MAKALAH
Disusun Oleh:
Nely Fitriana
(2003018001)
Ada beribu-ribu fungsi, kandungan nilai, makna dan hikmat yang dimuat oleh ibadah
di dalam Islam, juga puasa. Kewajiban puasa telah dikukuhkan dalam Al-Qur’an, Sunah, dan
ijmak. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. Berfirman:
َب َعلَى الَّ ِذ ۡينَ ِم ۡن قَ ۡبلِ ُکمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَتَّقُ ۡو ۙن
َ ِصيَا ُم َک َما ُكت َ ِٰيٓـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا ُكت
ِّ ب َعلَ ۡي ُک ُم ال
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah {2}:
183).2
Ayat ini diturunkan pada bulan Sya’ban tahun ke-2 H. Umat Islam pada tahun
tersebut secara resmi diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Adapun yang diserukan
dalam ayat ini adalah orang-orang mukmin, tidak manusia secara keseluruhan. Hal itu
menunjukkan dua makna, pertama puasa hanya diwajibkan pada orang-orang mukmin saja,
karena iman itulah yang menjadi dasar adanya perintah. Kedua, karena atas dasar imanlah
puasa itu sah dalam arti mendapatkan pahala dari Allah.
Agama Islam itu akan kuat dan kokoh apabila pemeluknya dapat melakukan kelima
rukun Islam tersebut dengan baik. Artinya tidak hanya memilih atau mengerjakan salah satu
saja, akan tetapi harus semuanya dikerjakan. Kaum Muslimin dari semua mazhab dan
golongan sejak periode Nabi SAW. hingga hari ini telah sepakat atas wajibnya puasa
Ramadhan. Yakni fardhu ain bagi tiap-tiap Muslim yang mukallaf tanpa kecuali, baik pada
masa lalu maupun sekarang, sehingga puasa Ramadhan termasuk kewajiban yang bersifat
tawatur yaqini, yang diketahui sebagai bagian integral dari agama, yang kewajibannya
mengikat orang awam maupun khawas tanpa memerlukan kajian dan dalil lagi. Namun
banyak orang-orang yang melaksanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa
1
L. Lamilla Monje, J.r; Franco-Lara, “No Title,” Revista Bistua Facultad de Ciencias Básicas 53, no. 9
(2019): 1689–99, https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
2
Al-Qur‟an Dan Terjemahnya (Jakarta: al-hikmah, 2001).
mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat
mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika
sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala. Oleh karena itu, dalam makalah ini
pemakalah akan membahas puasa dan problematinya.
B. RUMUSAN MASALAH
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian puasa
Puasa As-shaum (puasa) menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu.
Sedangkan menurut istilah agama (syara’) adalah menahan diri dari segala sesuatu
yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan
niat dan syarat-syarat tertentu. Ternyata praktik puasa telah dilaksanakan sebelum
agama Islam datang. Allah SWT dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 183 berfirman
sebagai berikut:
ٰٓ َب َعلَى الَّ ِذ ۡينَ ِم ۡن قَ ۡبلِ ُکمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَتَّقُ ۡو ۙن
َ ِصيَا ُم َک َما ُكت َ ِـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا ُكت
ِّ ب َعلَ ۡي ُک ُم ال
Sementara itu, Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah SWT selama 23 tahun
lamanya. Perintah beribadah puasa di bulan Ramadhan selama satu bulan penuh baru
diterima Rasulullah di setengah dari periode itu. Rasulullah bersama umat Muslim
pun melaksanakan ibadah puasa setelah hijrah ke Madinah pada tahun 622 masehi.
Pelaksanaannya dilakukan dengan sahur atau bangun dan makan sebelum adzan
Subuh. Kemudian, umat Islam akan menahan diri dari hawa nafsu, seperti
berhubungan suami-istri, makan, dan minum. Hal itu dilakukan hingga matahari
terbenam dan waktunya berbuka puasa.
Adapun syarat puasa yaitu: Islam, Baliqh dan berakal, Suci dari haid dan nifas (ini
ketentuan bagi wanita), dan Kuasa (ada kekuatan)
Rukun Puasa
Rukun puasa adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh orang yang
sedang menunaikan ibadah puasa. Apabila rukun tersebut tidak ditunaikan maka
puasanya tidak sah, Di antara rukun puasa adalah sebagai berikut:
a. Niat
b. Meninggalkan segala membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga
terbenam matahari.3
Dalam berpuasa ada syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Jika syarat dan
rukun tersebut tidak terpenuhi maka puasanya menjadi sia-sia (batal). Di antara hal-
hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut:
2. Macam-macam puasa
a. Puasa Fardhu
Puasa fardhu adalah puasa yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan
syariat Islam. Yang termasuk ke dalam puasa fardhu anatar lain :
1) Puasa Ramadhan Adalah puasa yang wajib dilaksanakan pada bulan
ramadhan oleh orang-orang Islam. Puasa ramadhan ini dilakukan
setiap hari pada bulan Ramadhan, sejak hari pertama sampai hari
terakhir. Puasa ramadhan pertama kali diwajibkan pada tahun kedua
Hijriah Nabi Saw. Ia mewajibkan atas orang-oranng yang sudah
mukallaf dan atas orang yang mampu mengerjakannya.
3
Maiti and Bidinger, “Intensitas Puasa Senin Kamis,” Journal of Chemical Information and Modeling
53, no. 9 (1981): 1689–99.
2) Puasa Kafarat adalah puasa sebagai penembusan yang dikarenakan
pelanggaran terhadap suatu hukum atau kelalaian dalam melaksanakan
suatu kewajiban, sehingga mengharuskan serorang mukmin
mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan. Untuk puasa kafarat ini
diberlakukan bagi yang melanggar. Jika ingin memohon maaf kepada
Allah SWT. Atas dosa besar yang ia perbuat maka hendaknya
melunasi untuk mengerjakan kafarat. jika puasa kafarat ini tidak
dikerjakan hingga meninggal dunia, orang tersebut akan dikenai dosa.
Untuk hukuman dan azab yang diberikan ini tidak main – main dan
sungguh besar. Bahkan hingga kini masih ada banyak orang yang
melupakan kewajiban ini dan merasa cukup hanya dengan meminta
maaf. Dengan mengucapkan kalimat istigfar saja, atau mentok –
mentoknya melaksanakan sholat taubat nasuha.
Setidaknya ada 6 jenis puasa kafarat dan cara membayarnya yang
diketahui dalam agama islam. Dan masing – masing memiliki tata cara
puasa yang beda – beda. Berikut ini adalah cara membayar atau
melunasinya:
Suami melakukan zinar
Zinar adalah perkataan suami yang menyamakan tubuh istri
dengan tubuh ibunya. Jika suami melakukan hal ini, maka
seorang laki – laki wajib menebus dosanya dengan:
Menebus dengan berpuasa selama 2 bulan berturut – turut,
Memberikan makan 60 fakir miskin sebanyak masing – masing
1 mud, Wajib untuk membayar kafarat dengan cara
membebaskan seorang budak atau hamba
Seseorang yang sedang ihram menghilangkan nyawa
binatang buruan
Jika tidak kuat karena memang sudah tua. Maka boleh memberi
makanan kepada 60 orang masing – masing 1 mud, Puasa
kafarat dua bulan berturut – turut, Memerdekakan budak yang
beriman
b. Puasa Sunnah
Puasa sunnah Adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala
dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa. Adapun puasa sunnah itu antara
lain:
1) Puasa 6 hari di bulan Syawal
Bersumber dari Abu Ayub Anshari r.a. sesungguhnya Rasulullaah saw.
bersabda: “Barang siapa berpuasa pada bulan Ramdhan, kemudian dia
menyusulkannya dengan berpuasa enam hari pada bulan syawal, maka
seakan-akan dia berpuasa selama setahun.”
2) Puasa Senin dan Kamis
“Dari Aisyah r.a. Nabi saw. memilih hari puasa senin dan kamis”
(H.R.Turmudzi)
3) Puasa Arafah (9 Dzulhijjah atau haji) Puasa Arafah disunnahkan hanya
bagi muslim yang tidak melakukan ibadah haji. Sabda Nabi SAW :
“puasa hari arafah itu menghapuskan dosa dua tahun, satu tahun yang
telah lalu dan satu tahun yang akan datang”. (H.R. Muslim)
4) Puasa Asyura Asyura adalah hari yang kesepuluh di bulan
Muharram.“ibnu Abbas r.a. berkata : tatkala nabi saw sampai
dimadinah, beliau bertanya, ada apa ini ? jawab mereka, ini adalah hari
yang baik, pada hari ini Allah menyelamatrkan Musa dan Bani Israil
dari (kerajaan) musuhnya hingga dipuasakan oleh Musa daripada
kamu. Kemudian beliau berpuasa padanya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
5) Puasa Nabi Daud as adalah Puasa yang paling utama dan paling
dicintai Allah SWT bagi orang yang mampu dan tidak berat
mengerjakannya ialah puasa Daud as yaitu sehari berpuasa, sehari
berikutnya tidak.4
c. Puasa makruh
Puasa makruh yaitu puasa yang lebih baik ditinggalkan. Yang termasuk puasa
makruh diataranya adalah
1) puasa yang dilakukan pada hari jum’at
Nabi Muhammad SAW bersabda :
ُاَل يَصُو َم َّن أَ َح ُد ُك ْم يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة إِاَّل يَوْ ًما قَ ْبلَهُ أَوْ بَ ْع َده
d. Puasa haram
Puasa haram yaitu puasa yang apabila dilaksanakan mendapatkan dosa,
apabila ditinggalkan mendapat pahala. Yang termasuk puasa haram
diantaranya adalah
1) Hari Raya Idul Fitri
4
Jones & Bartlett, “Fiqih Ibadah,” Journal of Chemical Information and Modeling 53, no. 9 (2013):
1689–99.
Puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari-hari haram
berpuasa, yaitu 1 Syawal dinilai tidak sah. umat Islam diharamkan
berpuasa pada 1 Syawal karena sebagai tanda selesainya kewajiban
yang ditetapkan Allah SWT. Alasan tidak boleh berpuasa pada tanggal
1 Syawal, antara lain, karena ia sebagai tanda selesainya kewajiban
yang ditetapkan Allah SWT berpuasa sebulan sepanjang Ramadhan,
Jika masih berpuasa, dapat diduga yang bersangkutan melebihkan
kewajiban yang ditetapkan Allah SWT. Padahal, menurut dia, apa yang
digariskan Allah SWT sebagai kewajiban tidak boleh diabaikan juga
tidak boleh ditambah dan dikurangi. Adapun setelah 1 Syawal, Allah
memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk berpuasa. Bahkan,
Nabi Muhammad menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunnah
enam hari di bulan Syawal.
Menukil dari buku berjudul Kitab Puasa Sunan Ibnu Majah
oleh Ibnu Majah, disebutkan soal hadits dari Hisyam bin 'Ammar yang
menceritakan bahwa Baqiyyah menceritakan, Shadaqah bin Khalid
berkata, bahwa Yahya bin Al-Harits adz-Dzammari berkata, ia
mendengar Abu Asma Ar-Rahabi dari Tsauban maula Rasulullah SAW
beliau bersabda:
“Siapa saja yang berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka (puasa)
sempurna satu tahun. Siapa saja membawa amal yang baik, maka
baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya”.5
2) Hari raya idul adha dan Hari tasyrik
5
quraish shihab, M. QURAISH SHIHAB MENJAWAB 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui
(ciputat tangerang selatan: lentera hati, 2008).
(yaitu 11, 12, 13 Dzulhijjah). Disebut tasyrik karena tasyrik itu berarti
mendendeng atau menjemur daging qurban di terik matahari. Dalam
hadits disebutkan, hari tasyrik adalah hari untuk memperbanyak dzikir
yaitu takbir dan lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 18)
3. Problematika puasa
a. Pemakaian Alat Kontrasepsi
Memelihara eksistensi manusia adalah merupakan salah satu tujuan
utama perkawinan,yang dengannya keturunan akan berkelanjutan. Allah SWT
telah menanamkan rasa senang dan bahagia bagi setiap pasangan yang telah
dikaruniai keturunan dengan lahirnya anak-anak baik laki-laki maupun
perempuan. Namun demikian,disebabkan alasan-alasan tertentu, apakah
karena kekhawatiran akan kesehatan ibu jika selalu hamil dan melahirkan,
ataupun disebabkan khawatir akan kesulitan materi bila anak terlalu banyak,
yang akan mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan anak-anak tersebut
serta rendahnya pendidikan mereka, banyak pasangan yang membatasi
kelahiran dengan memakai alat kontrasepsi ataupun dengan cara-cara tertentu.
Cara yang banyak digunakan untuk menghalangi atau mengurangi
kelahiran di masa Rasulullah saw adalah degan azal. Para sahabat melakukan
ini dizaman Rasulullah saw ketika wahyu masih turun, sebagai mana
diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Jabir r.a.
ِ ْز ُل َعلَى َع ْه ِد َر ُسـوْ ِل هللاِ ص َو ْالقُــرْ آنُ يَ ْنـ
احمــد و البخــارى و.ُـزل ِ ُكنَّا نَع:ع َْن َجابِ ٍر رض قَا َل
مسلم
’’Kami melakukan azal pada masa Rasulullah saw sedangkan Alquran masih
turun’’. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari usamah bin zaid bahwa seseorang menghadap Rasulullah saw dan
bertanya
Dari Jabir RA, bahwasanya ada seorang laki2 datang kepada Rasulullah SWT
lalu bertanya,“Sesungguhnya kami mempunyai seorang jariyah, ia adalah wa
nita hamba kami dan penyiram kebun kurma kami dan aku menggilirnya teta
pi aku tidak ingin dia hamil”. Lalu Nabi SAW bersabda,“Lakukanlah ‘azl ter
hadapnya jika kamu mau, karena sesungguhnya akan tibalah kepada wanita it
apa yang ditaqdirkan oleh Allah padanya”.
Wahai Rasulullah, saya melakukan azal terhadap istri saya, Rasul menjawab:
mengapa engkau lakukan itu ? orang itu menjawab : Saya kasihan kepada
anaknya atau dia berkata saya kasihan kepada anak-anaknya. Rasulullah pun
bersabda: Kalau azal itu berbahaya, tentu telah membahayakan bangsa Parsi
dan Romawi. (H.R. Muslim). Dalam hadis ini, seolah-olah Rasulullah melihat
bahwa kondisi pribadi ini tidak membahayakan umat secara keseluruhan.
Buktinya azal tidak membahayakan bangsa Parsi dan Romawi yang juga
melakukan azal, padahal keduanya adalah negara terkuat saat itu.
Di antara alasan syar‟i yang dapat diterima dalam masalah ini adalah
kekhawatiran terhadap anak yang masih menyusui jika ada kandungan baru
lagi, kehamilan ini akan merusak ASI dan memperlemah anak. 6 Sementara si
bayi sangat membutuhkan perhatian ibu dalam usianya yang sedemikian
6
Yusuf al-Qardawy, Halal Haram Dalam Islam (solo: Era antar media, 2000).
muda, padahal si ibu dalam keadan hamil dengan segala resikonya tidk dapat
memperhatikan si bayi dengan baik.
Di samping itu, boleh jadi kondisi kesehatan si ibu yang baru beberapa
bulan melahirkan belum pulih, padalah “penyakit” baru telah datang lagi. Di
abad modern ini telah ditemukan berbagai sarana yang bisa digunakan
Menurut pendapat Yusuf Qardhawy, adalah lebih afdal jika segala sesuatu
berjalan secara alamiyah sesuai dengan tabiat dan fitrahnya. 7 Maka selama
darah haid ini merupakan perkara tabi‟i, yaitu proses alamiyah biologis yang
fitri, sebaiknya dibiarkan berjalan sesuai dengan tabiat dan fitrahnya
sebagaimana ia diciptakan Allah SWT, Namun demikian, penggunaan pil ini
tidak terlarang, dengan syarat pil tersebut tidak membawa efek samping medis
yang membahayakan diri pengguna. Untuk itu haruslah terlebih dahulu
dikonsultasikan dengan dokter ahli kandungan yang dipercaya. Dalam hal ini
Quraish Shihab tidak cenderung membolehkan penggunaan pil tersebut
dengan alasan bahwa pil tersebut hanya menahan keluarnya darah tetapi tidak
menghilangkan dampak psikis haid.
8
Amri Effendi et al., “Problematika Wanita Dalam Melaksanakan Puasa Ramadhan,” UMI Medical … 5,
no. 1 (2020): 45, http://jurnal.fk.umi.ac.id/index.php/umimedicaljournal/article/view/88.
َ ض ْعنَ اَوْ اَل َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن لِ َم ْن اَ َرا َد اَ ْن يُّتِ َّم ال َّر
َضا َعة ُ َو ْال َوالِ ٰد
ِ ْت يُر
‘’Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh,Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan….. (QS. al-Baqarah
: 233)
Lagi-lagi si ibu yang menyusui ini tidak berpuasa karena memang
tidak sanggup. Kemudahan bagi wanita yang hamil dan menyusui untuk tidak
berpuasa ini merupakan rahmat dari Allah SWT. Namun jika kemudian ia
dibebani qadha puasa plus fidhyah, bisa jadi hal ini bukan lagi rahmat, tapi
beban berat yang harus dipikul seorang wanita. Bukankah ia hanya berhutang
puasa, tetapi mengapa harus membayar dua, puasa dan fidhyah. Sementara
membayar puasa saja sudah berat. Bukankah Allah SWT tidak ingin
menyusahkan hambanya. Jadi sebaiknya si wanita dibolehkan memilih, jika
tidak terlalu memberatkan, silahkan qadha puasa dan jika terlalu memberatkan
silahkan membayar fidhyah, sebab hanya dirinya lah yang paling tahu kondisi
tubuhnya dan kemampuannya. Kemampuan orang berbeda-beda, ada yang
kuat, ada yang lemah bahkan ada yang sangat lemah. Puasa ramadhan yang
batal menjadi hutang yang harus dibayar, namun bagi orang yang berat sekali
berpuasa dibolehkan membayarnya dengan fidhyah sebagaimana yang
dijelaskan terdahulu. Memperlambat membayar hutang bagi yang mampu
bukanlah sesuatu yang terpuji bahkan sebaliknya. Namun bila seseorang sulit
untuk membayar hutangnya, ia boleh menunda sampai ia mampu. Wanita
Wanita yang hamil atau menyusui yang tidak dapat berpuasa sebulan
Ramadhan penuh atau sebagian besarnya, dapat mengqadhanya setelah
bulan Ramadhan berlalu. Jika ia mampu maka itulah yang terbaik baginya.
Namun jika ia tidak mampu sampai datang bulan Ramadhan berikutnya dan ia
tidak juga dapat berpuasa, cukuplah ia membayar fidhyah puasanya untuk
Ramadhan tahun lalu. Dan untuk puasa Ramadhan yang tertinggal tahun ini,
maka ia mencoba lagi berpuasa setelah Ramadhan berlalu. Artinya, jika ia
tidak mampu mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, sementara telah datang
lagi Ramadhan dan ia tidak sanggup puasa lagi karena menyusui atau mungkin
hamil lagi, cukuplah ia membayar fidhyah saja, karena jika ia harus
mengqadha sampai dua bulan atau lebih karena kelemahannya tentu hal itu
sangat memberatkan. Ibnu Ibnu Abbas mengatakan bahwa rukhshah yang
diberikan kepada lelaki tua atau perempuan tua yang berbuka puasa karena
berat melaksanakan puasa, boleh membayar fidhyah saja dengan memberi
makan seorang miskin untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Perempuan
hamil dan menyusui bila khawatir akan anaknya, boleh berbuka puasa dan
membayar fidhyah sebab ia berbuka itu dikarenakan oleh janin yang lemah
pada awal penciptaannya menjadi manusia, maka si ibu cukup membayar
fidhyah layaknya orang yang sudah tua dan lemah
d. Mencicipi Makanan
Pada umumnya, memasak dan menyediakan makanan untuk orang
yang berpuasa dilakukan oleh wanita. Agar makanan tersebut pas rasanya,
biasanya masakan tersebut dicicipi terlebih dahulu sebelum dihidangkan.
Mencicipi makanan pada saat berpuasa tidaklah membatalkan puasa, dengan
syarat tidak sampai tertelan, namun sebaiknya tidak dilakukan karena
hukumnya makruh sebab membuka peluang batalnya puasa.9
9
Effendi et al.
D. KESIMPULAN
Puasa As-shaum (puasa) menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu.
Sedangkan menurut istilah agama (syara’) adalah menahan diri dari segala sesuatu yang
membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan
syarat-syarat tertentu. Adapun syarat puasa yang terbagi menjadi 2 yaitu :
1. Syarat-syarat wajib puasa : Islam, Baliqh dan berakal, Suci dari haid dan nifas (ini
ketentuan bagi wanita), dan Kuasa (ada kekuatan)
2. Syarat syarat sah puasa : Islam,Tamyiz, Suci dari haid dan nifas, Tidak didalam hari-
hari yang di larang untuk berpuasa.
Rukun Puasa : Niat, meninggalkan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar
hingga terbenam matahari, puasa mempunyai 4 macam yaitu: puasa fardhu, puasa sunnah,
puasa makruh dan puasa haram, yang masing-masing telah terbagi sesuai ketentuannya,
dalam melaksanakan ibadah puasa banyak problematika yang dialaminya diantaranya adalah
penggunaan alat kontrasepsi, penggunaan pil penunda menstruasi dsb.
DAFTAR PUSTAKA