Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alhamdulillah Hirobbil Alamin kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga kami kelompok 3 dapat
menyelesaikan makalah Pendidikan Agama Islam yang berjudul “Puasa” dengan baik
dan lancar. Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah
ini. Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun,
sehingga tugas ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi para pembaca.
Agama Islam adalah agama yang rahmatan lil’aalamiin, mempunyai syariat
yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya. Kewajiban bagi umat Islam untuk
menjalankan syariat tersebut tentunya terdapat banyak hikmah di dalamnya. Semua
yang diciptakan oleh Allah swt. tidak ada yang sia-sia. Demikian pula dengan urusan
ibadah dan muamalah, baik yang diperintah maupun yang dilarang, semua
mengandung hikmah meskipun di antara hikmah-hikmah tersebut belum terungkap
oleh manusia. Salah satu ibadah yang mengandung banyak hikmah adalah ibadah
puasa.
Puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dan dilaksanakan oleh
manusia sebelum Islam.1 Islam mengajarkan antara lain agar manusia beriman kepada
Allah SWT, kepada malaikat-malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada rosul-
rosulNya, kepada hari akhirat dan kepada qodo qodarNya. Islam juga mengajarkan
lima kewajiban pokok, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai pernyataan
kesediaan hati menerima Islam sebagai agama, mendirikan sholat, membayar zakat,
mengerjakan puasa dan menunaikan ibadah haji.
Puasa wajib atau puasa fardhu terdiri dari puasa fardhu ain atau puasa wajib
yang harus dilaksanakan untuk memenuhi panggilan Allah ta’ala yang disebut puasa
ramadhan. Sedangkan puasa wajib yang terdiri dalam suatu hal sebagai hak Allah

1
Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa,(Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), hal; 1

1
SWT atau disebut puasa kafarat. Selanjutnya puasa wajib untuk memenuhi panggilan
pribadi atas dirinya sendiri dan disebut puasa nadzar.2
Pentingnya pembahasan mengenai bab Puasa adalah yang Pertama, sebagai
salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki bagi
kita. Kedua, sebagai perisai diri dari nafsu dan amarah. Ketiga, puasa juga bisa
digunakan untuk menjaga kesehatan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis
mengemukakan beberapa rumusan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengertian Puasa.
2. Apa saja rukun dan syarat puasa?
3. Apa saja macam-macam puasa?
4. Hal apa saja yang membatalkan puasa?
5. Apa saja hikmah puasa?

C. Tujuan Pembahasan
1. Ingin memahami pengertian puasa
2. Ingin memahami rukun dan syarat puasa
3. Ingin memahami macam-macam puasa
4. Ingin memahami apa saja yang membatalkan puasa
5. Ingin memahami hikmah puasa

BAB II
2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2014), hal; 220

2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Puasa
Puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dan dilaksanakan oleh
umat manusia sebelum Islam.3 Hal ini dapat diketahui dari firman Allah:
        
     
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”(QS.Al Baqarah: 183)
Dari segi bahasa, puasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kaff) dari
sesuatu. Misalnya, dikatakan “shama ‘anil-kalam”, artinya menahan dari berbicara.
Allah SWT berfirman sebagai pemberitahuan tentang kisah Maryam:
…        
Artinya: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat
seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
Maksutnya, diam dan menahan diri dari berbicara. Orang Arab lazim
mengatakan, “shama an-nahar”, maksutnya perjalanan matahari berhenti pada batas
pertengahan siang.
Adapun menurut syarak (syara’), puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang
membatalkannya puasa dan berpuasa dengan segala syarat-syarat nya puasa. Dan
diwajibkan puasa pada bulan sya’ban pada tahun kedua setelah hijrah nabi.4
Dengan kata lain, puasa menurut istilah adalah menahan diri dari perbuatan
(fi’li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta
menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya.
3
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Pustaka Rizki Putra, 2000),
hal. 1
4
Syaikh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Jilid II (Mesir: Toha Putra), h. 214

3
Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar
sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak melakukannya, yaitu
orang Muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus
dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu
secara pasti, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah membedakan antara perbuatan
ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.5
B. Rukun Puasa dan Syarat Puasa
1. Rukun Puasa
Ialah menahan diri dari dua macam syahwat, yakni syahwat perut dan syahwat
kemaluan. Maksudnya, menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya.6
Dalam buku Fiqh Islam disebutkan ada 2 rukun puasa, yaitu:
a. Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang
dimaksud dengan malam puasa ialah malam yang sebelumnya.
Sabda Rasulullah SAW :

Artinya: “Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar terbit,
maka tiada puasa baginya.” (Riwayat Lima Orang Ahli Hadis)
Kecuali puasa sunat, boleh berniat pada siang hari, asal sebelum zawal
(matahari condong ke barat).
b. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai
terbenam matahari.7
2. Syarat - Syarat Puasa
a. Syarat Wajib Puasa
1) Baligh
5
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 84-
85.

6
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf…, h. 85
7
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), h. 230.

4
2) Berakal
3) Mampu (Sehat)
b. Syarat Sah Puasa
1) Islam. Orang yang bukan Islam tidak sah puasa.
2) Mumayiz (dapat membedakan yang baik dengan yang tidak baik).
3) Suci dari darah haid (kotoran) dan nifas (darah sehabis melahirkan).
Orang yang haid atau nifas itu tidak sah berpuasa, tetapi keduanya
wajib mengqadha (membayar) puasa yang tertinggal itu secukupnya.
Dari Aisyah. Ia berkata, “kami disuruh oleh Rasulullah SAW
mengqada puasa dan tidak disuruhnya mengqada salat,” (Riwayat
Bukhari)
4) Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya.
Dilarang puasa pada dua hari raya dan hari Tasyrik (tanggal 11-12-13
bulan Haji).
Dari Anas, “Nabi SAW telah melarang berpuasa lima hari dalam satu
tahun; (a) Hari Raya Idul Fitri, (b) Hari Raya Haji, (c) tiga hari
Tasyriq (tanggal 11,12,13 bulan Haji).” (Riwayat Daruqutni)8

C. Macam-Macam Puasa
Puasa banyak macamnya; puasa-wajib, puasa sunah (tathawwu), puasa yang
diharamkan, dan puasa yang dimakruhkan.9
1. Puasa Wajib
Puasa jenis ini terdiri dari tiga macam :
a. Puasa yang diwajibkan karena waktu tertentu, yakni puasa pada bulan
ramadhan,

8
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam…, h. 229
9
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf…,h. 107.

5
b. Puasa yang diwajibkan karena suatu sebab (‘illat), yakni puasa kafarat,
dan
c. Puasa yang diwajibkan karena seseorang mewajibkan puasa kepada
dirinya sendiri, yakni puasa nazar.
2. Puasa-Haram10
Puasa jenis ini ialah sebagai berikut :
a. Puasa sunnah (nafilah) seorang perempuan yang dilakukan tanpa izin
suaminya. Kecuali, jika suaminya tidak memerlukannya. Misalnya, ketika
suaminya sedang bepergian, sedang melakukan ihram haji atau umrah,
atau sedang melakukan itikaf. Puasa ini diharamkan berdasarkan hadis
yang diriwayatkan dalam kitab Ash-Shahihain berikut:
“Seorang perempuan tidak dihalalkan berpuasa ketika suaminya hadir di
sampingnya, kecuali dengan izinnya.”
b. Puasa pada hari yang diragukan (yaumus-sakk). Yakni, puasa pada hari
ketiga puluh bulan Syakban, ketika orang-orang meragukan bahwa hari itu
termasuk bulan Ramadan. Para fukaha mempunyai beberapa ungkapan
yang hampir sama mengenai batasan antara bulan Syakban dan Ramadan.
Namun mereka berbeda pendapat dalam penetapan hukumnya. Walaupun
demikian, mereka bersepakat bahwa puasa tersebut tidak makruh. Bahkan,
mereka membolehkan puasa itu dilakukan jika bertepatan dengan
kebiasaan melakukan puasa sunah, misalnya puasa sunah hari Senin dan
hari Kamis.
Disebut juga hari syak jika hilal disaksikan oleh seseorang yang
kesaksiannya tidak diterima, seperti hamba sahaya, perempuan, atau orang
fasik. Sedangkan, jika langit dalam keadaan mendung hari itu dipandang
masih termasuk bulan Syakban hal demikian ini didasarkan atas hadis
yang terdapat dalam kita Ash-Shahihain berikut:

10
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf…,h. 108-109.

6
“Jika langit mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan
Syakban sebanyak tiga puluh hari.”
c. Puasa pada hari raya dan hari-hari Tasyrik.11
Menurut mazhab Hanafi, puasa yang dilakukan pada harihari tersebut
hukumnya makruh tahrimiy, sedangkan menurut mazhab yang lainnya
haram, serta tidak sah menurut mazhab yang lain baik puasa tersebut
merupakan puasa wajib maupun puasa sunah. Seseorang dianggap
melakukan maksiat jika sengaja berpuasa pada hari-hari tersebut. Puasa-
wajib yang dilakukan di dalamnya dipandang tidak membebaskannya dari
kewajiban; yakni berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
berikut:
“Rasulullah SAW melarang puasa pada dua hari. Yaitu, pada hari Raya
Fitri dan hari Raya Adha.”
d. Puasa wanita yang sedang haid atau nifas hukumnya haram dan tidak sah.
e. Puasa yang dilakukan oleh seorang yang khawatir akan keselamatan
dirinya jika dia berpuasa, hukumnya haram.

3. Puasa Makruh12
Puasa jenis ini seperti puasa dhar, puasa yang dikhususkan pada hari Jumat
saja atau hari Sabtu saja, puasa pada hari yang diragukan (syak) dan menurut Jumhur
puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadan. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i,
puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadan, hukumnya haram.
Adapun puasa yang termasuk kategori makruh tanzihiy adalah puasa pada hari
Asyura yang dilakukan tanpa didahului oleh hari sebelumnya (9 Muharram) atau

11
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf…,h. 113.
12
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf…,h. 116.

7
diikuti oleh hari sesudahnya (11 Muharram). Puasa lain yang termasuk kategori ini
ialah puasa pada hari Jum’at yang ifradi (tanpa melakukan puasa pada hari-hari yang
lainnya), hari Sabtu, hari Nairuz (hari terakhir pada musim bunga), dan hari
Mahrajan (hari terakhir pada musim gugur). Kemakruhan puasa-puasa ini menjadi
hilang jika puasa tersebut disertai dengan puasa-puasa lain yang telah menjadi
kebiasaan.
Puasa yang dilakukan oleh musafir yang merasa kesulitan, hukumnya makruh.
Begitu juga, puasa yang dilakukan oleh perempuan tanpa seizin suaminya. Suaminya
berhak menyuruhnya berbuka puasa untuk memenuhi hak dan kebutuhannya.
Kecuali, jika suaminya dalam keadaan sakit, sedang berpuasa, atau sedang melakukan
ihram dalam ibadah haji atau umrah.
4. Puasa Tathawwu’ atau Puasa Sunnah13
Tathawwu’ artinya mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan
amal ibadah yang tidak diwajibkan. Istilah ini diambil dari ayat berikut.
…    …
Artinya: “Dan barang siapa melakukan kebaikan dengan kerelaan hati....”
(Q.S. Al Baqarah:158)

Istilah ini terkadang diungkapkan dengan kata nafilah, sebagaimana dalam


shalat. Yakni berdasarkan ayat berikut :
…      
Artinya: “Dan pada sebagian malam hari, bertahajudlah kamu sebagai nafilah
bagimu.” (Q.S. Al Isra’ : 79)
Menurut kesepakatan para ulama, yang termasuk puasa tathawwu’ ialah
sebagai berikut.14
a. Berpuasa sehari dan berbuka sehari

13
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf…,h. 122-132.
14
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf…,h. 123.

8
Puasa ini merupakan jenis puasa tathawwu’ yang paling utama. Berdasarkan
hadis yang terdapat dalam kitab AshShahihain dikemukakan sebagai berikut:
“Puasa yang paling utama ialah puasa Dawud. Dia berpuasa sehari berbuka
sehari”
b. Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan
Dalam puasa jenis ini, yang lebih utama ialah berpuasa pada tiga hari bidh,
yakni pada tanggal 13,14, dan 15. Ketiga hari ini dinamakan bidh karena
malam hari pada ketiganya diterangi bulan dan pada siang harinya diterangi
matahari. Pahala puasa jenis ini seperti puasa dahr, yakni pelipat gandaan.
Dalil puasa jenis ini ialah hadis yang diriwayatkan Abu Dzar. Dia mengaakan
bahwa Nabi saw. Bersabda kepadanya:
“Jika kamu (hendak) berpuasa tiga hari dalam sebulan, maka berpuasalah
pada tanggal 13, 14, dan 15”
c. Puasa pada hari Senin dan Kamis dalam setiap minggu. Puasa jenis ini
berdasarkan perkataan Usamah bin Zaid berikut:
“Sesungguhnya Nabi SAW, berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Lalu, ketika
beliau ditanya mengenai hal itu, beliau bersabda , ‘Sesungguhnya, amalan-
amalan manusia diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis.”
d. Puasa enam hari pada bulan Syawal, meskipun tidak beruntun. Tetapi, jika
puasa enam hari tersebut dilakukan secara beruntun setelah hari raya, hal itu
lebih utama.
Tsauban meriwayatkan hadis sebagai berikut :
“Pahala puasa sebulan Ramadan sama dengan puasa sepuluh bulan. Satu
bulan dilipatgandakan menjadi sepuluh bulan. Enam hari dilipatgandakan
menjadi enam puluh hari. Dan hal itu sama dengan setahun penuh.”
e. Puasa hari Arafah; yaitu puasa tanggal 9 Zulhijah bagi orang yang tidak
sedang melakukan ibadah haji.15
Puasa ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim berikut:
15
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 126.

9
“Berpuasa pada hari arafah dipandang oleh Allah sebagai amalan yang
menjadi kafarat untuk satu tahun sebelum dan sesudahnya.”
f. Berpuasa selama delapan hari dalam bulan Zulhijah, sebelum hari Arafah.
Penyunahan puasa ini berlaku bagi orang melakukan ibadah haji ataupun yang
tidak melakukan ibadah haji ataupun yang tidak melakukan ibadah haji. Puasa
ini disunahkan berdasarkan perkataan Hafsnah berikut:
“Empat hal yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah SAW adalah puasa
Asyura, puasa sepuluh hari (Zulhijah), puasa tiga hari dalam setiap bulan,
dan dua rakaat sebelum subuh”
g. Berpuasa pada hari Tasu’a’ dan ‘Asyura’; yaitu tanggal 9 dan 10 Muharram.
Puasa jenis ini disunahkan lagi (akan lebih baik) jika keduanya dilakukan atas
hadis marfu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
“Seandainya aku masih hidup sampai masa mendatang, niscaya aku akan
berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.”
h. Berpuasa pada bulan-bulan yang dimuliakan.16 Yakni, keempat bulan dalam
satu tahun; tiga bulan berturut-turut (Zulkaidah, Zulhijah, Muharram), serta
Rajab. Keempat bulan ini merupakan bulan-bulan yang utama untuk berpuasa
setelah bulan Ramadan. Bulan-bulan mulia yang paling utama ialah
Muharram, Rajab, Zulhijah, dan Zulkaidah. Selanjutnya adalah bulan
Syakban.
D. Hal yang Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum
Makan dan minum yang membatalkan puasa ialah apabila dilakukan dengan
sengaja. Kalau tidak sengaja, misalnya lupa tidak membatalkan puasa.
Sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa lupa, sedangkan ia dalam keadaan puasa, kemudian ia makan
atau minum, maka hendaklah puasanya disempurnakan, karena

16
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf…, h. 131

10
sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
2. Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam.
Sabda Rasulullah SAW :
Dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW telah berkata, “Barangsiapa paksa
muntah, tidaklah wajib mengqada puasanya; dan barangsiapa yang
mengusahakan munta, maka hendaklah dia mengqada puasanya.” (Riwayat
Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)
3. Bersetubuh
Firman Allah SWT :
       
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan
istri-istri kamu.” (Q.S. Al-Baqarah : 187)
4. Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah sehabis melahirkan)
Dari Aisyah. Ia berkata, “Kami disuruh oleh Rasulullah SAW mengqada
puasa, dan tidak disuruhnya untuk mengqada salat.” (Riwayat Bukhari)
5. Gila.17 Jika gila itu datang waktu siang hari, batallah puasa.
6. Keluar mani dengan sengaja (karena berentuhan dengan perempuan atau
lainnya).
E. Hikmah Puasa
Ibadah puasa itu mengandung beberapa hikmah, di antaranya sebagai berikut :18
1. Tanda terima kasih pada Allah karena semua ibadah mengandung arti terima
kasih kepada Allah atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas
banyaknya, dan tidak ternilai harganya.
2. Didikan kepercayaan. Seseorang yang telah sanggup menahan makan dan
minum dari harta yang halal kepunyaannya sendiri, karena ingat perintah

17
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 233.

18
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam…, h. 243-244

11
Allah, sudah tentu ia tidak akan meninggalkan segala perintah Allah, dan
tidak akan berani melanggar segala larangan-Nya.
3. Didikan perasaan belas kasihan terhadap fakir-miskin karena seseorang yang
telah merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan. Hal itu akan dapat
mengukur kesedihan dan kesusahan orang yang sepanjang masa merasakan
ngilunya perut yang kelaparan karena ketiadaan. Dengan demikian, akan
timbul perasaan belas kasihan dan suka menolong fakir miskin.
4. Guna menjaga kesehatan.
5. Guna menenangkan nafsu amarah dan meruntuhkan kekuatannya yang
tersalurkan dalam anggota tubuh, seperti mata, lidah, telinga, dan kemaluan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah yang kami buat ini kami simpulkan bahwa:
 Dari segi bahasa, puasa berarti menahan dan mencegah dari sesuatu.
Sedangkan menurut istilah adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang
berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta
menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau
sejenisnya.) Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu
semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari.
 Puasa dilakukan oleh orang tertentu yang berhak, yaitu orang Muslim, sudah
baligh, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus
dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan
perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu dan mampu menahan diri dari
segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.

12
 Puasa banyak macamnya, diantaranya puasa wajib, puasa Sunnah (tathawwu),
puasa yang diharamkan, dan puasa yang dimakruhkan. Orang yang berpuasa
disunnahkan untuk melakukan sahur, menta’hirkan makan sahur,
menyegerakan berbuka, berbuka dengan sesuatu yang manis, berdoa sewaktu
berbuka puasa, memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang
berpuasa, hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa, dan
menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan.
 Ada pula beberapa hal yang membatalkan puasa, yaitu, makan dan minum
yang disengaja, muntah yang disengaja, bersetubuh, keluar darah haid
(kotoran) atau nifas, gila, dan keluar mani dengan sengaja.
 Puasa mengajarkan kita untuk lebih bersyukur terhadap segala hal yang telah
kita miliki pada saat ini. Mengajarkan kita untuk mampu membantu
orangorang fakir dan miskin
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa,Semarang: Pustaka Rizki


Putra, 2009
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensido, 2014
Syaikh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Jilid II Mesir: Toha Putra
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005

13

Anda mungkin juga menyukai