Anda di halaman 1dari 18

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Keberadaan Hukum Islam di kalangan ummat Islam adalah sebagai patokan dan
pedoman untuk mengatur kepentingan masyarakat dan menciptakan masyarakat yang
islami. Kehidupan yang teratur dan sepantasnya diyakini dapat diterima oleh setiap
manusia walaupun menurut manusia ukurannya berbeda-beda. Hukum Islam sebagai
Negara yang bukan mendasari berlakunya hukum atas hukum agama tertentu, maka
Indonesia mengakomodir semua agama, karena itu hukum Islam mempunyai peran besar
dalam menyumbangkan materi hukum atas hukum Indonesia.
Begitu juga dalam agama islam, terdapat berbagai banyak hokum dan berbagai
kewajiban yang terkandung di dalamnya, yakni Puasa, Sholat. Maka oleh itu kami
sebagai pemakalah akan mencoba untuk menjabarkan kewajiban-kewajiban yang ada di
dalam agam islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Sajakah Pengertian Sholat, Puasa?


2. Apa sajakah macam-macam solat dan puasa?
3. apa sajakah yang menjadi tata cara solat dan puasa bagi oaring sakit?
4. Bagaimanakah Hukum solat dan puasa bagi orang sakit?

C. Tujuan

Mengetahui apa yang di maksud dengan Sholat dan Puasa. Dan mengetahui
hukum solat dan puasa bagi orang sakit.
BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Puasa

Puasa ialah menahan diri dari makan dan minum serta melakukan perkara-perkara
yang boleh membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sehingga terbenamnya matahari.

B. Puasa Wajib

1. Puasa wajib

a. Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa wajib yang dikerjakan bagi setiap muslim pada
bulan Ramadhan selama sebulan penuh.
Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agara kamu bertaqwa. (Q.S. Al-
Baqarah[2]: 183)
Puasa Ramadhan juga termasuk dalam rukun Islam, sebagaimana tersebut dalam
hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a:
“Didirikan agama Islam itu atas lima dasar yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan
melainkan Allah dan Nabi Muhammada adalah utusan Allah, mendirikan shalat lima
waktu, mengeluarkan zakat, puasa bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke
Baitullah bagi yang mampu jalannya” (H.R. Bukhari dan Muslim).

b. Puasa Nadzar
Nadzar secara bahasa berarti janji. Puasa nadzar adalah puasa yang disebabkan
karena janji seseorang untuk mengerjakan puasa. Misalkan, Rudi berjanji jika nanti
naik kelas 9 ia akan berpuasa 3 hari berturut-turut, maka apabila Rudi benar-benar
naik kelas ia wajib mengerjakan puasa 3 hari berturut-turut yang ia janjikan itu.

Berkaitan dengan puasa nadzar, Rasulullah saw pernah bersabda:


Barangsiapa bernadzar akan mentaati Allah (mengerjakan perintahnya), maka
hendaklah ia kerjakan. (H.R. Bukhari)

c. Puasa Kafarat
Kafarat berasal dari kata dasar kafara yang artinya menutupi sesuatu. Puasa
kafarat secara istilah artinya adalah puasa untuk mengganti denda yang wajib
ditunaikan yang disebabkan oleh suatu perbuatan dosa, yang bertujuan menutup dosa
tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh dosa yang diperbuat tersebut, baik di dunia
maupun di akhirat.

2) Puasa Sunnah

a. Puasa enam hari di bulan Syawal.


Baik dilakukan secara berturutan ataupun tidak.
Rasulullah saw bersabda, yang artinya: Keutamaan puasa romadhon yang diiringi
puasa Syawal ialah seperti orang yang berpuasa selama setahun (HR. Muslim).

b. Puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah


Yang dimaksud adalah puasa di sembilan hari yang pertama dari bulan ini, tidak
termasuk hari yang ke-10. Karena hari ke-10 adalah hari raya kurban dan diharamkan
untuk berpuasa.

c. Puasa hari Arafah


Yaitu puasa pada hari ke-9 bulan Dzuhijjah. Keutamaannya, akan dihapuskan
dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang (HR. Muslim).
Yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah khusus untuk dosa-dosa kecil, karena
dosa besar hanya bisa dihapus dengan jalan bertaubat.

d. Puasa Muharrom
Yaitu puasa pada bulan Muharram terutama pada hari Assyuro’. Keutamaannya
puasa ini, sebagaimana disebutkan dalam hadist riwayat Bukhari, yakni puasa di
bulan ini adalah puasa yang paling utama setelah puasa bulan Romadhon.

e. Puasa Assyuro’
Hari Assyuro’ adalah hari ke-10 dari bulan Muharram. Nabi shalallahu ‘alaihi
wasssalam memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Assyuro’ ini dan
mengiringinya dengan puasa 1 hari sebelum atau sesudahnhya. Hal ini bertujuan
untuk menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani yang hanya berpuasa pada hari ke-10.
Keutamaan: akan dihapus dosa-dosa (kecil) di tahun sebelumnya (HR. Muslim).

f. Puasa Sya’ban.
Yang dimaksud puasa Sya’ban adalah memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.
Keutamaan: Bulan ini adalah bulan di mana semua amal diangkat kepada Rabb
semesta alam (HR. An-Nasa’i & Abu Daud, hasan).

g. Puasa Senin dan Kamis.


Nabi telah menyuruh ummatnya untuk puasa pada hari Senin dan Kamis. Hari
Senin adalah hari kelahiran Nabi Muhammad sedangkan hari Kamis adalah hari di
mana ayat Al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan. Perihal hari Senin dan
Kamis, Rasulullah juga telah bersabda:
“Amal perbuatan itu diperiksa pada setiap hari Senin dan Kamis, maka saya senang
diperiksa amal perbuatanku, sedangkan saya sedang berpuasa. (HR Tirmidzi)

h. Puasa Tengah Bulan (tiga hari setiap bulan Qamariyah).


Disunnahkan untuk melakukannya pada hari-hari putih (Ayyaamul Bidh) yaitu
tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan qamariyah.

i. Puasa Dawud
Cara mengerjakan puasa nabi Dawud adalah dengan sehari puasa sehari tidak
puasa, atau selang-seling. Puasa nabi Dawud adalah puasa yang paling disukali oleh
Allah swt. (HR. Bukhari-Muslim).

3) Puasa Makruh
Kapan puasa hukumnya makruh? Puasa yang makruh dilakukan adalah puasa
pada hari Jumat dan Sabtu yang tidak bermaksud mengqadha’ Ramadhan, membayar
nadzar atau kafarat, atau tidak diniatkan untuk puasa sunnah tertentu. Jadi seseorang
yang puasa pada hari Jumat atau Sabtu dengan niat mengqadha’ puasa Ramadhan
tidak termasuk puasa makruh. Misal tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu maka
puasa hari Sabtu pada waktu itu menjadi puasa sunnah bukan makruh. Ada pendapat
lain yang lebih keras bahkan menyatakan bahwa puasa pada hari Jumat tergolong
puasa haram jika dilakukan tanpa didahului hari sebelum atau sesudahya.
4) Puasa Haram
Ada puasa pada waktu tertentu yang hukumnya haram dilakukan, baik karena
waktunya atau karena kondisi pelakukanya.

a. Hari Raya Idul Fitri


Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu
adalah hari kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat
telah mengatur bahwa di hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa
sampai pada tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus
membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.

b. Hari Raya Idul Adha


Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat
Islam. Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk
menyembelih hewan Qurban dan membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat
serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap
hewan qurban itu dan merayakan hari besar.

c. Hari Tasyrik
Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat
Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih
diharamkan untuk berpuasa. Pada tiga hari itu masih dibolehkan utnuk menyembelih
hewan qurban sebagai ibadah yang disunnahkan sejak zaman nabi Ibrahim as.

d. Puasa sepanjang tahun / selamanya


Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Meski dia sanggup
untuk mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara syar`i puasa
seperti itu dilarang oleh Islam. Bagi mereka yang ingin banyak puasa, Rasulullah
SAW menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu sehari puasa dan
sehari berbuka

C. Syarat Wajib Puasa


- Beragama Islam
- Baligh (telah mencapai umur dewasa)
- Berakal
- Berupaya untuk mengerjakannya.
- Sehat
- Tidak musafir
D. Rukun Puasa

Niat mengerjakan puasa pada tiap-tiap malam di bulan Ramadhan(puasa wajib)


atau hari yang hendak berpuasa (puasa sunat). Waktu berniat adalah mulai daripada
terbenamnya matahari sehingga terbit fajar.

Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sehingga masuk
matahari.

E. Syarat Sah Puasa


- Beragama Islam
- Berakal
- Tidak dalam haid, nifas dan wiladah (melahirkan anak) bagi kaum wanita
- Hari yang sah berpuasa.
F. Sunat Berpuasa
- Bersahur walaupun sedikit makanan atau minuman
- Melambatkan bersahur
- Meninggalkan perkataan atau perbuatan keji
- Segera berbuka setelah masuknya waktu berbuka
- Mendahulukan berbuka daripada sembahyang Maghrib
- NBerbuka dengan buah tamar, jika tidak ada dengan air
- Membaca doa berbuka puasa
- Perkara Makruh Ketika Berpuasa
- Selalu berkumur-kumur
- Merasa makanan dengan lidah
- Berbekam kecuali perlu
- Mengulum sesuatu

G. Hal yang membatalkan Puasa


- Memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan
- Muntah dengan sengaja
- Bersetubuh atau mengeluarkan mani dengan sengaja
- kedatangan haid atau nifas
- Melahirkan anak atau keguguran
- Gila walaupun sekejap
- Mabuk ataupun pengsan sepanjang hari
- Murtad atau keluar daripada agama Islam

H. Hukum Berpuasa Bagi Orang Sakit


1. Dalam Al Qur’an dijelaskan:
- QS. Al Baqarah, ayat 185:

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib
menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkanya itu, pada hari-hari yang lain.

- QS. An Nisa, ayat 29:

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.

2. Pendapat Para Ulama.

Mayoritas ulama sependapat bahwa yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa adalah
orang yang sakit parah yang dapat memperparah penyakitnya jika ia tetap memaksakan
diri untuk berpuasa. Para ulama mendasarkan pendapat mereka pada dua ayat di atas.

Ibnu Qudamah mengatakan dalam al Mughni, Madzhab Bukhari, Atha’ dan ulama
Zahiriyyah membolehkan seseorang berbuka karena segala macam rasa sakit, bahkan
karena telunjuk jari atau gusi yang sakit berdasarkan keumuman ayat tentang masalah ini

3. Analisa dan Kesimpulan.


- Dalam QS al Baqarah ayat 185 tersebut maupun dalam hadis Rasulullah saw
memang tidak dijelaskan secara terperinci seperti apa kategori sakit, apakah sakit
karena jari telunjuk teriris pisau dan berdarah menjadikan seseorang boleh
membatalkan puasa ramadhannya.
- QS. An Nisa ayat 29, maka jelas bahwa yang dimaksud sakit yang diperbolehkan
untuk berbuka puasa adalah yang jika karena puasanya (lapar dan haus) khawatir
sakitnya akan semakin berat atau bahkan bisa mati. Namun jika penyakit yang
dideritanya tidak bertambah para karena rasa lapar dan haus, maka orang tersebut
tetap harus berpuasa. Pada dasarnya Allah tidak ingin menjadikan kesukaran bagi
hambaNya untuk menjalankan ibadah, sebagaimana dalam QS. al Hajj, ayat 78:
Dan tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. Namun bukan berarti
kita mengentengkan atau mempermainkan apa yang sudah ditaklifkan
(dibebankan) kepada kita sebagai hamba Allah swt.
- Hal ini secara logis pun dapat diterima, karena jika semua bentuk sakit
menjadikan orang bisa tidak berpuasa maka sakit panu, bisulan, batuk, pilek dan
penyakit ringan lainnya pun bisa dijadikan alasan untuk seseorang untuk tidak
berpuasa. Jika seseorang sakit ringan secara beruntun dan tidak ada habisnya, bisa
dipastikan orang tersebut tidak akan berpuasa selama hidupnya karena jarang
sekali seseorang sehat wal afiat tanpa ada sakit atau luka sedikitpun.
A. Pengertian Solat
Sholat rujuk kepada ritual ibadah pemeluk agama islam.
Secara etimologi salat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti Doa.
Sedangkan menurut istilah, salat bermakna serangkainan kegiatan ibadah khusus
atau tertentu yang dimulai dengan Takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam.

B. Macam-macam Solat

1. Hukum Sholat Lima Waktu


Salat yang mula-mula diwajibkan bagi Nabi Muhammad SAW dan para
pengikutnya adalah Salat Malam, yaitu sejak diturunkannya Surat al-Muzzammil
(73) ayat 1-19. Setelah beberapa lama kemudian, turunlah ayat berikutnya, yaitu
ayat 20:
Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri
(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama
kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa
kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu)
dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang
yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.
Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan
yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dengan turunnya ayat ini, hukum Salat Malam menjadi sunat. Ibnu Abbas,
Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya berkata mengenai
ayat 20 ini, "Sesungguhnya ayat ini menghapus kewajiban Salat Malam yang
mula-mula Allah wajibkan bagi umat Islam.

Dalam banyak hadits, Nabi Muhammad telah memberikan peringatan


keras kepada orang yang suka meninggalkan Sholat, diantaranya ia bersabda:
"Perjanjian yang memisahkan kita dengan mereka adalah sholat. Barangsiapa
yang meninggalkan sholat, maka berarti dia telah kafir."
Orang yang meninggalkan sholat maka pada hari kiamat akan
disandingkan bersama dengan orang-orang laknat, berdasarkan hadits berikut ini:
"Barangsiapa yang menjaga sholat maka ia menjadi cahaya, bukti dan
keselamatan baginya pada hari kiamat dan barangsiapa yang tidak menjaganya
maka ia tidak mendapatkan cahaya, bukti dan keselamatan dan pada hari kiamat
ia akan bersama Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay bin Khalaf."[3]

C. Hukum Sholat dapat dikategorisasikan sebagai berikut :


a. Fardhu, Sholat fardhu ialah sholat yang diwajibkan untuk mengerjakannya.
Sholat Fardhu terbagi lagi menjadi dua, yaitu :
- Fardhu ‘Ain : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf langsung
berkaitan dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh
orang lain, seperti Sholat lima waktu, dan Sholat jumat(Fardhu 'Ain untuk pria).
- Fardhu Kifayah : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf tidak
langsung berkaitan dengan dirinya. Kewajiban itu menjadi sunnah setelah ada
sebagian orang yang mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang
mengerjakannya maka kita wajib mengerjakannya dan menjadi berdosa bila tidak
dikerjakan. Seperti Sholat jenazah.
b. Nafilah (Sholat sunnat),Sholat Nafilah adalah Sholat-Sholat yang dianjurkan
atau disunnahkan akan tetapi tidak diwajibkan. Sholat nafilah terbagi lagi menjadi
dua, yaitu
- Nafil Muakkad adalah Sholat sunnat yang dianjurkan dengan penekanan yang
kuat (hampir mendekati wajib), seperti Sholat dua hari raya, Sholat sunnat witir
dan Sholat sunnat thawaf.
- Nafil Ghairu Muakkad adalah Sholat sunnat yang dianjurkan tanpa penekanan
yang kuat, seperti Sholat sunnat Rawatib dan Sholat sunnat yang sifatnya
insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti Sholat kusuf/khusuf hanya
dikerjakan ketika terjadi gerhana).

D. Rukun-Rukun Sholat
Adapun beberapa rukun atau hal yang menjadi syarat syahnya sholat ada 13,
yakni diantaranya :
1. Berdiri
2. Niat
3. Takbiratul ihram
4. Membaca surat Al Fatihah pada tiap rakaat
5. Ruku' dengan thuma'ninah
6. I'tidal dengan thuma'ninah
7. Sujud dua kali dengan thuma'ninah
8. Duduk antara dua sujud dengan thuma'ninah
9. Duduk dengan thu'maninah serta membaca tasyahud akhir dan
10. sholawat kepada nabi
11. berlindung kepada Allah dari siksa jahannam &kubur serta fitnah hidup dan
mati dankekejian fitnah dajjal
12. Membaca salam yang pertama
13. Tertib (melakukan rukun secara berurutan)

E. Hal-Hal yang Membatalkan Sholat


Shalat seseorang akan batal apabila ia melakukan salah satu di antara hal-hal
berikut ini:
1. Makan dan minum dengan sengaja. Hal ini ber-dasarkan sabda Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang artinya :
"Sesungguhnya di dalam shalat itu ada kesibukkan tertentu." (Muttafaq 'alaih) (1)

2. Berbicara dengan sengaja, bukan untuk kepentingan pelaksanaan shalat.


"Dari Zaid bin Arqam radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Dahulu kami berbicara di
waktu shalat, salah seorang dari kami berbicara kepada temannya yang berada di
sampingnya sampai turun ayat: 'Dan hendaklah kamu berdiri karena Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu'(1), maka kami pun diperintahkan untuk diam dan
dilarang berbicara." (Muttafaq 'alaih)

3. Meninggalkan salah satu rukun shalat atau syarat shalat yang telah disebutkan
di muka, apabila hal itu tidak ia ganti/sempurnakan di tengah pelaksanaan shalat
atau sesudah selesai shalat beberapa saat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap orang yang shalatnya tidak tepat:
"Kembalilah kamu melaksanakan shalat, sesungguhnya kamu belum
melaksanakan shalat." (Muttafaq 'alaih). Lantaran orang itu telah meninggalkan
tuma'ninah dan i'tidal. Padahal kedua hal itu termasuk rukun.
4. Banyak melakukan gerakan, karena hal itu bertentangan dengan pelaksanaan
ibadah dan membuat hati dan anggota tubuh sibuk dengan urusan selain ibadah.
Adapun gerakan yang sekadarnya saja, seperti memberi isyarat untuk menjawab
salam, membetulkan pakaian, menggaruk badan dengan tangan, dan yang
semisalnya, maka hal itu tidaklah membatalkan shalat.

5. Tertawa sampai terbahak-bahak. Para ulama se-pakat mengenai batalnya shalat


yang disebabkan tertawa seperti itu. Adapun tersenyum, maka kebanyakan ulama
menganggap bahwa hal itu tidaklah merusak shalat seseorang.

6. Tidak berurutan dalam pelaksanaan shalat, seperti mengerjakan shalat Isya


sebelum mengerjakan shalat Maghrib, maka shalat Isya itu batal sehingga dia
shalat Maghrib dulu, karena berurutan dalam melaksanakan shalat-shalat itu
adalah wajib, dan begitulah perintah pelaksanaan shalat itu.

7. Kelupaan yang fatal, seperti menambah shalat menjadi dua kali lipat,
umpamanya shalat Isya' delapan rakaat, karena perbuatan tersebut merupakan
indikasi yang jelas, bahwa ia tidak khusyu' yang mana hal ini merupakan ruhnya
shalat.
F. Syarat-syarat Solat
1. Syarat Wajib Solat
-Suci dari haid dan nifas
-Sampai dakwah islam kepadanya
-Berakal
-Baligh
-Ada Pendengaran

2. Syarat Syah Sah nya Solat

-Suci badanya dari 2 hadats yaitu hadats besar dan kecil

-Bersih badan dan tempatnya dari najis

-Menutup Aurat

-Sudah masuk waktu solat

-Menghadap Kiblat

G. Hukum Solat Bagi orang sakit

Pada dasarnya orang sakit sama dengan orang sehat dalam hal kewajiban melaksanakan
shalat, hanya bagi orang sakit ada beberapa rukhsah (keringanan) dalam melaksanakannya. Di
dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa agama Islam itu mudah tidak sulit, dan Allah tidak
menjadikan untuk kita dalam agama suatu kesempitan.

‫ ُل َوفِي‬U‫لِ ِمينَ ِم ْن قَ ْب‬U‫ َّما ُك ُم ْال ُم ْس‬U‫ َو َس‬Uُ‫ج ِملَّةَ َأبِي ُك ْم ِإب َْرا ِهي َم ه‬ ِ ‫ق ِجهَا ِد ِه ه َُو اجْ تَبَا ُك ْم َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الد‬
ٍ ‫ِّين ِم ْن َح َر‬ َّ ‫َو َجا ِهدُوا فِي هللاِ َح‬
ْ ِ َ‫صالَةَ َوَآتُوا ال َّز َكاةَ َوا ْعت‬
‫وْ لَى‬UU‫وْ الَ ُك ْم فَنِ ْع َم ال َم‬UU‫ص ُموا بِاهللِ هُ َو َم‬ ‫َأ‬ ِ َّ‫هَ َذا لِيَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َش ِهيدًا َعلَ ْي ُك ْم َوتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬
َّ ‫اس فَ قِي ُموا ال‬
]78 :22 ،‫صي ُر [الحج‬ ِ َّ‫َونِ ْع َم الن‬

Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia
telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (ikutilah) Agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu
menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik
Pelindung dan sebaik-baik Penolong”. [QS. al-Hajj (22): 78]
Untuk menjawab beberapa pertanyaan yang dikemukakan bapak Soejarwo, perlu kami
sampaikan beberapa hal sebagai berikut;

1. Ketika akan melaksanakan shalat hendaklah melakukan wudhu terlebih dahulu. Jika orang
sakit mampu melakukan wudhu dengan menggunakan air, maka hendaklah ia melakukannya
seperti orang sehat. Apabila ia tidak mampu melakukannya dengan menggunakan air, maka
hendaklah ia melakukan tayamum sebagai ganti dari wudhu, yaitu, dengan menekankan
kedua telapak tangan ke tanah atau tempat yang mengandung unsur tanah/ debu, kemudian
meniup kedua telapak tangan tersebut, lalu mengusapkannya pada muka dan kedua punggung
telapak tangan masing-masing satu kali.

2. Orang sakit selama ia mampu melakukan shalat dengan berdiri, maka hendaklah ia shalat
dengan berdiri. Jika ia tidak mampu melaksanakannya dengan berdiri, maka shalatlah dengan
duduk, baik dengan duduk bersila maupun dengan cara duduk tawaruk atau iftirasy.

3. Jika tidak mampu duduk karena mendapatkan kesulitan ketika duduk atau mendapatkan
madharat, seperti penyakitnya bertambah parah, maka hendaklah ia melaksanakan shalat
dengan tidur miring. Tata cara shalat orang sakit seperti itu ditegaskan dalam hadits sebagai
berikut;

َ Uَ‫الَ ِة فَق‬U‫الص‬
: ‫ال‬U َّ ‫ ع َِن‬- ‫لم‬UU‫ه وس‬UU‫لى هللا علي‬UU‫ ص‬- ‫ى‬ ُ ‫َت بِى بَ َوا ِسي ُر فَ َسَأ ْل‬
َّ ِ‫ت النَّب‬ ْ ‫ قَا َل َكان‬- ‫ رضى هللا عنه‬- ‫ص ْي ٍن‬
َ ‫ع َْن ِع ْم َرانَ ْب ِن ُح‬
ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ
]‫ [رواه البخارى‬.‫ فِإن ل ْم تَ ْستَ ِط ْع ف َعلى َجنب‬،‫ فِإن ل ْم تَ ْستَ ِط ْع فقا ِعدًا‬، ‫ص ِّل قاِئ ًما‬ َ

Artinya: “Diriwayatkan dari Imran bin Husein ra., ia berkata; ”Saya menderita penyakit
wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw., maka beliau menjawab: “Shalatlah kamu
sambil duduk. Jika tidak mampu (duduk), maka hendaklah shalat sambil berbaring.”[HR. al-
Bukhari]

4. Gerakan atau cara ruku’ dan sujud orang sakit hendaklah dibedakan. Untuk sujud caranya
dengan membungkukkan badan lebih rendah (bawah) dari ruku’.

‫ِإ ْن َل ْم‬Uَ‫ ف‬،َ‫تَطَاع‬U‫اس‬


ْ ‫ا ِإ ِن‬U‫ريضُ قَاِئ ًم‬U ِ ‫لِّى ْال َم‬U‫ُص‬ َ ‫ ي‬:‫ا َل‬Uَ‫ ق‬-‫لم‬UU‫ه وس‬U‫لى هللا علي‬U‫ص‬- ‫ض َى هللاُ َع ْنهُ َع ِن النَّبِ ِّى‬ ِ ‫ب َر‬ ٍ ِ‫ع َْن َعلِ ِّى ْب ِن َأبِى طَال‬
‫لَّى‬UU‫ص‬ َ ‫اعدًا‬ َ ُ‫ فَِإ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع َأ ْن ي‬،‫وع ِه‬
ِ َ‫صلِّى ق‬ ِ ‫ض ِم ْن رُ ُك‬َ َ‫ َو َج َع َل ُسجُو َدهُ َأ ْخف‬،‫ فَِإ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع َأ ْن يَ ْس ُج َد َأوْ َمَأ‬،‫صلَّى قَا ِعدًا‬
َ ‫يَ ْستَ ِط ْع‬
ْ ُ ْ
‫ [رواه‬.َ‫ة‬Uَ‫هُ ِم َّما يَلِى القِ ْبل‬U‫تَلقِيًا ِرجْ ل‬U‫لى ُم ْس‬U‫ص‬ َّ ‫َأل‬ ْ ِّ
َ ‫ ِه ا ْي َم ِن‬Uِ‫ل َى َعلَى َجنب‬U‫ُص‬ ‫َأ‬ ْ ْ ‫َأل‬
َ ‫تَ ِط ْع ْن ي‬U‫ِإ ْن لَ ْم يَ ْس‬Uَ‫ ف‬،‫ ِة‬Uَ‫تَقبِ َل القِ ْبل‬U‫ ِه ا ْي َم ِن ُم ْس‬Uِ‫َعلَى َج ْنب‬
]‫البيهقى والدارقطنى‬

Artinya: “Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: Orang
sakit melakukan shalat dengan berdiri jika ia mampu berdiri. Jika ia tidak mampu (berdiri),
shalatlah ia dengan duduk. Jika ia tidak mampu sujud ke tanah (tempat sujud), maka ia
memberi isyarat, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah (posisi atau caranya) dari
ruku’nya.Jika ia tidak mampu shalat dengan duduk, maka ia shalat dengan tidur miring ke
sebelah kanan dan menghadap kiblat. Jika tidak mampu tidur miring ke sebelah kanan, maka
ia shalat dengan menghadapkan kedua kakinya ke arah kiblat.” [HR. al-Baihaqi dan ad-
Daruquthni]

Dari kedua hadits di atas (hadits riwayat Imran bin Husein dan riwayat Ali bin Abi Thalib)
dapat disimpulkan bahwa tatacara shalat bagi orang sakit adalah sebagai berikut:

1. Jika ia mampu berdiri hendaklah ia melakukannya dengan berdiri

2. Jika tidak mampu berdiri, hendaklah melakukannya dengan duduk, baik duduk iftirasy,
duduk tawarruk atau cara duduk yang ia mampu lakukan.

3. Apabila ia tidak mampu melaksanakan shalat dengan duduk, maka ia dapat melakukannya
dengan cara tidur miring ke sebelah kanan dan menghadap kiblat jika memungkinkan.

4. Jika tidak mampu tidur miring, maka ia menghadapkan kedua kakinya ke arah kiblat jika
memungkinkan.

5. Jika tidak memungkinkan menghadap ke arah kiblat, maka shalat tetap dapat dilakukan ke
arah mana saja orang sakit itu menghadap. Allah berfirman:

]115 :2 ،‫ [البقرة‬.‫ق َو ْال َم ْغ ِربُ فََأ ْينَ َما تُ َولُّوا فَثَ َّم َوجْ هُ هللاِ ِإ َّن هللاَ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬
ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬

Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
[QS. al-Baqarah (2): 115]

6. Cara ruku’ dan sujud bagi orang sakit yang tidak mampu melakukannya dengan berdiri
hendaklah dibedakan antara keduanya. Sujud dilakukan dengan cara membungkukkan badan
lebih rendah (bawah) dari cara untuk ruku.

Anda mungkin juga menyukai