FIKIH IBADAH
DOSEN PENGAMPU
KELOMPOK 1
Muslim : 2330201040
FAKULTAS SYARIAH
2023
KATA PENGANTAR
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Pemakalah
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
BAB II PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puasa (disebut juga saum) yaitu salah satu amalan furu'uddin dalam
agama Islam yang memiliki arti menahan nafsu dari aktivitas seperti minum dan
makan selama 12 jam lebih, mulai dari kemunculan matahari fajar hingga
matahari mega merah terbenam. Puasa dalam kitab Al-Quran juga As-Sunnah
memiliki arti menahan diri, menjauhi, dan meninggalkan. Memiliki arti lain
mencegah diriserta menjauhkan diri dari hal-hal yang mencakup keinginan
untuk makan dan minum, serta keinginan syahwat atau birahi dengan niat
mendapatkan pahala dan ridho Allah SWT (Al-Qaradawi, 2014, h.6).
Sedangkan pengertian puasa dalam istilah syar’i memiliki arti mencegah dan
menjaga diri dari minum, makan, berhubungan intim, dan hal lain yang secara
sadar bisa membatalkan puasa mulai dari kemunculan fajar di waktu subuh
hingga terbenam matahari di waktu maghrib dengan niat berserah diri kepada
Allah SWT dan tujuan mematuhi perintah puasa dari Allah SWT (An-nuur,
2019, h.21). Puasa sunah merupakan salah satu dari ibadah yang diperintahkan
Allah SWT yang bersifat tathawwu yaitu ibadah yang diatur oleh syariat Islam
untuk dijalankan oleh setiap umat muslim dengan aturan yang memiliki sifat
sukarela atau anjuran, bukan keharusan atau kewajiban (Al-Qaradawi, 2014,
h.183).
Fenomena berpuasa sunah Senin dan Kamis sering dilakukan bagi
semua umat muslim di seluruh dunia, Indonesia menjadi salah-satunya. Mulai
dari kalangan muda yang sudah baligh sampai yang sudah tua, berpuasa sunah
Senin dan Kamis dijalankan bertujuan agar diberi pahala oleh Allah SWT, dan
memperlancar sistem pencernaan di dalam tubuh, adapun manfaat lain
khususnya bagi manula dan lansia seperti dapat membuat para lansia lebih
bahagia, karena bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT di masa senja.
Namun ada rasa takut, khawatir, dan cemas akan timbulnya gangguan kesehatan
saat menjalankan puasa sunah Senin dan Kamis. Hal ini penting disampaikan
oleh perancang kepada para umat muslim lansia agar umat muslim lansia 2 bisa
menjalankan puasa sunah Senin dan Kamis dengan khusyu dan tidak khawatir
1
akan gangguan kesehatan yang timbul pada saat menjalankan puasa sunah Senin
dan Kamis.
Perancang akan menyampaikan gangguan kesehatan dan manfaat apa
saja yang sering dialami oleh umat muslim lansia pada saat menjalankan puasa
sunah Senin dan Kamis. Berdasarkan pengumpulan data dari hasil kuesioner
yang dilakukan perancang pada tanggal 3 November 2021 kepada responden
dewasa akhir menuju lansia yang beragama Islam, diperoleh data bahwa dari 53
responden sekitar 34 responden belum mengerti manfaat puasa sunah Senin dan
Kamis untuk kesehatan lansia, diperoleh juga data bahwa 77.4% responden
merasa takut, khawatir, dan cemas akan timbulnya gangguan kesehatan saat
menjalankan puasa sunah Senin dan Kamis, para responden juga belum
mengerti cara pencegahan dan antisipasi untuk gangguan kesehatan tersebut.
Oleh sebab itu berdasarkan permasalahan yang ada, perancang akan merancang
sebuah media yang dapat membantu para lansia dalam berpuasa sunah Senin
dan Kamis tanpa khawatir akan timbulnya gangguan kesehatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian puasa,syarat ,dan hikmahnya?
2. Apa saja keringanan dalam puasa?
3. Bagaimana pendapat para mahzab Hal-hal apa saja yang membatalkan
puasa?
4. Apa saja hal-hal yang membatalkan puasa qadha daan kaffarat
5. Apa saja hal-hal yang tidak membatalkan paasa?
6. Apa saja macam-macam puasa sunnat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ,hikmah,syarat puasa
2. Untuk mengetahui keringanan dalam puasa
3. Untuk mengtahui pendapat para ulama mahzab tentang hal-hal yang
membatalkan puasa
4. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang membatalkan puasa qadha dan
kaffarat
5. Untuk mengtetahui hal-hal apa saja yang tidak membatalkan puasa
2
6. Untuk mengatahui macam-macam puasa sunnat
BAB II
3
PEMBAHASAN
A. Menjelaskan Pengertian, Syarat dan Hikmah Puasa
1. Pengertian Puasa
Puasa adalah suatu bentuk “ibadah dalam Islam yang berarti
menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan ibadah tersebut pada
siang hari (mulai terbit fajar sampai terbenam matahari)”; Puasa dalam
bahasa Arab disebut dengan istilah “Ṣiam” atau “Ṣaum” yang secara
etimologis berarti menahan diri dari sesuatu. Termasuk dalam pengertian
ini, menahan diri berbicara dengan orang lain; sebagaimana disebutkan
dalam Q.S.Maryam [19]: 26 yang “Artinya: “Maka katakanlah (Hai
Maryam), sesungguhnya aku telah bernażar berpuasa untuk Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang
manusiapun pada hari ini”.
Kuda yang diam dan tidak bergerak disebut “Ṣaim”, demikian juga
angin yang tenang disebut “Ṣaum”; Dengan demikian dapat dipahami
bahwa, dalam Puasa terkandung pengertian “ketenangan”1
Puasa dalam pengertian terminologis ialah: Suatu ibadah yang
diperintahkan Allah, dilaksanakan dengan cara menahan makan, minum
dan hubungan seksual (menahan diri dari segala apa yang membatalkan
puasa) dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan disertai niat2
2. Syarat-syarat Puasa
a. Syarat Wajib Puasa
1) . Beragama Islam
Persyaratan Islam dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan puasa kepada orang-orang yang beriman kepad
Allah SAW yaitu dalam Qs. Al-Maidah ayat 183. Berdasarka ayat itu
orang-orang tidak ditunntut untuk melakukan puasa Ramadhan
seperti yang dituntut kepada orang-orang islam.
2) Baligh dan berakal
1
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin Perta, Jakarta, 1983,
h. 274
2
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Beirut, Dȃr al-Fikri, 1983, h. 364; Lihat juga Fikih Sunnah, III,
alih bahasa Mayuddin Syaf, Cet. I, 1978, h. 161.
4
Persyaratan baligh dan berakal mengandung arti bahwa anak kecil
tidak diwajibkan untuk berpuasa. Sedangkan persyaratan berakal
mengandung arti bahwa orang gila tidak diwajibkan berpuasa.
3) .Kuat Berpuasa (al-qadir) dan sedang menetap didaerah tempat
tinggalnya
Persyaratan kuat berpuasa mengandung arti bahwa orang yang sakit
yang mengakibatkan tidak kuat melakukan puasa tidak dituntut untuk
berpuasa.Sedangkan Persyaratan mnetap ditempat tinggalnya
menunjukan bahwa orang yangsedang dalam perjalanan tidak
dituntut berpuasa, namun wajib bagi meraka menggantinya pada
hari-hari lain sebanyak hari yang ditinggalkan3
b. Syarat Sah Puasa
Terdapat beberapa pendapat yang berbeda dikalangan ahli fiqh
dalam menetapkan syarat sah puasa. Para ahli fiqh dari kalangan
Hanafiyah,misalnya menetapkan tuga macam yang menjadi syarat sah
puasa yaitu:
1. Niat
2. Bersih dari haid dan nifas
3. Terhindar dari segala yang merusak puasa
Malikiyah menetapkan empat macam sebagai syarat sah puasa yaitu:
1. Niat
2. Suci dari haid dan nifas
3. Islam
4. Dilakukan pada masa-masa yang dibolehkan berpuasa
Syafi’iyah menetapkan empat macam sebagai syarat sah puasa yaitu:
1. Islam
2. Berakal
3. Suci dari haid dan nifas
4. Niat (menurut sebagian Syafi’iyah
Hanabilah menetapkan tiga macam yang menjadi syarat sah puasa
yaitu:
3 Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah. (Jakarta): Gaya Media Pratama:1997 hlm 157-158
5
1. Islam
2. Niat
3. Bersih dari haid dan nifas4
c. Hikamh Puasa
1. Supaya bertaqwa;
2. Kasih sayang Allah;
3. Pandai bersyukur;
4. Peduli sosial;
5. Dapat merasakan kesengsaraan atau kesulitan orang lain;
6. Mau berbagi;
7. Media latihan fisik dan rohani;
8. Menjaga kesehatan;
6
Yang membatalkan puasa adalah beberapa perkara yang wajib
ditahannya, dari terbitnya fajar sampai Mghrib, yaitu:
1. Makan dan minum dengan sengaja
Makan dan mium dengan sengaja itu dapat membatalkan puasa. Dan
bagi pelakunya wajib mengqadhanya, menurut semua ulama madzhab. Tetapi
mereka bebeda dalam menetapkan wajibnya membayar kifarat. Hanafi:
Mewajibkan membayar kifarat. Syafi’i dan Hambali: Tidak mewajibkan.
Tetapi bagi orang yang makan dan minum dengan lupa, maka tidak harus
mengqadhanya, dan tidak pula membayar kifarat, hanya Maliki tetap
mewajibkan mengqadhanya (menggantinya) saja. (Merokok, yang biasa
diisap manusia adalah termasuk dalam pengertian minum).
2. Bersetubuh dengan sengaja
Bersetubuh dengan sengaja termasuk hal yang membatalkan puasa dan
bagi yang melakukannya wajib mengqadha dan membayar kifarat, menurut
semua ulama madzhab. Membayar kifarat adalah memerdekakan budak, dan
bila tidak mendapatkannya, maka ia harus bepuasa dua bulan berturut-turut.
Dan jika tidak mampu, maka dia harus memberi makan kepada enam puluh
orang fakir miskin. Kifarat itu boleh dipilih, menurut Maliki. Maksudnya
seorang mukallaf diperbolehkan untuk memilih salah satu dari:
Memerdekakan budak, puasa, atau memberi makan. Tetapi menurut Syafi’i
dan Hambali serta Hanafi: Harus secara tertib. Maksudnya, pertama harus
memerdekakan budak, bila tidak mampu hendaklah berpuasa, bila tidak
mampu juga hendaklah memberi makan. Tetapi kalau melakukan
persetubuhan dengan lupa, maka puasanya tidak batal, menurut Hanafi dan
Syafi’i. Namun menurut Hambali dan Maliki tetap membatalkan.
3. Istimma’
Yaitu mengeluarkan mani. Ia merusak puasa menurut ulama madzhab
secara sepakat, bila dilakukan dengan sengaja, bahkan keluar madzi pun dapat
merusak puasa, menurut Hambali. Maksudnya adalah madzi yang keluar
karena disebabkan melihat sesuatu yang dapat membangkitkan gairah seks,
atau sejenisnya bila dilakukan berulang-ulang. Empat madzhab: Kalau hanya
keluar mani wajib mengqadhanya saja, tanpa membayar kifarat.
4. Muntah dengan sengaja Ia dapat merusak puasa.
7
Menurut Syafi’i dan Maliki: Wajib mengqadhanya. Tetapi menurut Hanafi:
Orang yang muntah tidak membatalkan puasa, kecuali kalau muntahnya itu
memenuhi mulut. Hambali ada dua riwayat, mereka sepakat bahwa muntah
dengan terpaksa tidak membatalkan puasa.
5. Berbekam (bercaduk)
Hambali berpendapat bahwa bahwa yang mencaduk (membekam) dan
yang dicaduk (dibekam) puasanya sama-sama batal.
6. Disuntik dengan yang cair.
Ia dapat membatalkan (merusak) puasa. Dan bagi yang disuntik, wajib
mengqadha (menggantinya), begitulah menurut ulama madzhab secara
sepakat.
7. Bercelak
Bercelak juga dapat membatalkan puasa, begitu menurut Maliki. Dengan
syarat dia melakukannya/ bercelak pada waktu siang, dan dia merasakan rasa
celak itu sampai ke kerongkongan.
8. Memutuskan (membatalkan) niat puasa.
Kalau orang yang berpuasa berniat untuk berbuka, kemudian dia berbekam
(bercaduk), maka puasanya batal, menurut Hambali, tetapi menurut
madzhab-madzhab yang lain, tidak batal.5
D. Hal-hal yang Membatalkan Puasa Wajib Qadha dan Kaffarat
Menurut Imam Syafi’I yang membatalkan puasa wajib kaffarat yaitu
bersenggama pada siang hari.
Menurut Imam Maliki yang membatalkan puasa wajib kaffarat yaitu
bersetubuh dengan sengaja baik dengan manusia atau hewan, meskipun tidak
keluar mani, mengeluarkan mani akibat berciuman, bercumbu tanpa
bersetubuh, makan dan minum dengan sengaja, baerniat membatalkan puasa
tanpa udzur seperti sakit, beprgian, haid bagi wanita.
Menurut Imam Hambali yang membatalkan puasa wajib kaffarat yaitu orang
bersenggama pada siang hari ramadhan, tanpa ada udzur puasa sebelumnya,
baik di vagina atau anus.
8
Menurut Imam Hanafiyyah yang membatalkan puasa wajib kaffarat yaitu
ada sekitar 22 hal yang mengharuskan membayar qadha’ dan kafarat
sekaligus, yaitu: memakan-meminum makanan-meminum atau obat-obatan
tanpa ada halangan udzur yang sah. Melampiaskan nafsu seksual secara
sempurna.
9
Hukum donor darah ini disamakan dengan hukum berbekam, sehingga
menurut mayoritas ulama hukumnya tidak membatalkan puasa, namun
menurut mazhab Hanbali donor darah bisa mematalkan puasa.
10
6. Puasa pada hari Asyura (10 Muharram),sesuai dengan hadist Nabi saw
berikut Dari Abi Qatadah Rasulullah SAW,bersabda;”Puasa hari Asyura
itu menghapuskan dosa satu tahun yang telah lalu.” (HR.Muslim)
7. Puasa bulan Sya’ban. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda Dari Aisyah
berkata : “Nabi tidak berpuasa lebih banyak sealin dari pada bulan
Sya’ban,” (HR. Al-Khamsah)
8. Puasa berselang hari, yaitu puasa satu hari berbuka satu hari,sebagaimana
hadist Nabi SAW. Dari Abudullah bin Umar ra,sesungguhnya Nabi SAW.
Bersabda:” Puasa yang lebih adalah puasa Nabi Daud,yaitu puasa satu
hari dan puasa hari.: (HR. Muttafaq’alaih)8
9. Puasa delapan hari bulan Zulhijjah sebelum hari Arafah . Puasa ini
dianjurkan baik kepada orang yang sedang haji maupun yang bukan sedang
melaksanakan haji,karena dalam sebuah riwayat yzng diterima hari
Hafsahah diterangkan bahwa amal yang dilaksanakan 10 hari awal Zulhijjah
mempunyai keutamaan,termasuk kedalamnya amal ibadah puasa (HR. Abu
Daud dan Nasa’I)
10. Puasa pada bulam-bulan yang terhormat (al-asyhar al-Harum) yaitu bulan
Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Dalam hal ini Nabi SAW
bersabda yang artinya Dari Abi Hurairah ra., sesungguhnya Nabi SAW
bersabdaa: Shalat yang paling baik setelah shalat yang diwajibkan adalah
shalat tengah malam dan puasa yang lebih baik setelah bulan Ramadhan
ialah puasa pada bulan-bulan terhormat.” (HR. Muslim)9
11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam Tafsir al-Misbah puasa memiliki pengaruh yang sangat luar biasa.
Penyakit jiwa yang sangat berbahaya adalah terjerumus kedalam kejahatan 86
syahwat dan tidak bisa mereda hawa nafsu ini akan berakibat patal pada kesehatan
mental seseorang dan salah satu solusi atau obatnya adalah dengan berpuasa.
Pengaruh puasa terhadap kesehatan mental diantaranya, Puasa sebagai pengobatan
jiwa, Puasa sebagai pereda kejahatan syahwat dan pengendalian hawa nafsu, Puasa
mampu menumbuhkan emosional positif dan mampu mengendalikan ucapan,
pandangan, pendengaran serta menahan seluruh tubuh dari kejelekan, Puasa
menumbuhkan jiwa sosial yang tinggi dan terhindar dari keegoisan. Pengaruh
puasa tersebut dapat kita kaji dari ayat-ayat puasa.
12
B. Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin
Perta, Jakarta, 1983,
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Beirut, Dȃr al-Fikri, 1983, h. 364; Lihat
juga Fikih Sunnah, III, alih bahasa Mayuddin Syaf, Cet. I, 1978,
Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah. (Jakarta): Gaya Media Pratama:1997
Wahbah Zuhayli.op.cit., jilid II,
Opick Taufik,Fiqih 4 mahzab Kajian-kajian Ushul Fikih: (Bandung);2014
Al-Kahlani,op.cit.,jilid II
Ibid,.
Al-khalni.op.cit jilid IV
Al-Syaukani op.cit
14