Tentang
“PUASA”
KELOMPOK 7
Dosen Pengampuh:
1443 H/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seluruh alam yang telah memberikan kesempatan
dan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, beserta
keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia sampai hari kemudian.
Makalah “Puasa” ini dibuat dengan maksud untuk menunaikan tugas mata kuliah Fiqh
Ibadah. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak selaku dosen pengampuh mata kuliah
Fiqh Ibadah dan pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis berharap penyusunan dalam bentuk makalah ini akan memberi banyak manfaat
dan memperluas ilmu pengetahuan kita. Oleh karena itu, penulis meminta para pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan manfaat positif bagi kita semua,
khususnya kepada penulis.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...........................................................................................................................3
A. Pengertian Puasa............................................................................................................3
B. Dasar Hukum..................................................................................................................3
C. Macam-macam Puasa.....................................................................................................4
D. Syarat Wajib Dan Syarat Sah Puasa.............................................................................11
E. Rukun Puasa.................................................................................................................11
F. Hal-Hal Yang Disunnahkan Dan Dimakhruhkan Ketika Berpuasa.................................14
G. Keutamaan dan Hikmah dari Berpuasa........................................................................15
BAB III.......................................................................................................................................17
PENUTUP...................................................................................................................................17
KESIMPULAN.......................................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puasa adalah ritual keagamaan yang sudah ada sejak dahulu. Sebelum Islam (Nabi
Muhammad SAW), puasa sudah menjadi keharusan bagi agama-agama lain dan suku-
suku tertentu, seperti biksu Buddha, pastor, dan penganut aliran kepercayaan lain. Seperti
yang telah kita ketahui dalam agama Islam mempunyai rukun islam yang salah satunya
termasuk puasa, yang mana puasa merupakan rukun islam yang ke empat. Oleh sebab itu,
puasa merupakan bagian penting dari keberagamaan seorang muslim. Dalam agama
Islam, puasa mempunyai pengertian dan aturan yang spesifik dan terperinci.
Akan tetapi, masih banyak orang-orang yang melaksanakan puasa sekedar
melaksanakan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkannya.
Hasilnya, pada saat mereka berpuasa hanya mendapatkan rasa laparnya. Sangatlah rugi
bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala. Oleh karena itu, perlu
diketahui dan dipahami segala sesuatu yang berkenaan dengan puasa sehingga kita akan
lebih menghayati proses ibadah kita dan kita akan menemukan pelajaran atau hikmah dari
setiap ibadah yang kita lakukan.
B. Rumusan Masalah
iv
C. Tujuan
v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Puasa
Puasa secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu shaum ((صومdan bentuk plural-
nya adalah shiyam ((يامDD صyang artinya menahan diri dari sesuatu. Bila seseorang
menahan diri untuk tidak bicara atau makan, secara bahasa ia disebut shaim ( )صاَِئمartinya
berpuasa. Sedangkan secara terminology atau istilah syara’ puasa adalah menahan diri
dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa bagi orang
yang telah diwajibkan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan syarat-
syarat tertentu1.
Dalam pengertian ini puasa berarti seseorang tidak hanya menahan makan atau
minum, dan hal-hal lain yang membatalkannya, tetapi ada juga unsur waktunya yang jelas
yaitu siang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Juga ada unsur niat, yaitu
menyengaja untuk melakukan sesuatu dengan motivasi ibadah. Niat disini adalah syarat
yang harus, tidak boleh tidak. Sehingga barangsiapa tidak berniat sesuai dengan tata cara
berpuasa, maka puasanya batal. Selain itu yang lebih penting, terkandung juga makna
siapa yang sah untuk melakukannya yaitu orang yang memenuhi syarat wajib dan syarat
sah untuk berpuasa2.
1
Gus Arifin, Fiqih puasa: Puasa, Ramadhan, Zakat Fitrah, Hari Raya, dan Halal bi Halal, (Jakarta:
Gramedia, 2013), hlm. 76-77
2
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (5) : Puasa, (Jakarta Selatan: DU Publishing , 2011), hlm.22
vi
B. Dasar Hukum
Islam dibangun atas lima, syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, pergi haji dan
puasa Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan dasar pensyariatan puasa berdasarkan ijma yaitu secara ijma‘ seluruh umat
Islam sepanjang zaman telah sepakat atas kewajiban puasa Ramadhan bagi tiap-muslim
yang memenuhi syarat wajib puasa. Ijma' ulama juga sampai kepada batas bahwa orang
yang mengingkari kewajiban puasa di bulan Ramadhan berarti dia telah keluar dari agama
Islam. Hal itu mengingat bahwa puasa di bulan Ramadhan bukan sekedar kewajiban,
tetapi lebih dari itu, puasa Ramadhan merupakan bagian dari rukun Islam yang harus
ditegakkan3
C. Macam-macam Puasa
3
Ibid, hlm.26
vii
1. Puasa Wajib
Puasa ini terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama, puasa yang wajib karena
datangnya waktu tertentu, yaitu puasa bulan Ramadhan. Kedua, puasa yang wajib
karena suatu 'illat (sebab), yaitu puasa kafarat. Ketiga, puasa yang wajib karena
diwajibkan oleh seseorang atas dirinya sendiri, yaitu puasa nadzar.
2. Puasa Sunnah
Sama halnya dengan shalat, puasa juga terdapat dimana adakalanya apabila
dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.
Adapun puasa sunnah itu antara lain:
a. Puasa Daud
Puasa daud adalah puasa sehari dan tidak puasa sehari atau dengan
berselang-seling.. Disebut dengan puasa Daud karena awalnya puasa
dengan cara seperti ini disyariatkan kepada Nabi Daud alaihissalam dan
umatnya. Puasa Daud ini disyariatkan lewat beberapa hadits Rasulullah
SAW, diantaranya :
Dari Abdullah bin Amru radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda,”Shalat (sunnah) yang paling dicintai oleh Allah adalah
shalat (seperti) Nabi Daud as. Dan puasa (sunnah) yang paling dicintai
Allah adalah puasa (seperti) Nabi Daud as. Beliau tidur separuh
malam, lalu shalat 1/3-nya dan tidur 1/6-nya lagi. Beliau puasa sehari
dan berbuka sehari. (HR. Bukhari)
b. Puasa Ayyamul Biidh
Puasa ayyamul-Biidh adalah puasa tiga hari setiap bulan. Puasa ini
dikerjakan pada hari-hari putih, yakni pada hari-hari yang malamnya terang
bulan, yaitu tanggal 13, 14, dan 15. Disebut "hari-hari ‘putih' sebab hari-
hari tersebut terang malamnya dengan bulan dan siangnya dengan matahari.
Pahala puasa ini setara dengan puasa dahr karena pahala dilipatgandakan
(satu kebajikan diberi pahala sepuluh kali lipat), tanpa ada mudharat atau
aspek negatif seperti yang ada dalam puasa dahr4.
c. Puasa Senin Kamis
4
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islam wa Adillatuhu III, (Jakarta: Gema Insani, 2011) hlm.41
viii
Ketentuan tentang puasa Senin Kamis didasarkan pada hadits yang di
dalamnya ada komentar Rasulullah SAW, yaitu pada hari senin dan kamis
diserahkannya amal manusia5.
"Sesungguhnya amal manusia itu dilaporkan setiap hari Senin dan
Kamis. (HR. Abu Daud).
d. Puasa 6 Hari Pada Bulan Syawwal
Puasa enam hari di bulan Syawwal. Boleh dikerjakan terpisah-pisah,
tapi lebih afdhal berurutan dan langsung setelah hari raya, sebab itu berarti
menyegerakan ibadah. Pahalanya diperoleh meskipun puasa yang dijalani
itu adalah puasa qadha, nadzar, atau yang lain. Orang yang menjalani puasa
ini setelah menjalani puasa Ramadhan seakan-akan telah menialani puasa
dahr (sepanjang tahun) yang bernilai fardhu' Hal ini berdasarkan riwayat
Abu Ayub,
“Barang siapa berpuasa Ramadhan lalu melanjutkannya dengan puasa
enam hari di bulan Syawal, maka itu setara dengan puasq sepaniang
tahun.”6
e. Puasa Hari Arafah dan Tarwiyah
Puasa Arafah yaitu puasa pada tanggal 9 bulan Zulhijjah, sedangkan
puasa tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 bulan Zulhijjah 7. Puasa sunnah
itu berdasarkan dalil berikut :
Dari Abi Qatadah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Puasa
hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan
tahun sesudahnya. Puasa Asyura' menghapuskan dosa tahun sebelumnya.
(HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Tirmizy)
f. Puasa delapan hari sebelum hari Arafah pada bulan Dzulhijjah
Puasa delapan hari sebelum hari Arafah pada bulan Dzulhijjah, bagi
pelaksana haji maupun orang lain, Hal ini berdasarkan perkataan Hafshah,
“Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.:
puasa Asyura , puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijiah, puasa tiga hari
setiap bulan, dan shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat Shubuh”.
Dalam pembahasan tentang shalat dua hari raya telah disebutkan beberapa
5
Sarwat, Op.Cit, hlm.61
6
Az-Zuhaili, Op.Cit hlm.42
7
Sarwat, Op.Cit, hlm.60
ix
hadits yang menunjukkan keutamaan amal secara umum pada sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijiah, dan puasa termasuk di dalamnya.
g. Puasa Tasu'a dan Asyura
Puasa Tasu'a dan Asyura tanggal 9 dan 10 Muharram, disunnahkan
kedua- duanya dilaksanakan, karena –sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas, Nabi saw. pernah bersabda,
"Sungguh jika aku masih hidup sempai tahun depan, niscaya aku akan
berpuasa tanggal 9 dan 10.”8
h. Puasa bulan Sya’ban
Rasulullah saw paling banyak puasa Sunnah di bulan Sya’ban, beliau
mencontohkan langsung kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di
bulan Syaban, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah ra berkata:
Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya,
kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan
yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Syaban (HR Muslim9).
3. Puasa Makruh
a. Puasa Khusus Hari Sabtu
Puasa pada hari sabtu makhruh hukumnya disebabkan dasarnya karena hari
Sabtu adalah hari besar orangorang yahudi, sehingga bila seorang muslim
secara sengaja mengagungkan hari itu, dengan melakukan puasa secara ritual,
termasuk dikategorikan telah menyerupai ibadah suatu kaum. Dalam hal ini
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian berpuasa (khusus) di hari Sabtu, kecuali bila
difardhukan atas kalian.” (HR. At-Tirmizy)
b. Puasa Khusus Hari Ahad, Nairuz Dan Mahrajan
Karena hari Ahad merupakan hari dimana orang-orang nasrani
merayakannya, atau menjadikan hari Ahad itu sebagai hari ibadah. Larangan
yang sama juga berlaku bila seseorang berpuasa di hari Nairuz, yaitu hari besar
para penyembah api dari kalangan orang-orang Persia. Hari Nairuz jatuh pada
hari keempat dari musim semi dalam kepercayaan orang-orang Persia.
Sedangkan hari Mahrajan juga termasuk hari yang biasa diagungkan oleh
8
Az-Zuhaili, Op.Cit hlm.43
9
Sarwat, Op.Cit hlm.63
x
orang-orang Persia penyembah api (majusi). Hari ini jatuh pada hari ke-19 dari
musim gugur.
c. Puasa Satu Hari 10 Muharram
Berpuasa pada tanggal 10 Muharram memang disunnahkan oleh
Rasulullah SAW. Namun karena orangorang yahudi juga berpuasa di hari itu,
maka beliau SAW memerintahkan agar umatnya berpuasa sehari sebelumnya
atau sehari sesudahnya. Tujuannya tentu tidak lain adalah agar tidak terjadi
kesamaan dengan orang-orang yahudi.10
d. Puasa Dalam Perjalanan
Allah SWT membolehkan orang yang dalam perjalanan untuk tidak
berpuasa, dan sebagian ulama malah memakruhkan bila dalam perjalanan,
seseorang sengaja membuat dirinya tersiksa karena bertahan untuk tetap
berpuasa. Namun bila perjalanan itu ringan dan tidak memberatkan bagi
pelakunya, maka hukumnya tidak makruh. Sehingga buat mereka yang merasa
kuat, silahkan berbuka dan silahkan juga tetap berpuasa.11
e. Puasa Arafah Buat Yang Berhaji
Jamaah haji yang sedang melakukan wukuf di Arafah tidak disyariatkan
untuk melakukan puasa hari Arafah. Para ulama mengatakan justru berpuasa
hari itu di Arafah sebagai orang yang melaksanakan haji hukumnya makruh.
Bahkan sebagian ada yang bilang haram12.
f. Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Para wanita yang sedang hamil atau menyusui bila khawatir atas
keselamatan dirinya atau bayinya, maka tidak dianjurkan untuk berpuasa.
Mereka termasuk orang yang mendapatkan keringanan, dan bila ada
keringanan tetapi tidak dimanfaatkan, malah lebih memilih yang
membahayakan, hukumnya menjadi makruh.
g. Puasa Orang Sakit
Orang yang sedang sakit dibolehkan tidak berpuasa, khususnya bila
dengan tetap berpuasa akan mengakibatkan penyakitnya bertambah parah, atau
kesembuhannya menjadi berkurang. Dalam kasus seperti itu, para ulama
memakruhkan bagi penderita sakit untuk memaksakan diri berpuasa.13
10
11
Ibid, hlm.64
12
Ibid hlm.65
13
Ibid hlm.66
xi
4. Puasa Haram
Sedangkan puasa yang oleh kebanyaka ulama disepakati keharamannya antara
lain:
a. Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha
Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat
Islam. Hari itu adalah hari kemenangan yang harus dirayakan dengan
bergembira. Karena itu syariat telah mengatur bahwa di hari itu tidak
diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada tingkat haram. Hal yang
sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam.
Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk
menyembelih hewan Qurban dan membagikannya kepada fakir msikin dan
kerabat serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan
dengan menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari besar 14. Hal ini
berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah:
“Bahwa Rasulullah SAW melarang puasa di dua hari, yaitu hari raya
fithr dan hari nahr.” (HR. Bukhari)
b. Hari Tasyrik
Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari
itu umat Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga
masih diharamkan untuk berpuasa. Namun sebagian pendapat mengatakan
bahwa hukumnya makruh, bukan haram. Apalagi mengingat masih ada
kemungkinan orang yang tidak mampu membayar dam haji untuk puasa 3 hari
selama dalam ibadah haji. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Nabi saw:
“Sesunggunya hari itu (tasyarik) adalah hari makan, minum dan
zikrullah.” (HR. Muslim)
c. Puasa khusus hari jum’at
Puasa khusus hanya hari Jumat haram hukumnya, bila tanpa didahului
dengan hari sebelum atau sesudahnya. Namun bila ada kaitannya dengan puasa
sunnah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari
tidak, hukumnya boleh. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh
berpuasa. Sebagian ulama tidak sampai mengharamkannya secara mutlak,
14
Ibid hlm.66
xii
namun hanya sampai makruh saja. Hal yang mendasarkan puasa diharamkan
hari jum’at:
“Janganlah kalian khususkan hari Jum’at dengan berpuasa, dan
tidaklah pula malamnya untuk ditegakkan (shalat)”. (HR Muslim).
d. Puasa Sunnah Paruh Kedua Sya'ban
Menurut madzhab Syafi'i, haram berpuasa pada paruh akhir bulan
Sya’ban, kecuali jika ada kebiasaan puasa yang dijalaninya, misalnya dia sudah
biasa puasa dahr (tiap hari), puasa sehari dan tidak sehari, puasa hari tertentu
(misalnya hari Senin) dan kebetulan hari itu berada pada paruh kedua Sya'ban,
puasa nadzar yang berada dalam tanggungannya, qadha atas suatu puasa
sunnah atau puasa wajib, kafarat, atau penyambungan puasa paruh kedua
dengan puasa pada paruh pertama meskipun dengan hari tengah bulan. 15 Dasar
haramnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:
“Apabila bulan Sya'ban telah lewat separuhnya, maka janganlah
berpuasa.” (HR. Ahmad)
e. Puasa Pada Hari Syak
Hari syak adalah tanggal 30 Sya‘ban bila orang-orang ragu tentang
awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak terlihat. Saat itu tidak ada
kejelasan apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum. Ketidak-jelasan
ini disebut syak. Dan secara syar‘i umat Islam dilarang berpuasa pada hari itu,
dengan dasar hadits Rasulullah SAW berikut ini :
“Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuas
sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bila seseorang memang
terbiasa melakukan puasa sunnah, maka silahkan melakukannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
f. Puasa Selamanya
Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari,
selamanya. Puasa ini sering disebut dengan shaumul abad. Meski seseorang
merasa sanggup untuk mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi
secara syar‘i puasa seperti itu dilarang oleh Islam. Bagi mereka yang ingin
banyak puasa, Rasulullah SAW menyarankan untuk berpuasa seperti puasa
Nabi Daud as yaitu sehari puasa dan sehari berbuka. Dasar dilarangnya dengan
hadist Rasulullah SAW berikut ini :
15
Az-Zuhaili, Op.Cit hlm.36
xiii
“Tidak sah puasanya orang yang puasa selamanya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
E. Rukun Puasa
1. Niat
16
Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,2018) hlm.233-234
17
Ibid, hlm.228-229
xiv
Keyakinan hati dan kehendak untuk melakukan suatu perbuatan tanpa keragu-
raguan. Namun beberapa ulama tidak memasukkan niat ke dalam rukun puasa,
melainkan memasukkan niat ke dalam rukkun puasa, melainkan memasukkan ke
dalam syarat sah puasa. Tapi pada dasarnya ulama bahwa niat atau berniat wajib
dilakukan dalam setiap ibadah sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Umar bin Khattab as ia berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya setaip amal ibadah itu (hanya) sah dengan niat.
Taip-tiap orang diberi imbalan menurut apa yang diniatkannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan puasa sunnah. Berniat puasa sunnah tidak harus malam hari,
tetapi bisa dilakukan setelah terbit fajar sampai sebelumnya tergelincirnya matahari
(waktu Zuhur) dengan syarat ia belum makan atau minum sedikitpun sejak Subuh.
“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih
dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang)
malam.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Syarat puasa yang menjadi batal dengan sebab beberapa perkara, yaitu orang
yang berpuasa itu ingat kalau dirinya sedang berpuasa, tidak dipaksa, tidak bodoh
yang diudzurkan, dan tidak tahu akan keharamannya atau ia adalah muallaf atau hidup
jauh dari para ulama. Namun, jika seorang yang berpuasa itu hidup di tengah
masyarakat Muslim yang pada umumnya mengetahui hal-hal yang dilarang, puasanya
batal dan ia wajib mengqadha’. Sebab, dia ceroboh dan lalai dari belajar agama.
Diantara perkara-perkara yang harus ditahan oleh orang yang sedang berpuasa18,
yaitu:
a. al-Muhbithat ( ) المحبطاتhal-hal yang membatalkan pahala puasa.
18
Heru Sandria, Fiqh Puasa Ramadhan Madzhab Syafi’, (Merlung: Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam
Terbitan (KDT), 2021) hlm.23
xv
1) Ghibah, yaitu membicarakan aib orang lain dengan hal-hal yang
tidak disukainya, meskipun itu benar adanya.
2) Namimah (adu domba), yaitu menyebarkan perkataan dengan
tujuan memimbulkan fitnah (orang agar bertengkar dan putus
hubungan).
3) Berbohong
4) Melihat hal-hal yang haram atau halal yang disertai syahwat (nafsu)
5) Bersumpah palsu
“Ya Allah untuk-Mu hamba berpuasa, atas rezeki yang Engkau berikan
hamba berbuka.”
g. Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa
h. Hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa
i. Memperbanyak membaca al-Qur’an dan mempelajarinya serta amal shalih
lainnya.
2. Hal-hal yang dimakruhkan21
a. Tidak menjauhkan diri dari hal-hal yang terlarang
b. Donor darah, berbekam dan semisalnya.
Karena hal tersebut dapat membuat tubuh lemah, bahkan terkadang bisa
mendorong seseorang untuk berbuka.
c. Mengunyah dan mencicipi makanan tanpa ada hajat
d. Mencium istri
19
Sulaiman, Op.Cit, hlm.238-240
20
Sandria, Op.Cit hlm.43
21
Ibid, hlm.45
xvii
Karena dikhawatirkan membangkitkan syahwatnya dan ejakulasi. Jika
tidak, hukumnya khilaful ula.
e. Bersiwak (menggosok gigi) setelah zuhur, baik dengan siwak basah maupun
kering.
f. Berkumur bukan dalam rangka berwudhu’ atau bukan karena keperluan yang
mendesak. Namun, berkumur dan ber-istinsyaaq (menghirup air ke hidung)
berlebih-lebihan pada saat wudhu’ juga hukumnya makhruh
g. Melakukan hal-hal yang tidak berfaedah lainnya.
1. Keutamaan-keutamaan Puasa
Keutamaan puasa adalah suatu yang agung. Di antara hadits shahih yang
menerangkan keutamaannya adalah:
a. Bahwasanya puasa telah dikhususkan oleh Allah bagi Diri-Nya, dan
bahwasanya Dia- lahyang langsung memberikan pahalanya, dengan
melipatgandakan pahalanya untuk orang yang berpuasa dengan tanpa batas.
b. Sesungguhnya puasa itu tiada tandingannya
c. Doa orang yang berpuasa tidak ditolak.
d. Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan: Yaitu apabila ia
berbuka puasa, ia bahagia karenanya, dan apabila ia bertemu dengan Tuhannya
ia bahagia karena puasanya.
e. Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum disisi Allah daripada harumnya
minyak wangi kasturi.
f. Dan barangsiapa berpuasa satu hari karena semata mata mengharapkan
Wajah Allah dan hidupnya ditutup baginya dengannya, niscaya dia masuk
Surga.
2. Hikmah-hikmah puasa
Puasa mengandung hikmah dan faidah yang mana diantaranya yaitu sebagai
beriku22t:
22
Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah, Tuntunan Praktis Puasa, Tarawih, I'tikaf, Lailatul Qadar,dan
Zakat Fitrah, (Bogor: Pustaka Ibnu Umar, 2011) hlm.49-50
xviii
a. Bahwasanya apabila perut seseorang lapar, maka rasa lapar indra-indra yang
lain terhalangi, dan apabila perutnya kenyang, maka akan laparlah lisan, mata,
tangan dan kemaluannya (nafsu seksualnya). Jadi, puasa dapat mematahkan
rongrongan setan dan melumpuhkan syahwat dan menjaga anggota tubuh.
b. Bahwasanya apabila orang yang berpuasa itu merasakan penderitaan lapar,
maka ia akan merasakan pula penderitaan orang orang fakir, sehingga
timbullah rasa belas kasih dan uluran tangan untuk menutupi kebutuhan
mereka; karena sebagaimana pepatah mengatakan, "Berita itu tidak seperti apa
yang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri”
c. Bahwasanya puasa dapat mendidik dan menumbuhkan kemauan
menghindarkan diri dari hawa nafsu dan jauh dari kemaksiatan, karena saat
berpuasa, kita dapat memaksa tabi'at kita dan menyapih nafsu dari kebiasaan‐
kebiasaannya.
d. Puasa juga membiasakan kita berdisiplin dan tepat waktu, yang mampu
menanggulangi keteledoran banyak orang jikalau mereka berakal
e. Puasa juga menampakkan prinsip kesatuan di antara kaum Muslimin, di mana
segenap umat berpuasa dan berhari raya bersama pada bulan yang sama.
f. Di dalam berpuasa juga terdapat kesempatan yang sangat berharga bagi para
da'i untuk menyeru manusia ke jalan Allah,di mana pada bulan ini hati mereka
cenderung ke masjid- masjid. Di antara mereka bahkan ada yang masuk masjid
merupakan yang pertama kali, dan ada pula yang sudah lama tidak masuk
masjid; mereka sedang berada di dalam suatu kerinduan yang sangat jarang
terjadi. Maka momentum ini harus digunakan sebaik-baiknya oleh
para da'i untuk memberikan nasihat-nasihat yang menyentuh hati mereka dan
menyampaikan materi‐materi yang sesuai serta ceramah-ceramah yang
bermanfaat yang disertai dengan tolong- menolong di dalam kebajikan dan
ketakwaan. Namun, hendaknya da'i jangan terlalu disibukkan mengurusi orang
lain hingga lupa dirinya sendiri hingga seperti lilin, menerangi orang tapi
membiarkan dirinya sendiri terbakar.
xix
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan
disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar hingga
terbenamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu.
Rukun-rukun puasa terdiri dari niat dan Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan
puasa. Lalu ketika berpuasa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu hal-hal
yang disunnahkan dan dimakhruhkan ketika berpuasa. Selain itu dengan ibadah puasa kita
mendapatkan pahala juga mempunyai hikmah, yaitu mempengaruhi untuk kesehatan
jasmani dan rohani.
xx
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Gus. Fiqih puasa: Puasa, Ramadhan, Zakat Fitrah, Hari Raya, dan Halal bi Halal.
Jakarta: Gramedia, 2013.
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Islam wa Adillatuhu III. Jakarta: Gema InsanI, 2011.
Hasbullah, Abu Muhammad Ibnu Shalih bin. Tuntunan Praktis Puasa, Tarawih, I'tikaf,
Lailatul Qadar,dan Zakat Fitrah. Bogor: Pustaka Ibnu Umar, 2011.
Sandria, Heru. Fiqh Puasa Ramadhan Madzhab Syafi’. Merlung: Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan , 2021.
Sarwat, Ahmad. Seri Fiqih Kehidupan (5) : Puasa. Jakarta Selatan: DU Publishing, 2011.
xxi