Makalah
Disusun oleh:
SEMARANG
2020
A. Pendahuluan
Hadist merupakan salah satu dasar pengambilan hukum Islam setelah Al-
Quran. Sebab hadist mempunyai posisi sebagai penjelas terhadap makna yang
dikandung oleh teks suci tersebut. Apalagi, banyak terdapat ayat-ayat yang masih
global dan tidak jelas Maknanya sehingga seringkali seorang mufassir memakai hadis
untuk mempermudah pemahamannya.
Seluruh umat Islam sepakat bahwa hadist merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Hadist menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al-Quran.
Kewajiban mengikuti hadits bagi umat Islam sama wajibnya dengan mengikuti Al-
Quran. Hal ini karena hadist merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. Tanpa
memahami dan menguasai hadist, siapapun tidak akan bisa memahami hadist tanpa
memamahi Al-Quran. Sebaliknya, siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an
tanpa memahami hadist, karena Al-Quran merupakan sumber dasar hukum pertama,
yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadist merupakan dasar hukum kedua,
yang di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Quran.
Dengan demikian antara hadist dan Al-Quran mempunyai hubungan yang sangat
erat yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Di dalam Al-quran kita
diperintahkan shalat, namun dalam Al-Quran tidak dijelaskan bagaimana tata cara shalat,
rukun-rukunnya, dan kapan waktu pelaksanaan shalat. Berdasarkan hal itu kedudukan
hadist tidak dapat diragukan baik dari segi penegasan Al-Quran maupun hadist Nabi
Muhammad.
Berbeda ketika kondisi umat islam pada masa Rasulullah tidak begitu mendapat
kesulitan dalam memecahkan berbagai macam problematika yang berkaitan dengan
masalah agama, hal tersebut di karenakan setiap terjadi sesuatu yang memerlukan hukum
mereka langsung datang menemui rasulullah dan bertanya tentang hukum dan sekaligus
solusi terhadap masalah- masalah yang terjadi saat itu, Rasul pun ketika itu langsung
mendapatkan wahyu sebagai penjelas dan yurisprudensi terhadap masalah tersebut.1
Telah banyak problem yang menimpa keotentikan Hadist, mulai dari persoalan
ekternal, yakni aksi kritik-mengkritik yang datang dari kalangan non-muslim (orientalis)
maupun kalangan muslim sendiri, yang mempersoalkan keberadaan Hadist. Tokoh-tokoh
1
Muhammad, Yusuf Musa Al- Madkhal Li Dirasat Al-Fiqhi Al- Islamy ( Bairut: Dar Al- Fikri Al-
Araby, t.t ) 69
yang mempersoalkan keberadaan Hadist misalnya Ignas Goldziher dan joseph Schacht, dua
orientalis ini sangat aktif mengkritik Hadist (meragukan otentisitasnya).2
Karena itu, makalah ini akan memaparkan mengenai konsep hadist, sunnah, pemalsuan
hadist dan cara penanggulannya, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian dari hadits dan sunnah?
2. Mengapa terjadi pemalsuan hadist?
3. Bagaimana cara menanggulani pemalsuan hadist?
1. Pengertian Hadist
a) Menurut Bahasa
Hadits berarti jadid, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat dan
waktu yang singkat4. Lawan kata hadits adalah qodim, yang berarti sesuatu yang
lama.
Hadits juga berarti Khobar “berita”, yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Di samping itu,
hadits juga berarti qorib “dekat”, tidak lama lagi terjadi, sedangkan lawannya adalah
ba’id, artinya “jauh”.
Hadist sebagaimana tinjauan abdul baqa adalah isim dari tahdith yang berarti
pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan
yang disandarkan kepada Nabi SAW. Barangkali al-Farra telah memahami arti ini
Ketika berpendapat bahwa mufrad kata ahadist adalah uhdutsah (buah
pembicaraan). Lalu kata ahadith itu dijadikan jama dari kata hadith.5
2
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 11.
3
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 4.
4
Dzafar Ahmad Utsmani At Tahawuni, Qowaid Al Ulum Al Hadits, Cet III (Beirut :Maktab al Mathba’ah al
Islamiyyah, 1972), hlm. 24.
5
Subhi As-shalih, membahas ilmu-ilmu hadist, terj.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), 21.
b) Sedangkan pengertian hadits menurut istilah
Terdapat perbedaan antara pendapat ulama terutama antara ulama muhadditsun,
ushuliyun dan fuqoha.
1) Menurut ulama muhaditsun atau ahli hadits di antaranya Al Hafizh dalam
Syarh al Bukhary, dan al Hafizh dari Shakhawy ialah :
“segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi saw” Termasuk ke dalam
“keadaan beliau” segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti
kelahirannya, tempatnya dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum
bangkit sebagai rasul maupun sesudahnya. Sebagian ulama seperti Ath
Thiby berpendapat “hadits itu meliputi sabda Nabi saw, meliputi perkataan,
perbuatan dan taqrir sahabat, termasuk pula perkataan, perbuatan dan taqrir
tabi’in”.
Hadits yang dalam periwayatannya sanad-nya sampai pada Nabi saw
dinamakan marfu’, hadits yang hanya sampai pada sahabat dinamakan
mauquf, dan yang sampai kepada tabi’in saja dinamakan maqthu’. Muradif
(persamaan katanya) Sunnah, khabar dan atsar.6
2) Hadits menurut ushuliyyun atau ushul hadits
“segala perkataan, perbuataan dan taqrir nabi yang bersangkutan dengan
hukum”
Jadi tidak termasuk ke dalam hadits, sesuatu yang tidak bersangkut paut
dengan hukum, seperti urusan model pakaian.7
6
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (PT Pustaka
Rizki Putra:Semarang, 2009) hlm. 4-5.
7
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (PT Pustaka
Rizki Putra:Semarang, 2009) hlm. 5-6.
5
3) Hadits menurut fuqoha atau ahli fiqih, selain keterbatasan “materi” dari
sisi sumber rujukan pun hadits hanya terbatas kepada Nabi (hadits
marfu’). Keyakinan sebagian besar ulama hadits yang menyebutkan
sumber hadits dapat saja dari sahabat (hadits mauquf) dan dari tabiin
(hadits maqtu) menjadi tidak berlaku bagi kaum fuqoha. Diskusi bagi
ulama fiqih, hadits itu satu sumber yakni Nabi saw dan dari sisi
substansinya materi hanya yang menyangkut aspek-aspek hukum.
Menurut fuqoha juga dalam kacamata hukum, hadits dibatasi hanya pada
hal-hal yang berhubungan dengan hukum saja. Hal-hal yang ada kaitannya
dengan sifat basyariyah Nabi, seperti cara makan, cara tidur, berjalan,
berpakaian, memakai minyak wangi dan kebiasaan Nabi lainnya, tidak
termasuk kategori hadits. 8
Perbedaan pandangan tersebut melahirkan dua macam pengertian
hadis yakni pengertian hadis secara terbatas yang dikemukakann
oleh Jumhur Al-Muhaditsin, adalah “Sesuatu yang dinisbatkan
kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, dan
sebagaimananya.” Adapun pengertian secara luas, sebagaimana dikatakan
Muhammad Mahfuds At-Tirmidzi, adalah, “Sesungguhnya hadis
bukan hanya yang dimarfukan kepada Nabi Muhammad SAW., melainkan
dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan pada perkataan dan
sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan tabiin).9
2. Sunnah
Menurut bahasa Sunnah berarti jalan yang dijalani, baik terpuji atau tidak. Suatu
tradisi yang sudah dibiasakan, dinamakan Sunnah, walaupun tidak baik. Jamaknya
sunnan.
Sedangkan menurut pemahaman syara’, sunnah mempunyai makna yang berbeda-
beda, sesuai pemahaman berbagai bidang tsaqafah islam.
8
Ajaj, Al Katib, As Sunnah Qabla At Tadwin, (Beirut: Darul Fikr, 1971) hlm. 20.
9
Muhammad Ajaj Al-Khathib.As-Sunnah Qabla At-Tadwin.(Kairo: Maktabah Wahbah. 1975). Hlm. 19.
6
Sunnah adalah segala sesuatau yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Yaitu
meliputi perbuatan, perkataan, dan segala hal yang secara implisit disetujui
(taqrir) Rasulullah SAW. Termasuk pula semua riwayat yang menggambarkan
sifat dan akhlak beliau.
b. Bagi Ulama Fiqh
Sunnah adalah salah satu hukum syara’. Dalam hal pengertian ini, istilah sunnah
bersinonim dengan istilah mandub atau nafilah. Sebagai contoh, mendirikan
shalat wajib, atau menjalankan puasa selain puasa wajib di bulan ramadhan
disebut ibadah sunnah, mandub, atau nafilah.
c. Bagi Ulama Ushul Fiqh
Sunnah adalah salah satu sumber hukum, disamping al-Qur’an. Dalam Ushul
Fiqh, seseorang dapat mengatakan bahwa berpuasa di hari-hari selain bulan
ramadhan berasal dari sunnah. Pernyataan ini menunjukkan bahwa aturan ini
berlandaskan dalil dari as-sunnah.10
Kesimpulannya ialah bahwa sesuatu yang keluar dari Rasulullah SAW
baik berupa ucapan, maupun perbuatan maka itulah termasuk sunnah beliau, akan
tetapi bukan suatu penetapan hukum islam dan bukan pula merupakan undang-
undang yang wajib diikuti. Adapun sesuatu yang keluar dari beliau baik ucapan
maupun perbuatan dalam fungsinya sebagai seorang rasul dan dimaksudkan
sebagai suatu pembentukan hukum islam secara umum dan menjadi tuntunan bagi
ummat islam, maka ia merupakan hujjah atas kaum muslimin dan undang-undang
yang wajib diikuti.
C. Pemalsuan Hadits
Sejarah pemalsuan hadis bermula pada sekitar tahun 40 H., yaitu kurun sahabat-
sahabat junior dan tabi’in-tabi’in senior. Pemalsuan hadis merupakan salah satu dampak
penaklukan negara-negara lain oleh umat Islam, seperti Persia, Romawi, Sham, dan
Mesir. Banyak dari negara-negara yang ditaklukkan tersebut memeluk Islam, namun
sebagian dari mereka ada yang tulus dan ada yang munafik yaitu yang masih menyimpan
dendam terhadap Islam. Benih-benih fitnah tersebut muncul pada masa kekhalifahan
10
Iyad Hilal, Studi tentang Ushul Fiqh, hal : 28
7
Uthman ibn Affan, yaitu Ibn Saba’ seorang Yahudi yang berkeliling ke negara-negara
Islam dengan hiden agenda menyebarkan propaganda di bawah tirai dukungan terhadap
Ali dan keluarganya, mengaku bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi dan lebih berhak
atas jabatan khalifah. Propaganda yang dilancarkan Ibn Saba’ ini menimbulkan
perbedaan faham di kalangan kaum muslimin, sampai Uthman terbunuh oleh kelompok
yang benci islam dan menyelinap di antara mereka yang berbeda faham. Dalam hal ini,
muncul empat kelompok yang bersebrangan faham yaitu pembela Ali, pembela Uthman,
kaum Khawarij musuh dari keduanya, dan Marwaniyah pembela Mu’awiyah dan
keluarga Bani Umayyah.11 Sebagian dari oknum-oknum kelompok yang bertikai tersebut
memperbolehkan bagi diri mereka menciptakan hadis palsu, guna melegitimasi
kebijakannya. Imam Muslim (w. 261 H.) meriwayatkan dalam muqqadimah kitab
Sahihnya.12 bahwa Ibn Abbas berkata: “Sesungguhnya kami saling bertukar riwayat hadis
Rasulullah SAW ketika orang-orang belum menciptakan kebohongan atasnya, namun
ketika mereka mulai menciptakan kebohongan maka kami menghentikan riwayat
tersebut.” Ibn Abbas (w. 68 H.) meriwayatkan dan dilanjutkan oleh Ibn Sirin (w. 110 H.)
bahwa, umat Islam tidak menanyakan Sanad dalam periwayatan hadis, namun ketika
terjadi fitnah maka mereka berkata “Sebutkan perawi-perawi kalian”, ketika perawi-
perawinya adalah ahl al-sunnat mereka menerima hadisnya, namun ketika yang
meriwayatkan adalah ahli bid’ah mereka tidak menerimanya. Peristiwa di atas oleh para
ulama dijadikan awal sejarah tradisi penggunaan dan penyebaran sanad. Pada
perkembangan selanjutnya mengalami tiga fase perkembangan:
1. Awal mula penggunaan sanad, yaitu sejak dimulainya periwayatan hadis.
2. Tuntutan bagi perawi untuk menyebut sanad, berkembang sejak masa yang dini
dari periwayatan hadis, yaitu masa Abu Bakar.
3. Penyebutan sanad oleh perawi secara sukarela, yaitu pada masa berikutnya.13
12
Abu Shuhbah, al-Wasit 326-327.
13
Umar ibn Hasan Uthman Falatah, al-Wad’u fi al-Hadith (Beirut: Mu’assasat Manahil alIrfan,1s981 M./
1410 H.), 30.
8
Berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan hadist tidak hanya di lakukan oleh
orang – orang islam akan tetapi juga di laukan oleh orang –orang non islam.14Motif
pemalsuan hadist, menurut musthafa as-Siba I, dapat di kategorikan sebagai berikut :
a) Pertentangan politik.
Konflik politik yang terjadi di kalangan umat islam telah melahirkan suasana
kehidupan yang bergelimang dengan kebohongan dan pemalsukan hadist Nabi. Dari
aliran Syiah, terutama kelompok Rafidhah, banyak membuat hadist palsu yang
berkenaan dengan pengutugsan terhadap sayyidina Ali dan ahli bait. Pembuatan
hadist palsu dari Syiah ini ditangapi oleh kelompok lain yang menjadi lawannya.
Misalnya, dari kelompok Sunni dan kelompok yang fanatik terhadap Muawiyah
dengan membuat hadist palsu pula.
Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, bahasa, negara, dan pemimpin
dengan maksud menonjolkan keutamaan juga telah membangkitkan motivasi untuk
melakukan pemalsuan hadist.
Pemalsuan hadist dalam hal ini dijadikan sebagai ajang mencari muka di
hadapan penguasa atau pejabat. Seseorang akan membuat pernyataan yang di
dasarkan kepada Nabi Muhammad guna mendukung keinina penguasa atau pesan
sponsor.
Pemalsuan hadist dengan motif menarik perhatian ini dilakukan oleh pawing
atau tuknag ceritadan sasarannya adalah orang awam dan rendah tingkat
keberagamannya.
Banyak di antara kaum zuhud dan sufi dan ahli ibadah yang membuat hadis
palsu dengan maksud yang baik. Pemalsuan hadist dari kalangan mereka ini dianggap
sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah dan menjunjung tinggi agama (Islam)
karena dapat membangkitkan gairah dan menimbulkan antusiasme unyuk taat
beribadah kepada Allah.
pangkal penyakit, dan masakan yang matang adalah utamanya obat”. al-Qari
berkata bahwa ungkapan tersebut berasal dari Harith ibn Kaldat, seorang tabib
Arab, bukan dari Nabi SAW.
dan kepalsuan hadist. Sebab dalam hal ini, perai, sebagai peneliti terhadap sanad
dan matan hadist, dianggap sebagai mutakharij hadist dan bahkan dianggap
sebagai seseorang yang melembagakannya dalam karyanya.
Validitas hasil penelitian sanad dan matan hadist yang dilakukan oleh
seorang perawi hadist mungkin dipandang sebagai persoalan tersendiri dalam
upaya mengatasi kemunculan hadist palsu. Persoalan ini perlu ditanyakan kembali
karna dalam kenyataannya hasil penelitian itu sangat berpengaruh pada corak
pandang seorang perawi sebagai peneliti hadist nabi. Namun, peneliti atau kritikus
berwenang untuk meneliti atau mengkritik hadist apabila telah memnuhi
persyaratan persyaratan yang telah ditentukan ulama pakar hadist. Di samping itu,
dalam meneliti snad hadist pakar pakar hadist telah merumuskan ketentuan
karakteristik hadis palsu ditinju dari segi sanad dan matannya serta ketentuan lain
untuk dijadikan acuan untuk meriwayatkan hadist.
Dalam kaitannya dengan adanya pemalsuan hadist, sebagai langkah
konkrit, para pakar hadist membahas perawi yang tidak memiliki kredibilitas dan
di klam sebagai pendusta ulung dalam kitab kitab jahr wa tadil. Dengan demikian
seorang perawi akan mendapat pengakuan tentang hadist yang diriwayatkannya
jika ia telah lolos dalam seleksi yang mengaacu pada ketentuan ketentuan yang di
maksud.
Ulama hadist sebagaiman yang dikemukakan Syuhudi Ismail, berpendapat
baha ada dua hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadist untuk dapat
diketahui apakah hadist yang dikemukakannya dapat diterima sebagi hujjah atau
di tolak. Kedua itu adalah keadilan dan kedabitannya. Keadilan berhubungan
dengan kualitas pribadi sedangkan kedabitan berhiobungan dengan kapasitas
intelektual peraiwi. Apabila kedua hal itu dimiliki seorang periwayat maka hadist
maka periwayat tersebut dibamakan tsiqoh dan hadist yang diriayatkan dapat
diterima.
Mustafa as – Sibai secara tegas menjelaskan tentang perawi hadist yang
harus disingirkan periwatannya, diantara (1) orang yang berdusta dan mengaku
telah menerima hadist nabi; (2) orang yang suka berdusta, kendatipun tidak
pernah membuat hadist palsu; (3) ahli bidah dan pengikut hawa nafsu; (4) orang
12
zindik, orang fasik, dan orang orang yang lali yang tidak menyadari apa yang
mereka katakan serta orang yang tidak memiliki sifat teliti, cekatan, adil, cerdas.15
E. Kesimpulan
15
Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta:Teras, 2010), hlm. 70
13
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Musa Muhammad. Al- Madkhal Li Dirasat Al-Fiqhi Al- Islamy ( Bairut: Dar Al- Fikri
Al- Araby, t.t )
14
Ismail, M. Syuhudi. 1992 Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: Bulan Bintang.
Dzafar Ahmad Utsmani At Tahawuni, 1972 Qowaid Al Ulum Al Hadits, Cet III (Beirut :Maktab
al Mathba’ah al Islamiyyah.
As-shalih, subhi. 2009 membahas ilmu-ilmu hadist, terj Jakarta: Pustaka Firdaus.
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, 2009 Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
PT Pustaka Rizki Putra:Semarang.
Ajaj, Muhammad1971 Al Katib, As Sunnah Qabla At Tadwin, Beirut: Darul Fikr.
Ajaj, Muhammad. 1975 Al-Khathib.As-Sunnah Qabla At-Tadwin.Kairo: Maktabah Wahbah.
Muhammad ibn Muhammad Abu Shuhbah, al-Wasit fi Ulum wa Mustalah al-Hadith, Kairo: Dar
al-Fikr al-Arabi
Umar ibn Hasan Uthman Falatah, al-Wad’u fi al-Hadith (Beirut: Mu’assasat Manahil
alIrfan,1s981 M./ 1410 H.)
Suparta, munzier. 2012 Ilmu Hadis, Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada.
Suryadilaga, 2010 Alfatih Ulumul Hadis, Yogyakarta:Teras.
15