Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“PUASA”
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada

Mata Kuliah Fiqih

Dosen Pembimbing: Darmawan, S.Ag., MH., M.Si

Disusun Oleh:
Rahmiah (18143602)
SEMESTER : III

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


AL-WASHLIYAH BARABAI
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt , karena atas kebesaran dan ridho-Nya saya dapat menulis
dan menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Puasa”. Sholawat dan salam tak lupa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw sebagai penuntun umat hingga akhir zaman.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain sebagai tugas individu dari Mata Kuliah
“Fiqih”, juga diharapkan mampu dijadikan wahana pelengkap khasanah keilmuan, baik bagi
penulis maupun bagi pembaca yang berkenan membaca makalah sederhana ini.
Dalam penulisan makalah ini saya berupaya semaksimal mungkin agar kesempurnaan
makalah ini menjadi kenyataan. Namun pada kenyataanya masih banyak kelemahan dan
kekurangan yang ada. Terselesaikannya pembuatan makalah ini, tidak terlepas dari bantuan
pihak lain. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: Dosen pembimbing Darmawan,
S.Ag., MH., M.Si dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah
ini. Maka kritik dan saran yang konstruktif Saya harapkan demi perbaikan dimasa mendatang dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Aamiin

Barabai, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................................................ii
BAB I...........................................................................................................................................................1
PEMBUKAAN............................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................................................1
BAB II..........................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..........................................................................................................................................2
A. Pengertian Puasa...............................................................................................................................2
B. Macam-Macam Puasa......................................................................................................................3
C. Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa.................................................................................................10
D. Amalan Sunnah Dalam Puasa.........................................................................................................12
E. Hikmah Puasa.................................................................................................................................13
BAB III..................................................................................................................................................14
PENUTUP..............................................................................................................................................14
A. Simpulan........................................................................................................................................14
B. Kritik dan Saran..............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................15

ii
BAB I

PEMBUKAAN

A. Latar Belakang

Puasa adalah salah satu dari lima rukun Islam. Karena itu setiap orang yang beriman,
setiap orang islam yang mukallaf wajib melaksanakannya. Melaksanakan ibadah puasa ini
selain untuk mematuhi perintah Allah adalah juga untuk menjadi tangga ke tingkat taqwa.
Puasa difungsikan sebagai benteng yang kokoh yang dapat menjaga manusia dari bujuk rayu
setan. Dengan puasa syahwat yang bersemayam dalam diri manusia tidak lagi menjadi budak
nafsu tetapi manusia akan menjadi majikan.

Dalam menjalankan puasa secara tidak langsung telah diajarkan perilakuperilaku yang
baik seperti sabar, bisa mengendalikan diri dan mempunyai tingkah laku yang baik. Maka
dari itu, perlu diketahui segala sesuatu yang berkenaan dengan puasa, dari dasar hukum,
syarat-syarat, rukun puasa dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari puasa?
2. Apa macam-macam puasa?
3. Apa hal-hal yang membatalkan puasa?
4. Apa saja amalan-amalan sunnah dalam puasa?
5. Apa hikmah dari puasa?

C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian dari puasa.
2. Untuk memahami macam-macam puasa.
3. Untuk mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa.
4. Untuk mengetahui amalan-amalan sunnah dalam puasa.
1
5. Untuk memahami hikmah dari puasa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa
Pengertian puasa menurut bahasa yaitu Shaum atau Shiyam yang berarti mencegah
atau menahan semua perbuatan yang membatalkan puasa, misalnya mencegah berkata kotor,
menahan hawa nafsu dan sebagainya. Sedangkan menurut istilah adalah menahan diri dari
makan, minum, hubungan suami istri (pada siang hari), dan hal-hal lain yang membatalkan
puasa sejak terbit dan terbenamnya matahari. Ibadah puasa telah dikenal dan diwajibkan pada
syariat agama-agama sebelum Islam. Hal ini secara tegas dinyatakan di dalam Al Qur’an:

Allah SWT berfirman:

)١٨٣( َ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬


َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang
bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah:183)

Untuk melaksanakan puasa secara benar dan sah, terdapat beberapa syarat dan rukun
yang ditetapkan oleh syara’.

1. Syarat Wajib Puasa Syarat-syarat wajib berpuasa adalah:


a) Baligh, yaitu orang yang telah dewasa, anak-anak tidak diwajibkan puasa.
b) Berakal sehat, orang gila dan hilang ingatannya tidak diwajibkan berpuasa.
c) Mampu (kuat) berpuasa, orang yang sudah tua atau sakit yang tidak kuat berpuasa
lagi, maka tidak diwajibkan berpuasa tetapi harus membayar fidyah.
2. Syarat Sah Puasa
a) Islam
b) Mumayyiz
c) Suci dari haid dan nifas
d) Pada waktu yang diperbolehkan puasa
3
4
3

3. Rukun atau Fardhu Puasa


a) Niat untuk mengerjakan puasa
b) Menahan diri dari makan, minum, dan segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak
terbit fajar hingga terbenamnya matahari.(1)

B. Macam-Macam Puasa
1. Puasa Fardhu
a. Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa yang wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan
oleh orang-orang Islam. Puasa Ramadhan pertama kali diwajibkan pada tahun kedua
dari Hijrah Nabi SAW. ia mewajibkan atas orang-orang yang sudah mukallaf dan
atas orang yang mampu mengarjakannya. Karena itu, tidaklah wajib puasa itu atas:
1) Anak-anak
2) Orang gila
3) Orang yang hilang akal
4) Orang yang sangat tua yang tidak kuat menjalankan puasa
5) Orang yang sakit yang bila puasa mungkin bertambah-tambah sakitnya.
Sesuai dengan namanya, puasa Ramadhan ini dilakukan setiap hari pada
bulan Ramadhan, sejak hari pertama sampai hari terakhir. Untuk menentukan awal
dan akhir bulan Ramadhan dapat ditempuh tiga cara, yaitu:
1) Dengan cara rukyatul hilal, yaitu dengan melihat bulan sabit tanggal satu bulan
Qomariyah dengan mata telanjang.
2) Dengan cara istikmal, yaitu dengan menyempurnakan bilangan hari dari bulan
sya’ban dan romadhon.
3) Dengan cara hisab, dengan cara perhitungan peredaran bulan dan matahari.(2)
b. Puasa Nadzar
Bernadzar artinya berjanji, jadi puasa nadzar adalah janji akan berpuasa,
apabila misalnya sembuh dari penyakit atau jika diperkenankan sesuatu maksud

1
Slamet Abidin dan Moh. Suyono. Fiqih Ibadah( Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 25
2
Ibid., hal. 244
4

yang baik (yang bukan maksiat) dalam rangka mensyukuri nikmat atau untuk
mendekatkan diri kepada Allah, maka wajiblah atasnya untuk melaksanakannya.
Oleh karena itu, seorang yang bernadzar wajib melaksanakan puasa nadzar tersebut
sebab ia sendiri yang membuatnya wajib.
2. Puasa Sunnah
a. Puasa 6 Hari setelah Tanggal 1 Syawal
Rasulullah sangat menganjurkan kaum muslimin agar mereka mengiringi
puasa Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan Syawal. Abu Ayyub AlAnshari
pernah meriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. Sabda Rasulullah SAW :

‫صيَ ِام الَّ َد ْه ِر‬ ٍ ‫ضانَ ثُ َّم اَ ْتبَ َعهُ ِستًّا ِم ْن َش َّو‬
ِ ‫ال َكانَ َك‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫صا َم َر َم‬
“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringi dengan enam hari bulan
Syawal, maka seolah-olah ia telah berpuasa setahun.” (HR. Muslim).
Yang dimaksud dengan ad-dahr dalam hadits di atas ialah setahun penuh.
Jadi, barangsiapa yang mengerjakan puasa Syawal tiap tahun sepanjang umur, maka
seolah-olah ia berpuasa terus menerus sepanjang umur.(3)

b. Puasa Hari Senin Kamis


Diantara hari-hari yang dianjurkan berpuasa adalah hari Senin dan Kamis.
Nabi SAW bersungguh-sungguh mengerjakan puasa dua hari itu sebagaimana dalam
hadits berikut:

ِ ‫صيَا َم ااْل ِ ْشنَي ِْن َو ْالخَ ِمي‬


‫ْس‬ َ ‫ع َْن عَائِ َشةَ َكانَ النَّبِ ُّي‬
ِ ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم يَت ََحرَّى‬
“Dari Aisyah, Nabi Muhammad SAW memilih waktu puasa hari Senin dan Kamis”
(HR. Turmudzi)
Tentang diangkatnya segenap amal pada dua hari tersebut Imam Muslim
meriwayatkan melalui Abu Hurairah ra.:
“Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, lalu tiap-tiap hamba yang
tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah diampuni, kecuali seseorang yang
antaranya dan antara saudaranya ada permusuhan. Kemudian dikatakan (kepada
orang-orang): hendaklah kalian perhatikan dua orang ini, (Mereka berdua tidak akan
masuk surga) hingga berdamai.”

3
Yusuf Qardawi. Fiqih Puasa (Surakarta: Era Intermedia,1998), hal. 202
5

c. Puasa Arafah
Puasa Arafah disunnahkan hanya bagi muslim yang tidak melakukan ibadah
Haji. Puasa pada hari Arafah ialah pada tanggal 9 Dzulhijjah disaat para jamaah haji
berwukuf di Padang Arafah. Sabda Nabi SAW:
ً‫ضيَةً َو ُم ْستَ ْقبَلَة‬
ِ ‫صوْ ُم يَوْ ِم َع َرفَةَ يُ َكفِّ ُر َسنَتَي ِْن َما‬
َ
“Puasa hari Arafah itu menghapuskan dosa dua tahun, satu tahun yang telah
lalu dan satu tahun yang akan datang.” (HR. Muslim)
Puasa paling afdhal adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, yaitu hari Arafah.
Karena pada hari itu jamaah haji berwuquf di Padang Arafah mengenakan busana
ihram menyerupai kafan mayit. Di Padang Arafah jamaah haji mendekatkan diri
kepada Allah dengan membaca talbiyah, sedang umat Islam yang berada di daerah
lain bertaqarrub kepada Allah dengan menjalankan ibadah puasa.(4)
d. Puasa Asyura
Asyura adalah hari yang kesepuluh di bulan Muharram. Menurut sejumlah
hadits dan atsar, puasa Asyura amat dikenal di kalangan bangsa Quraisy pada jaman
jahiliyah, begitu juga bangsa Yahudi. Hal ini dapat kita baca dalam riwayat:
“Ibnu Abbas ra., berkata: tatkala Nabi SAW sampai di Madinah, beliau bertanya,
“Ada apa ini?” Jawab mereka, “Ini adalah hari yang baik, pada hari ini Allah
menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari (kejaran) musuhnya, hingga dipuasakan
oleh Musa daripada kamu.” Kemudian beliau berpuasa padanya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)(5)
Semula, Nabi Muhammad SAW memfardhukan puasa Asyura, dan beliau
pernah mengutus seorang kurir untuk memberitahu para sahabat tentang
difardhukannya puasa tersebut, walaupun pada pagi harinya mereka sudah sarapan.
Kemudian tatkala turun ayat yang memfardhukan puasa Ramadhan, maka
terhapuslah kefardhuan puasa Asyura diganti menjadi sunnah saja.

4
Ibid., hal. 20
5
Slamet, Op.Cit., hal. 257
6

e. Puasa di Bulan Sya’ban


Disunnahkan berpuasa di bulan Sya’ban sebagai persiapan dalam rangka
menghadapi bulan suci Ramadhan dan demi mengikuti Sunnah Nabi Muhammad
SAW. Ummul Mu‟minin Aisyah ra. Pernah mengatakan:
ُّ َ‫صيَا َم َشه ٍْر ق‬
‫ط إِالَّ َش ْه ُر‬ ِ ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم اِ ْستَ ْك َم َل‬ ُ ‫ع َْن عَائِ َشةَ َم َرأَي‬
َ ‫ْت النَّبِ ُّي‬
َ‫صيَا ًما فِى َش ْعبَان‬ ِ َ‫ضانَ َو َما َرأَ ْيتُهُ فِى َشه ٍْر أَ ْكثَ َر ِم ْنه‬
َ ‫َر َم‬
“Dari Aisyah, saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa satu
bulan cukup selain dari bulan Ramadhan dan saya tidak melihat beliau pada bulan-
bulan yang lain, berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan
Muslim)(6)
f. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan
Diantara sekian banyak puasa sunnah salah satunya ialah puasa tiga hari setiap
bulan. Yang demikian itu karena Allah SWT membalas satu kebaikan dengan
sepuluh kebaikan. Jadi, tiga hari sama dengan sebulan penuh. Nabi SAW sendiri
biasa menjalankan puasa ini dan juga menganjurkan kepada umatnya.
Dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, katanya: “Kekasihku
SAW pernah berwasiat kepadaku tiga perkara dan aku tidak akan meninggalkannya
hingga meninggal dunia: (pertama) puasa tiga hari tiap-tiap bulan, (kedua) shalat
dhuha, (ketiga) tidur untuk persiapan mengerjakan sholat malam.”
Abu Dzar juga meriwayatkan dari Abu Hurairah juga, katanya: “Barangsiapa
yang mengerjakan puasa tiga hari di tiap-tiap bulan, maka sama dengan puasa
setahun penuh.”
Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya sebagai pembenaran terhadap
apa yang dikatakan Abu Hurairah itu, yaitu:
َ ‫َم ْن َجآ َء بِا ْل َح َسنَ ِة فَلَهُ َع ْش ُر اَ ْم‬
)۱٦۰( .................................................ۖ‫شا لِهَا‬

“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya...” (Al-An’am: 160)

6
Ibid., hal. 258
7

Aisyah mengatakan bahwa Nabi SAW tidak memperhatikan mulai tanggal


berapa beliau sendiri berpuasa tiga hari di tiap-tiap bulan.
g. Puasa Daud
Puasa yang paling utama dan paling dicintai Allah SWT bagi orang yang
mampu dan tidak berat mengerjakannya ialah puasa Nibiyullah Daud AS yaitu sehari
berpuasa, sehari berikutnya tidak. Sebagaimana yang telah dinasehatkan Nabi SAW
kepada Abdullah bin Amr tatkala ia bersemangat hendak menambah amal-amal
shalih yang dilakukan setiap hari. Imam Bukhari pernah meriwayatkan dari Abdullah
bin Amr, katanya:
“Rasulullah SAW mengkabarkan bahwa aku pernah berkata, ‟Demi Allah,
sesungguhnya aku akan berpuasa dan mendirikan sholat malam selama hidupku.‟
Maka aku berkata kepada beliau, ‘Itu telah saya katakan kepada ayah dan ibuku.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak mungkin mampu mengerjakannya.
Puasa dan berbuka, bangun malam dan tidur. Puasa tiga hari tiap bulan, karena
sesungguhnya satu kebaikan dibalas sepuluh kebaikan, sehingga yang demikian itu
sama dengan setengah tahun. ‘Saya katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya saya
mampu mengerjakan lebih utama dari itu. ‘Jawab beliau lagi, ‘Puasalah sehari dan
berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Daud AS, ia puasa paling
utama. ‘Kepada beliau saya berkata, ‘Sesungguhnya saya mampu mengerjakan lebih
utama dari itu. ‘Maka Nabi SAW bersabda, ‘Tidak ada puasa yang lebih utama dari
itu. ‘Dalam riwayat yang lain disebutkan, ‘Tidak ada puasa yang melebihi puasa
Daud AS, yaitu setengah tahun.’ ” (HR. Bukhari-Muslim)(7)
3. Puasa Makruh
a. Puasa Khusus Bulan Rajab
Diriwayatkan dari Umar, bahwa ia pernah memukul telapak tangan orang-
orang yang memaksa berpuasa sebulan Rajab hingga mereka meletakkan tangannya
di atas makanan kemudian Umar berkata, “Makanlah, karena bulan ini sangat
diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah.”
b. Puasa Khusus Hari Jum‟at

7
Yusuf, Op.Cit., hal. 222
8

Dianggap makruh berpuasa khusus pada hari Jum’at sebagaimana disinyalir


sebuah hadits Nabi SAW yang berbunyi:

ُ‫اَل يَصُوْ َم َّن أَ َح ُد ُك ْم يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة إِاَّل أَ ْن يَصُوْ َم يَوْ ًما قَ ْبلَهُ أَوْ يَوْ ًما بَ ْع َده‬
“Janganlah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at saja, melainkan kalau
ia puasa sehari sebelumnya atau sesudahnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hikmah dari dimakruhkan puasa ini ialah bahwasanya hari Jum’at bagi kaum
muslimin merupakan hari raya mingguan, diserupakan dengan hari Raya Idul Fitri
dan Adha. Juga disebagai saddudz dzari’ah (pencegahan) akan keyakinan wajibnya
puasa khusus hari Jum’at, bila dikerjakan terus menerus.(8)
c. Puasa Khusus Hari Sabtu
Begitu juga dipandang makruh berpuasa khusus dihari Sabtu sebagaimana
diriwayatkan oleh Abdullah bin Basyr dari Nabi SAW sabdanya:

َ ‫ت إِاَّل فِ ْي َما ا ْفتَر‬


‫ُض َعلَ ْي ُك ْم‬ ِ ‫اَل تَصُوْ ُموْ ا يَوْ َم ال َّس ْب‬
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang telah diwajibkan
atas kalian” (HR. Muslim)
Hari Sabtu adalah hari raya pekanan orang-orang Yahudi, hari Sabtu adalah
hari yang amat diagungkan oleh mereka. Sehingga tidak jarang puasa khusus hari
Sabtu menimbulkan praduga bahwa kaum muslimin juga mengagungkan hari
tersebut.
d. Puasa tapi Tidak Sholat
Di antara hal-hal yang ganjil yang sering terjadi dalam kehidupan kaum
muslimin, adalah mereka yang semangat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, tapi
sayang sekali mereka tidak semangat mendirikan sholat wajib.
Tidak diragukan lagi, bahwa ibadah sholat lebih berat timbangannya menurut
timbangan Islami daripada ibadah puasa. Sholat adalah ibadah paling utama dan
sebagai tiang agama Islam serta pembeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi
kebodohan dan kelalaian serta cinta dunialah yang menjadikan sebagian orang

8
Ibid., hal. 246
9

melalaikan ahamiyatu sholat (urgensi sholat) dan kedudukan sholat dalam agama
Islam.
4. Puasa Haram
a. Puasa Hari Raya
Ijma’ kaum muslimin mengharamkan puasa hari raya, baik hari raya Idul Fitri
1 Syawal maupun hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah. Karena itu, barangsiapa
berpuasa pada dua hari itu atau salah satunya maka ia berdosa dan puasanya tidak
sah. Barangsiapa bernadzar untuk puasa pada dua hari raya ini, menurut pendapat
yang benar, tidak boleh diwujudkan. Sebab, tidak ada nadzar dalam bermaksiat
kepada Allah Ta’ala.
b. Puasa Hari Tasyriq
Hari Tasyriq adalah sebagai pelengkap bagi hari Idul Adha dan pada hari
tersebut disyariatkan menyembelih binatang kurban. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash
meriwayatkan dari Nabi SAW:
“Nabi SAW pernah menyuruh saya untuk memberi tahu (kepada masyarakat)
tentang hari Mina adalah hari-hari makan dan minum, dan tidak sah puasa pada hari
itu, yaitu Ayyaamut Tasyriq.”
Oleh karena itu, tidak boleh berpuasa pada hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12,
13 Dzulhijjah, kecuali sebagaimana difirmankan Allah dalam Al Qur‟an:

ِ ‫فَ َم ْن تَ َمتَّ َع بِ ْال ُع ْم َر ِة إِ َل ْال َحجِّ فَ َما ا ْستَ ْي َس ُر ِمنَ ْال َح ْد‬
ِ َ‫يۚ فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
........ ‫صيَا ُم‬

)١٩٦( .......... ‫ار َج ْعتُ ۗ ْم‬


َ ‫ثَاَل ثَ ِة أَي ٍَّام فِي ْال َحجِّ َو َس ْب َع ٍة إِ َذ‬
“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji),
wajiblah ia menyembelih qurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari. Apabila kalian telah pulang kembali”
(Al-Baqarah: 196)
c. Puasa Khusus 12 Rabi’ul Awal
Puasa pada hari kelahiran Nabi SAW tidak disyariatkan kepada kita, tidak
pernah dijelaskan oleh hadits shahih dan tidak pula hadits dhaif. Tiada seorang pun
dari kalangan ulama’ salaf yang memfatwakan dan mengamalkannya. Di samping
10

itu, penentuan tanggal 12 Rabi’ul Awal sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW tidak didukung dengan dalil shahih.
d. Puasanya Istri Tanpa Seizin Suami
Hadits Nabi SAW yang dijadikan dalil tentang diharamkannya puasa ini ialah
sabda Nabi SAW yang berbunyi:

‫الَ يَ ِحلُّ لِ ْل َمرْ أَ ِة أَ ْن تَصُو َم َو َزوْ ُجهَا َشا ِه ٌد إِالَّ بِإ ِ ْذنِ ِه‬
“Tidak halal seorang istri berpuasa padahal suaminya tidak berpergian melainkan
dangan izinnya.” (HR. Bukhari)

َ ‫الَ تَصُو ُم ْال َمرْ أَةُ َوبَ ْعلُهَا َشا ِه ٌد إِالَّ بِإ ِ ْذنِ ِه َغ ْي َر َر َم‬
َ‫ضان‬
“Janganlah seorang istri berpuasa, sementara suaminya ada di rumah , kecuali
dengan izinnya melainkan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari-Muslim)
e. Puasa Wishal
Puasa yang menyambungkan puasa kehari berikutnya tanpa berbuka di malam
hari. Padahal kaum muslimin yang berpuasa diperintahkan untuk berbuka setiap
malamnya. Untuk melakukan wishal dengan tidak makan hingga hari berikutnya dan
melanjutkan puasa, dihukumi terlarang.
Ibnu Qoyyim berkata, ”Rasulullah SAW melarang puasa wishal sebagai
bentuk rahmat bagi umatnya. Namun masih diizinkan hingga waktu sahur.” (Zaadul
Ma’ad,2:33).(9)

C. Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa


Adapun hal-hal yang membatalkan puasa dan mesti ditinggalkan selama berpuasa itu ialah:
1. Makan dan minum

.......... ‫َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْلخَ ْيطُ ااْل َ ْبيَضُ ِمنَ ْالخَ ْي ِط أْل َس َْو ِد ِمنَ الفَجْ ۖ ِر ثُ َّم‬
ِّ ‫أَتِ ُّموا ال‬
)١٨٧(....... ‫صيَا َم إِلَى اللَّي ۚ ِْل‬
“...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,...”
(QS. Al-Baqarah: 187)
9
Tuasikal, Muhammad Abduh. Hukum Puasa Wishal (http://rumaysho.com/3461-hukum-puasawishal-terus-
menerus-tanpa-berbuka.html/) diakses tanggal 12 Mei 2016 pukul 19.15 WITA)
11

2. Memasukan sesuatu ke dalam lubang, baik lubang dubur maupun qubul.


3. Muntah dengan sengaja.
Sebaliknya, jika kita muntah karena sakit atau tidak sengaja muntah, puasanya
masih sah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa
yang tidak sengaja muntah, ia tidak diwajibkan mengganti puasanya, dan barangsiapa
yang sengaja muntah maka ia wajib mengganti puasa”
4. Bersetubuh, walaupun tidak sampai keluar mani.
5. Keluar mani karena adanya sentuhan.
Dalam hal ini baik yang melakukan masturbasi hingga keluar atau menggunakan
tangan/ bagian tubuh istri, sama-sama batal puasanya. Sementara, jika seseorang mimpi
basah, maka tidak dikategorikan batal puasa.
6. Haid.
Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

‫ُوريَّ ٍة‬
ِ ‫ْت بِ َحر‬ُ ‫ت لَس‬ ُ ‫ت قُ ْل‬
ِ ‫ُوريَّةٌ أَ ْن‬
ِ ‫ت أَ َحر‬ ْ َ‫صالَةَ فَقَال‬
َّ ‫ضى ال‬ ِ ‫صوْ َم َوالَ تَ ْق‬ َّ ‫ضى ال‬ ِ ِ‫َما بَا ُل ْال َحائ‬
ِ ‫ض تَ ْق‬
.‫صالَ ِة‬َّ ‫ضا ِء ال‬ َ َ‫صوْ ِم َوالَ نُ ْؤ َم ُر بِق‬َّ ‫ضا ِء ال‬ َ َ‫ُصيبُنَا َذلِكَ فَنُ ْؤ َم ُر بِق‬ِ ‫ت َكانَ ي‬ ْ َ‫ قَال‬.ُ‫َولَ ِكنِّى أَسْأَل‬
“Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’
Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab,
‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu
juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak
diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim)
7. Nifas.
Jika ia berpuasa dan mengeluarkan nifas, berarti puasanya tidak sah.
8. Gila atau kehilangan kewarasannya.
Seseorang wajib berpuasa jika sudah cukup umur dan waras. Ketika ia menjadi
gila, otomatis hilang pula kewajiban berpuasa tersebut.
9. Murtad atau keluar dari agama Islam.
Puasa Ramadhan adalah kewajiban umat Islam, sehingga ketika ia mengingkari
Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, atau tidak lagi menganut agama Islam, kewajiban
itu terhapus dan puasanya tidak sah.
12

D. Amalan Sunnah Dalam Puasa


1. Segera Berbuka
Orang berpuasa dianjurkan segera berbuka sebagaimana telah dianjurkan oleh
Rasulullah SAW. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan:
“Manusia senantiasa berada dalm kebaikan selama mereka menyegerakan
berbuka.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dan juga disunnahkan dalam berbuka itu untuk memakan (berbuka) dengan kurma
(terlebih dahulu) jika tidak didapatkan kurma, maka boleh dengan meminum air
2. Mengakhirkan Sahur
Sahur ialah makanan yang dihidangkan setelah tengah malam hingga terbit fajar.
Hal ini dimaksudkan agar orang yang berpuasa mampu menjalankan puasa, menahan
lapar dan haus, terutama jika siangnya lebih lama daripada malamnya.
Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda,
“Hendaklah kamu bersahur, karena sesungguhnya di dalam bersahur itu ada barokah.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Sahur sendiri sudah memperoleh kesunnahan hanya dengan makan dan minum
sedikit saja.
3. Menjauhi Sikap Sia-sia, Bicara Kotor, Tindakan Jahiliyah, dan Mencaci
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna” (QS. Al-Mukminun: 3)
Nabi SAW bersabda:
“Puasa adalah sebagai perisai, maka bila seorang di antara kamu sedang berpuasa,
janganlah berkata kotor dan janganlah berteriak yang tiada berguna”
Oleh karena itu hendaknya orang yang berpuasa dapat menjaga diri dari bicara
bohong dan membicarakan diri orang lain yang tidak baik dan sebagainya seperti
memaki-maki.
4. Sholat Tarawih
Di samping Allah memfardhukan puasa Ramadhan, Rasul-Nya menyunnahkan
qiamur-Ramadhan seperti diriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya: Adalah Rasulullah
SAW menganjurkan dilaksanakan qiamur Ramadhan, kemudian beliau bersabda:
13

“Barangsiapa yang melaksanakan qiamur Ramadhan karena iman hendak ingin


mendapatkan pahala, niscaya diampunkan baginya dosa-dosa yang telah lalu.” (HR.
Bukhari-Muslim) Siapa saja yang sudah mengerjakan sholat tarawih berarti sudah
mengerjakan qiamur Ramadhan.
5. Memperbanyak Dzikir dan Taat
Diantara amal-amal shalih dalam puasa ialah memperbanyak dzikir kepada Allah
SWT, istighfar, berdoa, tilawah Al-Qur‟an dan mengerjakan sholat berjamaah. Semua ini
disunnahkan buat kaum muslimin pada setiap waktu, akan tetapi dalam puasa sangat
ditekankan.
6. Membaca Do‟a Ketika Berbuka
Sepanjang hari orang yang berpuasa dituntut selalu berdo’a dan berdzikir kepada
Allah SWT, namun untuk do’a buka puasa bersifat khusus. Diantara do’a berbuka yang
paling utama ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, katanya: “Adalah Nabi SAW
apabila hendak berbuka membaca:

(telah hilang rasa dahaga, dan basahlah tenggorokan dan tetaplah pahala, bila
Allah Ta‟ala menghendaki).”

E. Hikmah Puasa
Ibadah puasa itu mengandung beberapa hikmah. Berikut beberapa manfaat puasa yaitu:
1. Tanda terima kasih kepada Allah karena semua ibadah mengandung arti terima kasih
kepada Allah atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya.
2. Mendidik para mukmin supaya berperangai luhur dan agar dapat mengontrol seluruh
nafsu dalam keinginan manusia biasa.
3. Didikan perasaan belas kasihan terhadap fakir miskin karena seseorang yang telah
merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan. Hal itu akan dapat mengukur kesedihan
dan kesusahan orang yang sepanjang hidupnya merasakan ngilunya perut yang kelaparan
karena ketiadaan.
4. Mendidik jiwa agar bisa dan dapat menguasai diri sehingga mudah menjalankan semua
kebaikan dan meninggalkan larangan.
5. Ditinjau dari kesehatan, puasa sangat berguna untuk menjaga da memperbaiki kesehatan.
14
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Puasa menurut bahasa yaitu Shaum atau Shiyam yang berarti mencegah atau menahan
semua perbuatan yang membatalkan puasa, misalnya mencegah berkata kotor, menahan hawa
nafsu dan sebagainya. Sedangkan menurut istilah adalah menahan diri dari makan, minum,
hubungan suami istri (pada siang hari), dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit
dan terbenamnya matahari.
Dan ada beberapa macam puasa yaitu puasa fardhu seperti puasa Ramadhan dan
Nadzar, puasa sunnah seperti puasa Senin dan Kamis, Arafah, Asyura, dan lain sebagainya,
puasa makruh seperti puasa khusus bulan Rajab, hari Jum’at, hari Sabtu, dan sebagainya, dan
puasa haram seperti puasa Hari Raya, puasa Hari Tasyriq, dan lain-lain.
Untuk melaksanakan puasa secara benar dan sah, terdapat beberapa syarat dan rukun
yang ditetapkan oleh syara’. Adapun hal-hal yang membatalkan puasa yaitu makan dan
minum, memasukan sesuatu kedalam lubang yang ada dalam tubuh, bersetubuh siang hari,
dan masih banyak lagi.

B. Kritik dan Saran


Saya menyadari di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Hal
ini karena kurangnya sumber bacaan dan keterbatasan pemakalah. Oleh karena itu saya
sebagai pemakalah berharap akan kritik dan diberi saran yang berguna yang bisa menjadikan
perbaikan makalah mendatang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Munifah, Ahmad Faqihuddin Siroj dan Muh. Abdul ‘Aziz Muslimin. 2016. Makalah Ibadah
Puasa. https://www.slideshare.net/faqihsiroj/fiqh-ibadah-puasa?from_action=save (Diakses
tanggal 18 Desember 2019 pukul 19.15 WITA)

Abidin, Slamet dan Moh. Suyono.1999. Fiqih Ibadah. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Amar, Imron Abu. 1982. Fathul Qorib Terjemah. Kudus: Menara Kudus

Firdaus, Fitra. 2015. 9 Hal yang Membatalkan Puasa Ramadhan. http://sidomi.com/390035/9-


hal-yang-membatalkan-puasa-ramadhan/. (Diakses tanggal 18 Desember 2019 pukul 19.30
WITA)

Qardawi, Yusuf. 1998. Fiqih Puasa. Surakarta: Era Intermedia

Tuasikal, Muhammad Abduh. 2013. Hukum Puasa Wishal. http://rumaysho.com/3461-hukum-


puasa-wishal-terus-menerus-tanpa-berbuka.html/ (Diakses tanggal 18 Desember 2019 pukul
19.15 WITA)

15

Anda mungkin juga menyukai