh apalagi batal. Dan syariat memulai
dengan yang kanan ini berlaku pada semua jenis amalan dan tindakan, berdasarkan hadits Aisyah di atas.
Kemudian, sebelum wudhu, seseorang juga disunnahkan untuk bersiwak. Siwak secara bahasa mempunyai dua
makna:
.Akar kayu yang sudah maruf (diketahui bersama) yang digunakan untuk membersihkan gigi.
.Pekerjaan membersihkan gigi.
Karenanya semua pekerjaan membersihkan gigi itu dinamakan bersiwak walaupun tidak menggunakan kayu
siwak, menurut pendapat yang paling kuat. Maka jika seseorang tidak mempunyai kayu siwak, dia tetap bisa
mengerjakan sunnah yang mulia ini dengan cara membersihkan giginya dengan pasta gigi, atau sekedar dengan
sikat gigi atau dengan menggosok giginya dengan kain atau jari, dan seterusnya dari bentuk pekerjaan
membersihkan gigi.
Walaupun demikian, tentu saja lebih utama seseorang itu bersiwak dengan kayu siwak, karena inilah yang datang
dalam nukila perbuatan Nabi , bahwa beliau bersiwak dengan menggunakan kayu siwak.

Hadits Abu Hurairah tentang siwak di atas juga sebagai sanggahan kepada sebagian ulama yang memakruhkan
atau melarang seseorang yang berpuasa untuk bersiwak/menggosok gigi setelah zuhur. Hal itu karena hadits di
atas datang dalam bentuk umum setiap kali wudhu, tanpa ada pembedaan dari Nabi -alaihishshalatu wassalam-
antara sedang puasa dengan tidak puasa. Karenanya tetap disunnahkan seseorang yang berpuasa untuk
bersiwak, dan bagi yang menggunakan pasta gigi harus tetap menjaga jangan sampai ada pasta yang tertelan
olehnya.
Kemudian, sunnah terakhir yang tersebut dalam dalil-dalil di atas adalah sunnahnya berdoa setelah wudhu
dengan doa yang ma`tsur di atas, dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menjanjikan pahala masuk surga
bagi siapa saja yang mengucapkannya.

Pembatal-pembatal wudhu

Telah kita ketahui bersama bahwa hadats adalah suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk bersuci,
baik itu hadats besar maupun hadats kecil. Dan telah dijelaskan bahwa hadats besar adalah hadats yang hanya
bisa dihilangkan dengan mandi junub dan yang semacamnya, sementara hadats kecil adalah yang bisa
dihilangkan cukup dengan wudhu, walaupun bisa juga dihilangkan dengan mandi. Edisi kali ini kami akan
membahas mengenai pembatal wudhu atau hadats kecil dan sedikit menyinggung tentang hadats besar.
Sebelum kami mulai, maka di sini ada satu kaidah yang perlu diperhatikan, yaitu: Asal seseorang yang telah
berwudhu adalah wudhunya tetap syah sampai ada dalil shahih yang menyatakan wudhunya batal. Setelah ini
dipahami, maka ketahuilah bahwa pembatal wudhu secara umum terbagi menjadi dua jenis:A.Yang disepakati
oleh para ulama bahwa dia adalah pembatal wudhu.

1.Tinja dan kencing.


Berdasarkan firman Allah Taala, Atau salah seorang di antara kalian datang dari buang air atau kalian
menyentuh wanita lalu dia tidak menemukan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik. (QS. Al-
Maidah: 6)
Juga hadits Shafwan bin Assal dia berkata, Nabi -shallallahu alaihi wasallam- memerintahkan kami kalau kami
sedang safar agar kami tidak melepaskan sepatu-sepatu kami selama tiga hari-tiga malam kecuali kalau dalam
keadaan junub, akan tetapi kalau buang air besar, kencing dan tidur. (HR. At-Tirmizi)
Semisal dengannya wadi, dia adalah air yang keluar setelah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang
melelahkan atau sesaat setelah selesai kencing. Hukumnya sama seperti kencing.

2. Madzi,
yaitu cairan yang keluar dari kemaluan ketika sedang melakukan percumbuan dengan istri atau ketika
mengkhayalkan hal seperti itu.
Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda tentang
seseorang yang mengeluarkan madzi,
Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Kentut.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- memberi fatwa kepada seseorang yang ragu apakah dia kentut dalam
shalat ataukah tidak, Jangan dia memutuskan shalatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau. (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid)

4. Semua hadats besar juga adalah pembatal wudhu, yaitu: Keluarnya mani, jima, haid, nifas, hilangnya akal
dengan pingsan, gila atau mabuk dan murtad. Insya Allah semua ini akan kami bahas pada pembahasan mandi
wajib.
5. Tidur.
Ada dua jenis dalil yang lahiriahnya bertentangan di sini. Yang pertama adalah hadits Shafwan bin Assal yang
telah berlalu, yang menunjukkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu. Yang kedua adalah dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa para sahabat pernah lama menunggu Nabi -shallallahu alaihi wasallam- untuk keluar
melaksanakan shalat isya, sampai-sampai sebagian di antara mereka tertidur kemudian bangun kemudian tertidur
lagi kemudian tertidur lagi, baru setelah itu Nabi keluar untuk mengimami mereka. (HR. Al-Bukhari) Bahkan dalam
sebuah riwayat Abu Daud dari Anas disebutkan, Kemudian mereka mengerjakan shalat dan mereka tidak
berwudhu. Maka hadits ini menujukkan bahwa tidurnya mereka tidak membatalkan wudhu mereka.
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membedakan antara tidur yang nyenyak dengan tidur yang
tidak nyenyak atau sekedar terkantuk-kantuk. Yang pertama membatalkan wudhu -dan tidur inilah yang
dimaksudkan dalam hadits Shafwan-, sedang tidur yang kedua tidak membatalkan wudhu -dan inilah yang
dimaksudkan dalam hadits Anas-, wallahu alam. Ini adalah pendapat Malik, Az-Zuhri, Al-Auzai dan yang
dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Rusyd, Ibnu Abdil Barr, Asy-Syaikh Ibnu Bazz dan Asy-Syaikh Muqbil
-rahimahumullah-.
[Lihat An-Nail: 1/190, Syarh Muslim karya An-Nawawi: 4/74 dan Al-Ausath: 1/142]

6. Darah istihadhah.
Dia adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita, bukan pada waktu haidnya dan bukan pula karena
melahirkan.
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa darah istihadhah tidaklah membatalkan wudhu,
karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal itu. Dan hukum asal pada wudhu adalah tetap ada sampai
ada dalil yang menetapkan batalnya. Asy-Syaukani berkata dalam An-Nail,

Tidak ada satu pun dalil yang bisa dijadikan hujjah, yang mewajibkan wudhu bagi wanita yang mengalami
istihadhah.
Di antara dalil lemah tersebut adalah hadits Aisyah tentang sabda Nabi kepada seorang sahabiah yang terkena
istihadhah, Kemudian berwudhulah kamu setiap kali mau shalat. Hadits ini adalah hadits yang syadz lagi lemah,
dilemahkan oleh Imam Muslim, An-Nasai, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dan selainnya.
[Lihat Al-Fath: 1/409, As-Sail: 1/149 dan As-Subul: 1/99]

7. Menyentuh kemaluan.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah ditanya oleh seseorang yang menyentuh kemaluannya, apakah
dia wajib berwudhu? Maka beliau menjawab :

Tidak, itu hanyalah bagian dari anggota tubuhmu. (HR. Imam Lima dari Thalq bin Ali)

Maka hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu.
Tapi di sisi lain beliau -shallallahu alaihi wasallam- juga pernah bersabda,
Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya dia berwudhu. (HR. Imam Lima dari Busrah bintu
Shafwan) Dan ini adalah nash tegas yang menunjukkan batalnya wudhu dengan menyentuh kemaluan.
Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin adalah pendapat
yang memadukan kedua hadits ini dengan menyatakan: Menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu akan
tetapi disunnahkan -tidak diwajibkan- bagi orang yang menyentuh kemaluannya untuk berwudhu kembali.
Jadi perintah yang terdapat dalam hadits Busrah bukanlah bermakna wajib tapi hanya menunjukkan hukum
sunnah, dengan dalil Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak mewajibkan wudhu padanya -sebagaimana dalam
hadits Thalq-. Wallahu alam bishshawab.
[Lihat Al-Ausath: 1/193, A-Mughni: 1/180, An-Nail: 1/301, Asy-Syarh Al-Mumti: 1/ 278-284 dan As-Subul: 1/149]

8. Bersentuhan dengan wanita.


Menyentuh wanita -yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wudhu, berdasarkan hadits Aisyah
dia berkata,

Sesungguhnya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mencium sebagian istrinya kemudian beliau keluar
mengerjakan shalat dan beliau tidak berwudhu lagi. (HR. Ahmad, An-Nasai, At-Tirmizi dan Ibnu Majah)
Ini adalah pendapat Daud Azh-Zhahiri dan mayoritas ulama muhaqqiqin, seperti: Ibnu Jarir Ath-Thabari, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiah, Ibnu Katsir, dan dari kalangan muta`akhkhirin: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, Asy-Syaikh
Muqbil dan selainnya.
Adapun sebagian ulama yang berdalilkan dengan firman Allah Taala,

Atau kalian menyentuh wanita , (QS. Al-Maidah: 6)

bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu.


Maka bisa dijawab dengan dikatakan bahwa kata menyentuh dalam ayat ini bukanlah menyentuh secara umum,
akan tetapi dia adalah menyentuh yang sifatnya khusus, yaitu jima (hubungan intim).
Demikianlah Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhuma- menafsirkan bahwa menyentuh di sini
adalah bermakna jima. Hal ini sama seperti pada firman Allah Taala tentang ucapan Maryam,

Bagaimana mungkin saya akan mempunyai seorang anak sementara saya belum pernah disentuh oleh seorang
manusia pun dan saya bukanlah seorang pezina. (QS. Maryam: 20)
Dan kata disentuh di sini tentu saja bermakna jima sebagaimana yang bisa dipahami dengan jelas.
Ini juga diperkuat oleh hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari dan Muslim bahwa dia pernah tidur terlentang di depan
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- yang sedang shalat.
Ketika beliau akan sujud, beliau menyentuh kaki Aisyah agar dia menarik kakinya. Seandainya menyentuh wanita
membatalkan wudhu, niscaya beliau -shallallahu alaihi wasallam- akan membatalkan shalatnya ketika menyentuh
Aisyah.
[Lihat An-Nail: 1/195, Fathu Al-Qadir: 1/558, Al-Muhalla: 1/244, Al-Ausath: 1/113 dan Asy-Syarh Al-Mumti: 1/286-
291]

Catatan:
Menyentuh wanita -baik yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wudhu, hanya saja ini bukan
berarti boleh menyentuh wanita yang bukan mahram. Karena telah shahih dari Rasulullah -shallallahu alaihi
wasallam- bahwa beliau bersabda,

Seseorang di antara kalian betul-betul ditusukkan jarum besi dari atas kepalanya -dalam sebagian riwayat:
Sampai tembus ke tulangnya-, maka itu lebih baik bagi dirinya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal
baginya. (HR. Ath-Thabarani dari Maqil bin Yasar)

9. Mimisan dan muntah, baik memuntahkan sesuatu yang sudah ada di dalam perut atau yang masih berada di
tenggorokan.

Semua ini bukanlah pembatal wudhu karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal tersebut, karenanya
kita kembali ke hukum asal yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu
Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumallah-.
Adapun hadits,
Barangsiapa yang muntah (dari perut) atau mimisan atau muntah (dari tenggorokan) atau mengeluarkan madzi
maka hendaknya dia pergi dan berwudhu. (HR. Ibnu Majah dari Aisyah)
maka ini adalah hadits yang lemah. Imam Ahmad dan Al-Baihaqi telah melemahkan hadits ini, karena di dalam
sanadnya ada Ismail bin Ayyasy dan dia adalah rawi yang lemah.

10. Mengangkat dan memandikan jenazah.

Ada beberapa hadits dalam permasalahan ini, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah secara marfu,
Barangsiapa yang memandikan mayit maka hendaknya dia juga mandi, dan barangsiapa yang mengangkatnya
maka hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizi)
Akan tetapi hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Az-Zuhri, Abu Hatim, Ahmad, Ali bin Al-Madini dan Al-Bukhari.
Adapun hadits-hadits lainnya, maka kami sendiri pernah mentakhrij jalan-jalannya dan kami menemukannya
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-, Tidak ada satu pun hadits shahih yang ada
dalam permasalahan ini.

Anda mungkin juga menyukai