Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PUASA & TUJUANNYA

Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah

FIQH IBADAH

Dosen pengampu : Bpk. H. M. Subhan Idris, Lc, M.S.I

Di susun oleh kelompok 6 :

1. M. Izzudin Nurulhaq (19106011196)


2. Abu Mansur (19106011201)
3. Nur Istiqomah (19106011218)
4. Untung Andi Jajang (19106011229)
5. Siti Nur Haliza (19106011233)
6. Khusna Silvia (19106011236)

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami diberikan kesehatan fisik maupun rohani dalam menyelesaikan makalah
fiqih ibadah ini. Shalawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Agung Muhammad
SAW yang syafa’atnya kita nantikan di hari kiamat.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen selaku pembimbing dan segala
pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Makalah ini kami buat
dengan maksimal mungkin yang bahan materinya kami dapat dari berbagai sumber yang ada.
Kami membuat makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah FIQH IBADAH yang di
dalamnya kami membahas tentang “ PUASA & TUJUANNYA ”. Semoga apa yang kami tulis
dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari bahwa makalah kami belum sempurna. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran akan kami terima agar dalam pembuatan makalah selanjutnya
dapat lebih baik lagi dari makalah yang sebelumnya.

Semarang, 15 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ...................................................................................................
B. Rumusan masalah ..........................................................................................................
C. Tujuan masalah ................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Puasa dan Cara Pelaksanaannya.....................................................................................
B. Metode Penetapan Hilal..................................................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................................................
B. Saran dan kritik.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Fiqh merupakan salah satu bidang ilmu dalam syariat islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan dengan Allah, Tuhannya.

Fiqh dibagi menjadi dua. Salah satunya ialah fiqh ibadah. Fiqh ibadah membahas tentang
nash-nash yang berkaitan dengan ibadah hamba Allah dengan segala bentuk hukumannya, yang
mempermudah pelaksaan ibadah. Salah satu yang termasuk dalam pembahasan fiqh ibadah ialah
puasa. Puasa wajib dilaksakan bagi kaum muslim yang sudah mencapai syarat wajibnya. Jadi,
kali ini kami akan membahas tentang puasa dan tata cara pelaksanaannya.

B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi puasa dan bagaimana cara pelaksanaannya?
b. Bagaimana cara penetapan hilal itu ?
C. Tujuan Masalah
a. Menjelaskan definisi puasa dan cara pelaksanaannya
b. Menjelaskan tentang cara penetapan hilal
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI PUASA DAN CARA PELAKSANAANNYA


1. PUASA
Puasa menurut bahasa adalah menahan dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah
menahan diri dari keseluruhan sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari dengan niat tertentu.1
2. TUJUAN PUASA
Tujuan puasa adalah untuk menahan nafsu dari berbagai syahwat sehingga seseorang siap
untuk mencari sesuatu yang menjadi puncak kebahagiannya. Dengan puasa, seseorang juga bisa
menghilangkan permusuhan nafsu terhadap lapar dan dahaga. Puasa juga mengingatkan kita
akan keadaan orang – orang yang menderita kelaparan.2

3. HUKUM BERPUASA
1) Wajib. Meliputi :
 Puasa Ramadlan. Berpuasa dalam bulan Ramadlan wajib hukumnya menurut
konsensus ulama. Orang yang mengingkarinya dihukumi kafir kecuali bila ia
belum mengenal agama secara mendalam sebab hidup jauh dari para ulama atau
baru masuk agama Islam.
 Puasa qadlâ’ bulan Ramadlan.
 Puasa untuk membayar kafârat. Seperti kafârat zhihâr, membunuh dan melakukan
persetubuhan di siang hari bulan Ramadlan.
 Puasa dalam ibadah haji dan umrah sebagai ganti dari penyembelihan fidyah.
 Puasa untuk shalat Istisqâ’ ketika diperintahkan imam.
2) Sunah. Terbagi menjadi tiga macam :
 Puasa yang berulang-ulang tiap tahun. Seperti puasa hari Arafah, hari Tasu‘â’
(tanggal 9 Muharram), hari ‘Asyûrâ' (tanggal 10 Muharam), tanggal 11 Muharam,
puasa enam hari bulan Syawal, puasa di bulan-bulan yang dimuliakan

1
Al Taqrirat al Sadidah hal. 433, Dar al Ulum al Islamiyyah, Kifayah al Akhyar juz 1 hal. 204 al Haramain.
2
Kinoysan, Wijayanto. “Biar Puasa Nggak Sia-sia”. (Jakarta: Pustaka Oasis,2010) hlm. 42
(Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab) dan 10 hari awal bulan Dzulhijjah
selain tanggal 10 Dzulhijjah.
 Puasa yang berulang-ulang tiap bulan. Seperti puasa tanggal 13, 14, dan 15 tiap
bulan dan puasa tanggal 28, 29 dan 30 tiap bulan.
 Puasa yang berulang-ulang tiap minggu. Seperti puasa Senin, puasa Kamis dan
puasa Daud (sehari puasa sehari tidak).
3) Makruh. Seperti mengkhususkan puasa di hari Jum'at, atau Ahad dan puasa selama
setahun penuh bagi orang yang khawatir membahayakan kesehatannya atau dapat
menghambat melakukan kesunahan-kesunahan.
4) Haram. Terbagi menjadi dua macam :
 Tetap sah meskipun haram dilakukan. Seperti puasanya seorang istri tanpa seizin
suaminya dan puasa seorang budak tanpa seizin tuannya.
 Haram dan tidak sah. Meliputi :
a. Puasa hari raya Idul Fitri : yakni tanggal 1 Syawal,
b. Puasa hari raya Idul Adha : yakni tanggal 10 Dzulhijjah,
c. Puasa hari-hari Tasyrîk : yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah
d. Puasa separuh akhir bulan Sya‘ban : yakni mulai tanggal 16 hingga akhir
bulan.
e. Puasa hari syakk : yakni puasa pada tanggal 30 Sya‘ban ketika ada kabar
terlihatnya hilâl atau hilâl telah disaksikan oleh orang-orang yang tidak
diterima kesaksiannya seperti perempuan dan anak kecil yang berakibat
adanya keraguan dalam berpuasa.
Catatan :
 Diperbolehkan untuk berpuasa hari syakk atau separuh akhir bulan Sya‘ban dalam
beberapa kondisi :
1) Bila berupa puasa wajib. Seperti puasa qadlâ‘ bulan Ramadlan, puasa kafârat dan
puasa nazar.
2) Berupa puasa rutin. Seperti puasa hari senin dan hari Kamis Meskipun baru berulang
satu kali.
3) Bila puasa di hari-hari separuh akhir bulan Sya‘ban disambung dengan hari-hari
sebelumnya. Seperti tanggal 15 disambung dengan tanggal 16, tanggal 16 disambung
dengan tanggal 17 dan seterusnya. Jika terputus satu hari saja maka haram untuk
berpuasa di hari-hari selanjutnya.
 Puasa di hari syakk hukum asalnya adalah haram dan tidak sah. Namun dapat berhukum
tidak haram dalam beberapa kondisi tertentu sebagai berikut :
1) Berhukum wajib. Jika ada kabar terlihatnya hilâl bulan Ramadlan oleh orang yang
terpercaya atau dengan melihat hilâl secara langsung.
2) Boleh berpuasa. Jika ada kabar terlihatnya hilâl bulan Ramadlan oleh orang yang
kurang terpercaya namun hati membenarkannya.
3) Sunah berpuasa. Bila bertepatan dengan rutinitasnya seperti puasa hari Senin

4. SYARAT- SYARAT WAJIB PUASA


a. Islam, meskipun terjadi di masa lalu. Sehingga orang murtad tetap berkewajiban
mengqadlâ’ puasa-puasa yang telah ia tinggalkan bila kembali memeluk agama
Islam.
b. Baligh. Sehingga tidak wajib bagi anak yang belum baligh untuk berpuasa
meskipun puasa tersebut sah dilakukan olehnya.
c. Berakal. Sehingga tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadlâ’ bagi orang gila
dengan sebab gila yang ditimbulkan bukan karena kecerobohannya. Dan wajib
mengqadlâ’ bila disebabkan oleh gila yang ditimbulkan karena kecerobohannya
seperti gila yang disebabkan obat-obatan disertai adanya unsur kesengajaan.
d. Mampu berpuasa, baik secara kasat mata maupun menurut pandangan syariat.
Sehingga puasa tidak wajib bagi orang yang tidak mampu melaksanakannya secara
kasat mata, seperti terlalu tua atau karena sakit yang tidak dapat diharapkan
kesembuhannya. Sedangkan puasanya harus digantikan dengan membayar fidyah
yakni memberikan satu mud (kurang lebih 7 ons) kepada fakir miskin untuk tiap
harinya. Begitu pula puasa tidak wajib bagi orang yang tidak dianggap mampu
menurut pandangan syariat seperti wanita yang sedang haidl atau nifas. Meskipun
demikian, keduanya tetap diwajibkan untuk mengqadlâ’, karena pada dasarnya
keduanya tidaklah terkena kewajiban melaksanakan puasa, akan tetapi hanya
terkena tuntutan untuk mengqadlâ’nya saja dengan sebab adanya perintah yang
baru.
e. Bermukim / bukan musâfir.3

Berikut uraian seputar Puasa tua renta


Mengenai hukum puasa bagi orang yang tua renta, orang sakit parah yang tidak punya
potensi sembuh, dan orang-orang yang ‘udzurnya permanen terdapat dua pendapat sebagai
berikut:
 Versi al-ashah ( dianggap paling benar & kuat) : tidak wajib puasa, namun wajib fidyah.
Berdasarkan ayat :
َ ٌ‫َو َعلَى الَّ ِذينَ يُ ِطيقُونَهُ فِ ْديَة‬
‫ط َعا ُم ِم ْس ِكي ٍن‬
Dalam ayat tersebut terdapat pengira-ngiraan huruf "laa" sebelum lafadz "yuthîqûnahû".
Mengenai status fidyah yang dibayarkan masih terjadi perbedaan pendapat :
 Versi al-ashah dalam kitab al-Majmû’ bukan sebagai pengganti dari puasa, sehingga
apabila mampu berpuasa di kemudian hari maka tidak wajib qadlâ’.
 Versi lain: sebagai pengganti dari puasa sehingga apabila mampu berpuasa di kemudian
hari maka wajib qadlâ’.
 Versi Muqâbil al-ashah : tidak wajib puasa dan fidyah karena disamakan dengan anak kecil
dan orang gila (ghairu mukallaf).4
Mengenai batasan masyaqqah ( tingkat kepayahan ) bagi orang sakit yang mewajibkan
fidyah adalah bentuk kepayahan yang sekira dapat memperbolehkan bertayamum. Fidyah yang
wajib dikeluarkan adalah 1 mud (7 ons) setiap satu hari puasa yang ditinggalkan.5

5. SYARAT-SYARAT SAH PUASA


a. Islam,
b. Berakal,
c. Suci dari haid dan nifas. Sehingga puasa dihukumi batal bila terjadi kemurtadan, haidl,
nifas atau gila di tengah-tengah saat berpuasa meskipun hanya dalam waktu sebentar.
Sedangkan tidur sepanjang hari tidak sampai membatalkan puasa. Begitu pula epilepsi

3
Fath al Mu'in wa Hasyiyah Ianah ath Thalibin juz 2 hal. 248 Dar al Fikr
4
Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah, juz 3, hal. 617, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, al-Hâwî al-Kabîr, juz 3, hal. 332,
Dar al-Fikr dan Syarh al-Kabîr li al-Râfi'î, juz 3, hal. 238, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
5
Bughyah al-Mustarsyidîn, hal. 112, al-Haramain.
atau kondisi mabuk yang bukan karena kecerobohan tidak membatalkan puasa selama
masih menemukan sisa waktu di siang hari meskipun hanya sebentar,
d. Tamyiz,
e. Mengetahui waktu-waktu yang sah untuk berpuasa.6
6. RUKUN-RUKUN PUASA
a. Niat berpuasa di tiap malam hari bila puasa wajib. Dan termasuk dalam niat
berpuasa adalah sahur dan minum di malam hari dengan maksud menghindari haus
dan dahaga di siang hari atau menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan
karena khawatir akan terbitnya fajar bila dalam hati terbesit maksud untuk berpuasa
disertai dengan ketentuan niatnya.

SEPUTAR NIAT PUASA RAMADLAN


Madz Wajib melakukan niat pada setiap hari berpuasa. Karena
hab menganggap setiap hari puasa di bulan Ramadan
Syafi‘ merupakan ibadah yang independent ('ibadah
iyyah
mustaqillah).
dan
Niat harus dilaksanakan di malam hari (al-tabyît). Versi
Hanab
ini menafsiri kata "falâ shiyâma lahu" dalam hadits:
ilah
ِ َ‫ت الصِّ يَا َم قَ ْب َل ْالفَجْ ِر فَال‬
‫صيَا َم لَه‬ ِ ِّ‫َم ْن لَ ْم يُبَي‬
dan hadits-hadits yang sejenis
dengan menafikan keabsahan puasa (nafyu al-shihhah),
bukan mentiadakan kesempurnaan (nafyu al-kamâl).7

Catatan:
Kebanyakan di masyarakat kita pada awal puasa Ramadlan melakukan niat puasa satu
bulan sekaligus dengan mengikuti pendapat Imam Malik. Hal tersebut dilakukan karena sebagai
bentuk tindakan antisipasi jika di kemudian hari lupa melakukan niat puasa. Tradisi seperti ini
dalam kitab "fathu al-mu‘in" merupakan sebuah hal yang dianjurkan.

6
Ibid, Tanwir al Qulub hal. 227 al Hidayah, At Taqrirat as Sadidah hal. 438 Dar al Ulum al Islamiyyah
7
Al-Syarh al-Kabîr li al-Râfi’î, juz 3, hal. 184, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Fath al-Qadîr, juz 2, hal. 304-305,
Dar al-Fikr, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, juz 28, hal. 24, CD. Maktabah al-Syamilah dan Fath al-Mu’în Hâmisy
I’ânah al-Thâlibîn, juz 2, hal. 221, Thaha Putra.
Perlu kita sikapi secara jeli bahwa jika di kemudian hari lupa tidak niat puasa, memang
benar puasa masih dapat dianggap sah dengan cara niat di atas. Namun jika kita pakem dengan
pendapat yang telah lama dikenal banyak orang, hal tersebut menyisakan problem yang cukup
besar. Yaitu pada hari tersebut, puasa yang dilakukan harus mengikuti puasa ala madzhab
Maliki. Mulai dari rukun, syarat, hal-hal yang membatalkan dan lain sebagainya. Hal itu
dilakukan supaya tidak terjadi pencampuradukan pendapat ulama atau dalam bahasa fiqh dikenal
dengan isthilah " al-talfîq". Hal yang demikian jelas akan sangat merepotkan. Ada beberapa
solusi untuk menghindari problem tersebut :
 Mengikuti pendapat sebagian ulama yang memperbolehkan talfiq dalam sebuah ibadah.
 Mengikuti pendapat sebagian ulama yang memperbolehkan tatabbu‘ al-rukhash (mengambil
kemudahan) bagi masyarakat awam yang belum memiliki konsistensi yang cukup kuat
dalam menjalankan syari’atnya.
Dengan demikian, fenomena di masyarakat sudah dapat dibenarkan tanpa harus repot-repot
mengikuti ketentuan puasa versi madzhab Maliki secara totalitas.8

Uraian tentang seputar niat puasa sunah


Mayoritas ulama dari kalangan Syafi‘iyyah, Hanabilah dan Hanafiyyah sepakat bahwa tidak
wajib melakukan niat puasa sunah di malam hari. Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah ra.:

.» ‫« هَ~لْ ِع ْن~ َد ُك ْم ِم ْن غَ~ دَا ٍء؟‬: ‫ يَأْتِينَ~ا فَيَقُ~و ُل‬-‫صلى هللا عليه وس~لم‬- ِ ‫ َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬: ‫ت‬ ِ ‫ع َْن عَائِ َشةَ أُ ِّم ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َر‬
ْ َ‫ض َى هَّللا ُ عنها قَال‬
َ ‫« إِنِّى‬: ‫ الَ قَا َل‬: ‫فَأَقُو ُل‬
.» ‫صائِ ٌم‬
"Bahwa Baginda nabi pada suatu hari mendatangiku. Lalu beliau bertanya: "Apakah kalian
punya makanan siang (al-ghidzâ’)?. ‘Aisyah menjawab: "tidak". Rasulullah berkata:
"Sesungguhnya aku akan berpuasa".
(H.R. al-Baihaqi: 8168).

Sementara menurut kalangan Malikiyyah niat puasa sunah harus dilakukan di malam hari
sebagaimana puasa wajib. Berdasarkan keumuman hadits :
ِ َ‫صيَا َم ِمنَ اللَّي ِْل فَال‬
ُ‫صيَا َم لَه‬ ِ ِّ‫َم ْن لَ ْم يُبَي‬
ِّ ‫ت ال‬

8
'Umdah al-Tahqîq fi al-Taqlîd wa al-Talfîq, hal. 95, 218 dan 219, Dar al-Qadiri.
"Barang siapa tidak melakukan niat di malam hari, maka puasanya tidak sah" (H.R. al-
Baihaqi).9
 Perbedaan niat puasa wajib dan niat puasa sunah

No Niat Puasa Wajib Niat Puasa Sunah


1 Dimulai dari terbenamnya matahari Dimulai dari terbenamnya matahari hingga
hingga terbitnya fajar tergelincirnya matahari di keesokan harinya.
Menurut qaul al-jadîd hingga terbenamnya
matahari di keesokan harinya. Dengan
syarat belum melakukan sesuatu yang dapat
membatalkan puasa mulai dari terbitnya
fajar hingga waktu niat.
2 Wajib menentukan jenis puasa Tidak wajib menentukan jenis puasa kecuali
seperti puasa Ramadlan, nadzar, puasa yang telah ditentukan waktunya
kafârat atau qadlâ’. seperti puasa hari Arafah menurut qaul al-
mu‘tamad.
3 Tidak diperbolehkan Diperbolehkan menggabungkan dua puasa
menggabungkan dua puasa dalam atau lebih dengan satu niat.10
satu hari

b. Menahan diri dari hal – hal yang membatalkan puasa atau disebut juga Al-Imsak.
Sesuai dengan Firman Allah SWT :

‫صيَا َم إِلَى ٱلَّي ِْل ۚ َواَل‬ ۟ ‫ُوا َحتَّ ٰى يَتَبَي َ~َّن لَ ُك ُم ْٱلخَ ْيطُ ٱأْل َ ْبيَضُ ِمنَ ْٱل َخ ْي ِط ٱأْل َ ْس َو ِد ِمنَ ْٱلفَجْ ر ۖ ثُ َّم أَتِ ُّم‬
ِّ ‫وا ٱل‬ ۟ ‫وا َوٱ ْش َرب‬
۟ ُ‫َو ُكل‬
ِ
…‫تُ ٰبَ ِشرُوه َُّن َوأَنتُ ْم ٰ َع ِكفُونَ فِى ْٱل َم ٰ َس ِج ِد‬
“Dan makan serta minumlah kamu hingga nyata kepadamu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari, dan janganlah
kamu menyetubuhi mereka (isteri-isteri) sedang kamu sedang beri’tikaf di dalam
masjid…”(QS Al-Baqarah (2) : 188)11

9
Al-Mausû'ah al-Fiqhiyyah, juz 28, hal. 87, CD. Maktabah al-Syamilah.
10
Ibid. Hal. 440, Hasyiyah I’anah al Thalibin juz 2 hal. 252 Dar al Fikr.
11
Amirul dan Iis. “Dahsyatnya Puasa Sunah Kunci Utama Meraih Sukses Dunia & Akhirat”. (Jakarta:
KAWAHmedia,2010) hlm. 48-49
7. KESUNAHAN-KESUNAHAN PUASA
a. Sahur. Waktu sahur dimulai sejak separuh akhir malam. Sehingga makan sebelum waktu
sahur tidak termasuk sahur dan tidak pula mendapatkan kesunahannya,
b. Mengakhirkan sahur hingga waktu imsak (kadar waktu yang mencukupi untuk membaca
50 ayat al-Qur'an sebelum Subuh),
c. Segera berbuka puasa saat yakin atau ada dugaan matahari telah benar-benar tenggelam,
d. Menahan diri dari makanan syubhat dan syahwat yang diperbolehkan seperti mendengar,
melihat, menyentuh dan menghirup aroma parfum,
e. Berbuka dengan kurma, air, manisan yang tidak dimasak, daging, susu, madu atau
manisan yang dimasak,
f. Membaca do’a saat berbuka puasa :
‫اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت وبك آمنت ولك أسلمت وعليك توكلت‬
g. Mandi junub bagi yang berhadats besar sebelum terbitnya fajar,
h. Memperbanyak sedekah dan memberi makan pada orang yang berbuka puasa,
i. Memperbanyak membaca al Qur'an, ibadah, i'tikâf dan dzikir terlebih pada sepuluh hari
akhir,
j. Menghindari perkataan yang tidak baik, dusta, menggunjing orang lain dan sebagainya
dari sudut pandang berpuasa. Meskipun wajib hukumnya menghindari perkataan-
perkataan tersebut dari sudut pandang asalnya.12

8. KEMAKRUHAN-KEMAKRUHAN PUASA
a) Berkumur dan menghirup air ke dalam hidung secara berlebihan,
b) Mengunyah makanan tanpa ada yang tertelan,
c) Menyicipi makanan tanpa menelannya kecuali untuk kebutuhan memasak atau untuk
kebutuhan orang lain,
d) Berbekam,
e) Menghirup dan memandang wewangian,
f) Mengeluarkan air melalui hidung setelah berbuka,
g) Mandi dengan cara berendam,

12
Fath al Mu'in wa Hasyiyah I’anah al Thalibin juz 2 hal. 277-289, Dar al Fikr, Fath al Qarib wa Hasyiyah al
Bajuri juz 1 hal. 292-294, al Haramain, Tanwir al Qulub hal. 230-231 al Hidayah
h) Bersiwak setelah tergelincirnya matahari. Namun menurut Imam al-Nawawy tidak
dimakruhkan,
i) Terlalu banyak makan, tidur dan berbicara yang tidak berfaedah,
j) Melakukan syahwat-syahwat yang diperbolehkan.13

9. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA


 Hal-hal yang membatalkan pahala namun puasanya masih tetap dihukumi sah:
1) Menggunjing orang lain. Yakni menyebutkan sifat-sifat orang lain dengan sifat yang
tidak disukainya meskipun benar adanya,
2) Mengadu domba dengan maksud menebar fitnah,
3) Berkata dusta. Yakni memberi kabar tidak sesuai dengan kenyataan,
4) Memandang sesuatu yang diharamkan,
5) Memandang sesuatu yang diperbolehkan dengan pandangan syahwat,
6) Sumpah palsu,
7) Mengucapkan perkataan buruk,
8) Melakukan perbuatan buruk,
 Hal-hal yang membatalkan pahala dan tidak mengesahkan puasa
1. Masuknya suatu benda melalui celah yang terbuka ke dalam perut

Seputar Jauf
Bermula dari larangan makan dan minum melalui firman Allah:

‫صيَا َم إِلَى الَّلي ِْل‬ ْ ‫ُوا َحتَّى يَتَبَي َ~َّن لَ ُك ُم ْالخَ ْيطُ األَ ْبيَضُ ِمنَ ْال َخ ْي ِط األَس َْو ِد ِمنَ ْالفَجْ ِر ثُ َّم أَتِ ُّم‬
ِّ ‫وا ال‬ ْ ‫وا َوا ْش َرب‬
ْ ُ‫َو ُكل‬
Artinya: Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar
kemudian sempurnakanlah puasa sampai menjelang malam ( Q.S. al-Baqarah ayat 178).

2. Sengaja muntah,
3. Berhubungan badan bagi orang yang mengerti hukum haram, ada unsur kesengajaan dan
tidak terdapat unsur paksaan,
4. Keluar sperma yang disebabkan oleh sentuhan kulit secara langsung, masturbasi dengan
tangan sendiri maupun orang lain,
13
Al Taqrirat al Sadidah hal. 447-448, Dar al Ulum al Islamiyyah, Tanwir al Qulub hal. 231 al- Hidayah.
5. Gila,
6. Mabuk, pingsan dan epilepsi jika terjadi di sepanjang hari saat berpuasa. Berbeda jika
masih menemukan waktu sebentar saat berpuasa, maka puasa tetap sah,
7. Murtad,
8. Haidl,
9. Nifas,
10. Melahirkan.14

Catatan :
 Dampak hukum hubungan badan di siang hari bulan Ramadlan:
1) Berdosa,
2) Wajib menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa,
3) Wajib mendapatkan sangsi moral (ta’zir) oleh pihak hakim,
4) Wajib qadlâ’
5) Wajib membayar kafârat dengan gradual sebagai berikut :
1. Memerdekakan budak perempuan mukmin yang tidak terdapat aib yang dapat
memperlamban pekerjaan.
2. Puasa dua bulan berturut-turut, namun tidak masalah bila dipisah dengan sebab
haidl, nifas, gila, atau epilepsi menyeluruh.
3. Memberi makan enam puluh orang miskin. Satu mud (kurang lebih 7 ons)
untuk tiap satu orang miskin. Bila tidak mampu maka tetap menjadi
tanggungannya. Namun menurut sebagian ulama dapat menggugurkan
kewajiban.
 Syarat-syarat yang mewajibkan kafârat:
a) Berhubungan badan yang dapat membatalkan puasa,
b) Dilakukan pada bulan Ramadlan. Maka puasa selain bulan Ramadlan tidak
mewajibkan kafârat meskipun puasa wajib (qadlâ’),
c) Puasa yang batal berada pada hari yang sempurna (sehari penuh) yakni tidak terjadi
kematian atau tidak dalam kondisi gila sebelum matahari terbenam,

14
Fath al Mu'in wa Hasyiyah I’anah al Thalibin juz 2 hal. 255-258 Dar al Fikr, Al-Taqrirat al- Sadidah hal. 448-
452 Dar al Ulum al Islamiyyah.
d) Puasa batal karena faktor bersetubuh tanpa didahului faktor lain seperti makan.
Maka tidak wajib kafârat bila bersetubuh didahului faktor lain,
e) Dengan persetubuhan yang sempurna yakni dengan masuknya kepala penis ke
dalam vagina secara sempurna. Jika belum sempurna tidak mewajibkan kafarat
bahkan tidak membatalkan puasa.
f) Mendapatkan dosa dengan sebab persetubuhannya. Maka tidak wajib kafârat
dengan sebab persetubuhan yang tidak berakibat dosa sebagaimana persetubuhan
yang dilakukan oleh seorang musâfir dalam perjalanan panjang yang
diperbolehkan.
g) Dosa tersebut muncul dengan sebab batalnya puasa bukan dengan sebab lain,
seperti sebab perzinaan saat melakukan perjalanan jauh, maka tidak mewajibkan
kafârat.
h) Tidak ada syubhat. Maka tidak ada kafârat bagi orang yang bersetubuh sedangkan
ia masih ragu-ragu dalam masuknya waktu malam (ghurub).
10.SEBAB-SEBAB PUASA RAMADLAN
 Bagi kalangan umum sebab-sebab yang mewajibkan berpuasa bagi orang-orang yang
masih satu mathla‘ (satu waktu terbit dan terbenamnya matahari) menurut Imam al-
Nawawy. Atau bagi orang-orang yang masih berada dalam jarak tempuh untuk
mengqashar shalat (80,64 km) menurut Imam al-Rafi'i adalah:
1) Adanya ketetapan pemerintah telah terlihatnya hilâl meskipun hanya dengan
persaksian satu orang ‘âdil. Yakni orang yang dapat memenuhi syarat-syarat dalam
persaksian, meliputi : laki-laki, bukan hamba sahaya, cakap, berwibawa, mempunyai
ingatan yang kuat, tidak bisu, tidak tuli, tidak buta, tidak pernah melakukan dosa
besar, tidak senantiasa melakukan dosa kecil atau senantiasa melakukannya namun
lebih dominan ketaatannya.
2) Menyempurnakan bulan Sya‘ban menjadi 30 hari
 Bagi kalangan khusus:
1) Melihat hilâl secara langsung meskipun orang fasik
2) Ada kabar telah terlihatnya hilâl. Dengan perincian :
 Pembawa kabar adalah orang yang dapat dipercaya, maka wajib untuk berpuasa
meskipun hati tidak membenarkannya.
 Pembawa kabar adalah orang yang tidak dapat dipercaya, maka wajib untuk
berpuasa jika hati membenarkannya.
3) Ada dugaan masuknya bulan Ramadlan dengan perantara ijtihâd seperti terdengar
suara meriam atau melihat obor sebagai pertanda masuknya bulan Ramadlan.
4) Melalui hisâb dan perbintangan bagi orang yang ahli dalam bidang tersebut dan bagi
orang-orang yang membenarkannya.15

B. Metode Penetapan Hilal Ramadan

Metode Itsbat
Sebelum melangkah lebih lanjut, perlu kami jelaskan apa yang dimaksud dengan itsbât
(penetapan) itu sendiri. itsbât adalah keputusan pemerintah terkait dengan penetapan masuknya
bulan Ramadan, Syawal atau bulan-bulan hijriyah lain. Pengaruh itsbât sendiri adalah
berdampak pada kewajiban bagi semua masyarakat setempat untuk mengikutinya. Dalam
beberapa literatur klasik disebutkan bahwa ada 2 metode yang disepakati para ulama dalam
penetapan puasa Ramadan; Melihat hilal dan menggenapkan 30 hari bulan Sya’ban. Berdasarkan
Hadits:
َ‫صُو ُموا لِر ُْؤيَتِ ِه َوأَ ْف ِطرُوا لِر ُْؤيَتِ ِه فَإ ِ ْن ُغبِّ َي َعلَ ْي ُك ْم فَأ َ ْك ِملُوا ِع َّدةَ َش ْعبَانَ ثَالَثِين‬
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian terkena
mendung, maka sempurnakanlah 30 hari bulan Sya’ban" (H.R. al-Bukhari)
Namun dalam mekanisme ru’yah sendiri masih terdapat perbedaan diantara ulama’, namun
penulis hanya akan menyampaikan pendapat madzhab Asy Syafi’iyyah ;
 Versi Syafi’iyyah
Cukup dengan persaksian satu orang adil dihadapan pemerintah. Hal ini berdasarkan satu
riwayat dari Ibnu ‘Abbas :

: ‫ض~انَ فَقَ~~ال‬
َ ‫ْت ِهالَل َر َم‬ُ ‫ إِنِّي َرأَي‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي~ ِه َو َس~لَّ َم فَقَ~~ال‬
َ ِ ‫ َجا َء أَ ْع َرابِ ٌّي إِلَى َرسُول هَّللا‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَال‬
ِ ‫س َر‬ ٍ ‫ع َِن اب ِْن َعبَّا‬
‫اس فَ ْليَصُو ُموا َغدًا‬
ِ َّ‫ يَا بِالَل أَ ِّذ ْن فِي الن‬: ‫ نَ َع ْم قَال‬: ‫ أَتَ ْشهَ ُد أَ َّن ُم َح َّمدًا َرسُول هَّللا ِ ؟ قَال‬: ‫ قَال‬. ‫ نَ َع ْم‬: ‫أَتَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ ِإلَهَ إِالَّ هَّللا ُ ؟ قَال‬
Dari Ibnu ‘Abbas diceritakan : "Telah datang seorang baduwi kepada Rasululah Saw. Lalu ia
berkata: "Sesungguhnya saya telah melihat hilal". Lalu Rasulullah Saw bertanya: "Apakah

15
Tanwir al Qulub, hal. 227, al Hidayah, Al-Taqrirat al-Sadidah hal. 441-442, Dar al Ulum al Islamiyyah.
engkau bersaksi tiada Tuhan selain Allah?". Baduwi menjawab: "ya". Rasululloh kembali
bertanya : "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?". Baduwi menjawab:
"ya". Kemudian Rasulullah bersabda: "Wahai Bilal, kabarkanlah kepada warga bahwa esok
hari berpuasalah."
(HR.Ibnu Hibban & al-Hakim).

Jika ada kesaksian dihadapan pemerintah tersebut, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin
yang masih berada dalam satu daerah (Mathla’) untuk mengikutinya. Sementara untuk orang
yang tidak memberikan kesaksiannya dihadapan pemerintah, atau persaksiannya ditolak,
kewajiban berpuasa hanya berlaku untuk dirinya pribadi dan orang-orang yang
mempercayainya.16
Catatan:
Menurut kalangan Syafi'iyyah sendiri, secara umum (terlepas dari keterkaitan dengan itsbât),
kewajiban puasa Ramadan disebabkan 9 hal berikut:
1. Penggenapan 30 hari bulan Sya'ban;
2. Melihat hilal;
3. Khabar mutawâtir tentang ru’yah meskipun dari non-muslim;
4. Statemen pemerintah berdasarkan sumber yang jelas;
5. Hasil itsbât ru’yah minimal dari satu orang adil;
6. Pembenaran terhadap orang yang memberi khabar tentang ru’yah;
7. Adanya dzonn (misalkan bagi para tawanan yang bisanya dilepas dibulan Ramadan);
8. Khabar dari ahli hisâb bagi yang mempercayainya. Begitupun bagi ahli hisâb itu sendiri;
9. Tanda-tanda tibanya bulan Ramadan seperti melihat kembang api dan lain sebagainya.17
Catatan:
Menurut madzhab Syafi’iyyah bagi orang yang tidak mempersaksikan ru’yah dihadapan
pemerintah atau tidak diterima persaksiannya maka harus menghentikan puasanya. Begitu juga
bagi orang yang mempercayainya.

Metode Hisâb
16
Kâsyifah al-Sajâ, hal. 276, CD. Maktabah al-Syamilah.
17
Bughyah al-Mustarsyidîn, hal. 110, al-Haramain.
Hisâb adalah prediksi keberadaan bulan dan peredarannya. Orang yang ahli dalam masalah
tersebut disebut dengan al-hâsib. Senada dengan al-hâsib adalah al-munajjim, yaitu orang yang
memprediksikan awal bulan dengan munculnya bintang tertentu. Dalam urusan publikasi
pemerintah untuk rakyat, ulama sepakat bahwa hisâb tidak dapat dijadikan pijakan. Namun
untuk urusan pribadi, para ulama masih terjadi perbedaan sebagai berikut :
 Versi Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah hisâb tidak bisa dijadikan pijakan mengawali
puasa atau berbuka. Baik bagi Hasib sendiri maupun orang lain.
 Versi sebagian Ulama' Syafi'iyyah diperbolehkan bagi hâsib dan orang yang
mempercayainya menggunakan hisâb sebagai pijakan.18
Dua perbedaan tersebut dilatar belakangi dua pemahaman berbeda mengenai hadits :
ُ‫ فَإ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق ُدرُوا لَه‬، ُ‫ َوالَ تُ ْف ِطرُوا َحتَّى ت ََروْ ه‬، ‫الَ تَصُو ُموا َحتَّى تَ َر ُوا ْال ِهالَل‬
"Janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal, dan janganlah berbuka sampai kalian
melihatnya. Jika cuaca mendung, maka sempurnakanlah/kira-kirakanlah 30 hari bulan
Sya'ban". (H.R.Bukhari & Muslim).
Kata "faqdurû lahu" inilah yang menjadikan sebab perbedaan di antara para ulama.

Ulama yang menjadikan hisâb bisa dijadikan pijakan mengartikan " faqdurû lahu" dengan
"al-taqdîr" (mengira-ngirakan). Dengan Bahasa "al-taqdîr" disini dapat difahami bahwa hisâb
sebagai salah satu pedoman. Karena pada dasarnya hisâb itu dikembalikan kepada perkiraan
sang pakar hisâb tentang bagaimana dan kapan terjadinya hilal. Disamping itu, menurut versi ini
yang menjadi inti dalam ru’yah tidak harus melihat hilal secara nyata (nafsu al-ru’yah). Akan
tetapi cukup dengan kemungkinan terjadinya ru’yah (imkân al-ru’yah).
Sementara versi mayoritas Ulama' menginterpretasikan kata tersebut dengan "al-Takmîl"
(menyempurnakan) dan "al-Tadlyîq" (Menyempitkan). Menyempurnakan bulan Sya‘ban berarti
menunjukan tidak ada jalan lain dalam menentukan itsbât. Penafsiran ini mengacu dengan salah
satu ayat :
‫قَ ْد َج َعل هَّللا ُ ِل ُكل َش ْي ٍء قَ ْدرًا‬
"Sesungguhnya Allah telah Mengadakan bagi tiap-tiap sesuatu secara sempurna".
(Q.S.Al-Thalaq :3).

18
Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba'ah, juz 1, hal. 273, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
Dalam ayat tersebut secara jelas kata "qadr" mengandung arti "al-Tamâm". Begitu juga
didukung dengan riwayat lain yang memakai bahasa:
َ‫""فَأ َ ْك ِملُو ْال ِع َّدةَ ثَاَل ثِ ْين‬
"maka sempurnakanlah bulan Syaban 30 hari"
Dimana dalam riwayat tersebut Rasulullah tidak mengatakan "Tanyalah terhadap ahli
hisâb". Andaikan bahasa "faqdurû lahu" diartikan sebagaimana pendapat di atas niscaya
Rasulullah akan menyuruh para sahabat pada waktu itu untuk menanyakannya pada ahli hisâb.
Disamping itu, menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bâri-nya menyebutkan bahwa
kondisi orang Arab yang secara karakter kurang begitu dapat mengetahui ilmu hisâb, maka yang
lebih dekat agaknya "faqdurû lahu" itu diartikan dengan menyempurnakan 30 bulan Sya‘ban.
Mengenai tafsiran "al-Tadlyîq", agaknya hanya kalangan Hanabilah yang memakainya.
Maksud menyempitkan ini adalah menjadikan bulan Sya‘ban hanya 29 hari saja. Sehingga
mereka merumuskan bahwa ketika cuaca mendung, diwajibkan bagi kaum muslimin untuk
berpuasa Ramadan berdasarkan hadits diatas. Disamping itu, menurut versi ini yang menjadi inti
dalam ru’yah, harus melihat hilal secara nyata (nafs al-ru’yah). Tidak cukup hanya dengan
kemungkinan terjadinya ru’yah (imkân al-ru’yah).19

Jika Hisâb Dan Ru’yah Bertentangan


Jika ru’yah dan hisâb bertentangan, ulama berbeda pendapat menyikapinya :
 Versi Muhammad al-Ramli: lebih didahulukan ru’yah. Sebab persaksian munculnya hilal
telah mendapat legitimasi langsung dari syari‘at. Sehingga pendapat ini mengabaikan
kemungkinan tidak adanya ru’yah yang disampaikan oleh para ahli hisâb. Jadi, menurut
versi ini jika ada yang bersaksi melihat hilal maka harus diikuti, sekalipun ahli hisâb
menyangsikan hilal bisa dilihat.
 Versi al-Subuki lebih dimenangkan hisâb. Sebab menurut versi ini, validitas perhitungan
(hisâb) tidak dapat dimentahkan dengan ru’yah yang hanya mampu mengantarkan pada taraf
zhann (persangkaan).
 Versi Ibnu Hajar al-Haitami cenderung moderat di antara dua pendapat di atas. Yakni, hasil
ru’yah bisa ditolak, tetapi dengan syarat yang ketat. Pertama, ahli hisâb sepakat bahwa hilal
tidak mungkin bisa diru’yah yang dinyatakan oleh banyak kalangan (tawâtur); Kedua, teori

19
Al-Mausû'ah Fiqhiyyah, juz 22, hal. 32, CD. Maktabah al-Syamilah.
ilmu hisâb yang dipakai harus dengan hisâb qath‘i (valid dan telah berulang kali terbukti
kebenarannya). Apabila dua syarat ini tidak terpenuhi, maka menurutnya hasil ru’yah harus
diikuti.20

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

20
I'ânah al-Thâlibîn, juz 2, hal. 216-217, Dar al-Fikr.
Berdasarkan uraian diatas, dapat kami simpulkan bahwa. Salah satu pembahasan fiqh ibadah
yaitu puasa. Puasa merupakan rukun islam yang ketiga yang wajib dilaksanakan bagi yang sudah
memenuhi syarat wajib puasa itu sendiri. Puasa merupakan ibadah untuk menahan diri dari
keseluruhan sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari dengan niat tertentu. Berpuasa juga mengingatkan kita untuk sadar akan keadaan orang
– orang yang menderita kelaparan. Dalam puasa wajib, seperti puasa di bulan ramadhan, ada
metode penetuan hilal untuk mengetahui kapan bulan ramadhan itu akan tiba. Untuk cara
pelaksanaannya telah kami uraikan diatas.

B. SARAN DAN KRITIK

Pada saat penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Dengan sebuah pedoman yang bisa dipertanggung jawabkan dari banyaknya
sumber, kami akan memperbaiki makalah tersebut bila ada kesalahan. Oleh sebab itu, kami
harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.

DAFTAR PUSTAKA

Al – taqrirat al Sadidah, Dar al Ulum al Islamiyyah, Kifayah Al Akhyar Juz 1


Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah juz1; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah

Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juz 28; CD. Maktabah Al-Syamilah

Amirul dan Iis. 2010. “Dahsyatnya Puasa Sunah Kunci Utama Meraih Sukses Dunia &
Akhirat”. Jakarta: KAWAHmedia.

Bughyah al-Mustarsyidin; al-Haramain

Fath al Mu’in wa Hasyiyah I’anah al Thalibin juz 2; Dar al Fikr

Fath al Mu’in wa Hasyiyah lanah ath Thalibij Juz 2; Dar al Fikr

Fath al Qarib wa Hasyiyah al Bajuri juz 1; Al Haramain, Tanwir al Qulub; Al Hidayah

Kasyifah al-Saja; CD, Maktabah al-Syamilah

Kinoysan, Wijayanto. 2010. “Biar Puasa Nggak Sia-sia”. Jakarta: Pustaka Oasis.

Syarh al-bahjah al-Wardiyyah, juz 3; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, al-Hawi al-Kabir, juz3;
Dar al-Fikr dan syarh al-Kabir li al-Rafi’I juz 3

Umdah al-Tahqiq fi al-Taqlid wa al-Talfiqq; Dar al-Qadiri

Anda mungkin juga menyukai