Anda di halaman 1dari 15

KONSEP HADIST, SUNNAH, PEMALSUAN HADIST, DAN PENANGGULANNYA

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Studi Al-Qur’an Al-Hadist / Teori dan Metodologi

Dosen : Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M. Ag.

Dr. H. Fathur Rozi, M. Ag

Disusun oleh:

NELY FITRIANA (2003018001)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2020
A. Pendahuluan

Hadist merupakan salah satu dasar pengambilan hukum Islam setelah Al-
Quran. Sebab hadist mempunyai posisi sebagai penjelas terhadap makna yang
dikandung oleh teks suci tersebut. Apalagi, banyak terdapat ayat-ayat yang masih
global dan tidak jelas Maknanya sehingga seringkali seorang mufassir memakai hadis
untuk mempermudah pemahamannya.
Seluruh umat Islam sepakat bahwa hadist merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Hadist menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al-Quran.
Kewajiban mengikuti hadits bagi umat Islam sama wajibnya dengan mengikuti Al-
Quran. Hal ini karena hadist merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. Tanpa
memahami dan menguasai hadist, siapapun tidak akan bisa memahami hadist tanpa
memamahi Al-Quran. Sebaliknya, siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an
tanpa memahami hadist, karena Al-Quran merupakan sumber dasar hukum pertama,
yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadist merupakan dasar hukum kedua,
yang di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Quran.
Dengan demikian antara hadist dan Al-Quran mempunyai hubungan yang sangat
erat yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Di dalam Al-quran kita
diperintahkan shalat, namun dalam Al-Quran tidak dijelaskan bagaimana tata cara shalat,
rukun-rukunnya, dan kapan waktu pelaksanaan shalat. Berdasarkan hal itu kedudukan
hadist tidak dapat diragukan baik dari segi penegasan Al-Quran maupun hadist Nabi
Muhammad.
Berbeda ketika kondisi umat islam pada masa Rasulullah tidak begitu mendapat
kesulitan dalam memecahkan berbagai macam problematika yang berkaitan dengan
masalah agama, hal tersebut di karenakan setiap terjadi sesuatu yang memerlukan hukum
mereka langsung datang menemui rasulullah dan bertanya tentang hukum dan sekaligus
solusi terhadap masalah- masalah yang terjadi saat itu, Rasul pun ketika itu langsung
mendapatkan wahyu sebagai penjelas dan yurisprudensi terhadap masalah tersebut.1
Telah banyak problem yang menimpa keotentikan Hadist, mulai dari persoalan
ekternal, yakni aksi kritik-mengkritik yang datang dari kalangan non-muslim (orientalis)
maupun kalangan muslim sendiri, yang mempersoalkan keberadaan Hadist. Tokoh-tokoh

1
Muhammad, Yusuf Musa Al- Madkhal Li Dirasat Al-Fiqhi Al- Islamy ( Bairut: Dar Al- Fikri Al-
Araby, t.t ) 69
yang mempersoalkan keberadaan Hadist misalnya Ignas Goldziher dan joseph Schacht, dua
orientalis ini sangat aktif mengkritik Hadist (meragukan otentisitasnya).2

Pengkajian terhadap Hadist selalu menarik perhatian. Menarik karena dalam


sejarahnya, pernah terjadi konflik yang menimpa sejumlah kalangan yang sejatinya
sebagai sanad Hadist. Dilihat dari kodifikasinya, Hadist baru terkumpul sekitar seratus
tahun setalah Nabi Muhammad wafat. Belum lagi, masalah pemalsuan Hadist yang
berdasarkan kepentingan individu maupun kelompok, terutama kepentingan politik dan
mazhab fikih.3

Karena itu, makalah ini akan memaparkan mengenai konsep hadist, sunnah, pemalsuan
hadist dan cara penanggulannya, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian dari hadits dan sunnah?
2. Mengapa terjadi pemalsuan hadist?
3. Bagaimana cara menanggulani pemalsuan hadist?

B. Konsep Hadist dan Sunnah

1. Pengertian Hadist
a) Menurut Bahasa
Hadits berarti jadid, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat dan
waktu yang singkat4. Lawan kata hadits adalah qodim, yang berarti sesuatu yang
lama.
Hadits juga berarti Khobar “berita”, yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Di samping itu,
hadits juga berarti qorib “dekat”, tidak lama lagi terjadi, sedangkan lawannya adalah
ba’id, artinya “jauh”.
Hadist sebagaimana tinjauan abdul baqa adalah isim dari tahdith yang berarti
pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan
yang disandarkan kepada Nabi SAW. Barangkali al-Farra telah memahami arti ini
Ketika berpendapat bahwa mufrad kata ahadist adalah uhdutsah (buah
pembicaraan). Lalu kata ahadith itu dijadikan jama dari kata hadith.5

2
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 11.

3
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 4.
4
Dzafar Ahmad Utsmani At Tahawuni, Qowaid Al Ulum Al Hadits, Cet III (Beirut :Maktab al Mathba’ah al
Islamiyyah, 1972), hlm. 24.
5
Subhi As-shalih, membahas ilmu-ilmu hadist, terj.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), 21.
b) Sedangkan pengertian hadits menurut istilah
Terdapat perbedaan antara pendapat ulama terutama antara ulama muhadditsun,
ushuliyun dan fuqoha.
1) Menurut ulama muhaditsun atau ahli hadits di antaranya Al Hafizh dalam
Syarh al Bukhary, dan al Hafizh dari Shakhawy ialah :
“segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi saw” Termasuk ke dalam
“keadaan beliau” segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti
kelahirannya, tempatnya dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum
bangkit sebagai rasul maupun sesudahnya. Sebagian ulama seperti Ath
Thiby berpendapat “hadits itu meliputi sabda Nabi saw, meliputi perkataan,
perbuatan dan taqrir sahabat, termasuk pula perkataan, perbuatan dan taqrir
tabi’in”.
Hadits yang dalam periwayatannya sanad-nya sampai pada Nabi saw
dinamakan marfu’, hadits yang hanya sampai pada sahabat dinamakan
mauquf, dan yang sampai kepada tabi’in saja dinamakan maqthu’. Muradif
(persamaan katanya) Sunnah, khabar dan atsar.6
2) Hadits menurut ushuliyyun atau ushul hadits
“segala perkataan, perbuataan dan taqrir nabi yang bersangkutan dengan
hukum”
Jadi tidak termasuk ke dalam hadits, sesuatu yang tidak bersangkut paut
dengan hukum, seperti urusan model pakaian.7

6
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (PT Pustaka
Rizki Putra:Semarang, 2009) hlm. 4-5.
7
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (PT Pustaka
Rizki Putra:Semarang, 2009) hlm. 5-6.
5

3) Hadits menurut fuqoha atau ahli fiqih, selain keterbatasan “materi” dari
sisi sumber rujukan pun hadits hanya terbatas kepada Nabi (hadits
marfu’). Keyakinan sebagian besar ulama hadits yang menyebutkan
sumber hadits dapat saja dari sahabat (hadits mauquf) dan dari tabiin
(hadits maqtu) menjadi tidak berlaku bagi kaum fuqoha. Diskusi bagi
ulama fiqih, hadits itu satu sumber yakni Nabi saw dan dari sisi
substansinya materi hanya yang menyangkut aspek-aspek hukum.
Menurut fuqoha juga dalam kacamata hukum, hadits dibatasi hanya pada
hal-hal yang berhubungan dengan hukum saja. Hal-hal yang ada kaitannya
dengan sifat basyariyah Nabi, seperti cara makan, cara tidur, berjalan,
berpakaian, memakai minyak wangi dan kebiasaan Nabi lainnya, tidak
termasuk kategori hadits. 8
Perbedaan pandangan tersebut melahirkan dua macam pengertian
hadis yakni pengertian hadis secara terbatas yang dikemukakann
oleh Jumhur Al-Muhaditsin, adalah            “Sesuatu yang dinisbatkan
kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, dan
sebagaimananya.” Adapun pengertian secara luas, sebagaimana dikatakan
Muhammad Mahfuds At-Tirmidzi, adalah,            “Sesungguhnya hadis
bukan hanya yang dimarfukan kepada Nabi Muhammad SAW., melainkan
dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan pada perkataan dan
sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan tabiin).9
2. Sunnah
Menurut bahasa Sunnah berarti jalan yang dijalani, baik terpuji atau tidak. Suatu
tradisi yang sudah dibiasakan, dinamakan Sunnah, walaupun tidak baik. Jamaknya
sunnan.
Sedangkan menurut pemahaman syara’, sunnah mempunyai makna yang berbeda-
beda, sesuai pemahaman berbagai bidang tsaqafah islam.

a. Bagi Ulama Hadits 

8
Ajaj, Al Katib, As Sunnah Qabla At Tadwin, (Beirut: Darul Fikr, 1971) hlm. 20.
9
Muhammad Ajaj Al-Khathib.As-Sunnah Qabla At-Tadwin.(Kairo: Maktabah Wahbah. 1975). Hlm. 19.
6

Sunnah adalah segala sesuatau yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Yaitu
meliputi perbuatan, perkataan, dan segala hal yang secara implisit disetujui
(taqrir) Rasulullah SAW. Termasuk pula semua riwayat yang menggambarkan
sifat dan akhlak beliau.
b.  Bagi Ulama Fiqh
Sunnah adalah salah satu hukum syara’. Dalam hal pengertian ini, istilah sunnah
bersinonim dengan istilah mandub atau nafilah. Sebagai contoh, mendirikan
shalat wajib, atau menjalankan puasa selain puasa wajib di bulan ramadhan
disebut ibadah sunnah, mandub, atau nafilah.
c. Bagi Ulama Ushul Fiqh
Sunnah adalah salah satu sumber hukum, disamping al-Qur’an. Dalam Ushul
Fiqh, seseorang dapat mengatakan bahwa berpuasa di hari-hari selain bulan
ramadhan berasal dari sunnah. Pernyataan ini menunjukkan bahwa aturan ini
berlandaskan dalil dari as-sunnah.10
Kesimpulannya ialah bahwa sesuatu yang keluar dari Rasulullah SAW
baik berupa ucapan, maupun perbuatan maka itulah termasuk sunnah beliau, akan
tetapi bukan suatu penetapan hukum islam dan bukan pula merupakan undang-
undang yang wajib diikuti. Adapun sesuatu yang keluar dari beliau baik ucapan
maupun perbuatan dalam fungsinya sebagai seorang rasul dan dimaksudkan
sebagai suatu pembentukan hukum islam secara umum dan menjadi tuntunan bagi
ummat islam, maka ia merupakan hujjah atas kaum muslimin dan undang-undang
yang wajib diikuti.

C. Pemalsuan Hadits

Sejarah pemalsuan hadis bermula pada sekitar tahun 40 H., yaitu kurun sahabat-
sahabat junior dan tabi’in-tabi’in senior. Pemalsuan hadis merupakan salah satu dampak
penaklukan negara-negara lain oleh umat Islam, seperti Persia, Romawi, Sham, dan
Mesir. Banyak dari negara-negara yang ditaklukkan tersebut memeluk Islam, namun
sebagian dari mereka ada yang tulus dan ada yang munafik yaitu yang masih menyimpan
dendam terhadap Islam. Benih-benih fitnah tersebut muncul pada masa kekhalifahan

10
Iyad Hilal, Studi tentang Ushul Fiqh, hal : 28
7

Uthman ibn Affan, yaitu Ibn Saba’ seorang Yahudi yang berkeliling ke negara-negara
Islam dengan hiden agenda menyebarkan propaganda di bawah tirai dukungan terhadap
Ali dan keluarganya, mengaku bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi dan lebih berhak
atas jabatan khalifah. Propaganda yang dilancarkan Ibn Saba’ ini menimbulkan
perbedaan faham di kalangan kaum muslimin, sampai Uthman terbunuh oleh kelompok
yang benci islam dan menyelinap di antara mereka yang berbeda faham. Dalam hal ini,
muncul empat kelompok yang bersebrangan faham yaitu pembela Ali, pembela Uthman,
kaum Khawarij musuh dari keduanya, dan Marwaniyah pembela Mu’awiyah dan
keluarga Bani Umayyah.11 Sebagian dari oknum-oknum kelompok yang bertikai tersebut
memperbolehkan bagi diri mereka menciptakan hadis palsu, guna melegitimasi
kebijakannya. Imam Muslim (w. 261 H.) meriwayatkan dalam muqqadimah kitab
Sahihnya.12 bahwa Ibn Abbas berkata: “Sesungguhnya kami saling bertukar riwayat hadis
Rasulullah SAW ketika orang-orang belum menciptakan kebohongan atasnya, namun
ketika mereka mulai menciptakan kebohongan maka kami menghentikan riwayat
tersebut.” Ibn Abbas (w. 68 H.) meriwayatkan dan dilanjutkan oleh Ibn Sirin (w. 110 H.)
bahwa, umat Islam tidak menanyakan Sanad dalam periwayatan hadis, namun ketika
terjadi fitnah maka mereka berkata “Sebutkan perawi-perawi kalian”, ketika perawi-
perawinya adalah ahl al-sunnat mereka menerima hadisnya, namun ketika yang
meriwayatkan adalah ahli bid’ah mereka tidak menerimanya. Peristiwa di atas oleh para
ulama dijadikan awal sejarah tradisi penggunaan dan penyebaran sanad. Pada
perkembangan selanjutnya mengalami tiga fase perkembangan:
1. Awal mula penggunaan sanad, yaitu sejak dimulainya periwayatan hadis.
2. Tuntutan bagi perawi untuk menyebut sanad, berkembang sejak masa yang dini
dari periwayatan hadis, yaitu masa Abu Bakar.
3. Penyebutan sanad oleh perawi secara sukarela, yaitu pada masa berikutnya.13

1. Faktor – faktor penyebab pemalsuan Hadist


11
1Muhammad ibn Muhammad Abu Shuhbah, al-Wasit fi Ulum wa Mustalah al-Hadith, (Kairo: Dar al-
Fikr al-Arabi, t.th), 326.

12
Abu Shuhbah, al-Wasit 326-327.
13
Umar ibn Hasan Uthman Falatah, al-Wad’u fi al-Hadith (Beirut: Mu’assasat Manahil alIrfan,1s981 M./
1410 H.), 30.
8

Berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan hadist tidak hanya di lakukan oleh
orang – orang islam akan tetapi juga di laukan oleh orang –orang non islam.14Motif
pemalsuan hadist, menurut musthafa as-Siba I, dapat di kategorikan sebagai berikut :
a) Pertentangan politik.

Konflik politik yang terjadi di kalangan umat islam telah melahirkan suasana
kehidupan yang bergelimang dengan kebohongan dan pemalsukan hadist Nabi. Dari
aliran Syiah, terutama kelompok Rafidhah, banyak membuat hadist palsu yang
berkenaan dengan pengutugsan terhadap sayyidina Ali dan ahli bait. Pembuatan
hadist palsu dari Syiah ini ditangapi oleh kelompok lain yang menjadi lawannya.
Misalnya, dari kelompok Sunni dan kelompok yang fanatik terhadap Muawiyah
dengan membuat hadist palsu pula.

b) Kebencian terhadap Islam.

Pemalsuan hadist Nabi bagi kelompok yang membenci Islam dipandang


sebagai tindakan yang memungkinkan mereka menghancurkan Islam karena secara
historis, orientasi periwayatan dan pelembagaan hadist dalam limit waktu yan cukup
lama memang dapat di persoalkan, diasamping tingkat hapalan umat Islam terhadap
hadist tidak sebagaimana terhadap al-Qur’an. Diantara golongan yang dapat
dipandang sebagai berusaha menghancurkan Islam adalah kaum zindik, termasuk
kaum orientalis. Kaum zindik dalam usahanya menghilangkan kemurnian ajaran
islam telah membuat hadist palsu.

c) Perselisihan di bidang teologi dan hukum.

Sebagian orang ada yang berbuat kesalahan dan mengorbankan ukhuwah


Islamiyah dengan membuat hadist palsu hanya karna ingin mendukung
pandangannya tentang konsep teologi. Hadist tersebut di lontarkan orang yang
munafik terhadap Madzhab Hanafi. Sementara orang yang fanatik terhadap mazhab
as-syafii juga membuat hadist palsu. Demikian juga dengan orang yang fanatic
terhadap kaum teolog.

d) Sikap fanatic yang berlebihan.


14
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada, 2012), Hlm. 181
9

Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, bahasa, negara, dan pemimpin
dengan maksud menonjolkan keutamaan juga telah membangkitkan motivasi untuk
melakukan pemalsuan hadist.

e) Kecenderungan sementara orang kepadakemauan penguasa.

Pemalsuan hadist dalam hal ini dijadikan sebagai ajang mencari muka di
hadapan penguasa atau pejabat. Seseorang akan membuat pernyataan yang di
dasarkan kepada Nabi Muhammad guna mendukung keinina penguasa atau pesan
sponsor.

f) Kecenderungan tukang cerita untuk menarik perhatian pendengarnya.

Pemalsuan hadist dengan motif menarik perhatian ini dilakukan oleh pawing
atau tuknag ceritadan sasarannya adalah orang awam dan rendah tingkat
keberagamannya.

g)   Kecintaan terhadap kebaikan dengan jalan membodohkan agama.

Banyak di antara kaum zuhud dan sufi dan ahli ibadah yang membuat hadis
palsu dengan maksud yang baik. Pemalsuan hadist dari kalangan mereka ini dianggap
sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah dan menjunjung tinggi agama (Islam)
karena dapat membangkitkan gairah dan menimbulkan antusiasme unyuk taat
beribadah kepada Allah.

2. Pola pemalsuan hadis ada dua macam:

a) Seorang pemalsu merekayasa suatu ungkapan dari diri sendiri kemudian


menyandarkannya kepada Nabi SAW. al-Bukhari (w.256 H.)
b) meriwayatkan dalam kitab Tarikh al-Awsat dari Umar ibn Subh ibn Imran al-
Tamimi ia berkata: “Saya telah memalsukan khutbah Nabi SAW.” 2. Seorang
pemalsu hadis menyitir perkataan sahabat, tabi’in, orang bijak, atau riwayat
isra’iliyat dan lain sebagainya, lalu menyandarkannya kepada Nabi SAW
menggunakan penyandaran langsung (sanad al-marfu’). Hal itu ia lakukan agar
ucapannya diterima. Seperti riwayat yang menyatakan bahwa “lambung adalah
10

pangkal penyakit, dan masakan yang matang adalah utamanya obat”. al-Qari
berkata bahwa ungkapan tersebut berasal dari Harith ibn Kaldat, seorang tabib
Arab, bukan dari Nabi SAW.

D. Penanggulangan pemalsuan hadist

Pemalsuan hadist dalam pentas sejarah perkembangan Islam merupakan


kenyataan yang tak dapat di bantah. Hal ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi
pengalaman umat islam terhadap hadist. Oleh karena itu, upaya pemberantasan
pemalsuan hadist di pandang merupakan suatu keniscayaan, di samping pemeliharaan
terhadap otentisitasnya. Dalam rangka memberikan solusi terhadap persoalan pemalsuan
hadist yang muncul, ulama telah menalarkan konsep-konsep dasar yang bersifat
metodologis yang memungkinkan siapa pun secara aakurat mampu mendeteksi
pemalsuan hadist. Artinya, prosedur yang di tempuh dalam menerima hadist adalah
berupa pengujian dalam penemuan ilmiah yang mentap yaang dapaat
dipertanggungjawabkan. Mustaafa as- sibai memberikan rincian tentang langkah-
langkaah penelitian hadist sebagai upaya mengatasi pemalsuan hadist sebagai berikut:
1. Meneliti sanad hadist. Penelitian sanad mempunyai arti penting dalam mendeteksi
kepalsuan hadist. Yaitu tentang kualifiksi keabsahan keriwayatan seorang yang
termasuk mata rantai kelangsungan hadist ketangan seorang perawi sebagai
seorang peneliti atau kritikus hadist.
2. Mengukuhkan hadist. Pengukuhan ini dilakukan dengan jalaan meneliti dan
mencocokkan kembali kepada para sahabat, tabi’in, daan ulama ahli hadist,
pengukuhan hadist sebagai salah satu aktifitas mengatasi persoalan pemalsuan
hadist menggambarkan adanya upaya melestarikan tradisi intelektual. Hal ini di
maksud untuk mendukung keutuhan ajaran islam dalam segala bentuk
pencemaran melalui pemalsuan hadist. Seperti sa’id al Mussayab yang harus
berjalan siang dan malam demi untuk mendapatkan satu hadist saja. Hal ini
dilakukan semata mata untuk mengukuhkan hadist.
3. Meneliti rawi hadist dalam rangka menetapkan status kejujurannya. Ibnu Daqiq
al– d memandang baha keberadaan perawi hadist sangat menentukan kesahihan
11

dan kepalsuan hadist. Sebab dalam hal ini, perai, sebagai peneliti terhadap sanad
dan matan hadist, dianggap sebagai mutakharij hadist dan bahkan dianggap
sebagai seseorang yang melembagakannya dalam karyanya.
Validitas hasil penelitian sanad dan matan hadist yang dilakukan oleh
seorang perawi hadist mungkin dipandang sebagai persoalan tersendiri dalam
upaya mengatasi kemunculan hadist palsu. Persoalan ini perlu ditanyakan kembali
karna dalam kenyataannya hasil penelitian itu sangat berpengaruh pada corak
pandang seorang perawi sebagai peneliti hadist nabi. Namun, peneliti atau kritikus
berwenang untuk meneliti atau mengkritik hadist apabila telah memnuhi
persyaratan persyaratan yang telah ditentukan ulama pakar hadist. Di samping itu,
dalam meneliti snad hadist pakar pakar hadist telah merumuskan ketentuan
karakteristik hadis palsu ditinju dari segi sanad dan matannya serta ketentuan lain
untuk dijadikan acuan untuk meriwayatkan hadist.
Dalam kaitannya dengan adanya pemalsuan hadist, sebagai langkah
konkrit, para pakar hadist membahas perawi yang tidak memiliki kredibilitas dan
di klam sebagai pendusta ulung dalam kitab kitab jahr wa tadil. Dengan demikian
seorang perawi akan mendapat pengakuan tentang hadist yang diriwayatkannya
jika ia telah lolos dalam seleksi yang mengaacu pada ketentuan ketentuan yang di
maksud.
Ulama hadist sebagaiman yang dikemukakan Syuhudi Ismail, berpendapat
baha ada dua hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadist untuk dapat
diketahui apakah hadist yang dikemukakannya dapat diterima sebagi hujjah atau
di tolak. Kedua itu adalah keadilan dan kedabitannya. Keadilan berhubungan
dengan kualitas pribadi sedangkan kedabitan berhiobungan dengan kapasitas
intelektual peraiwi. Apabila kedua hal itu dimiliki seorang periwayat maka hadist
maka periwayat tersebut dibamakan tsiqoh dan hadist yang diriayatkan dapat
diterima.
Mustafa as – Sibai secara tegas menjelaskan tentang perawi hadist yang
harus disingirkan periwatannya, diantara (1) orang yang berdusta dan mengaku
telah menerima hadist nabi; (2) orang yang suka berdusta, kendatipun tidak
pernah membuat hadist palsu; (3) ahli bidah dan pengikut hawa nafsu; (4) orang
12

zindik, orang fasik, dan orang orang yang lali yang tidak menyadari apa yang
mereka katakan serta orang yang tidak memiliki sifat teliti, cekatan, adil, cerdas.15

E. Kesimpulan

Pengertian hadist terdapat banyak versi, namun Perbedaan pandangan tersebut


melahirkan dua macam pengertian hadis yakni pengertian hadis secara terbatas yang
dikemukakann oleh Jumhur Al-Muhaditsin, adalah            
“Sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan,
pernyataan, dan sebagaimananya.”
Adapun pengertian secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfuds At-
Tirmidzi, adalah,            
“Sesungguhnya hadis bukan hanya yang dimarfukan kepada Nabi Muhammad SAW.,
melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan pada perkataan dan
sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan tabiin)
Sunnah ialah bahwa sesuatu yang keluar dari Rasulullah SAW baik berupa
ucapan, maupun perbuatan maka itulah termasuk sunnah beliau, akan tetapi bukan suatu
penetapan hukum islam dan bukan pula merupakan undang-undang yang wajib diikuti.
Adapun sesuatu yang keluar dari beliau baik ucapan maupun perbuatan dalam fungsinya
sebagai seorang rasul dan dimaksudkan sebagai suatu pembentukan hukum islam secara
umum dan menjadi tuntunan bagi ummat islam, maka ia merupakan hujjah atas kaum
muslimin dan undang-undang yang wajib diikuti.
Pemalsuan hadis itu pertama muncul dan terjadi pada masa kekhalifahan Ali ibn
Abi Thalib. Pendapat ini dinilai sebagai pendapat paling kuat. Ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi pemalsuan hadis, yaitu: pertentangan politik, kebencian terhadap islam,
perselisihan di bidang teologi dan hukum, sikap fanatic yang berlebihan, kecenderungan
sementara orang kepadakemauan penguasa dan kecenderungan tukang cerita untuk
menarik perhatian pendengarnya, dan kecintaan terhadap kebaikan dengan jalan
membodohkan agama. Ada beberapa patokan yang bisa di jadikan alat untuk
mengidentifikasi bahwa hadist itu palsu atau sahih, diantaranya: dalam sanad dan matan
hadis.

15
Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta:Teras, 2010), hlm. 70
13

Ulama menetapkan beberapa prosedur yang ditempuh dalam menerima hadist


adalah berupa pengujian dalam penemuan ilmiah yang mentap yang dapat dipertanggung
jawabkan sebagai upaya mengatasi pemalsuan hadist.

DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, Musa Muhammad. Al- Madkhal Li Dirasat Al-Fiqhi Al- Islamy ( Bairut: Dar Al- Fikri
Al- Araby, t.t )
14

Ya’kub, Ali Mustafa. 2000 Kritik Hadis Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ismail, M. Syuhudi. 1992 Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: Bulan Bintang.

Dzafar Ahmad Utsmani At Tahawuni, 1972 Qowaid Al Ulum Al Hadits, Cet III (Beirut :Maktab
al Mathba’ah al Islamiyyah.
As-shalih, subhi. 2009 membahas ilmu-ilmu hadist, terj Jakarta: Pustaka Firdaus.
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, 2009 Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
PT Pustaka Rizki Putra:Semarang.
Ajaj, Muhammad1971 Al Katib, As Sunnah Qabla At Tadwin, Beirut: Darul Fikr.
Ajaj, Muhammad. 1975 Al-Khathib.As-Sunnah Qabla At-Tadwin.Kairo: Maktabah Wahbah.
Muhammad ibn Muhammad Abu Shuhbah, al-Wasit fi Ulum wa Mustalah al-Hadith, Kairo: Dar
al-Fikr al-Arabi

Umar ibn Hasan Uthman Falatah, al-Wad’u fi al-Hadith (Beirut: Mu’assasat Manahil
alIrfan,1s981 M./ 1410 H.)
Suparta, munzier. 2012 Ilmu Hadis, Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada.
Suryadilaga, 2010 Alfatih Ulumul Hadis, Yogyakarta:Teras.
15

NAMA : Nely Fitriana

TTL : Demak, 14 Maret 1995

Alamat : Candisari rt 03 rw 03, Mranggen, Demak

Anda mungkin juga menyukai