Anda di halaman 1dari 14

PUASA

Dosen Pengampu : Dr. Fajar Farhan Hikam, S.Sy, M.Pd.I

Muhammad Hilma Abdillah Gymnastiar (1212020164); Nabila Nur Faridatil Hasna


(1212020172) Pebriyani Khoerunnisa (12120201)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJARI BADUNG

A. Pendahuluan
Saum atau puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang
bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan syarat
tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Saum/puasa merupakan salah satu
dari lima Rukun Islam.
Shaum bukanlah masalah ibadah yang baru dalam sejarah manusia, bahkan sudah
diwajibkan pada masa sebelum datangnya Islam. Dengan kata lain, ibadah puasa bukan saja
dikenal dan dikhususkan pada umat Rasulullah saw., tetapi juga sudah disyari’atkan pada
zaman rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad saw. Hanya saja yang membedakan adalah tata
cara yang dilakukan dalam berpuasa.
Kaum Yahudi pada zaman dahulu berkewajiban menjalankan puasa pada rentang waktu
satu hari satu malam tidak makan dan minum kecuali hanya dengan satu kali makan dan
minum. Kemudian, kewajiban tersebut seiring berjalannya waktu berubah dengan
sendirinya, kaum Yahudi berpuasa dimulai pada pertengahan malam hari hingga siang hari.
Pada mulanya, puasa dimaksudkan agar manusia dapat mengendalikan diri dari tiga
perbuatan utama: makan, minum, dan aktivitas seksual. Ketiganya merupakan al-syahwat al-
nafsiyat yang bila berlebihan akan menjadi sumber persoalan dan kerugian bagi manusia.
Kajian medis menunjukkan segala penyakit sebagian besar bersumber dari makan dan
minum. Karena itu, Salim Ibn Abdullah al-Syatiri (2023: 6) mengatakan: al-bithnat ashl al-dai
wa al-himyat ra’s al-dawa’ (kebanyakan makan-minum merupakan asal penyakit dan menjaga
diri merupakan pangkal obatnya).
Ibadah puasa memiliki banyak keutamaan sebagaimana yang telah disampaikan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih. Di antaranya,
puasa Ramadhan merupakan sarana untuk mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu,
pengangkatan derajat dan memperbanyak pahala kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya: “barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman
dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni.”
1
B. Pembahasan
1. Ketentuan Puasa
Puasa merupakan salah satu bagian dari rukun islam, terletak antar zakat dan beribadah
haji. Untuk menjalankan ibadah puasa ini banyak hal yang harus dipelajari dan
diperhatikan. Seperti syarat sah, syarat wajib, rukun, hal yang membatalkan, hal yang
disunnahkan, serta hal yang di makruhkan.
Sebelum membahas segala hal yang berhubungan dengan sah atau tidaknya puasa, kita
harus mengetahui dan paham terlebih dahulu mengenai pengertian dari puasa.
a. Pengertian
Secara Bahasa pengertian puasa merujuk pada kata ‫الصوم‬, yang memiliki makna menahan,
Maksudnya menahan diri dari makan dan minum serta perbuatan yang membatalkan puasa
mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Umat Islam juga dikehendaki untuk
menahan diri dari mengeluarkan kata-kata kotor, menggunjing orang lain, dan sebagainya.1
Dijelaskan dalam kamus al-munjid pengertian dari puasa ini merupakan :
)‫االمساك عن الفعل (المتناع عن االكل والشرب فى اوقات معلومة‬
Artinya : Puasa adalah menahan dari berbuat ( menahan diri dari makan dan minum pada
waktu-waktu tertentu ). (Luis Ma’luf, al-Munjid, h. 441).2

Sedangkan menurut syara puasa ini diartikan sebagai menahan diri dari segala
yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari
dengan niat yang khusu’3

Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa puasa adalah menahan diri
dari makan, minum, jimak (bersetubuh) serta segala sesuatu yang dapat merusak dan
membatalkan ibadah puasa sepanjang siang hari sesuai dengan cara dan syarat yang telah
ditetapkan syara’. Ini berarti bahwa wajib imsak mulai dari waktu terbit fajar (awal azan
subuh) sampai terbenam matahari (awal azan waktu Magrib).
b. Syarat Sah Puasa
Ada empat syarat sah puasa dan bila terpenuhi maka sah puasanya, yakni:

1
AULIA RAHMI (2015), PUASA DAN HIKMAHNYA TERHADAP KESEHATAN FISIK DAN MENTAL
SPIRITUAL. Serambi Tarbawi, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 3, no 1. Hlm 90
2
Ramli Abdul Wahid. (2017). MA. FIKIH RAMADAN (Menyibak Problematika Fikih Ibadah yang
Terkait dengan Bulan Mubarak) hlm 2
3
Hairul Hudaya, (2022), FIQIH PUASA, LAILATUL QADAR DAN ZAKAT FITRAH (DISERTAI TANYA
JAWAB SEPUTAR PUASA). Hlm 3

2
1) Islam, Disyaratkan muslim di sepanjang waktu siang dan jika murtad meski sebentar
maka batal puasanya.
2) Berakal, disyaratkan berakal dan mumayyiz sepanjang waktu dan jika gila meski
sebentar maka batal puasanya. Ia tidak berdosa dan tidak pula mengqadha jika gilanya
bukan karena sebab yang dibuat-buat.
3) Suci dari haid dan nifas, untuk wanita disyaratkan dalam keadaan suci sepanjang siang
dan jika ia haid meski di akhir waktu puasa maka batal puasanya. Demikian juga jika ia
suci di tengah hari, ia tidak dapat berpuasa. Namun disunahkan untuk tetap menahan
diri untuk tidak makan dan minum.
4) Mengetahui wakytu diperbolehkannya puasa, maksudnya adalah mengetahui bahwa
hari di mana ia berpuasa merupakan waktu diperbolehkannya ia berpuasa dan tidak
waktu terlarang.
c. Syarat Wajib Puasa
Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka wajib baginya berpuasa, yaitu:4
1) Islam, orang kafir tidak diperintahkan berpuasa namun untuk yang murtad maka ia
wajib qadha jika ia kembali memeluk Islam.
2) Mukallaf, ia seorang yang balig dan berakal. Adapun anak kecil jika berumur tujuh
tahun maka wajib bagi walinya memerintahkannya berpuasa dan memukulnya jika ia
tidak mau bila telah berumur sepuluh tahun dan mampu berpuasa.
3) Mampu, kemampuan baik secara fisik dan syariat.
4) Sehat maka tidak wajib bagi yang sakit. Ukurannya adalah jika ia kuatir binasa atau
lambat sembuh penyakitnya atau akan bertambah sakitnya. Persyaratan ini serupa
dengan dibolehkannya tayamum.
5) Menetap, bagi orang musafir yang jaraknya 82 km maka ia tidak wajib berpuasa dan
syaratnya adalah melakukan perjalanan sebelum terbitnya fajar. Jika orang yang
musafir, sakit yang tidak ada harapan sembuh dan yang sangat lapar berbuka juga maka
ia wajib berniat mengambil rukhsakh (keringanan) untuk membedakan antara
berbuka yang diperbolehkan dengan lainnya. Bagi musafir, afdhalnya berpuasa jika ia
tidak kesulitan namun jika merasa sulit maka yang lebih utama adalah berbuka.
d. Rukun Puasa
Rukun puasa ada dua:
1) Niat. Baik untuk puasa sunah maupun wajib, dengan ketentuan:

4
Hairul Hudaya, (2022), FIQIH PUASA, LAILATUL QADAR DAN ZAKAT FITRAH (DISERTAI TANYA
JAWAB SEPUTAR PUASA). Hlm 8

3
Terkait niat puasa, ada dua permasalahan yang sering diperbincangkan oleh para
ulama, yaitu waktu pelaksanaan niat dan hukum memperbaharui niat. Berkenaan
dengan waktu pelaksanaan niat, imam madzhab empat sepakat bahwa puasa yang
menjadi tanggungan seseorang, seperti puasa nazar, puasa qadha’, dan puasa kafarah,
niatnya harus dilaksanakan pada malam hari sebelum fajar. Kemudian imam madzhab –
selain Malik – juga sepakat bahwa niat puasa sunnah tidak harus dilaksanakan pada
malam hari.
Adapun puasa Ramadhan, para ulama berbeda pendapat tentang waktu niatnya.
Pertama, Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hambal dan para pengikutnya menyatakan
bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari, yaitu antara terbenamnya matahari
sampai terbitnya fajar Jika niat dilaksanakan di luar waktu tersebut, maka hukumnya
tidak sah. Akibatnya, puasa pun juga tidak sah. Mereka berpegangan pada haditsriwayat
Hafshah, bahwa Nabi shallallahu ala’ihi wasallam bersabda:
Artinya: Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak
ada puasa baginya. (HR. Baihaqi dan Daruquthni). Hadits di atas secara jelas
menegaskan ketidakabsahan puasa bagi orang yang tidak berniat di malam hari.
Kedua, Abu Hanifah dan para pengikutnya mengatakan bahwa niat puasa dapat
dilakukan mulai terbenamnya matahari sampai pertengahan siang. Artinya, tidak wajib
melakukan niat di malam hari. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa
ta’ala surat al-Baqarah ayat 187
Adapun permasalahan kedua, yaitu hukum memperbaharui niat puasa Ramadhan,
para ulama juga berbeda pendapat. Kelompok pertama yang terdiri dari imam Hanafi,
Syafi’i, dan Hambali mewajibkan untuk memperbaharui atau melakukan niat puasa
setiap hari. Mereka berargumen bahwa hari-hari dalam bulan Ramadhan itu bersifat
independen dan tidak saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Batalnya satu hari
puasa tidak berpengaruh pada batalnya hari yang lain.
Karenanya, setiap akan memasuki hari baru diperlukan niat baru. Sementara
kelompok kedua yang terdiri dari imam Malik dan para pengikutnya tidak mensyaratkan
pengulangan niat setiap hari. Bagi mereka, niat puasa Ramadhan cukup dilakukan di
malam hari pertama bulan Ramadhan. Mereka beralasan, puasa Ramadhan wajib
dilaksanakan secara terus menerus, sehingga hukumnya sama seperti satu ibadah. Dan
satu ibadah hanya membutuhkan satu niat. 5

5
Multazim Ali Ahmadi (2019), IKHTILAF MADZHAB FIQIH DALAM NIAT SEBULAN PENUH PUASA
RAMADHAN. VICRATINA: Jurnal Pendidikan Islam Volume 4 Nomor 1

4
Adapun lafal niat yang diikuti dalam hati menurut pendapat yang memerintah
untuk melafalkannya setiap hari adalah :

‫لِل تَ َعالَى‬
ِ ِ ‫سنَ ِة‬
َّ ‫ضانَ ه ِذ ِه ال‬
َ ‫ش ْه ِر َر َم‬ ِ ‫ع ْن أَدَاءِ فَ ْر‬
َ ‫ض‬ َ ‫غ ٍد‬ َ ُ‫ن ََويْت‬
َ ‫ص ْو َم‬
Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i fardhi syahri Ramadhana hadzihis sanati lillahi ta'ala.
Artinya: Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan
tahun ini karena Allah taala.6

Sedangkan Lafadz niat bagi satu bulan ialah :

‫لِل تَعَالَى‬ ِ ْ ‫سنَ ِة تَ ْق ِل ْيدًا ل‬


ِ ِ ‫ِْل َم ِام َمالِكٍ فَ ْرضًا‬ َّ ‫ان َه ِذ ِه ال‬
ِ ‫ض‬َ ‫ش ْه ِر َر َم‬ َ ُ‫ن ََويْت‬
َ ِ‫ص ْو َم َجمِ يْع‬
Nawaitu shauma jami'I syahri ramadhani hadzihis sanati taqlidan lil imami Malik fardhan
lillahi ta'ala.
Artinya: "Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadan tahun ini dengan mengikuti
Imam Malik, fardhu karena Allah Ta'ala."

2) Meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa


Ia dalam keadaan ingat, bebas dan mengetahui hukum puasa. Maka tidak batal
puasanya orang yang lupa, dipaksa atau karena ketidaktahuannya terhadap hukum
puasa.
e. Hal-hal Yang Membatalkan Puasa
Ada dua hal yang membatalkan puasa:
1. Membatalkan atau menghapus pahala puasa maka tidak wajib qadha.
Sebagaimana hadits berikut ini
Dari Abu Hurairah Ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda: Betapa banyak orang yang
berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus. (HR. Ahmad).
Diantara perbuatan yang dapat menghapuskan pahala puasa adalah gibah, adu domba,
perkataan dusta, memandang yang diharamkan atau yang halal dengan syahwat,
sumpah palsu, perkataan dan perbuatan keji.
2. Membatalkan puasa sekaligus pahalanya maka wajib qadha.
Pada bagian ini akan dipaparkan delapan macam yang dapat membatalkan puasa dan
apa penggantinya (kaffarah).
a. Berhubungan suami istri (jima’) disiang hari

6
Multazim Ali Ahmadi (2019), IKHTILAF MADZHAB FIQIH DALAM NIAT SEBULAN PENUH PUASA
RAMADHAN. VICRATINA: Jurnal Pendidikan Islam Volume 4 Nomor 1

5
b. Haid, nifas dan wiladah meskipun menjelang berbuka. Darah wiladah adalah darah
yang keluar saat melahirkan. Sedang darah nifas adalah darah yang keluar setelah
melahirkan.
c. Masuknya suatu benda melalui rongga yang terbuka ke dalam rongga tubuh. Yang
dimaksud dengan rongga terbuka adalah mulut, telinga, mata, hidung, dubur
(pantat) dan qubul (alat kelamin).
f. Sunah Puasa
Ada beberapa sunah dalam puasa, yakni:
1. Bersegera berbuka apabila telah yakin matahari telah tenggelam.
2. Bersahur meskipun dengan seteguk air, waktunya mulai tengah malam
3. Mengakhirkan sahur dan sebaiknya tidak makan dan minum lagi sebelum fajar atau
pada saat bunyi sirene imsak.
4. Berbuka dengan kurma basah atau kurma kering dan air zam zam atau air putih dan
yang manis
5. Berdoa saat berbuka, dengan membaca:
ِ َّ‫ظ َمأ ُ َوا ْبتَل‬
ُ‫ َوثَ َبتَ األَجْ ُر ِإ ْن شَا َء للا‬،ُ‫ت ا ْل ُع ُروق‬ َّ ‫َب ال‬ َ ‫علَى ِر ْزقِكَ أَ ْف‬
َ ‫ط ْرتُ ذَه‬ ُ َ‫اللَّ ُه َّم لَك‬
َ ‫ َو‬، ُ‫ص ْمت‬
6. Memperbanyak membaca al-Qur’an dengan merenungi maknannya.
7. Memperbanyak melakukan hal-hal sunah.
8. Memperbanyak melakukan amal shaleh
9. Bersungguh-sungguh dalam beribadah di sepuluh akhir Ramadhan dan berupaya
mendapatkan malam lailatul qadar.
10. Berbuka dengan makanan halal.
11. Meninggalkan hal yang sia-sia dan mencaci maki orang lain.
g. Hal yang dimakruhkan saat puasa
Makruh dalam Puasa
1. Mengunyah sesuatu
2. Mencicipi makanan
3. Berbekam
4. Menyemburkan air setelah berbuka
5. Mandi dengan berenang
6. Bersiwak di siang hari
7. Banyak makan, tidur dan melakukan yang tidak manfaat
8. Memenuhi keinginan nafsu pada hal-hal yang dimubahkan baik dalam bentuk
penciuman, penglihatan dan pendengara.

6
2. Macam-macam Puasa
Puasa merupakan salah satu rukum islam yang ke empat. Puasa yaitu menahan diri dari
sesuatu yang membatalkan puasa dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa
ini terdapat beberapa macam, diantaranya ada wajib, sunah, makruh dan haram.
a. Puasa Wajib
Puasa wajib merupakan puasa yang dilakukan oleh umat muslim ketika mereka
sudah memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Dan jika dia melaksanakan mendapat
pahala dan jika ditinggalkan maka dia berdosa.
Dan dibawah ini terdapat beberapa macam puasa yang termasuk kategori wajib.
1. Puasa Ramadhan
Puasa ramadhan merupakan ibadah yang dilakukan ketika bulan ramadhan. Puasa ini
merupakan puasa wajib yang harus dilakukan oleh setiap umat muslim. Dihukumi
puasa wajib sebagaimama termaktub didalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 183
yaitu :

َ‫علَى الَّذ ِۡينَ مِ ۡن قَ ۡب ِلکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُ ۡون‬ ِ ‫علَ ۡيکُ ُم‬
َ ‫الصيَا ُم َک َما كُت‬
َ ‫ِب‬ َ ‫يٰٓـاَيُّ َها الَّ ِذ ۡينَ ا َمنُ ۡوا كُت‬
َ ‫ِب‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwasanya setiap orang yang beriman diwajibkan
oleh Allah SWT untuk melaksanakan puasa.
2. Puasa Nazar
Puasa nazar adalah puasa wajib yang difardukan oleh diri seorang muslim untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3. Puasa Kafarat
Puasa kafarat adalah puasa yang wajib dilaksanakan karena berbuka dengan sengaja
dibulan ramadhan bukan karena adanya udzur syari yang membolehkan untuk
membatalkan puasa.7
b. Puasa Sunah
Puasa sunah adalah puasa pelengkap dari puasa wajib. Dan puasa ini ketika kita
melaksanakannya mendapatkan pahalandan jika tidak maka tidak berdosa. Dan dibawah
ini terdapat macam puasa yang dikategorikan sunah.
1. Puasa Senin-Kamis

7
Rasjid, S. (2018). Fikih Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo

7
Puasa senin kamis merupakan termasuk puasa sunah, mengapa demikian?
berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari sayyidah Aisyah Ra
berkata bahwasanya Rasulullah Saw memilih waktu puasa senin dan kamis. Maka dari
itu hendaklah kita sebagai umat muslim untuk selalu menjalankan sunah Nabi kita.
2. Puasa Arafah
Puasa arafah merupakan puasa sunah yang dilaksanakan pada tanggal 9
Dzulhijjah. Dan puasa arafah ini berlaku bagi umat muslim yang tidak melaksanakan
ibadah haji. Dan bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji maka tidak
disunahkan. Puasa arafah ini akan menghapuskan dosa dua tahun, yaitu dosa satu
tahun yang lalu dan dosa satu tahun yang akan datang. Hal ini terdapat dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
3. Puasa Asyuro
Puasa asyuro yaitu puasa sunah yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram.
Puasa asyuro ini memiliki faedah bahwasanya diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Abu Qotadah berkata : Puasa asyuro akan menghapuskan dosa satu tahun yang lalu.
4. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Puasa sunah ini dilakukan enam hari setelah hari raya idul fitri dan puasa ini
diperintah oleh Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwasanya :
Barangsiapa yang berpuasa dibulan ramadhan dan diikuti enam hari pada bulan syawal
maka pahalanya sama dengan puasa satu tahun.
5. Puasa dibulan Rajab dan Sya'ban
Bahwasanya puasa ini didasari dengan adanya hadis yang diriwayatkan oleh
Aisyah Ra. Beliau mengatakan bahwasanya Rasulullah Saw berpuasa satu bulan penuh
selain bulan ramadhan yaitu pada bulan rajab dan buln sya'ban.
6. Puasa Ayyamul Bidh
Puasa ini dilaksanakan ketika tiga hari pertengahan bulan yaitu pada tanggal tiga
belas, empat belas dan lima belas. Hal ini berdasarkan anjuran dari Rasulullah Saw.
c. Puasa Makruh
Puasa makruh yaitu puasa yang tidak dianjurkan untuk dilakukan dan puasa ini
bisa dilakukan ketika ada hal yang membolehkannya untul berpuasa. Dan diantara puasa
yang dimakruhkan adalah sebagai berikut :
1. Puasa Hari Jum'at
Puasa hari jum'at dimakruhkan sesuai yang dikatakak rosul. Kecuali jika kita puasa
dihari sebelumny dan ada hal yang mengharuskan kita untuk berpuasa dihari itu maka
boleh.
2. Puasa seseorang yang tidak berbuka sampai waktu sahur (wishal).

8
3. Puasa "Dahry" yaitu puasa yang terus menerus.8
d. Puasa Haram
Puasa haram yaitu puasa yang tidak boleh dilaksanakan dan ketika kita
melaksanakannya berdosa dan jika kita tidak melaksanakannya maka berpahala. Diantara
puasa yang diharamkan adalah :
1. Puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha
Puasa pada hari raya merupakan puasa haram sesuai dengan larangan Rasulullah saw
yang disebutkan dalam Hadus yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwasanya
Rasulullah melarang puasa pada dua hari raya yaitu idul fitri dan idul adha.
2. Puasa pada hari tasyrik
Puasa hari tasyrik termasuk kategori puasa yang diharamkan dan hari tasyrik ini jatuh
pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzuhijjah. 9

3. Studi Kasus Fiqih Kontemporer

Puasa Ramadhan dilaksanakan sepanjang bulan Ramadhan. Puasa adalah Ibadah yang
mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Baik secara fisik maupun emosional seseorang.
Puasa seringkali dapat menghentikan seseorang untuk melakukan hal-hal negative atau
tindakan yang menyimpang dari Islam dan standar hidup, menekan emosi dan melindungi diri
dari hal-hal yang tidak perlu

Adapula beberapa orang yang diringankan/ boleh meninggalkan puasa ramadhan yaitu
seorang yang sakit, yang sedang melaksanakan perjalanan jauh, perempuan yang sedang haid,
nifas dan seorang lansia yang tidak bisa lagi melaksanakan puasa wajib ramadhan. Maka bagi
mereka keringanan meninggalakannya lalu mengganti (qadha) puasa yang ditinggal diluar
bulan ramadhan sesuai dengan jumlah yang ditinggalkan. Dan bagi orang tua lanjut usia
menggantinya dengan membayar fidya.

Berikut ini beberapa fenomena kontemporer yang terjadi pada dunia islam masa kini :

a. Puasa seseorang yang disuntik


Apakah puasa seseorang dapat menjadi batal jika disuntik? Maka syeikh utsaimin
menjawab didalam buku matsail fi ramadhan : “Orang yang berpuasa tidak batal puasanya
karena di suntik dipembuluh darahnya atau dibagian lain. Kecuali ketika seseorang itu
disuntik menduduki kedudukan makanan dimana suntikan tersebut menggantikan makan
dan minum seseorang.”

8
Rifa'i, M. (1978). Ilmu Fikih Islam Lengkap. Semarang : Karya Toha Putra

9
Hasby,M. (1996). Pedoman Puasa. Semarang : Pustaka Rizki Putra

9
Dari pernyataan Syiekh Utsaimin di atas bahwa suntik yang digunakan hanya
sebagai obat tidak membatalkan puasa, sedangkan suntikan yang mengandung glukosa
atau zat-zat makanan itu dapat membatalkan puasa karena suntikan tersebut dapat
membuat seseorang kuat tidak makan dan minum.

Adapun ulama kontemporer yang sependapat dengan Syiekh Utsaimin tentang


hukum suntik ketika puasa diantaranya adalah Imam Ghazali Said yang berpendapat
bahwa suntik itu berbeda dengan makan dan minum. Tetapi ada suntik yang secara
fungsional menggantikan makan dan minum. Karena cairan yang dimasukkan ke dalam
tubuh melalui jarum suntik atau selang itu mengandung nutrisi yang membuat pasien
tidak perlu mengkonsumsi makanan dan minuman. Tentu suntik dengan pola terakhir ini
membatalkan puasa. Karena secara fungsional cairan yang dimasukkan ke dalam tubuh
itu sama dengan makanan dan minuman.

Yusuf Qardhawi berpendapat suntikan yang mengandung zat makanan tidak dapat
membatalkan puasa sama sekali karena tidak masuk melalui jauf (tenggorokan),
walaupun memang benar seseorang yang disuntik ketika puasa akan mendapatkan
kesegaran namun ini sama halnya seperti mandi air dingin di siang hari pada bulan
Ramadhan.

Maka apabila disimpulkan bahwa dikatakan boleh jika dalam keadaan darurat
tetapi terjadi perbedaan pendapat apakah dapat membatalkan puasa. Ada tiga pendapat:

Pertama, secara mutlak dapat membatalkan puasa jika masuk ke dalam rongga.

Kedua, tidak membatalkan secara mutlak karena masuknya ke rongga tanpa melalui
rongga terbuka.

Ketiga, perlu perincian:

1. Jika mengenyangkan atau menyegarkan maka membatalkan puasa


2. Jika tidak mengenyangkan maka dirinci lagi:
a) Jika suntik dilakukan melalui pembuluh darah maka membatalkan
b) Jika melalui otot maka tidak membatalkan

b. Puasa Orang yang hamil


Ulama yang berpendapat bahwa ibu hamil yang tidak mampu berpuasa cukup
membayar fidyah ialah Yusuf al-Qaradhawi. Dalam kitab Min Hady al-Islam Fatwa
Mu’asyirah menetapkan bahwa hukum wanita hamil maupun menyusui yang tidak

10
melaksanakan puasa cukup membayar fidyah saja tanpa perlu mengqada’. Karena
menurut beliau ibu hamil masuk golongan orang yang susah melakukan puasa.
Pendapat tersebut sesuai dengan pandangan atsar Ibn Abbas dan Ibnu Umar. Yusuf
Qaradhawa berdalil berpegang pada QS al-Baqarah/2:184: “Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin”. Ayat tersebut merupakan dalil wajib membayar fidyah.
Asbabun nuzul ayat tersebut turun ialah ketika para sahabat rasulullah saw, diriwayatkan
oleh Salman bin Akwa’ia berkata: “Ketika turun ayat: Dan wajib bagi mereka yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin”, maka siapa diantara kita menghendaki puasa, ia pun berpuasa, dan siapa
yang berkenan berbuka ia pun berbuka dan membayar fidyah sebagai gantinya sehingga
turunlah ayat berikutnya yang menasakhannya “maka siapa diantara kamu melihat bulan
maka berpuasalah.”
Selain Yusuf al-Qadrawi, ulama kontemporer lain yang sepakat membayar fidyah
ialah Asy-Syaikh nashiruddin Al-Albhaniy bersandar pada riwayat dari Ibn Abbas dan Ibn
Umar dalam mushannaf Abdurrazzaq “Bahwasanya Ibn Umar ditanya mengenai seorang
wanita hamil pada saat bulan ramadhan. Maka beliau menjawab: “berbukalah dan berilah
makanan pada orang miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya.” “Juga diriwayatkan dari
Ibn Abbas bahwasanya beliau menyuruh seseorang wanita menyusui untuk berbuka pada
bulan ramadhan karena kedudukannya sama dengan orangtua yang tidak sanggup lagi
berpuasa. Maka berbukalah, dan berikanlah makanan pada orang miskin setengah sha’
makanan pokok setiap hari.10

c. Puasanya para pekerja berat


Dalam hal ini Syeikh Said Muhammad Ba’asyin mengatakan sama pembahasannya
dengan status puasanya orang yang sakit. Hal ini merujuk pada keterangan yang
disampaikan oleh Syeikh Muhammad Nawawi Al Bantani dalam karyanya kitab Nihayatuz
Zain fii irsydil Mubtadiin, bahwasanya : “Ulama membagi tiga keadaan orang sakit.
Pertama, kalau misalanya penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayammum,
maka penderita makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa. Kedua, jika
penyakit kritis itu benar-benar terjadi, atau kuat diduga kritis, atau kondisi kritisnya dapat
menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ
tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya. Ketiga, kalau

10
Rosdiana Iskandar , M. Thahir Maloko (2022) Puasa Ramadhan Bagi Ibu Hamil Pandangan Ulama
Kontemporer dan Bidang Kesehatan, SH A U T UN A : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab
Volume 03 Issue I, hlm 331
11
sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya
tayammum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia
tidak khawatir penyakitnya bertambah parah. Sama status hukumnya dengan penderita
sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan
profesi seperti mereka,”.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwasanya orang pekerja berat tetap
wajib melaksanakan puasa dan berniat dimalam hari. Tetapi ketika siang hari merasa lapar
mereka diperbolehan untuk membatalkannya dan mengganti puasanya diluar bulan
ramadhan. Hal ini berhubungan dengan hukum asal itu sendiri bahwasanya puasa
hukumnya wajib bagi setiap mukallaf. Sesuai dengan firman allah :

ْ‫سفَرْ فَ ِعدَّةْ مِ نْ أَيَّامْ أُخ ََر‬ َ ْ‫يضا أَو‬


َ ‫علَى‬ ْ ‫صم ْهُ َو َمنْ كَانَْ َم ِر‬ َّ ‫ش ِهدَْ مِ نكُ ُْم ال‬
ُ َ‫شه َْر فَلي‬ َ ْ‫فَ َمن‬

Artinya : “Barangsiapa di antara kalian berada di negeri yang di situ hilal terlihat,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. (QS. al-Baqarah: 185)

12
KESIMPULAN

Puasa adalah menahan diri dari makan, minum, jimak (bersetubuh) serta segala sesuatu
yang dapat merusak dan membatalkan ibadah puasa sepanjang siang hari sesuai dengan cara
dan syarat yang telah ditetapkan syara’. Ini berarti bahwa wajib imsak mulai dari waktu terbit
fajar (awal azan subuh) sampai terbenam matahari (awal azan waktu Magrib).

Pada mulanya, puasa dimaksudkan agar manusia dapat mengendalikan diri dari tiga
perbuatan utama: makan, minum, dan aktivitas seksual. Ketiganya merupakan al-syahwat al-
nafsiyat yang bila berlebihan akan menjadi sumber persoalan dan kerugian bagi manusia.
Kajian medis menunjukkan segala penyakit sebagian besar bersumber dari makan dan
minum. Karena itu, Salim Ibn Abdullah al-Syatiri (2023: 6) mengatakan: al-bithnat ashl al-dai
wa al-himyat ra’s al-dawa’ (kebanyakan makan-minum merupakan asal penyakit dan menjaga
diri merupakan pangkal obatnya).
Ibadah puasa memiliki banyak keutamaan sebagaimana yang telah disampaikan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih. Di antaranya,
puasa Ramadhan merupakan sarana untuk mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu,
pengangkatan derajat dan memperbanyak pahala kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya: “barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman
dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni.”
Sebegitu agungnya ibadah puasa ini, maka allah menentukan aturan-aturan dan tata cara
mengenai ibadah puasa ini. Hal tersebut dimaksudkan agar puasa tersebut dijalankan dengan
sungguh-sungguh dan lebih berhati-hati supaya ibadah ini puasa ini dapat diterima oleh Allah
Swt.

13
Daftar Pustaka

AULIA RAHMI (2015), PUASA DAN HIKMAHNYA TERHADAP KESEHATAN FISIK DAN MENTAL
SPIRITUAL. Serambi Tarbawi, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 3, no 1
Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi A l-A tsary (2008), Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah
Naungan Al-Qur`an Dan As-Sunnah. Majalah An-Nashihah Vol. 7
Giantomi, W. (2019). Pendapat Syeikh Utsaimin dan Yusuf Qardhawi tentang hukum suntik ketika
puasa (Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Hairul Hudaya, (2022), FIQIH PUASA, LAILATUL QADAR DAN ZAKAT FITRAH (DISERTAI TANYA
JAWAB SEPUTAR PUASA).

Hasby,M. (1996). Pedoman Puasa. Semarang : Pustaka Rizki Putra

Multazim Ali Ahmadi (2019), IKHTILAF MADZHAB FIQIH DALAM NIAT SEBULAN PENUH PUASA
RAMADHAN. VICRATINA: Jurnal Pendidikan Islam Volume 4 Nomor 1
Rifa'i, M. (1978). Ilmu Fikih Islam Lengkap. Semarang : Karya Toha Putra

Rasjid, S. (2018). Fikih Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo

Ramli Abdul Wahid. (2017). MA. FIKIH RAMADAN (Menyibak Problematika Fikih Ibadah yang
Terkait dengan Bulan Mubarak)
Rosdiana Iskandar, M. Thahir Maloko (2022) Puasa Ramadhan Bagi Ibu Hamil Pandangan Ulama
Kontemporer dan Bidang Kesehatan, SH A U T UN A : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan
Mazhab Volume 03 Issue I
Zainul Ma'arif. (2020), FIKIH MADRASAH TSANAWIYAH KELAS VIII, Kementerian Agama Republik
Indonesia

14

Anda mungkin juga menyukai