Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

FIQIH IBADAH
PUASA MENURUT 4 MADZHAB

Dosen Pengampu:
Samsul Rifa’i, M. Pd.I

Disusun Oleh :
KELOMPOK 9
1.Ami Faizatus S 1860308221082
2.Cindy Marsela R 1860308222104
3.Ellena Jovanka P.W 1860308221088
4.Muhammad Hasbi A 1860308222118

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH


JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM 2D
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
TAHUN AJARAN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur Alhamdulillah kami hantarkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayah – Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat waktu.

Shalawat dan salam kepada junjungan Nabiyullah Muhammad SAW beserta keluarga
dan sahabat – sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam. Semoga kita sebagai
umatnya senantiasa mendapat syafa’atnya.

Kemudian dari pada itu, kami sadar bahwa dalam menyusun makalah ini banyak yang
membantu terhadap usaha kami, mengingat hal itu dengan segala hormat kami sampaikan
rasa terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada :

1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Prof.
Dr. Maftukhin, M.Ag
2. Dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini
Samsul Rifa’i, M. Pd.I
3. Teman-teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah.

Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut kamiihanya dapat berdo’a dan
memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih payah mereka menjadi amal sholeh
di mata Allah SWT . Dalam penyusunan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak
kekurangan dan kekeliruan, maka dari itu kami mengharapkan kritikan positif, sehingga
dapat diperbaiki seperlunya. Akhirnya kami tetap berharap semoga makalah ini menjadi
butir – butir amalan kami dan bermanfaat khususnya kami dan umumnya. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Tulungagung.9 Maret 2023

Kelmpok 8
2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................4
1.3 Tujuan Pembahasan..........................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
2.1 Hakikat Puasa...................................................................................................................6
2.2 Hukum Puasa....................................................................................................................7
2.3 Rukun Puasa...................................................................................................................10
2.4 Syarat dan Hal-Hal yang Membatalkan Puasa...............................................................11
2.4.1 Syarat puasa.............................................................................................................11
2.4.2 Hal-hal yang membatalkan puasa............................................................................13
2.5 Macam-Macam Puasa....................................................................................................14
2.6 Hikmah Puasa.................................................................................................................19
BAB III.....................................................................................................................................21
PENUTUP................................................................................................................................21
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................21
3.2 Saran...............................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Puasa merupakan rukun Islam yang ketiga yang harus dilaksanakan oleh umat
Muslim. Puasa sendiri merupakan menahan diri makan dan minum serta melakukan
hubungan intim bagi suami dan istri. Dalam melaksanakan puasa sendiri terdapat syarat
wajib dan syarat sah dalam berpuasa untuk menjadi pedoman umat Muslim dalam beribadah.

Puasa yang terpenting adalah menjalankan rukunnya, yaitu niat. Dengan adanya niat
inilah puasa akan bisa berjalan dengan khusuk dan tenang. Walaupun banyaknya perbedaan
pendapat tentang rukun puasa disini, umat Islam tetap harus memilih satu dari madzhab yang
ia yakini.

Perbedaan empat madzhab dalam urusan ibadah puasa memang seringkali menjadi
dilema umat Muslim. Terkadang mereka seringkali mencampur adukan beberapa madzhab
dalam satu ibadah yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh ulama.

Maka dari itu, dari penjelasan di atas kelompok kami akan membahas tentang “Puasa
Menurut 4 Madzhab ” dengan rumusan masalah yaitu tentang konsep puasa dan
perbandingan madzhab dalam masalahn puasa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa hakikat puasa?
2. Apa saja dasar hukum puasa?
3. Apa saja rukun puasa?
4. Apa syarat dan hal-hal yang membatalkan puasa?
5. Apa saja macam-macam puasa?
6. Apa hikmah disyariatkannya puasa?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Mengetahui hakikat puasa
2. Mengetahui dasar hukum puasa
3. Mengetahui rukun puasa
4. Mengetahui syarat dan hal-hal yang membatalkan puasa
5. Mengetahui macam-macam puasa
4
6. Mengetahui hikmah disyariatkan puasa

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Puasa


Puasa menurut istilah ulama fiqh adalah menahan diri dari segala yang membatalkan
sehari penuh mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan syarat-syarat
tertentu.Pengertian ini disepakati oleh mazhab Hanafi dan Hanbali.Namun Mazhab Maliki
dan Syafi’i menambahkan kata “niat” pada akhir rumusan pengertian.Menurut kalangan
mazhab Hanafi dan Hanbali niat tidak termasuk dalam rukun puasa,melainkan syarat sah
puasa sehingga tidak menjadi bagian dari pengertian puasa.Meski demikian,niat merupakan
syarat wajib yang tidak boleh ditinggalkan,sehingga orang yang tidak melakukan niat maka
puasanya tidak sah berdasarkan kesepakan seluruh mazhab.

Puasa tak hanya dapat dilakukan saat bulan Ramadan, melainkan di bulan lain yang
disunahkan. Hakikat puasa sudah sepatutnya dipahami bagi umat muslim yang sudah
memenuhi syarat berpuasa. Dengan memahami hakikat puasa, seseorang akan dengan ikhlas
dan mengetahui tujuannya dalam berpuasa. Selain itu dengan mengetahui hakikat berpuasa,
seseorang akan senantiasa menaati rukun dan sunah puasa sehingga puasanya dapat diterima
di mata Allah SWT.

Hakikat puasa tertuang dalam perintah berpuasa di surat Al Baqarah ayat 183 yang
berbunyi:

َ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬


َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Surat Al Baqarah ayat 183 ini mengandung banyak makna dan pelajaran mengenai
pelaksanaan puasa Ramadan. Hakikat puasa pada ayat ini menjelaskan bahwa tiap orang-
orang yang beriman diwajibkan untuk berpuasa semata-mata hanya untuk bertakwa pada
Allah.1

1
Asmaji Muchtar/ Dialog Lintas Madzhab: Fiqih Ibadah Dan
Muamalah(Jakarta:Amazah,2015),hlm.244.
6
2.2 Hukum Puasa
Secara definitif, hukum taklifi adalah hukum penugasan. Dalam bahasa Arab, taklifi
artinya pembebanan. Pembebanan hukum tersebut ditujukan kepada umat Islam mukalaf.
Seorang mukalaf adalah orang yang sudah balig atau cukup umur dan berakal (tidak gila atau
hilang kesadaran). Taklifi berarti status pembebanan sebuah hukum, apakah wajib, sunat,
haram, makruh, atau mubah. Jika statusnya wajib, maka berpahala dikerjakan dan berdosa
ditinggalkan. Jika statusnya sunnah, berarti berpahala dikerjakan, tapi tidak berdosa
ditinggalkan. Jika statusnya haram, maka berdosa dikerjakan, berpahala ditinggalkan. Jika
statusnya makruh, maka berpahala ditinggalkan, tapi tidak berdosa dikerjakan. Jika statusnya
mubah, maka tidak ada kaitannya dengan dosa dan pahala, baik dikerjakan atau ditinggalkan.

1. Puasa wajib
a. Puasa Ramadhan.
b. Mengqadha` puasa Ramadhan.
c. Puasa kaffarat (kaffarat karena membunuh secara tersalah, kaffarat dzihar,
kaffarat berhubungan suami isteri pada siang hari Ramadhan, dan kaffarat
sumpah).
d. Puasa nadzar.
e. Puasa orang berhaji tamattu’ ketika tidak mendapat hadyu (binatang kurban).
Firman Allah SWT:
‫ ْب َع ٍة ِإ َذا‬p‫ ِة َأي ٍَّام فِي ْال َح ِّج َو َس‬pَ‫يَا ُم ثَاَل ث‬p‫ص‬ ِ ‫ ْد‬pَ‫ َر ِمنَ ْاله‬p‫ا ا ْستَي َْس‬pp‫ال ُع ْم َر ِة ِإلَى ْال َح ِّج فَ َم‬p
ِ َ‫ ْد ف‬p‫ي فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج‬ ْ pِ‫فَ َم ْن تَ َمتَّ َع ب‬
‫َر َج ْعتُ ْم‬
“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam
bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi
jika tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali.” (QS. Al-Baqarah: 196)2
2. Puasa sunnah
a. Puasa hari Asyura` (sepuluh Muharram).
b. Puasa hari Arafah (tanggal sembilan Dzul Hijjah).
2
Anonim” Macam-macam hukum taklifi dalam puasa”,
https://ufiiduka.wordpress.com/2015/06/16/macam-macam-hukum-taklifi-dalam-puasa/ ,
(Diakses pada tanggal 8 Maret pukul 11.00)

7
1. Disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah atau hari Arafah bagi
orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji. Bagi orang yang
sedang melakukan haji maka menurut Mazhab Hanafi dimakruhkan
3
jika puasa membuatnya lemah. Begitu juga puasa pada hari Tarwiyah,
yaitu pada tanggal 8 Dzulhijjah.
2. Menurut Mazhab Hanbali, disunnahkan berpuasa pada hari Arafah
bagi orang yang melakukan haji, jika ia melakukan wukuf di Arafah
pada malam hari. Akan tetapi, jika melakukan wukuf pada siang hari,
dimakruhkan baginya berpuasa.
3. Menurut Mazhab Maliki, berpuasa pada hari Arafah dan Tarwiyah bagi
orang yang melakukan haji hukumnya makruh.
4. Adapun dalam pandangan Mazhab Syafi'i, orang yang melakukan haji
dan bermukim di Mekah lalu pergi ke Arafah pada siang hari maka
puasanya pada hari itu hukumnya khilaful aula. Namun, jika pergi ke
Arafah pada malam hari, ia diperbolehkan berpuasa. Bagi seorang
musafir, disunnahkan tidak berpuasa secara mutlak.

c. Puasa hari Senin dan Kamis pada setiap pekan.


d. Puasa tiga hari pada setiap bulan Hijriyah (tanggal 13, 14, dan 15).
e. Puasa enam hari pada bulan Syawal.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum puasa syawal. Beberapa
pendapat ada yang mengatakan sunnah, dan ada yang mengatakan bahwa
puasa syawal tersebut makruh. Berikut penjelasannya:
1. Pendapat imam Syafii, Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa puasa
enam hari di bulan syawal setelah puasa Ramadan itu sunah. Namun
bagi yang berhalangan atau banyak acara lainnya boleh diakhirkan atau
di lain waktu selama bulan syawal.
2. Pendapat Imam Maliki berpendapat bahwa puasa enam hari di bulan
syawal setelah puasa Ramadhan itu makruh

f. Puasa pada bulan Sya`ban.

3
Muhammad Fachri Nurfaizi” Perbedaan Pendapat Ulama soal Hukum Puasa Syawal”,
https://m.kumparan.com/fachri-nurfaizi/perbedaan-pendapat-ulama-soal-hukum-puasa-syawal-1xzCAILk0WX
, (Diakses pada tanggal 8 Maret pukul 11.00)
8
g. Puasa pada bulan Muharram.

3. Puasa makruh

a. Mengkhususkan hari Jum`at untuk berpuasa.


Puasa makruh ini tidak dianjurkan dilakukan bagi umat muslim. Kecuali, puasa
tersebut merupakan kelanjutan dari puasa hari sebelumnya atau puasa sunah
yang bertepatan pada Jumat. Misalnya, puasa Arafah yang jatuh pada Jumat
b. Mengkhususkan hari Sabtu dan Minggu untuk berpuasa.
Puasa makruh ini tidak dianjurkan dilakukan bagi umat muslim. Kecuali, puasa
itu merupakan kelanjutan dari hari sebelumnya atau puasa sunah yang
bertepatan dengan hari Sabtu dan Minggu

4. Puasa haram

a. Puasa pada hari raya idul fitri.


b. Puasa hari raya idul adlha.
c. Puasa pada hari-hari tasyriq.
Puasa pada hari-hari tasyriq yaitu tiga hari setelah hari nahar (idul adlha).
Mengingat Nabi Muhammad SAW pun pernah melarang umatnya untuk
berpuasa pada dua Hari Raya juga pada hari Tasyrik.Keharaman ini
dikecualikan dari orang yang mengerjakan haji tamattu`, yang tidak
mendapatkan hadyu (hewan kurban).
Ada beberapa perbedaan pendapat yaitu:
1. Menurut Mazhab Maliki, haram berpuasa pada hari raya Idul Fitri, Idul
Adha, dan dua hari setelah Idul Adha, kecuali bagi orang yang
melakukan haji tamattu' dan haji qiran. Bagi mereka, berpuasa pada dua
hari tersebut diperbolehkan. Adapun berpuasa pada hari keempat Idul
Adha hukumnya makruh.
2. Mazhab Syafi`i berpendapat bahwa berpuasa pada hari raya Idul Fitri,
Idul Adha, dan tiga hari setelahnya walaupun dalam haji hukumnya
haram dan tidak sah.
3. Adapun menurut Mazhab Hanbali, haram berpuasa pada hari raya Idul
Fitri, Idul Adha, dan tiga hari setelahnya, kecuali bagi orang yang
melakukan haji tamattu' dan haji qiran.

9
4. Menurut Mazhab Hanafi, berpuasa pada hari raya Idul Fitri, Idul Adha,
dan tiga hari tasyrik hukumnya makruh tahrim, kecuali dalam haji.4
d. Puasa pada yaum asy-syak (hari yang meragukan).
e. Puasa orang yang sedang haidh dan nifas.

5. Puasa mubah

Puasa yang mubah adalah puasa yang tidak masuk dalam empat bagian puasa
sebelumnya. Makna mubah disini yaitu pada hari tersebut tidak ada perintah berpuasa dan
tidak ada larangan berpuasa secara khusus.

2.3 Rukun Puasa


Rukun puasa yaitu suatu keadaan dimana kita harus melakukan sesuatu dalam
melakukan pekerjaan tersebut. Rukun Puasa dari masing-masing madzhab memiliki
perbedaan.

1. Niat

Niat dimasukkan kedalam rukun menurut Madzhab Syafi’i. Berbeda halnya dengan 3
Madzhab lainnya yang menempatkan niat puasa pada syarat puasa. Keempat madzhab
memeliki pendapat yang sama tentang Niat puasa yang harus dilakukan dengan hatinya.
Tetapi memiliki perbedaan pendapat at-talaffudz bin-niyah (melafadzkan niat). Madzhab
Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali menyunahkannya sedangkan pada Madzhab Maliki dianjurkan
untuk meninggalkannya. Niat puasa menurut waktu 3 Mazhab dilakukan setiap hari kecuali
Madzhab Maliki yang hanya dilakukan 1 kali dalam puasa Ramadhan. 5

Dalil yang mengatakan bahwa melakukan harus melakukan niat:

ِ ‫صيَا َم قَ ْب َل ْالفَجْ ِر فَاَل‬


. ‫صيَا َم لَه‬ ِ ِّ‫من لَ ْم يُبَي‬
ِّ ‫ت ال‬ ْ

Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya. (HR. Baihaqi 4/202
dam Daruquthni 2/172) Daruquthni mengatakan, "Para perawinya tsiqah."

4
Asmaji Muchtar/ Dialog Lintas Madzhab: Fiqih Ibadah Dan
Muamalah(Jakarta:Amazah,2015),hlm.251
5
Asmaji Muchtar/ Dialog Lintas Madzhab: Fiqih Ibadah Dan
Muamalah(Jakarta:Amazah,2015),hlm.248.
10
Menurut ulama, dalil tersebut hanya berlaku pada puasa fardhu. Untuk puasa sunnah kita bisa
melakukan niat kapanpun selama belum makan atau minum atau melakukan perkara yang
membatalkan puasa.

2. Menahan diri

Keempat Madzhab sepakat bahwa menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa
termasuk rukun puasa. Menahan diri di saat puasa ada 3 antara lain

1. Menahan diri makan dan minum


2. Menahan diri dari Jima’
3. Menahan diri dari muntah dengan sengaja

Dalil mengatakan bahwa harus menahan diri dari makan dan minum dam berjima’ disaat
puasa:

ِّ ‫ ۖ ِر ثُ َّم اَتِ ُّموا‬pْ‫ َو ِد ِمنَ ْالفَج‬p‫ ِط ااْل َ ْس‬p‫طُ ااْل َ ْبيَضُ ِمنَ ْال َخ ْي‬p‫َّن لَ ُك ُم ْالخَ ْي‬pَ ‫َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َح ٰتّى يَتَبَي‬
ِ َ‫ ۚ ِل َواَل تُب‬p‫يَا َم اِلَى الَّ ْي‬p‫الص‬
‫رُوْ ه َُّن َواَ ْنتُ ْم‬p‫اش‬
‫َ ۗ عَا ِكفُوْ ۙنَ فِى ْال َم ٰس ِج ِد‬

Artinya : Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu
campuri mereka (istri- istrimu) itu, sedangkan kamu beri'tikaf di dalam masjid. (Al-Baqarah
[2]: 187).

Sedangkan dalil untuk menahan diri dari muntah disengaja ada di hadist Abu Dawud (2380)
dan Tirmidzi (720) adalah:

‫تَقَاء‬p ‫اس‬ َ َ‫ ِه ف‬p ‫يس َعلَ ْي‬


ْ ‫ َو َم ْن‬،‫ا ٌء‬p ‫ض‬ َ ‫ َو‬p ُ‫هُ َوه‬p ‫ هُ ْالقَ ْي‬p‫َم ْن َذ َر َع‬
َ َ‫الِ ٌم فَل‬p ‫ص‬
‫فليقض‬

Barangsiapa muntah (tanpa disengaja) sedangkan dia dalam keadaan berpuasa, maka tidak
ada qadha' baginya. Barangsiapa sengaja muntah, maka hendaknya dia mengqadha'.

3. Orang yang berpuasa menurut Madzhab Syafi’i

2.4 Syarat dan Hal-Hal yang Membatalkan Puasa

2.4.1 Syarat puasa


Syarat puasa ini dibagi menjadi 2, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib
puasa adalah kondisi dimana saat syarat-syarat itu terpenuhi maka orang tersebut diwajibkan

11
untuk berpuasa. Syarat sah puasa adalah saat syarat tersebut terpenuhi maka puasa tersebut
bisa dikatakan sah.

a. Islam
Pada Madzhab Syafi’i, Syarat ini ada pada syarat wajib dan syarat sunnah, Pada
Madzhab Hanafi ditemukan pada syarat wajib puasa, Madzhab Maliki pada Syarat sah
puasa, dan Madzhab Hanbali ditemukan pada syarat wajib puasa dan syarat wajib dan
sah puasa.
b. Baligh
Anak yang belum baligh belum diwajibkan puasa, tetapi ia diperintahkan untuk
berpuasa disaat anak itu berumur 7 tahun jika mampu untuk berpuasa dan boleh
memukul anak yang tidak bepuasa saat berumur 10 tahun. Pendapat ini didukung
dengan dalil HR. Abu Dawud dan Hakim sebagai berikut:

ِ ‫ُمروا ْأبنا ُء ْك ِمبَّلصلِ ِةل ْسبعوْ ا‬


ِ ‫ض ُربُو ْهمعليْهاِلعْشروفِرُقوابْينُ ْه ِمفال‬
‫ضا ِجع‬

DariIbnu Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Perintahkan anak-anak kamu untuk
mengerjakan shalat ketika berusia7 tahun dan pukullah mereka karena tidak
menegakkan shalat ketika berusia 10 tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”

Madzhab hanafi sependapat dengan pendapat ini. Sedangkan Madzhab Maliki


mengatakan bahwa wali tidak wajib dan tidak disunnahkan memerintahkan anak kecil
untuk melakukan puasa walaupun anak itu telah mendekati baligh. Menurut Madzhab
Hanbali yang menjadi pegangan adalah mampu untuk berpuasa. Jika sudah kuat dan
mendekati baligh maka boleh dipukul jika tidak mau.6 Selain itu, Keempat
menempatkan syarat baligh ke dalam syarat wajib puasa.

c. Berakal
Semua Madzhab sepakat jika gila tidak diwajibkan untuk berpuasa dan tidak
diwajibkan untuk qadha’. Dalilnya adalah potongan hadist tersebut
:
ْ ‫و ِع‬
‫نال ُجنِون َّحتّيِ ْفيق‬

Arti: “Dari orang gila hingga waras.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizy)

6
Asmaji Muchtar/ Dialog Lintas Madzhab: Fiqih Ibadah Dan
Muamalah(Jakarta:Amazah,2015),hlm.249.
12
Tetapi jika gila tersebut karena kesalahannya atau disengaja, misalnya mabuk maka ia
wajib melakukan qadha’. Madzhab Syafi’i dan Hanafi menempatkan ke dalam syarat wajib
puasa, sedangkan Madzhab Maliki dan Hanafi menempatkannya ke dalam syarat wajib dan
sah puasa.

d. Kuat berpuasa
Untuk orang yang tidak kuat berpuasa dikarenakan fisiknya seperti jompo maka
diganti dengan membayar fidyah. Syarat ini juga ada pada Madzhab Maliki dan
Hanbali, sedangkan di Madzhab Hanafi tidak ditemukan syarat ini.
e. Mumayiz
Mumayiz adalah seseorang telah mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Syarat
ini termasuk syarat sah puasa menurut Madzhab Syafi’i dan syarat wajib dan sah
puasa menurut Madzhab Hanbali.
f. Sesuai waktu yang ditentukan
g. Suci, bebas dari haid dan nifas
h. Sehat dan tidak bermukim menurut Madzhab Hanafi
i. Masuknya bulan Ramadhan menurut Madzhab Maliki

2.4.2 Hal-hal yang membatalkan puasa


Perkara yang membatalkan puasa dibagi 2, yaitu perkara yang mewajibkan qadha’
dan kafarat dan perkara yang mewajibkan qadha’ saja.

1. Perkara yang mewajibkan qadha’ dan kafarat


Untuk Madzhab Syafi’i hanya ada satu perkara yaitu bersetubuh. Sedangkan
menurut Madzhab Hanafi ada dua, yaitu 1) Memakan dan meminum yang
menjadi sumber kekuatan. 2) Memenuhi syahwat fajri. Adapun Menurut
Madzhab Hanbali yaitu, 1) bersetubuh di siang hari Ramadhan pada kemaluan
atau dubur, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. 2) Ketika
seorang wanita menyentuh dengan wanta lain hingga keluar air mani. Proses
ini disebut musahaqah. Menurut Madzhab Maliki ada 3, yaitu 1)
Persetubuhan. 2) Muntah yang disengaja 3) Benda cair masuk ke tenggorokan,
mulut, telinga, dan mata. 4) Sampainya sesuatu ke perut dan disengaja tanpa
ada udzur.
2. Perkara yang hanya mewajibkan qadha’

13
Menurut Madzhab Syafi’i ada beberapa perkara, pertama masuknya benda
kedalam perut dan benda masuk melalui jalan yang mu’tabar. Kedua,
Memasukkan jari atau ujung jari pada saat istinja’ kedalam kemaluan tanpa ada
darurat. Ketiga, memasukkan lidi ke telinga.
Menurut Madzhab Hanafi ada dua perkara, yaitu pertama, makan dan minum
yang tidak menjadi sumber kekuatan dan bukan berupa obat. Kedua, makan dan
minum yang menjadi sumber kekuatan tetapi ada udzur.
Menurut Madzhab Maliki berpendapat orang yang melakukan perkara yang
membatalkan puasa tetapi tidak memenuhi syarat kafarat, maka hanya diwajibkan
untuk qadha’
Menurut Madzhab Hanbali yaitu memasukkan dengan sengaja kedalam tubuh
melalui mulut ataupun sebaliknya walaupun dalam keadaan hancur maupun tidak
hancur.

2.5 Macam-Macam Puasa

Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali sepakat bahwa puasa terbagi menjadi empat,
yaitu 1) puasa fardhu, 2) puasa sunnah, 3) puasa haram, dan 4) puasa makruh.

Puasa Fardhu

Puasa fardhu adalah puasa Ramadhan, baik dilakukan pada waktunya maupun
setelahnya dengan qadha, puasa kafarah, dan puasa nadzar. Puasa-puasa tersebut telah
disepakati kefardhuannya oleh para imam, meskipun sebagian ulama Mashab Hanafi berbeda
pendapat dalam masalah puasa nadzar dengan berkata puasa tersebut adalah wajib, bukan
fardhu. Berikut ini penjelasan puasa-puasa fardhu secara urut.

Berdasarkan pendapat pertama, puasa menurut Mazhab Hanafi dibagi delapan,


pertama, puasa fardhu yang ditentukan, seperti puasa Ramadhan pada waktunya. Kedua,
puasa fardhu yang tidak ditentukan, seperti puasa Ramadhan tidak pada waktunya secara
qadha. Orang yang meninggalkan seluruh atau sebagian puasa di bulan Ramadhan wajib
melakukan qadha puasa tersebut pada waktu tertentu. Begitu juga puasa kafarah, ia termasuk
puasa fardhu yang tidak ditentukan. Ketiga, puasa wajib yang ditentukan, seperti nadzar yang
14
ditentukan waktunya. Keempat, puasa wajib yang tidak ditentukan, seperti nadzar yang
dimutlakkan. Kelima, puasa nafiu (sunnah). Keenam, puasa masnun. Ketujuh, puasa
mustahab. Kedelapan, puasa makruh, baik makruh tanzih maupun makruh tahrim.

Jika mengikuti pendapat kedua, puasa menurut Mazhab Hanafi dibagi tujuh, pertama,
puasa fardhu yang ditentukan, yaitu puasa fardhu yang memiliki waktu secara khusus. seperti
puasa Ramadhan pada waktunya dan puasa nadzar yang ditentukan. Kedua, puass fardhu
yang tidak ditentukan, yaitu puasa fardhu yang tidak memiliki waktu secara khusus seperti
puasa Ramadhan dengan qadha, puasa nadzar yang tidak ditentukan. Ketiga, puasa wajib,
yaitu puasa sunnah setelah memulai melakukannya. Orang yang hendak melakukan puasa
hari Kamis misalnya, lalu ia melakukannya maka ia wajib menyempurnakannya. Jika ia
sengaja membatalkan, ia mendapat dosa kecil seperti keterangan yang telah lewat. Is juga
wajib melakukan qadha puasa ini jika membatalkannya. Begitu juga puasa pada waktu I'tikaf
yang tidak dinadzari, puasa ini wajib seperti puasa sebelumnya. Keempat, puasa haram
Kelima, puasa masnun (puasa yang disunnahkan). Keenam, puasa naflu (sunnah). Ketujuh,
puasa makruh. Puasa Ramadhan7

Puasa Ramadhan hukumnya fardhu 'ain bagi setiap orang mukalaf yang kuat
berpuasa. Puasa ini mulai difardhukan pada hari kesepuluh bulan Sya'ban, saru setengah
tahun setelah hijrah Nabi . Dalil mengenai kefardhuannya adalah Alquran, hadis, dan ijmak.

Allah berfirman:

ْ‫ا َأو‬p‫يض‬ ً ‫انَ ِمن ُكم َّم ِر‬pp‫ت فَ َمن َك‬ٍ ‫ دُودَا‬p‫ا َم ْع‬pp‫ونَ َأيَّا ًم‬ppُ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّق‬
َ ِ‫ا ُكت‬pp‫ا ُم َك َم‬ppَ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالقِي‬
َ ِ‫يَتََأيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ُكت‬
ُ ‫ ٌر لَّهُ ۚ َوَأن ت‬p‫ َو َعلَى الَّ ِذينَ ي ُِطيقُونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِكي ِن فَ َمن تَطَ َّو َع خَ ْيرًا فَهُ َو َخ ْي‬: ‫َعلَ ٰى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّم ْن َأي ٍَّام ُأ َخ َر‬
‫ ٌر لَّ ُك ْم‬p‫و ُموا خَ ْي‬p‫َص‬
َّ ‫ ِه َد ِمن ُك ُم‬p‫ا ِن فَ َمن َش‬pَ‫دَى َو ْالفُرْ ق‬pُ‫ت ِمنَ ْاله‬ ‫ُأ‬
‫ه َْر‬p‫الش‬ ِ َّ‫دًى لِلن‬pُ‫رْ َءانُ ه‬ppُ‫ ِه ْالق‬p‫ز َل فِي‬p
ٍ َ‫اس َوبَيِّن‬ ِ p‫ضانَ الَّ ِذي ن‬ َ ‫) َش ْه ُر َر َم‬3( َ‫ِإن ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
َ ‫ص ْمهُ َو َمن َكانَ َم ِريضًا َأوْ َعلَ ٰى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن َأي ٍَّام ُأ َخ َر ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ال ُع ْس َر َولِتُ ْك ِملُوا ْال ِع َّدةَ َولِتُ َكبِّرُوا هَّللا‬ ُ َ‫فَ ْلي‬
َ‫تَ ْش ُكرُوْ ن‬ ‫ َعلَى َما هَ َدنَ ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم‬8

7
Asmaji Muchtar/ Dialog Lintas Madzhab: Fiqih Ibadah Dan
Muamalah(Jakarta:Amazah,2015),hlm.246.
8
(Q.S Al-Baqarah 183-185)
15
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang
tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S Al-Baqarah 183-185).

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang a di dalamnya
diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
(QS. Al-Baqarah (2): 183-185) Allah berfirman:

ُ َ‫فَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْلي‬


ُ‫ص ْمه‬

Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka berpuasalah pada bulan itu.
(QS.Al Baqarah (2): 185)

Nabi bersabda, "Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan
yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Umar). Umat Islam sepakat atas kewajiban puasa Ramadhan, tidak seorang pun yang
menentang kewajiban itu. Kewajiban puasa diketahui dari agama Islam secara dharuri (tanpa
perlu dipikirkan). Orang yang mengingkarinya menjadi kafir seperti halnya orang yang
mengingkari kefardhuan shalat, zakat, dan haji.
16
istilah kaffarah atau kafarat lebih dikenal sebagai penebus kesalahan, sanksi, atau
denda atas pelanggaran yang dilakukan. Jika dilihat dari hakikatnya, kafarat hanya
berhubungan dengan hak Allah sehingga harus dibedakan dengan diat yang merupakan hak
sesama makhluk, antara lain hak keluarga korban pembunuhan.9

Bentuk kafarat sendiri bisa dengan memerdekakan budak, berpuasa, atau memberi
makan orang miskin. 10Dalam praktiknya, ada kafarat yang harus berurutan, ada yang boleh
dipilih salah satunya sebagaimana petikan berikut:

َ‫ان‬p‫ض‬
َ ‫ار َر َم‬p ِ pَ‫اع فِي نَه‬p ِ p‫ل َو ْال ِج َم‬p ِ p‫ار َو ْالقَ ْت‬p
ِ pَ‫ارةُ الظِّه‬ ْ ‫ا بِن‬ppً‫وْ َع ْي ِن اَأْل َّو ُل ْال َكفَّا َرةُ تَرْ تِيب‬ppَ‫ا فِي ن‬ppَ‫ق بِه‬
َ َّ‫ َو َكف‬pُ‫ي ًزا َوه‬ppِ‫بِ ِه تَ ْمي‬p‫َص‬ ُ p‫َويَ ْد ُخ ُل ْال ِع ْت‬
ِ ‫ارةُ ت َْخيِيرًا َوهُ َو َكفَّا َرةُ ْاليَ ِم‬
‫ين‬ َ َّ‫َوالثَّانِي ْال َكف‬

Artinya, “Masuknya memerdekakan budak ke dalam kafarat terbagi menjadi dua keadaan.
Pertama, ke dalam kafarat yang harus dilakukan berurutan dan dibedakan pelaksanaannya,
yakni kafarat zhihar, kafarat pembunuhan, dan kafarat hubungan badan sengaja di siang hari.
Kedua, masuk ke dalam kafarat yang boleh dipilih, yakni kafarat yamin (sumpah)".

Mazhab Hanafi mengatakan, puasa ada banyak macamnya. Mereka berbeda pendapat
dalam masalah puasa nadzar, baik ditentukan harinya maupun tidak. Sebagian dari mereka
berpandangan bahwa melakukan qadha puasa nadzar adalah wajib, bukan fardhu. Wajib
menurut mazhab ini berarti sunnah yang dikukuhkan, sehingga orang yang meninggalkannya
tidak disiksa dengan neraka meskipun terhalang dari syafaat Nabi.11

Alasan ulama tersebut adalah bahwa memenuhi nadzar telah ditetapkan dengan firman Allah:

َ ‫)) َو ْليُوفُوا نُ ُذ‬


‫ورهُ ْم‬

Dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka. (QS. Al-Hajj (22): 29)

9
A Warson Al-Munawwir/Kamus Al-Munawwir(Surabaya:Pustaka Progresif:2022), cetakan ke-25,hlm. 1218.
10
Syekh Zakariya Al-Anshari/Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib, (Tanpa catatan kota, Darul Kitab Al-
Islami tanpa tahun), jilid III, hlm. 362.
Asmaji Muchtar/ Dialog Lintas Madzhab: Fiqih Ibadah Dan
11

Muamalah(Jakarta:Amazah,2015),hlm.245.

17
Ayat ini menjadi dalalah (penunjuk) yang tidak qath'i (pasti), karena orang yang
bernadzar akan melakukan maksiat tidak wajib memenuhinya. Ketika ayat tersebut ditakhsis
dengan nadzar maksiat maka dalalah-nya menjadi tidak qath'i. Hal ini menunjukkan bahwa
memenuhi nadzar adalah fardhu.

Di samping itu, Mazhab Hanafi membedakan antara melakukan qadha shalat nadzar
dan qadha shalat fardhu. Menurut mereka, seandainya seseorang bernadzar melakukan shalat
dua rakaat, ia tidak boleh melakukannya setelah shalat ashar.

Berbeda dengan seseorang yang tidak melakukan shalat shubuh, orang tersebut boleh
menggadha shalat shubuh setelah shalat ashar. Hal ini menunjuk- kan bahwa memenuhi
nadzar adalah wajib, bukan fardhu, karena ia berbeda dengan fardhu dalam pelaksanaannya.

Sebagian yang lain mengatakan bahwa memenuhi nadzar adalah fard Orang yang
bernadzar melakukan puasa satu hari tertentu atau lebih, atau bemadzar berpuasa tanpa
menentukan hari maka memenuhi nadzar ini adalah fardhu baginya. Kefardhuan ini tidak
tetap dengan firman Allah di atas, tetapi dengan ijmak (kesepakatan ulama). Pendapat ini
adalah pendapat yang paling kuat di kalangan Mazhab Hanafi. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh para ulama lainnya.

Puasa Sunnah. Untuk Puasa sunnah yang memili- ki dasar hukum kuat dari al-
Sunnah al-Nabawiyah dan sudah menjadi ijma' Ulama ada delapan, yaitu: (1) Puasa Asyura
(tgl. 10 muharram dan 9 muharram), (2) Puasa Ayyam Al-Baidl (tgl. Bulan purnama; 13, 14
dan 15 bulan Hijriyah), (3) Puasa hari Arafah (tgl. 9 Dzulhijjah), (4) Puasa hari Senin dan
Kamis, (5)Puasa enam hari di bulan Syawwal, (6) Puasa Nabi Daud AS (sehari puasa dan
sehari tidak), (7) Puasa di bulan Sya'ban, dan (8) Puasa di bulan-bulan suci (Dzulqa'dah,
Dzulhijjah, Muhar- ram dan Rajab).

Puasa haram (diharamkan). Puasa yang diharam- kan menurut al-Sunnah dan
Jumhur Ulama ada empat, yaitu: (1) Puasa hari raya Idul Futri, (2) Puasa hari raya Idul Adha,
(3) Puasa hari Tasyriq (tgl. 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) dan (4) Puasa Sunnah yang dilakukan
seorang istri tanpa izin suaminya.

Puasa makruh. Puasa yang dimakruhkan da- lam mazhab Syafi'i ada tujuh, yaitu: (1)
Puasa hari Jum'at saja, (2) Puasa hari Sabtu saja (3) Puasa satu hari atau dua hari men- jelang
Ramadlan, (4) Puasa separuh kedua di bulan Sya'ban (mulai dari tgl. 16 Sya'ban dst.) tanpa
alasan, (5) Puasa Al-Dharmah puasa dalam mazha (setahun penuh), (6) Puasa sunnah padahal

18
ia punya hutang (a) Menyegerakan berb puasa wajib (Ramadlan), (7) Puasa hari Syak/Ragu
(ragu apakah nggelam matahari (masuk sudah tgl. 1 Ramadlan atau masih tgl. 30 Sya'ban;
ragu apakah sudah tgl. 1 Syawwal atau masih 30 Ramadlan).12

2.6 Hikmah Puasa


Hikmah puasa terangkum dalam penutup ayat-ayat pertama tentang puasa, yaitu
firman Allah 5: "agar kamu bertakwa". Di sini, Allah Azza wa Jalla tidak berfirman: Agar
kamu sekalian menderita, atau sehat, atau bersahaja (hemat). Akan tetapi, Allah berfirman
agar sekalian bertakwa. Dengan demikian, Allah menjadikan puasa sebagai ujian ruhami
(spiritual) dan moral, dan sebagai media (sarana) untuk mencapai sifat orang-orang bertakwa
(al-mataqin). Allah menjadikan pula takwa sebagai tujuan haqiqi dari pengalaman puasa
tersebut.

Imam Al-Ghazali (Hujjatul Islam), telah menyinggung hikmah puasa ini dalam
kitabnya, hyd Ulum Ad-Din la berkata: "Tujuan puasa adalah agar berakhlak dengan akhlaq
Allah, dan meneladani perilaku malaikat dalam hal menahan diri dari hawa nafsu,
sesungguhnya mereka (malaikat) bersih dari hawa nafsu. Manusia adalah makhluk yang
memiliki kedudukan (derajat) di atas binatang karena dengan cahaya akal pikirannya ia
mampu mengalahkan hawa nafsunya, dan di bawah derajat malaikat karena manusia diliputi
hawa nafsu. Dia diuji dengan melakukan mujahadah terhadap hawa nafsunya. Jika ia terbuai
oleh hawa nafsunya, ia jatuh ke dalam derajat yang paling rendah, masuk dalam perilaku
binatang. 13

Ibnu Al-Qayyim menambahkan hikmah puasa ini dengan jelaskan secara terperinci:
"Tujuan puasa adalah mengekang diri hawa nafsu dan menundukkannya, mendapatkan
kesenangan dan kenikmatan hakiki serta kehidupan yang suci dan abadi, turut merasakan
lapar dan dahaga yang teramat sangat agar peka terhadap rasa lapar kaum fakir miskin,
mempersempit jalan setan dengan mempersempit jalur makan dan minum, mengontrol
kekuatan tubuh yang begitu liar Lena pengaruh tabiat sehingga membahayakan kehidupan
dunia dan ahrt, menenangkan masing-masing organ dan setiap kekuatan dari arannya, dan
menali kendalinya. Sebab puasa merupakan tali kendala Jan perisai bagi orang-orang yang

12
H. Abbas Arfan/Perspektif Perbandingan Madzhab Fiqh/, (Malang: UIN-MALIKI PRESS), hlm. 127.
Asmaji Muchtar/ Dialog Lintas Madzhab: Fiqih Ibadah Dan
13

Muamalah(Jakarta:Amazah,2015),hlm. 440.

19
bertakwa serta latihan penggemblengan) diri bagi orang-orang yang ingin mendekatkan diri
kepada Allah.

Rahasia dan tujuan puasa menurut Ibnu Qayyim "Puasa semiliki pengaruh dan potensi
kekuatan yang luar biasa dalam memelihara anggota badan dari memakan barang yang
merusak kesehatan. Puasa memelihara kesehatan jiwa dan raga, dan mengembalikan
kepadanya apa yang telah dirampas oleh kekuatan hawa tafsunya. Puasa adalah media yang
paling baik untuk membantu mencapai takwa."

1. Puasa membiasakan manusia agar takut terhadap Allah baik secara rahasia
maupun terang-terangan, dalam kesendirian maupun dalam keramaian, sebab
orang yang berpuasa tidak ada yang mengawasi kecuali hanya Allah. Ia
menahan hawa nafsunya dari makanan yang lezat, minuman yang segar, buah-
buahan yang matang dan istri yang cantik, karena menjalankan dan tunduk pada
perintah Alaah selama satu bulan penuh. Sekiranya bukan demikian, niscaya ia
tidak mampu bersabar dari semua keinginan nafsu tersebut, sementara ia sangat
menginginkannya. Dengan latihan (puasa) terus-menerus akan terbiara malu
terhadap Allah dan senantiasa merasakan dalam pengawasan Nya untuk
mematuhi perintah dan larangan-Nya. Apabila ia melakukan kesalahan, segera
ingat dan bertaubat secara sungguh-sungguh.
2. Puasa menundukkan keganasan hawa nafsu dan menjadikan diri mampu
menguasainya sesuai syariat, sebagaimana disyariatkan dalam hadist:
‫ و كسی‬.‫ زيرا باعث حفاظت چشم و شرمگاه می شود‬.‫ ازدواج كند‬،‫كسی كه توانايی ازدواج كردن دارد‬
‫ شهوت را ضعيف و كنترل می كند‬،‫ چرا كه روزه‬.‫ روزه بگيرد‬،‫كه توانايی ازدواج را ندارد‬.
“Wahai para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu menikah maka
hendaklah ia segera menikah, karena hal itu lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu, maka hendaklah ia
berpuasa karena hal itu adalah peredam nafsu”.HR. Bukhari 4678.
3. Puasa membiasakan empati dan kasih sayang terhadap kaum kir miskin dan
segera memberikan bantuan. Ia memperbaiki dirinya dengan amal shaleh.
Dengan puasa ia merasakan lapar dan susah. Dengan demikian, dalam puasa
terdapat solidaritas umat dan rasa persaudaran in kasih sayang antara dirinya
dan saudara-saudaranya sesama muslim yang telah terhalang oleh kehidupan
yang keras. Betapa banyak dalam hidup ini orang-orang fakir miskin yang lebih
pandai, lebih tinggi semangatnya, dan lebih banyak ilmunya daripada orang-
20
orang kaya Namun, kekerasan masyarakat dan ketidakpedulian negara terhadap
nasib mereka menyebabkan mereka merintih di bawah himpitan kemiskinan
dan sengsara kehidupan.
4. Puasa menghilangkan zat-zat merugikan yang mengendap dalam tubuh,
terutama dalam tubuh orang-orang yang terbiasa hidup mewah karena mereka
kurang aktivitas, mengeringkan bagian-bagian lembab di dalam tubuh yang
membahayakan, membersihkan lambung dan racun, mengeluarkan lemak yang
sangat berbahaya bagi hati. Nabi bersabda, "Puasalah kalian, niscaya kalian
sehat."
5. Sebagian ilmuwan Eropa mengatakan, puasa satu bulan dalam setahun dapat
menghilangkan sisa sisa zat makanan yang tidak bergana yang mengumpul
dalam nabuh selama satu rahim. Oringing herpa akan mera senang dari
tenteram, tidak merasakan keglase dan kegelisahan dari ganguan berbagai
penyakit yang berbahaya.
6. puasa melatih kesabaran, dan kesabaran merupakan p menuju takwa. Crang
yang berpuasa, ketika menahan diri dan keing nafsu perut dan kemaluan karena
menjalankan perintah Allah b ia telah menyerahkan diri kepada Allah dan
terlatih untuk sabut des tabah Oleh karena itu, ia layak mendapatkan kemuliaan
dari Allah "Segguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan h
mereka tanpa batas "(QS. Az-Zumar (39): 10)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Puasa ialah menahan diri dari makan, minum serta melakukan hubungan intim bagi
suami dan istri. Adapun point-point penting yang dibahas ialah, pengertian puasa, syarat
wajib puasa, syarat sah puasa rukun puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Dengan
adanya puasa ini sebagai patokan kita untuk beribadah kepada Allah, dan dengan adanya
point-point diatas sebagai penunjuk arah agar ibadah kita terukur atau terarah. Perbandingan
madzhab dalam masalah puasa, dalam hal ini banyak perbedaan pendapat antara emapat
21
mazhab diantaranya ialah mazhab Maliki, mazhab Hanafi, mazhab Hambali dan mazhab
Safi’i. Dengan adanya empat mazhab ini mempermudah umat Muslim khususnya untuk
melakukan ibadah puasa yang terdiri dari beberapa point diatas.

3.2 Saran
Demikian pembahasan dari makalh kami. Kami berharap semoga pembahasan dalam
makalah kami ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca. Dan kami pun berharap
pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan dalam tugas kami selanjutnya.
Sekian dan trimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam, A. W. (2015). Fiqh Ibadah Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa,
Haji. Jakarta: PT Kalola Printing.

Al-Anshari, S. Z. (Tanpa Tahun.). Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib,. Jakarta: Darul
Kitab Al-Islami.

Al-Munawwir, A. W. (2022). Kamus A-l Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif.

Anonim. (2015, 06 16). Macam-macam hukum takifli dalam puasa. Retrieved 03 8, 2023,
from Ufiiduka: https://ufiiduka.wordpress.com/2015/06/16/macam-macam-hukum-
takifli-dalam-puasa/

Arfan, H. A. (2012). Fiqh Ibadah Praktis Perspektif Perbandingan Madzhab Fiqh. Malang:
UIN-MALIKI PRESS.

Nurfaizi, M. F. (2022, 05 01). Perbedaan pendapat ulama soal hukum puasa syawal.
Retrieved 03 08, 2023, from m.kumparan:
https://m.kumparan.com/fachri-nurfaizi/perbedaan-pendapat-ulama-soal-hukum-
puasa-syawal-1xzCAILk0WX

22
23

Anda mungkin juga menyukai