Anda di halaman 1dari 21

Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

DIALOG AL-QUR’AN DENGAN BUDAYA LOKAL NUSANTARA:


RESEPSI AL-QUR’AN DALAM BUDAYA SEKATEN
DI KERATON YOGYAKARTA

M. Nurdin Zuhdi
Universitas Aisyiyah Yogyakarta
m.nurdinzuhdi@unisayogya.ac.id

Sawaun
Universitas Sains dan Al-Qur’an Wonosobo
aminsawaun@gmail.com

Abstrak
Artikel ini mengkaji tentang budaya Sekaten di Keraton Yogyakarta. Sekaten yang berasal dari
kata Syaha>datain merupakan fenomena sosial religious yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga
sebagai sarana dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Adapun yang menjadi fokus kajian
dalam artikel ini adalah mengkaji resepsi Al-Qur’an dalam budaya Sekaten. Artikel ini merupakan
hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan akulturasi budaya. Dari analisis yang telah
dilakukan, maka penelitian ini menyimpulan bahwa Sekaten adalah sebuah fenomena sosial-
relegious yang diciptakan sebagai strategi dakwah dalam membumikan nilai-nilai Al-Qur’an.
Dalam rangka membumikan nilai-nilai Al-Qur’an tersebut Sekaten memadukan tiga elemen
penting yaitu agama, budaya dan ekonomi. Integrasi ketiga elemen ini diwakili oleh tiga simbol
peradaban penting bagi warga masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, yaitu segitiga yang
terbentuk antara Keraton Yogyakarta sebagai pusat budaya, Masjid Agung sebagai pusat agama
dan Pasar Bringharjo sebagai pusat ekonomi.

This article examines the culture of Sekaten in the palace of Yogyakarta. Sekaten derived
from the word Syahadatain is a religious social phenomenon created by Sunan Kalijaga as a means
of spreading Islam in the land of Java. The focus of the study of this article is to examine the
reception of the Qur'an in the Sekaten culture. this article is the result of research using cultural
acculturation approach. From the analysis that has been done, it can be concluded that Sekaten is a
religious social phenomenon that was created as a da'wah strategy in grounding the values of the
Qur'an. in order to ground the values of the Qur'an, Sekaten combines three important elements,
namely religion, culture, and economy. The integration of these three elements is represented by
three important symbols of civilization for the people of Yogyakarta and its surroundings, namely
the triangle formed between the Yogyakarta Palace as the cultural center, the Great Mosque as the
center of Religion, and Pringharjo Market as the economic center.
Kata Kunci: Resepsi Al-Qur’an, Sekaten, Syiar Islam, Budaya, Ekonomi.

A. PENDAHULUAN masyarakat sekitar Alun-alun Utara Keraton


ekaten, atau sekarang lebih dikenal Yogyakarta. Budaya Sekaten ini sudah lama

S dengan istilah Pasar Malam Perayaan ada dan menjadi bagian tradisi dan budaya
Sekaten, (PMPS) merupakan tradisi dan penting yang terus dilestarikan. PMPS selalu
budaya yang tidak terpisahkan bagi diselenggarakan setiap tahunnya oleh
masyarakat Yogyakarta, khususnya bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 125


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

melestarikan tradisi dan budaya Keraton ketika suatu kebudayaan bertemu dengan
yang sudah diwariskan secara turun-temurun. kebudayaan lain, dan kemudian mengambil
Tradisi Sekaten ini diadakan setiap tahun sejumlah unsur-unsur budaya baru tersebut
sekali. Bisanya perayaan Sekaten ini jatuh serta mengubahnya sedemikian rupa sehingga
pada disekitar akhir tahun dan atau awal unsur-unsur budaya baru tersebut terlihat
tahun, tepatnya pada hari lahirnya Nabi seperti unsur budaya sendiri.2 Sebagai tradisi
Muhammad saw. atau dalam istilah kalender lama yang sudah menjadi budaya bernafaskan
Islam lebih dikenal dengan Bulan Mualid. agama, tradisi Sekaten jelas merupakan
Nafas-nafas Islam juga terlihat dalam bentuk akulturasi dari nilai-nilai Al-Qur’an.
rangkaian perayaan Sekatenan ini. Misalnya Unsur-unsur dari Al-Qur’an telah menjelma
seperti pengajian Akbar yang di adakan di dan hidup menyatu ke dalam budaya lokal
Masjid Agung Kauman yang letaknya persis Sekaten tersebut.
di sebelah Barat Alun-alun, pentas seni Akulturasi antara nilai-nilai budaya
Islami, festival seni religius, dan penampilan dan agama dalam kajian studi Islam,
grup musik terkenal yang membawakan lagu- khususnya dalam kajian Al-Qur’an disebut
lagu rohani di arena panggung PMPS telah sebagai fenomena The Living Al-Qur’an atau
menjelaskan bahwa tradisi Sekaten disebut sebagai Al-Qur’anisasi kehidupan.3
merupakan misi Dakwah Islam yang Adapun yang dimaksud dengan Al-
berlandaskan nilai-nilai Al-Qur’an. Nilai-nilai Qur’anisasi kehidupan atau Al-Qur’an yang
Islam juga tampak pada upacara adat hidup adalah teks Al-Qur’an yang hidup
bernama nJejak Bata (menginjak Bata) dalam masyarakat.4 Fenomena The Living
sebagai tanda memasuki ritual Sekaten. Al-Qur’an menurut M. Mansyur sebenarnya
Upacara nJejak Bata yang dilakukan sekali bermula dari fenomena Qur’an in Everyday
dalam sewindhu. Upacara nJejak Bata Life, yakni makna dan fungsi Al-Qur’an yang
tersebut mengandung pesan dakwah Islam riil dipahami dan dialami msyarakat Muslim.5
yang kuat. Upacara nJejak Bata ini dilakukan Fenomena Living Qur’an ini menurut
di depan Pintu masuk Masjid Agung Ahimsa-Putra tidak lain adalah respons
Kauman. Dalam upacara adat nJejak Bata masyarakat terhadap teks Al-Qur’an dan
tersebut Gubernur DIY menegaskan: “Ini hasil penafsiran seseorang. Termasuk dalam
nanti sebagai simbol bahwa Kesultanan pengertian ‘respons masyarakat’ adalah
Demak telah menerapkan Islam sebagai dasar resepsi mereka terhadap teks tertentu dan
agama kerajaan. Kita harus belajar dari
sejarah, untuk dapat memetik hikmahnya.”1
Pernyataan Gubernur DIY jelas 2
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Alqur’an:
semakin mempertegas bahwa dalam tradisi Beberapa Perspektif Antropologi” dalam Jurnal
Sekaten terdapat nilai-nilai akulturasi Islam Walisongo, Vol. 20, No. 1, Mei 2012, h. 254.
3
Lihat, Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Menafsir
yang menjadi prinsip dan landasannya. Tadisi
‘Alqur’an yang Hidup’, Memaknai Al-Qur’anisasi
Sekaten sebagai simbul religius memiliki Kehidupan: Perspektif Antropologi Budaya”, Makalah
nilai-nilai akulturasi budaya yang penting Seminar “Living Qur’an: Alqur’an sebagai Fenomena
Sosial Budaya”, Yogyakarta, 13-15 Maret 2005.
untuk di kaji. Ahimsya-Putra menjelaskan 4
Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah Penelitian dalam
bahwa akultuasi adalah proses yang terjadi Studi Alqur’an dan Hadis”, dalam M. Mansyur dkk.,
Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
(Yogyakarta: TH-Press, 2007), h. xiv.
1 5
Artikel “Jangan Lupa Misi Dakwah Sekaten”, dalam Lihat, M. Mansyur, “Living Qur’an dalam Lintasan
Majalah Bakti Kantor Wilayah Kementerian Agama Sejarah Studi Qur’an” dalam dalam M. Mansyur dkk.,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 236/Februari, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
2011, h. 4. (Yogyakarta: TH-Press, 2007), h. 5.

126 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

hasil penafsiran tertentu.6 Dalam kajian ini madhani kajiwan Jawi-Hindu” (KAP
resepsi Al-Qur’an dalam budaya Sekaten Widyobudoyo, tt. 1).9
merupakan bentuk kajian Living Qur’an.
Adapun artinya oleh Soelarto kurang lebih
Dengan sudut pandang akulturasi,
diartikan sebagai berikut:
penelitian ini akan mencoba mengetahui
“Adapun keramaian Sekaten
proses dan hasil interaksi antara ajaran-ajaran
itu dahulu konon ciptaan Yang Mulia
yang ada dalam Al-Qur’an dengan budaya Susuhunan Kalijogo dalam usahanya
Sekaten. Penelitian ini akan berupaya menyebarluaskan agama Islam. Sebab
mengetahui unsur-unsur mana dari budaya agama Islam itu luas, cukup untuk
Sekaten yang mempengaruhi pola interpretasi mencakup atau menampung kejiwaan
atau pemahaman terhadap Al-Qur’an sebagai Jawa-Hindu”10
firman-firman dari Allah Swt. dalam bentuk Jika dilihat dari kutipan di atas
bahasa Arab yang artinya tidak dimengerti Sekaten diciptakan untuk tujuan untuk
sepenuhnya dan bagaimana ajaran-ajaran menyebarkan agama Islam dengan cara
dalam Al-Qur’an tersebut kemudian menggabungkan tradisi Jawa-Hindu. Kedua
mengubah unsur-unsur tertentu dari budaya tradisi ini berusaha disatu padukan oleh para
Sekaten. Wali Songo, khusunya Sunan Kalijogo di
Yogyakarta dengan cara menciptakan
Sekaten. Dan memang tujuan dari Sekaten
B. SEJARAH ASAL-USUL SEKATEN
sendiri adalah untuk menyebarkan agama
Tidak dapat dipastikan tahun berapa
Islam.11
upacara Sekaten ini muncul. Tidak
Jika sebelumnya, upacara ini tidak ada
ditemukan data secara konkrit. Namun dari
nilai-nilai Islamnya, namun ketika Islam
warta lisan ditemukan bahwa Sekaten sudah
datang dengan para Sunan Wali Songo
ada sejak ratusan tahun yang lalu.7 Pendiri
sebagai penyebarnya, maka tradisi ini
dari Sekaten ini dalah para penyebar Islam
kemudian dijadikan sebagai metode
yang pada waktu itu disebut Sunan atau Wali
pendekatan dakwah, khususnya oleh Sunan
Songo.8 Adapun menurut sumber yang kami
Kalijaga pada waktu itu. Sehingga Sekaten
temukan mengatakan bahwa yang telah
yang tampak ketika Islam mulai menyebar di
mendirikan Sekaten ini adalah Sunan Kalijga.
Jawa, Sekaten dimasuki nilai-nilai dakwah
Hal tersebut tercatat dalam Riwayat Sekaten,
Islam. Konon, Sekaten yang ada di
yang dikutip oleh Soelarto sebagai berikut:
Yogyakarta saat ini merupakan cikal bakal
“Menggah karameyan Sekaten
wau duk kinanipun kacariyos dari Sekaten yang telah ada sejak zaman
yasanipun Sang Linangkung kerajaan Demak Islam, tepatnya pada abad ke
Susuhunan Kalijogo, anggenipun 16.12 Ada banyak versi tentang sejarah
mengesti jembaring tebaning agami penamaan Sekaten ini. Pendapat-pendapat ini
Islam. Awit agami Islam Makaten memiliki argumen sendiri-sendiri. Beberapa
jembar, cekap kangge nyakup utawi versi tersebut diantaranya adalah:

9
Lihat, B. Soelarto, Garebeg Kesultanan Yogyakarta,
6
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Alqur’an…”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 13.
10
h. 238. B. Soelarto, Garebeg Kesultanan Yogyakarta…, h.
7
Wawancara dengan Dr. Didik Purwadi, saat 13.
11
pembukaan Sekaten 2015 di Aalun-alun Utara Keraton Wawancara dengan KRT Tamdari di Ndalem
Yogyakarta, pada 4 Desember, 2014. Pakualaman, pada November 2015.
8 12
Wawancara dengan KRT Tamdari di Ndalem Soepanto, dkk., Upacara Tradisional Sekaten…, h.
Pakualaman, pada November 2015. 40.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 127


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

1) Kata Sekaten berasal dari kata Sekati. tidak ada tuhan selain Allah. Sedangkan
Sekati adalah nama dari dua perangkat syahadat yang kedua disebut syahadat
gamelan pusaka Keraton yang dibunyikan Rasul, yaitu wa asyhadu anna
dalam rangkaian upacara peringatan hari Muh}ammadan Rasu>lulla>h yang berarti dan
lahirnya Nabi Muhammad Saw. atau aku bersaksi bahwa nabi Muhammad
dalam umat Islam disebut Maulid Nabi. adalah utusan Allah.15 Dalam Islam, kata
Upacara dan perayaan hari lahirnya nabi Syaha>datain adalah sebuah bentuk ikrar
ini kemudian disebut Sekaten. Disebut seseorang untuk memeluk agama Islam.
Sekaten karena di dalam rangkaian Kalimat syahadat yang tertera di
peringatan hari lahirnya nabi tersebut kanan dan kiri pintu gerbang Sekaten
dibunyikan gamelan Keraton yang tersebut diartikan dengan bahasa Jawa khas
bernama Sekati. Sekati sendiri adalah Keraton Yogyakarta. pada syhadat tauhid,
nama dari Kanjeng Kyai Sekati. yaitu Asyhadu alla> ila>ha illalla>h yang
2) Pendapat yang lain mengatakan bahwa diartikan saestu kawulo nekseni bilih boten
kata Sekaten berasal dari kata suka dan wonten pangeran kajawi namung Gusti Allah
ati. Kata suka-ati sendiri berarti suka hati (sungguh saya bersaksi bahwa tidak ada
atau senang hati. Pendapat ini di dasarkan tuhan selain Allah). Sedangkan pada syahadat
karena pada saat perayaan hari lahirnya Rasul yang berbunyi wa asyhadu anna
Nabi semua orang hatinya dalam keadaan Muh}ammadan Rasu>lulla>h yang diartikan
senang atau bahagia. Hal tersebut dapat dalam bahsa jawa lan saestu kawulo nekseni
dilihat dari maraknya perayaan ini. Karena bilih Muhammad puniko rasul utusan Allah
masyarakat banyak yang berdatangan (dan sungguh saya bersaksi bahwa
menuju tempat sekaten dilaksanaan, yaitu Muhammad adalah rasul utusan Allah).
di alur-alun utara Keraton Yogyakarta. Dari keterangan dan bukti adanya
3) Ada juga yang mengatakan bahwa kata tulisan Syahdat dalam bahasa arab dan
Sekaten berasal dari kata sakapti. Kata sekaligus artinya dalam bahasa jawa,
Sakapti berasal dari kata kapti yang sebagaimana yang tertera di kanan dan kiri
berarti maksud atau kehendak. Sakapti pintu gerbang Sekaten, jelas bahwa Sekaten
diterangkan pula dari kata saeka kapti lebih identik berasal dari kata syaha>datain,
yang berarti satu hati.13 Satu hati yang yaitu dua klimat syahdat. Dan jika ditelusuri
dimaksud disini adalah agar Raden Patah lebih dalam lagi, mengapa di pintu gerbang
dan rakyatnya dapat bersatu dengan Prabu Sekaten terdapat kalimat dua kailimat
Brawijaya untuk sama-sama memeluk syahadat? Hal inilah yang akan penulis gali
Islam. lebih dalam pada bagian bab selanjutnya.
4) Sedangkan pendapat yang dianggap paling
tepat adalah bahwa kata Sekaten berasal
C. MEMBINCANG RESEPSI ATAS
dari kata Syaha>datain.14 Dalam Islam kata
Syaha>datain adalah dua kalimat Syahadat.
AL-QUR’AN
Syahadat yang pertama dalah syahadat Dalam sejarah, kajian terhadap Al-
tauhid yaitu yaitu Asyhadu alla> ila>ha Qur’an telah banyak melahirkan berbagai
illalla>h yang berati aku bersaksi bahwa

13
Soepanto, dkk., Upacara Tradisional Sekaten…, h.
15
29. Lihat, H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Zinal
14
Wawancara dengan KRT Tamdari di Ndalem Arifin Thoha, Berguru Pada Jogja: Demokrasi dan
Pakualaman, pada November 2015. Kearifan Kultural, (Yogyakarta: Kutub, 2005), h. 64.

128 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

macam metode dan pendekatan.16 Berbagai juga orang-orang yang menerima dan
macam penelitian terhadap Al-Qur’an telah menggunakan teks dalam aktifitas sehari-hari
banyak melahirkan teori penafsiran, salah dengan berbagai kepentingan yang variatif.
satunya adalah teori resepsi. Teori resepsi Penggunaan metode sastra dalam kajian
pada dasarnya merupakan teori yang Al-Qur’an memang menimbulkan problem
berkembang dalam dunia sastra yang tersendiri, terutama bagi kalangan yang
berusaha meneliti teks sastra dengan keberatan menempatkan Al-Qur’an sebagai
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sebuah “karya sastra”. Kenyataan bahwa Al-
sambutan atau tanggapan. Dalam Qur’an sebagai sebuah wahyu Tuhan yang
memberikan sambutan dan tanggapan sakral menjadikan sebagian kalangan
tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, menganggap bahwa penggunaan metode
waktu, dan golongan sosial. Teori ini sastra dalam kajian Al-Qur’an berimplikasi
kemudian diadopsi untuk memberikan pada anggapan bahwa Al-Qur’an sama
perspektif baru dalam kajian tafsir Al-Qur’an. dengan syair atau karya-karya sastra yang
Secara bahasa, resepsi berasal dari kata diproduksi oleh manusia. Hal ini jelas
recipere (latin) atau reception (Inggris) yang menjatuhkan posisi Al-Qur’an sebagai kalam
dapat diartikan sebagai penerimaan dan ilahi yang jelas berbeda dengan ungkapan-
sambutan pembaca. Dalam artian yang lebih ungkapan yang dibuat oleh manusia.
luas, resepsi diartikan sebagai pengolahan Kajian Al-Qur’an dengan melalui
teks, cara-cara pemberian makna terhadap pendekatan sastra pada era modern mulai
sebuah karya agar dapat memberikan respon. berkembang pada pada paruh akhir abad ke-
Respon pembaca yang dimaksud adalah 20. Amin al-Khuli (1895-1966), misalnya,
pembaca sebagai proses sejarah, pembaca mengenalkan al-Manhaj al-Adabi> dalam
dalam periode tertentu.17 penafsiran Al-Qur’an. Bagi al-Khulli, Al-
Dalam kajian Al-Qur’an, resepsi dapat Qur’an adalah teks sastra Arab, Kita>b al-
diartikan sebagai penjelasan mengenai ‘Arabiyya al-Akbar. Dalam tesisnya, Ia
bagaimana seseorang menerima dan bereaksi mengedepankan dua prinsip metodologis,
terhadap Al-Qur’an, dengan cara menerima, yakni dira>sah ma> haula Al-Qur’a>n (studi
merespon, memanfaatkan atau menggunakan sekitar Al-Qur’an) dan dira>sah al-Qur’a>n
Al-Qur’an, baik sebagai teks yang memuat nafsihi (studi tentang teks itu sendiri). Kajian
susunan sintaksis atau sebagai mushaf yang ini menitik beratkan pentingnya aspek-aspek
dibukukan yang memiliki maknanya sendiri historis, sosial, kultural, dan antarpologis
atau sekumpulan kata-kata yang mempunyai wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab
makna tertentu.18 Sejarah resepsi tidak hanya abad ke-tujuh. 19
menjelaskan Al-Qur’an sebagai teks, namun Pendekatan sastra yang dipelopori oleh
al-Khulli ini kemudian diterapkan dan
16
Lihat, M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: dikembangkan oleh Aisha Abdurrahman binti
dari Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi, Sya>thi’, murid sekaligus istri dari al-Khuli.
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014).
17
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik
Dalam karya tafsirnya, al-Tafsir al-Baya>ni> li
Penelitian Sastra dari Strukturialisme Hingga Al-Qur’a>n al-Kari>m, Bintu Syathi’
Posstrukturialisme Narasi Wacana Perspektif, menawarkan metode penafsiran dalam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 165.
18
Ahmad Rafiq, “Sejarah Alqur’an: dari Pewahyuan perspektif sastra, yaitu: penelitian terhadap
ke Resepsi: Sebuah Awal Pencarian Metodologis”
19
dalam Sahiron Syamsudin (ed), Islam, Tradisi, dan Nur Kholis Setiawan, Alqur’an Kitab Sastra
Peradaban, (Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012), h. Terbesar, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2005), h. 130-
73-74. 132.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 129


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

makna leksikal kosa kata Al-Qur’an yang al-Khait} al-Abyad} dan al-Khait} al-Aswad
kemudian dijadikan sebagai sarana untuk dalam Q.S. al-Baqarah ayat 187. Rasulullah
mengetahui makna yang dikehendaki dalam menjelaskan maksud kata tersebut adalah
konteks pembicaraan ayat; dan pelibatan gelapnya malam dan terangnya siang.
semua ayat yang berbicara tentang satu topik Demikian juga kata al-Rizq berarti syukur
tertentu saja. Ia juga menulis buku, Min dalam Q.S. 56: 82, kata Z}ulm berati syirik,
Asra>r al-Arabiyya fi> baya>n Al-Qur’a>n, yang dan kalimat al-Taqwa yang berarti kalimat
membahas tentang gaya kalimat-kalimat Al- tauhid.22 Model penafsiran seperti ini secara
Qur’an. Sementara, dalam Maqa>l fi al-Insa>n: tidak langsung menggunakan menegaskan
Dira>sat Qur’a>niyah, berbicara tentang bahwa wacana sastra dalam penafsiran Al-
manusia dengan metode tematik al-Khuli. 20 Qur’an dapat dilacak akar historisnya dari
Penegasan bahwa Al-Qur’an merupakan Nabi Saw.
sebuah “karya sastra” sehingga pembacaan Selain itu, dari berbagai perspektif dan
melalui kerangka sastra harus dilakukan, definisi karya sastra, Al-Qur’an dapat
dikemukakan juga oleh Nasr Hamid Abu dikategorikan sebagai karya sastra. Dalam
Zaid. Untuk menafsirkan Al-Qur’an secara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
objektif, Nasr Hamid menawarkan dua sastra adalah tulisan atau bahasa yang
premis, yakni premis mayor dan minor, yang dipakai di kitab-kitab religius, bukan bahasa
terkait erat dengan bahasa keagamaan Al- sehari-hari. Sastra didefinisikan sebagai
Qur’an. Premis mayor mengatakan bahwa karya tulis yang, bila dibandingkan dengan
bahasa Al-Qur’an secara umum merupakan tulisan lain, memiliki ciri-ciri keunggulan,
bahasa Arab yang tidak terlepas dari seperti keaslian, nilai artistik, keindahan
kerangka linguistik dan budaya Arab sebelum dalam isi dan ungkapan-nya. Karya sastra
datangnya Islam dan memberinya makna- berarti karangan yang mengacu pada nilai-
makna keagamaan. Ia menetapkan hipotesis nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa
bahwa teks Al-Qur’an mempunya sistem yang indah. Sastra memberikan wawasan
bahasa yang spesifik yang tidak saja yang umum tentang masalah manusiawi,
mengubah makna terminologi pra Islam, sosial, maupun intelektual, dengan caranya
melainkan mampu melewati batas-batas yang khas.23
linguistik bahasa Arab pra Islam, bahkan Jika kita melakukan kajian semantik
mampu menciptakan karakter kebahasaannya atas makna sastra, akan semakin jelas bahwa
sendiri. 21 Al-Qur’an adalah “karya sastra”. Secara
Senada dengan Nasr Hamid, Nur Khalis etimologis, sastra berasal dari bahasa
Setiawan, menganggap bahwa akar sejarah Sanskerta: shastra. “Shas” berarti instruksi
metode sastra dapat ditelusuri melalui telaah atau ajaran dan “Tra” berarti alat atau sarana.
historis yang dianggap sebagai “stadium Jadi, karya sastra berarti teks yang
embrional” tafsir susastra yang dimulai dari mengandung instruksi atau pedoman. Tidak
masa Nabi, sahabat, tabiin, khususnya pada ada yang menyangkal bahwa Al-Qur’an dan
awal abad kedua sampai abad ketiga hijriyah. tafsir Al-Qur’an dibuat oleh penulisnya
Stadium embrional tafsir susastra pada masa
Nabi dapat dilihat ketika Nabi ditanya oleh
22
Uday bin Hatim yang bertanya tentang kata Nur Khaolis Setiawan, Alqur’an Kitab..., h. 130-
132.
23
Otong Sulaeman, “Estetika Resepsi dan
20
Nur Khaolis Setiawan, Alqur’an Kitab Sastra..., h. Intertekstualitas: Perspektif Ilmu Sastra Terhadap
37-38. Tafsir Alqur’an”, dalam Tanzil: Jurnal Studi Al-Quran,
21
Nur Khaolis Setiawan, Alqur’an Kitab..., h. 41. No. 1, Oktober 2015, h. 14.

130 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

dengan tujuan untuk memberikan pedoman yang paling terkenal mengenai bentuk resepsi
atau tuntunan kepada pembacanya. 24 estetis atas Al-Qur’an.
Navid Kermani merupakan salah satu Berdasarkan beberapa contoh kasus di
sarjana yang konsen dalam mengkaji secara atas, Kermani ingin menegaskan bahwa akar
historis resepsi atas Al-Qur’an pada generasi budaya masyarakat Arab sebagai penerima
awal Islam, meskipun kajiannya lebih fokus wahyu merupakan unsur yang sangat penting
pada aspek estetik psikologis. Menurut dalam kaitannya dengan penerimaan estetik
Kermani, ada dua alasan mendasar mengapa Al-Qur’an. Akar budaya yang berlokus dan
sejarah resepsi atas Al-Qur’an tetap terfokus pada bahasalah sebenarnya yang
terpelihara dalam memori kultural sangat kuat menentukan perbedaan antara
masyarakat Muslim. Pertama, adalah karena yang ‘arabi> (Arab asli) dan ‘ajami> (orang
orang-orang Arab pra-Islam dipandang asing). Dan kefasihan dalam
sebagai masyarakat yang terkenal berbudaya, mengartikulasikan bahasa Arab dalam
yang dapat diketahui melalui kehebatan kehidupan sehari-hari, serta juga kepiawaian
bahasa dan syair mereka. Kedua, pesona luar menggubah karya sastra atau sya’ir menjadi
biasa yang terlahir dari bacaan Al-Qur’an tolok ukur yang dominan untuk menentukan
menjadikan tidak ada seorang pun yang Arab tidaknya seseorang. 27
sanggup menolak kekuatannya.25 Selanjutnya dengan meminjam teori
Salah satu keistimewaan efek resepsi empat fungsi bahasa Karl Buhler dan Jan
Al-Qur’an kepada pendengar, sebagaimana Mukarovsky, Kermani menghubungkannya
dikatakan Kermani, adalah sikap ketundukan dengan struktur tanda yang dipakai oleh
dan penyerahan diri seorang pendengar bahasa Al-Qur’an. Keempat fungsi tersebut
kepada Tuhan setelah mendengar ayat-ayat ditemukan secara jelas dalam Al-Qur’an,
Al-Qur’an. Sejarah menunjukkan bahwa yang masing-masing saling melengkapi.
sebagian orang Arab beralih memeluk Islam Misal, fungsi paparan acapkali berbarengan
disebabkan karena mereka mendengar bacaan dengan fungsi ekspresif. Ini terlihat salah
al-Quran, baik ketika ia dibacakan kepada satunya ketika Al-Qur’an menjelaskan
mereka, atau saat mereka mendengar bacaan statusnya sebagai teks bacaan yang menjadi
seseorang ketika shalat, segaimana dicatat petunjuk bagi orang-orang beriman. Begitu
oleh Ibn Sa’ad, mencatat, “ketika Nabi duduk juga dengan fungsi perintah, ia dapat
bersama mereka, dan mengajak mereka ke dijumpai di berbagai ayat, khususnya
dalam Islam sembari membacakan beberapa perintah Tuhan kepada umat manusia untuk
ayat Al-Qur’an, seketika itu juga mereka menjalankan aturan-aturan-Nya. Adapun
memeluk Islam.” Ibn Sa’ad menjelaskan fungsi puitis (dimensi keindahan sastra),
dengan singkat, bahwa peristiwa itu terjadi tidak kalah banyaknya ditemukan di dalam
ketika nabi menghadapi utusan kaum Khazraj Al-Qur’an. Dan pada fungsi yang disebutkan
dalam perjanjian Aqabah pertama.26 Namun terakhir inilah yang menjadi sangat menonjol
demikian, peristiwa konversi Umar bin dalam sorotan Kermani Dengan
Khattab ke dalam Islam merupakan contoh menyematkan fungsi bahasa yang
dipinjamnya dari Karl Buhler dan Jan
24
Mukarovsky ke dalam kajian Al-Qur’an,
Otong Sulaeman, “Estetika Resepsi...”, h. 15.
25
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the
Qur’an as Reflected in Early Muslim History,” dalam
Issa J. Boullata, (Ed.), Literary Structures of Religious
in the Qur’an, (Great Britain: Curzon, 2000), h. 256.
26 27
J. Boullata, (Ed.), Literary Structures..., h. 259. J. Boullata, (Ed.), Literary Structures..., h. 75.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 131


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

Kermani melihat adanya resepsi ketakjuban nilai-nilai Al-Qur’an tersebut tampak seperti
yang dialami oleh pendengarnya.28 samar. Inilah yang kemudian bisa disebut
sebagai bentuk akulturasi nilai-nilai Al-
Qur’an ke dalam budaya atau tradisi Sekaten.
D. BENTUK RESEPSI AL-QUR’AN
Simbol-simbol seperti apakah yang
DALAM TRADISI SEKATEN
ada daam budaya Sekaten? Dalam memotret
Pada bagian bab ini, penulis akan resepsi simbolis, disini penulis membagi
memaparkan tentang bukti-bukti adanya
simbol ke dalam dua bagian, yaitu simbol
resepsi Al-Qur’an dalam budaya Sekaten. Di
sini resepsi diartikan sebagai ‘penerimaan’ material dan simbol behavioral. Simbol
terhdap ajaran baru. Menurut Edi Sedyawati, material adalah simbol-simbol yang bersifat
satuan-kesatuan kemasyarakatan, yang fisik, bisa diraba. Sedangkan simbol
menerima agama ‘baru’ pada umumnya behavioral adalah simbol-simbol yang
adalah satuan-satuan kemasyarakatan yang bersifat non fisik, seperti nilai-nilai atau
sebelumnya telah membentuk kebudayaanya
ajaran.31 Salah satu bentuk simbol material
masing-masing.29 Maka, lanjut Sedyawati,
suatu agama ‘baru’ dapat memperoleh yang ada dalam budaya Sekaten adalah
“resepsi”, yaitu “penerimaan”, yang penggunaan nama pada nama ‘Sekaten’ itu
bervariasi dalam berbagai satuan sendiri. Penggunaan nama Sekaten tersebut
kemasyarakatan yang berbeda.30 Sehingga di Letakkan pada pintu gerbang Sekaten,
jika dalam konteks kajian ini, yang dimaksud yaitu di sebelah Utara Alun-alun Utara
dengan resepsi Al-Qur’an dalam budaya Keraton Yogyakarta. Jika ditelusuri secara
Sekaten adalah penerimaaan Al-Qur’an yang
historis, banyak sumber mengatakan bahwa
tedapat dalam tradisi Sekaten. Itulah yang
dimaksud dengan resepsi Al-Qur’an dalam kata Sekaten berasal dari kata ‘Syaha>datain’
kajian ini. Di sini, penulis membagi bentuk atau dalam Islam disebut dua kalimat
resepsi Al-Qur’an ke dalam empat bagian: syadat.32 Dua kalimat syahadat tersebut
Pertama, Resepsi Simbolis; Kedua, Resepsi adalah syahadat tauhid yaitu Asyhadu alla>
Historis; Ketiga, Resepsi Exegesis; dan Ila>ha Illalla>h yang berarti ‘Aku Bersaksi tidak
keempat, Resepsi Estetis. Keempat teori Ada Tuhan Selain Allah. Sedangkan syahadat
resepsi tersebut akan digunakan dalam
yang kedua adalah syahadat rasul, yaitu wa
memotret bentuk-bentuk resepsi yang ada
dalam budaya Sekaten. Asyhadu Anna> Muhammadarrasu>lulla>h yang
1. Resepsi Simbolis dalam Tradisi Sekaten berarti ‘Dan Aku Bersaksi bahwa Muhammad
adalah Utusan Allah’.
Resepsi Simbolis adalah bentuk
Karena dialek bahasa Jawa, kata
resepsi Al-Qur’an yang mewujud ke dalam
Syaha>datain ini berevolusi dengan ucapan
bentuk simbol-simbol tertentu yang terdapat
yang memudahkan orang Jawa sehingga
atau ditampilkan dalam tradisi upacara
menjadi Sekaten. Kata Sekaten yang berarti
Sekaten. Simbol-simbol tersebut merupakan
juga Syaha>datain ini seolah-olah menjadi
bentuk pengejawantahan nilai-nilai Al-
Qur’an ke dalam budaya atau tradisi Sekaten.
31
Lihat, M. Nurdin Zuhdi, “Menyusuri Jejak Living
Nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an
Qur’an dalam Mantra-Mantra Orang Rimba: Teori
tersebut melebur ke dalam bentuk simbol- Baru Tentang Penyebaran Islam di Komunitas Suku
simbol tradisi atau budaya Sekaten sehingga Anak Dalam Di Hutan Rimba Bukit Duabelas, Jambi,
Sumatera”, dalam Makalah Annual International
28
J. Boullata, (editor), Literary Structures..., h. 77. Conference Islamic Studies (AICIS ke XV), di IAIN
29
Edi Sedyawati, Kebudayaan di Nusantara: dari Manado, Sulawesi, September 2014.
32
Keris,Tor-tor sampai Industri Budaya, (Jakarta: Wawancara dengan K.R.M.T. Mangunkusumo, di
Komunitas Bambu, 2014), h. 467. Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta, pada 11
30
Ibid. Desember 2015.

132 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

kata kuci atau pasword ketika hendak dibunyikan (ditabuh) mulai pukul 19.00
memasuki area Sekaten yang ada di Alun- sampai pukul 23.00 sebagai pertanda bahwa
alun Utara Keraton Yogyakarta. Kata rangkain upacara Sekaten telah dimulai.
Syaha>datain yang menjadi kunci memasuki Sedangkan gending-gending yang
upacara Sekaten tersebut diletakkan pada dilantunkan antara lain adalah gending
pintu gerbang Sekaten. Pada pintu gerbang Rabbul ‘a>lami>n, Sala>tun, Solawatan dan
Sekaten yang terletak di sebelah utara Alun- sebagainya.34 Pesan dari gending-gending
alun Keraton Yogyakarta, kata Syaha>datain tersebut merupakan bentuk simbol
tersebut ditempatkan pada dua sisi kanan dan behavioral. Karena mengadung nilai-nilai
kiri pintu gerbang Sekaten. Sehingga ketika atau pesan-pesan/ajaran. Jika dicermati dari
masyarakat hendak memasuki area Sekaten judul gending-gending tersebut jelas
yang melalui pintu gerbang Sekaten ini bisa mengisyaratkan bahwa nilai-nilai yang
melihat atau membaca kata Syaha>datain terkandung di dalam gending-gending
tersebut. tersebut bersumber dari Al-Qur’an. Misalnya
Kalimat syahadat yang tampak di saja dari gending yang berjudul Rabbul
pintu gerbang Sekaten tersebut lengkap ‘a>lamin yang berarti Tuhan Seluruh Alam.
dengan terjemahan berbahasa Jawa halus Adapun yang dimaksud Tuhan di dalam kata
khas Keraton Yogyakarta. Pada syhadat Rabbul ‘a>lamin adalah Allah Swt. Kata
tauhid, yaitu Asyhadu alla> ila>ha illalla>h yang Rabbul ‘a>lamin sendiri banyak ditemukan di
diartikan dalam bahasa Jawa dengan saestu dalam Al-Qur’an. Salah satunya yang sering
kawulo nekseni bilih boten wonten pangeran dibaca adalah di dalam surat Al-Fatihah [1]
kajawi namung Gusti Allah (sungguh saya ayat 2:
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah).
    
Sedangkan pada syahadat Rasul yang
berbunyi wa Asyhadu anna Artinya: Segala puji bagi
Muhammadarrasu>lulla>h yang diartikan dalam Allah, Tuhan seluruh alam.
bahsa jawa lan saestu kawulo nekseni bilih Di dalam Qur’an in Word Versi 1.3,
Muhammad puniko rasul utusan Allah (dan Rabb (Tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati
sungguh saya bersaksi bahwa Muhammad yang Memiliki, mendidik dan Memelihara.
adalah rasul utusan Allah). Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk
Selain penggunaan nama, resepsi Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya,
simbolis materialis lainya juga dapat seperti rabbul bait (tuan rumah). 'A>lami>n
dijumpai pada penggunaan gamelan Sekaten. (seluruh alam): semua yang diciptakan Tuhan
Gamelan dalam upacara Sekaten merupakan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam,
ciptaan dari Sunan Kalijaga dalam rangka seperti: alam manusia, alam hewan, alam
untuk dakwah menyebarkan Islam.33 tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan
Gamelan Sekaten tersebut disakralkan oleh sebagainya.35 Allah Pencipta semua alam-
masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. alam itu. Gending dengan judul Rabbul
Nama gamelan tersebut adalah Gamelan ‘a>lamin memiliki tujuan untuk mengenalkan
Kanjeng Kyai Sekati. Gamelan ini terdiri dari Islam dan menegaskan bahwa tidak ada
dua nama yaitu Kanjeng Kyai Gunturmadu
dan Kanjeng Kyai Nagawilaga. Gamelan ini
34
H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Zinal Arifin
33
H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Zinal Arifin Thoha, Berguru Pada Jogja, h. 63.
35
Thoha, Berguru Pada Jogja: Demokrasi dan Kearifan Lihat Alqur’an dan Terjemahnya dalam Qur’an in
Kultural, (Yogyakarta: Kutub, 2005), h. 63. Word Versi 1.3.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 133


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

Tuhan yang layak disembah kecuali Allah, jawa agar mudah dipahami dan disukai oleh
yaitu Tuhan Seluruh Alam. masyarakat jawa, khusunya Yogyakarta
Kemudian gending dengan judul diamana pada waktu itu myasarakat Jawa
Salatun yang berarti shalat mengandung senang dengan gending-gending Jawa.
pesan perintah untuk mendirikan shalat. Sedangkan gending Solawatan
Gending ini menjadi bagian dakwah Islam merupakan bentuk pesan dalam rangka
dalam rangka memperkenalkan tentang mengenal dan mencintai sang pembawa Islam
kewajiban muslim untuk menjaga dan itu sendiri, yaitu Nabi Muhammad saw.
mendirikan shalat lima waktu. Perintah untuk Dengan ber-shalawat atau solawatan
mendirikan shalat ini termaktub di dalam Al- masyarakat diharapkan dapat mengenal dan
Qur’an di berbagai ayat dan surat. Misalnya, mencintai sosok sang pembawa Islam.
di dalam Surat Thaha [20] ayat 14: Perintah untuk bershalawat sendiri juga
termaktub di dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab
        
[33] ayat 56:
          
Artinya: Sesungguhnya aku ini
adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang       
hak) selain Aku, Maka sembahlah aku Artinya: Sesungguhnya Allah
dan dirikanlah shalat untuk mengingat dan malaikat-malaikat-Nya
aku. bershalawat untuk Nabi. Hai orang-
Di dalam Surat al-Hajj [22] ayat 77 orang yang beriman, bershalawatlah
juga telah ditegaskan tentang perintah untuk kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
mendirikan shalat: salam penghormatan kepadanya.
Tentang perintah untuk bershalawat
    
tersebut kemudian digubah menjadi gending-
gending Jawa oleh Sunan Kalijaga. Dengan
    
gending Jawa tersebutlah masyarakat lebih
   mudah untuk menerima dan menyukai
shalawat. Ini merupakan bentuk dakwah yang
Artinya: Hai orang-orang yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dalam rangka
beriman, ruku'lah kamu, sujudlah syiar Islam dengan pendekatan Seni-
kamu, sembahlah Tuhanmu dan
Kebudayaan. Syiar Islam dengan pendekatan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan. Seni-Kebudayaan inilah yang sampai
sekarang masih terus dijaga dan dilestarikan
Selain surat Thaha [20] ayat 14 dan
dalam tradisi upacara Sekaten di Yogyakarta.
surat Al-Hajj [22] ayat 77 tersebut, di dalam
Selain itu, tujuh hari sebelum
Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang
perayaan puncak malam Sekaten, biasanya
berkenaan dengan perintah mendirikan shalat
masyarakat Yogyakarta mengadakan
ini. Misalnya QS. Al-Baqarah [2]: 3, 43, 45,
syukuran atau selamatan dengan berbagai
238, 277, QS. Al-Taubah [9]: 11, QS. Hud
jenis makanan. Jenis-jenis rupa makan ini
[11]: 114, QS. Al-Isra’ [17]: 78 dan 79, QS.
sengaja dipilih karena setiap jenis makanan
Al-Mu’minun [23]: 2 dan 9, QS. Al-Ma’arij
yang digunakan dalam rangka selamatan
[70]: 23 dan sebagainya. Perintah untuk
tersebut mengandung unsur-unsur
mendirikan shalat di dalam Al-Qur’an ini
Qur’aninya. Maka sebenarnya setiap jenis
kemudian digubah menjadi sebuah gending

134 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

makanan yang ada dalam tradisi Sekaten


       
tidaklah asal dipilih. Namun mengandung
makna filosofis dibaliknya. Diantara      
makanan-makanan yang digunakan dalam
upacara syukuran atau selamatan tersebut  
adalah Ketan, Kolak dan Apem. Jenis-jenis
makanan tersebut merupakan bentuk simbol Maka ketahuilah,
Artinya:
bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah
material.
(sesembahan, Tuhan) selain Allah dan
Ketan merupakan jenis makanan yang mohonlah ampunan bagi dosamu dan
terbuat dari Beras Ketan. Namun jika bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-
ditelusuri lebih mendalam, kata Ketan ini laki dan perempuan. Dan Allah
berasal dari kata khot}o>’an (bahasa Arab) mengetahui tempat kamu berusaha
yang berarti ‘kesalahan’. Kemudian Kolak dan tempat kamu tinggal.
berasal dari kata Qo>la (bahasa Arab) yang
Ketiga jenis makanan tersebut dipilih
berarti ‘mengucapkan’. Sedangkan Apem
dengan tujuan dakwah Islam. Ketiga jenis
berasal dari kata ‘Afuwwun (bahasa Arab)
makanan tersebut sengaja dipilih oleh para
yang berarti ‘mohon ampun’.36 Ketiga nama
makanan tersebut jika di runtutkan maka
Wali penyebar Islam untuk mengubah tradisi
Selamatan lama menjadi Islami.37 Dari tradisi
akan ketemu pesan bahwa jika kita berdosa
lama menjadi tradisi Islami inilah yang
atau bersalah maka bertaubatlah dengan
disebut terjadinya akulturasi nilai-nilai Islam
memluk Islam atau mengucapkan kalimat
dari Al-Qur’an dengan budaya Jawa, dalam
syahadat. Kemudian mohon ampunlah kepada
hal ini adalah tradisi Sekaten. Sehingga nilai-
Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan.
nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an
Pesan ini sejalan dengan QS. An-Nisa [4]
tersebut tampak seperti budaya sendiri. Inilah
ayat 110 yang menegaskan sebagai berikut:
yang dimaksud akulturasi. Menurut Ahimsa-
        Putra, akulturasi adalah proses yang terjadi
ketika suatu kebudayaan bertemu dengan
      kebudayaan lain dan kemudian mengambil
Dan Barangsiapa
Artinya: sejumlah unsur-unsur budaya baru tersebut
yang mengerjakan kejahatan dan serta mengubahnya sedemikian rupa sehingga
Menganiaya dirinya, kemudian ia unsur-unsur budaya baru tersebut terlihat
mohon ampun kepada Allah, niscaya seperti unsur budaya sendiri.38 Disinilah nilai-
ia mendapati Allah Maha Pengampun nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an
lagi Maha Penyayang.
melebur menjadi satu dengan budaya
Di dalam Al-Qur’an Surat Seakten, sehingga nilai-nilai Islam tersebut
Muhammad [47] ayat 19 juga ditegaskan tampak seperti budaya yang berasal dari
sebagai berikut: Sekaten itu sendiri.
Nilai-nilai akulturasi antara Islam
dengan budaya Sekaten juga tampak dalam

37
H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Zinal Arifin
Thoha, Berguru Pada Jogja…, h. 63.
38
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Alqur’an:
36
H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Zinal Arifin Beberapa Perspektif Antropologi”, dalam Jurnal
Thoha, Berguru Pada Jogja…, h. 63. Walisongo, Vol. 20, No. 1, Mei 2012, h. 254.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 135


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

pagelaran Wayang Kulit. Lakon-lakon


         
pewayangan dalam upacara Sekaten ini
diciptakan oleh Sunan Kalijaga dalam rangka      
syiar Islam. Karena lakon-lakon pewayangan
tersebut mengandung pesan dakwah Islam. Artinya: Dan Kami tidak
Adapun lakon-lakon yang diciptkan oleh mengutus seorang Rasulpun sebelum
kamu melainkan Kami wahyukan
Sunan Kalijaga diantaranya adalah Jimat
kepadanya: "Bahwasanya tidak ada
Kalimasada, Mustakaweni, Petruk Dadi Ratu, Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
Harjuno Wiwaha, Dewa Ruci dan Maka sembahlah olehmu sekalian
sebagainya.39 Pagelaran Wayang Kulit akan aku".
tersebut merupakan bentuk resepsi simbolis
material, sedangkan nilai-nilai yang Dalam lakon pewayangan, Sunan
terkandung disetiap lakonnya merupakan Kalijaga juga menciptakan lakon yang
resepsi simbolis behavioral yang mengandung dikenal dengan lakon Pandawa Lima. Dalam
nilai-nilai Islam sebgai pesan yang hendak istilah pewayangan istilah Pandawa Lima ini
disampaikan. Misalnya, lakon Jimat mengisahkan lima bersaudara yaitu
Kalimasada ini berasal dari dua kalimat Darmokusumo, Werkudoro, Janoko, Nakulo
syahadat atau juga dikenal dengan dan Sadewo. Namun oleh Sunan Kalijaga
Syaha>datain, yaitu Asyhadu alla> ila>ha illalla>h digubah menjadi lima rukun Islam, yaitu
wa asyhadu anna muhammadarasu>lulla>h: Aku Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Hal
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah inilah yang ditegaskan di dalam Al-Qur’an
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah pada Surat An-Nur [24] ayat 56 dan Surat al-
utusan Allah. hal inilah yang termaktub di Baqarah [2] ayat 110.
dalam Al-Qur’an surat Ali Imran [3]: 18: Surat An-Nur ayat 56:
            

            

   Dan


Artinya: dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat, dan
Artinya: Allah menyatakan taatlah kepada rasul, supaya kamu
bahwasanya tidak ada Tuhan diberi rahmat.
melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang menegakkan Surat al-Baqarah [2] ayat 110:
keadilan. Para Malaikat dan orang-
orang yang berilmu (juga menyatakan      
yang demikian itu). tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak        
disembah), yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.      
Artinya: Dan dirikanlah shalat
Kemudia di dalam Al-Qur’an surat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan
Al-Anbiyaa’ [21] ayat 25 juga ditegaskan apa saja yang kamu usahakan bagi
sebgai berikut: dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahala nya pada sisi Allah.
39
H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Zinal Arifin Sesungguhnya Alah Maha melihat
Thoha, Berguru Pada Jogja…, h. 64. apa-apa yang kamu kerjakan.

136 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

2. Resepsi Historis dalam Tradisi Sekaten sebelum Nabi Muhammad Saw lahir.42 Bab
Adapun yang dimaksud resepsi kedua membahas tentang dua Negara Arab
historis adalah penerimaan Al-Qur’an ke yang terus mengalami peperangan pada saat
dalam budaya Sekaten dalam bentuk cerita itu yaitu Romawi dan Persia. Pada bab kedua
sejarah yang mengandung nilai-nilai Qur’ani. ini diberi judul ‘Kawontenan Saderengipun
Nilai-nilai sejarah Islam yang bersumber dari Gusti Panutan Miyos: Nagari Kalih Ingkang
Al-Qur’an ini dapat dijumpai dalam rangkain Tansah Paprangan’.43 Bab ketiga diberi judul
upacara Sekaten. Salah satunya adalah ‘Wiwit Miyos Dumugi Krama’. Pada bab
rangkai upacara Pembacaan Risalah Maulid ketiga ini menceritakan tentang sejarah
Nabi Muhammad Saw. Pembacaan Risalah lahirnya Nabi sampai sejarah Nabi dalam
Maulid Nabi Muhammad Saw. ini dilakukan memasang Hajar Aswad. Pada bab ketiga ini
pada tanggal 11 bulan Mulud, yaitu tepatnya memuat beberapa sub judul diantaranya
pada pukul 20.00 sampai dengan pukul 23.00, adalah ‘Wiyos Dalem Andika Nabi, Nalika
Sri Sultan dan pengiringnya hadir di Serambi Taksih Timur, Dagang Dhateng Syiria,
Masjid Besar untuk mendengarkan Anggarwa Siti Khadijah dan Masang Hajar
pembacaan riwayat maulid Nabi Muhammad Aswad’.
Saw.40 Pembacaan Risalah Maulid Nabi ini Kemudian pada bab keempat yaitu
merupakan malam puncak upacara Seakten. membahas tentang sejarah Nabi Muhammad
Karena pada malam tersebut menjadi malam Saw. ketika menjadi Rasul. Pada bab ini
penutupan upacara Sekaten. diberi judul ‘Kawisuda Dados Rasulullah’.
Yang menjadi unik dan menarik Adapun sub-sub bab yang dikaji adalah
dalam upacara pembacaan Risalah Maulid ‘Tumurunipun Wahyu Al-Qur’an, Da’wah,
Nabi ini adalah pembacaan teks buku sejarah Bekotan Saking Kafir Quraisy, Hijrah
Nabi Muhammad saw. berbahasa Jawa yang Dhateng Madinah, Paugeran Madinah,
ditulis oleh krabat atau Abdi Ndalem Keraton Bedhanipun Nagari Makkah dan Haji Wada’.
Yogyakarta. Pembacaan riwayat Maulid Nabi Memasuki bab kelima yang dibahas adalah
ini menjadi rangkaian upacara Sekaten yang tentang sejarah wafatnya Nabi Muhammad
tidak boleh ditinggalkan. Buku sejarah Nabi Saw. pda bab kelima ini diberi judul
berbahasa Jawa ini harus dibaca dari awal ‘Sedanipun Kanjeng Nabi saw’. Adapun sub
sampai akhir. Buku ini berjudul Risalah babnya membahas tentang ‘Pimpinan
Maulid Nabi Muhammad Saw. yang ditulis Agamai Lan Pimpinan Paprintahan dan
oleh KRP. Drs. H. Diponingrat.41 Buku Sumiyaripun Agami Islam’. Kemudian
sejarah nabi ini ditulis cukup ringkas yaitu memasuki bab keenam adalah ‘Panutup’.
dengan ketebalan 43 halaman dan Di bawah ini penulis kutipkan
menggunakan bahasa Jawa khas Keraton sebagian teks sejarah Nabi yang termuat di
Yogyakarta. Buku ini terdiri dari enam bab. dalam buku Risalah Maulid Nabi yang
Pada bab pertama yaitu ‘Mukadimah’ berbahasa Jawa. Pada halaman 38, yaitu pada
membahas tentang sejarah Bangsa Arab bagian penutup diceritakan pentingya
meneladani akhlak nabi.
“Kajawi tuntunan saha
wucalan ingkang saged milujengaken
40
Soepanto, dkk., Upacara Tradisional Sekaten Daerah
Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen
42
Pendidikan dan Kebudayaan, 1991), h. 41. KRP. H. Diponingrat, Risalah Maulid Nabi…, h. 3-
41
KRP. H. Diponingrat, Risalah Maulid Nabi 8.
43
Muhammad SAW, (Yogyakarta: Kawedanan Pengulon KRP. H. Diponingrat, Risalah Maulid Nabi…, h. 8-
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, 2015). 10.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 137


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

gesangipun para manungsa wiwit ing membuktikan bahwa dalam rangka syiar
donya dumugining gesang Islam salah satu cara yang dilakukan oleh
kalanggengan, panutan kita Kanjeng para pendiri Sekaten adalah dengan cara
Nabi Muhammad kakersakaken
menjadikan sejarah nabi bagian dari tradisi
menuntun budi pekerti ingkang sae
dhumateng para manungsa. Dhawuh upaca Sekaten. Pembacaan sejarah nabi
pengandikanipun Panutan kita dalam tradisi upacara Sekaten ini bertujuan
Kanjeng Nabi: Enggonku diutus untuk mengenalkan masyarakat terhdap sang
dening Pangeran iku mung perlu pembawa Islam yaitu Nabi Muhammad Saw.
nyempurnaake budi pelerti kang Dengan ditampilkannya nilai-nilai sejarah
becik”.44 Islam maka masyarakat akan mengenal dan
mencintai Islam. Melalui cerita sejarah ini
Kemudian pada halaman 39-40 diharapkan masyarakat akan lebih mudah
menjelaskan tentang sikap dan tindakan nabi. mengenal dan mengingat Islam dan Nabi
Pada halaman tersebut juga ditegaskan Muhammad sebagai pembawanya.
pentingnya meneladani setiap tidakannya 3. Resepsi Estetis dalam Tradisi Sekaten
nabi:
Resepsi Estetis yang dimaksud adalah
“Tindak tandukipun sarwa
sebuah pagelaran seni-hiburan yang
alus, narik serta jatmika, dhumateng
tamu tangkepipun sae lan rahab. ditampilkan pada rangkaian acara Sekaten
Manawi pinggihan sadherek yang mengandung nilai-nilai Qur’ani. Ada
angrumiyani uluk salam sarta beberapa pagelaran seni-budaya yang
salaman. Manawi tindak kebat bernafaskan Islam yang telah ditampilkan
mboten mandhek tumaleh. pada tradisi Sekaten ini, diantaranya adalah
Panjenenganipun sanget ing berbudi Penampilan Musik Riligius: nasyid, rebana,
langkung-langkung ing wekdal
hadroh; Puitisasi Al-Qur’an; Syair intisari Al-
salebetipun wulan Ramadhan…Bab
dhahar lan ngunjuk sanget ing prasaja, Qur’an, Lomba-lomba Al-Qur’an, pagelaran
punapa wontenipun. Mboten kersa wayang kulit dengan lakon Islami dan
dhahar manawi dereng luwe, manawi lainnya.
dhahar mboten tuwuk- Pada penampilan musik riligius
tuwuk….Kajawi saking punika Rebana, misalnya melantunkan shalawatan
kawuningana, penggalihipun andika
yang sering disebut Asrokolan. Shalawat
Nabi punika sabar, tatag, teteg, saha
lepas salebetipun ngadhepi Asrokolan ini adalah bentuk shalawat atau
kawontenan ingkang kados punapo pujian yang ditujukan dalam rangka
kemawon mboten nate kagungan menyampaikan salam penghormatan kepada
penggalih was-was, nratap, nglokro, Nabi Muhammad saw. Adapun bentuk teks
lan ajrih, kejawi namung dhumateng shalawat Asrokolannya adalah:
Pangeran Ingkang Maha Suci…”.45 Ya> rasu>l sala>mun ‘alaika
(wahai Rasul, semoga kesejahtraan
Buku sejarah nabi ini menjadi bagian atasmu)
penting dalan upacara Sekaten. Pembacaan S}alawa>tulla>hi ‘alaika
(keselamatan dari Allah semoga
riwayat Maulid Nabi ini menjadi bukti bahwa
melimpah kepadamu)
dalam tradisi Sekaten ini masih memeilihara Fakhtafat minhul budu>ru
dan menjunjung tinggi sejarah Islam. Hal ini (maka menjadi samarlah bintang-
bintang karenanya)
44
KRP. H. Diponingrat, Risalah Maulid Nabi…, h. 38.
45
KRP. H. Diponingrat, Risalah Maulid Nabi…, h. 40.

138 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

Qat}t}uha ya> wajhassuru>ri gending yang telah digubah sedemikian rupa


(hanya wajahmu, wahai Rasul, yang dengan nilai-nilai Islam mudah diterima dan
senantiasa dipenuhi kegembiraan) disenangi oleh masyarakat yang
Anta nu>run fauqa nu>ri (engkau menyaksikannya. Maka dengan
bagaikan cahaya di atas cahaya)
Anta mis}ba>hus}s}udu>ri (engkau kecerdasannya, Sunan Kalijaga memadukan
menjadi lentera dalam dada) tradisi Jawa-Hindu pada saat itu dengan
nilai-nilai Islam sehingga tampak indahlah
Pagelaran seni yang bernafaskan nilai- Islam dan mudah diterima.
nilai Islam juga tampak pada pagelaran Jika diperhatikan lebih dalam,
wayang kulit dengan lakon-lakon yang rangkaian acara Sekaten ini dari awal sampai
mengandung nilai-nilai Islam. Dalam tradisi akhir memang merupakan pagelaran Seni dan
upacara Sekaten para pendirinya, yaitu Sunan hiburan. Jika dilihat lebih seksama, tradisi
Kalijaga, berhasil memadukan antara tradisi Sekaten bukan hanya sekedar seni dan
lokal dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, hiburan semata. Namun dibalik pristiwa
lakon Jimat Kalimasada adalah sebuah lakon tahunan ini merupakan pagelaran seni dan
yang menceritakan kesaktian sebuah senjata hiburan yang mengandung pesan nilai-nilai
yang diberi nama “Jimat Kalimasada”. Jimat Islam. Seni dan hiburan ini hanya sebagai
ini adalah milik Prabu Darmokusumo. Beliau sarana untuk mengundang masyarakat agar
adalah saudara tertua dari Pendawa Lima. senang untuk menghadiri upacara Sekaten
Istilah Pendawa Lima sesungguhnya ini. Hal tersebut memang terbukti, setiap
merupakan simbolisme dari Lima Rukun upacara Sekaten dilaksanakan di Alun-alun
Islam, yang meilupti: Syahadat, Shalat, Puasa Utara Keraton Yogyakarta selalu dipenuhi
Rhamadhan, Zakat dan Haji.46 Sedangkan dan dipadati pengunjung dari berbagai
Jimat Kalimasada adalah bentuk representasi daerah. Bahkan para turis dari luar negeri
dari dua kalimat syahadat atau juga disebut banyak yang menyaksikan tradisi Sekaten ini.
Syaha>datain yaitu syahadat tauhid yaitu Seni dan hiburan cukup untuk menjadi daya
Asyhadu alla> ila>ha illalla>h yang berarti Aku tarik tersendiri bagi masyarakat luas dalam
Bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah. menyaksikan pagelaran Sekaten.
Sedangkan syahadat yang kedua adalah 4. Resepsi Eksegesis pada Tradisi Sekaten
syahadat rasul, yaitu wa asyhadu anna> Adapun yang dimaksud dengan
muhammadarrasu>lulla>h yang berarti dan saya resepsi eksegesis adalah bentuk penerimaan
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Al-Qur’an dalam bentuk pemahaman
Allah. masyarakat terhadap nilai-nilai Qur’ani yang
Tujuan dari dilaksanakannya Sekaten ditampilkan dalam tradisi Sekaten.
sendiri memang dalam rangka membumikan Dilaksanakannya tradisi Sekaten ini tentu
nilai-nilai Islam yang ada di dalam Al-Qur’an memiliki tujuan tersendiri. Para pendiri
dengan menggunakan jalan penampilan Seni- Sekaten ingin menyampaikan pesan nilai-
Kebudyaan. Mengapa dengan Seni- nilai Islam melalui budaya Sekaten. Makna
Kebudayaan? Karena pada waktu itu, dibalik pristiwa tahunan ini memiliki arti
masyarakat Jawa, khusunya di sekitar penting dalam sejarah dan tujuannya.
Keraton Yogyakarta menyukai hal-hal yang Menurut KRT Tamdaru, tujuan di
berbau seni sehingga gamelan dan gending- laksanakannya tradisi Sekaten ini, selain
dalam rangka untuk memperingati hari
46 lahirnya Nabi Muhammad saw. Tujuan
H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Zinal Arifin
Thoha, Berguru Pada Jogja…, h. 65.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 139


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

penting lainnya adalah untuk membumikan menggantung, seperti terong, papaya, cabe,
nilai-nilai Al-Qur’an.47 tomat dan sebagainya. Ada juga istilah Polo
Hal tersebut tampak dari penggunaan Kasimpar yaitu jenis buah atau tanaman yang
nama ‘Sekaten’ itu sendiri. Dimana Sekaten bisa kesandung (basa Jawa) atau kena kaki
berasal dari kata Syaha>datain, yaitu dua sewaktu berjalan seperti kacang, kecipir,
kalimat syhadat sebagai bukti dan syarat koro, dan sebgainya. Ada juga Polo
untuk memeluk Islam. Syaha>datain Kependem yaitu jenis-jenis hasil bumi yang
merupakan kalimat esensial dan mendasar terpendam di dalam tanah yaitu seperti
dalam ajaran Islam. Kalimat syahadat ini singkong, kentang, ubi-ubian dan lain
menjadi kata kunci yang tidak bisa sebagainya.49
dipisahkan dalam rangkaian upacara Sekaten. Dampak dari tradisi Sekaten ini bukan
Saking pentingnya kata Syaha>datain ini hanya untuk syiar Islam, namun dapat
kemudian selalu ditampilkan pada sisi kanan memberikan dapak secara luas bagi
dan kiri pintu gerbang Sekaten. Penggunakan masyarakat atau warga Yogyakarta dan
nama Sekaten yang berasal dari kata sekitarnya. Salah satunya adalah
Syaha>datain adalah bentuk membumikan meningkatkan perekonomian yang berbasis
nilai-nilai Al-Qur’an. Selain penggunaan Islam dan Mempererat ukhuwah Islamiyah
nama ‘Sekaten’ yang merupakan pemaknaan antara semua golongan. Mengapa hal tersebut
dari dua kalimat syahdat, dalam tradisi bisa terjadi? Karena perayaan Sekaten ini
Sekaten juga ada hal yang tidak ketinggalan merupakan pagelaran untuk semua golongan,
meriahnya, yaitu rebutan gunungan Sekaten. baik kaya atau miskin dengan latar belakang
Gunungan Sekaten dalam tradisi Sekaten ini agama, suku dan budaya melebur menjadi
dinamakan dengan nama Pardan. Pardan satu dalam tradisi Seakten. Semua bisa
adalah suatu nama gunungan yang dibuat dari menikmati dan ikut andil dalam merayakan
berbagai macam hasil cocok tanam Sekaten.
masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Dari Dampak yang diberikan secara
penelusuran yang telah penulis lakukan, kata ekonomi, misalnya, dapat mewujudkan
Pardan sendiri ternyata berasal dari kata fil perekonomian yang makmur bagi masyarakat
ardi. Yaitu semua tanaman yang berasal dari Yogyakrta dan sekitarnya. Karena pada acara
bumi.48 Sekaten ini mengundang berbagai jenis
Gunugan yang dibuat merupakan hiburan dan berbagai jenis makanan dan
kumpulan makanan-makanan yang dihasilkan pernak-pernik yang dijual. Pada tradisi
dari cocok tanam masyarakt Yogyakarta dan Sekaten tahun 2015 kamaren turut
sekitarnya. Namun tidak sembarangan dalam dimeriahkan sekitar 800 stand dari berbagai
menentukan jenis makanan yang hendak jenis hiburan dan makanan dan segala jenis
dijadikan gunungan tersebut. Biasanya jenis pernak-pernik yang dijual. Hal ini secara
makanan yang digunakan dalam gunungan tidak langsung turut memberikan pengaruh
adalah makanan berjenis Palawija. Dalam cukup besar terhadap tumbuh dan
tradisi Jawa ada istilah Polo Gumantung berkembangnya perekonomian masyarakat
yaitu jenis buah-buahan yang buahnya Yogyakarta dan sekitarnya.
Dalam tradisi Sekaten, masyarakat
47
Wawancara dengan K.R.M.T. Mangunkusumo, di meyakini bahwa banyak keberkahan yang
Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta, pada 11
Desember 2015.
48 49
Wawancara denan K.R.M.T. Mangunkusumo di Wawancara dengan M.R. Sostrodirjo (Bupati Anom),
Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta pada 11 di Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta pada 11
Desember 2015. Desember 2015.

140 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

bisa di dapat, salah satunya adalah udhik- di Yogyakarta. Pemahaman-pemahaman


udhik yang disebarkan oleh Sri Sultan terhadap teks keagamaan tertulis tersebut
Hamengkubuwono ke 10. Udhik-udhik ini terus berklanjut dari satu generasi ke generasi
berasal dari jenis-jenis bunga seperti bunga selanjutnya. Namuan menurut Azyumardi
melati, mawar dan lainnya. Dalam Udhik- Azra, bahwa teks-teks keagamaan itu tetap
udhik juga terdapat beras merah dan uang terkait erat dengan scripture awal dan dasar.
recehan. Masyarakat meyakini bahwa barang Sebab itu, keliru jika orang memandang
siapa yang bisa mendapatkan uang recehan masyarakat keagamaan sebagai teks sosial-
atau udhik-udhik yang lainnya akan kultural belaka—sebagaimana yang telah
mendapatkan keberkahan hidup, terutama dilakukan Geertz—yang tidak ada
52
dalam hal rezeki. Di sini Islam dimaknai hubungannya dengan scriptures.
sebagai agama yang ramah terhadap tradisi- Masuknya Islam ke tanah Jawa telah
tradisi lokal. Terutama dengan hal-hal yang menandai perjumpaan kedua tradisi yang
berbau kejawen. berbeda yaitu Islam dan Jawa. Peralihan
Menurut Sri Sultan, pada dasarnya kekusaan dari kerajaan Jawa-Hindu
Sekaten memiliki dua makna: pertama Majapahit kepada kerajaan Jawa-Islam
Sekaten sebagai peristiwa budaya dalam arti Demak, berarti pula pertemuan langsung
luas, dan kedua Sekaten sebagai peristiwa antara kebudayaan-kebudayaan Jawa dengan
pariwisata dalam arti sempit. Sebagai kebudayaa Islam. 53 Dari sinilah dimulainya
peristiwa budaya Sekaten merupakan akulturasi Islam dengan budaya Jawa.
kegiatan budaya sekaligus religius yang Berdirinya kerajaan Demak sekaligus
sudah berumur ratusan tahun yang pada menandakan mulai surutnya kerajaan-
awalnya dibangun oleh Sunan kalijga.50 kerajaan Hindu yang pada saat itu
Disini, kata Sekaten yang merupakan bentuk merupakan agama tertua di Nusantara. Sejak
pengejawantahan dari kata Syaha>datain, atau saat itu Islam muali menyebar keseluruh
dua kalimah syahadat yang menjadi strategi penjuru Tanah Jawa, tidak terkecuali di
para Wali Songo pada waktu itu dalam Yogyakarta. Pada masa berkembangnya
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, para ulama
khususnya di daerah Yogyakarta. atau pemimpin agama saat itu merupakan
bagian tidak terpisahkan dengan
E. SEKATEN: PRIBUMISASI AL-QUR’AN pemerintahan. Pemerintahan dan para
DENGAN INTEGRASI AGAMA, BUDAYA pemimpin agama pada saat itu merupakan
dwitunggal elit yang tidak terpisahkan dalam
DAN EKONOMI
menyebarkan agama Islam. Maka tidak heran
Pemahaman terhadap teks kitab suci
jika pada Zaman Mataram, Sultan Agung
Al-Qur’an tidak dapat dipungkiri telah
pada saat itu memiliki gelar Sayidin
mempengaruhi pola kehidupan sosial-kultural
Panatagama. Begitupun dengan raja-raja di
masyarakat muslim di Indonesia,51 khususnya
Surakarta yang memiliki gelar Sunan, yaitu
gelar tertinggi pempin agama Islam di Jawa.
50
Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10, “Pidato
Sambutan Pembukaan Sekaten 2015” tidak
52
diterbitkan. Zyumardi Azra, “Pengantar: Santri-Abangan
51
Lihat, M. Nurdin Zuhdi, “Hermeneutika al-Qur’an Reviseted” dalam M. Bambang Pranowo, Memahami
Tipologi Tafsir Sebagai Solusi dalam Memecahkan Islam Jawa, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), h. XIII.
53
Isu-Isu Budaya Lokal Keindonesiaan” dalam Esensia: Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin,Vol. XIII, No. 2, Juli Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid
2012. Hidayat Jati, (Jakarta: UI Press, 1988), h. 22.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 141


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

Para ulama Walisongo dan para umara (raja) menjadi sarana untuk mengadakan
Mataram berhasil menyebarkan ajaran Islam, hubungan antara manusia dengan
namun juga sekaligus berhasil dalam Tuhan, manusia dengan manusia, dan
dengan alam sekitarnya. hal ini yang
mempertahankan budaya lokal khas Jawa,
harus dapat dipahami oleh masyarakat
khusunya Keraton Yogyakarta. Pada saat itu khusunya generasi muda dalam ikut
para Raja Mataram tidak bisa terpisahkan serta melestarikan nilai-nilai budaya
dari ulamanya.54 Jika menilik sejarah Jawa.”56
perkembangan Islam pada era Mataram dan
juga menyimak banyaknya kitab-kitab jawa Dengan demikian, menurut Sri Sultan,
yang ditulis dalam bentuk huruf Arab Pegon secara substansial Sekaten memiliki peran
(Jawa), sesungguhnya selama berabad-abad, penting dalam ranah kebudayaan dan
kebudayaan Jawa dan Islam telah sedemikian lokalitas jawa. Sekaten bekerja sebagai suatu
dekat dan menyatu. 55 system integrative antara akulturalisme
Walaupun pada perkembangan budaya jawa dengan nilai-nilai keislaman.
selanjutnya ada kelompok yang ingin Integrasi nilai-nilai kejawen dengan nilai
memisahkan antara Jawa dengan Islam ajaran Islam menghasilkan suatu system
dengan alasan bahwa Islam haruslah Murni. kepercayaan yang membumi dan mudah
Islam jangan sampai bercampur dengan diterima msyarakat.
budaya Jawa yang memiliki banyak warisan ‘Harmoni Religi, Budaya dan
budaya Hindu. Menurut kelompok yang ingin Ekonomi untuk Jogja Istimewa’, itulah tema
memisahkan Islam dengan Jawa, Islam harus Sekaten 2015. Tema ini sengaja diangkat
dibersihkan dari pengaruh budaya Jawa. kembali dengan tujuan agar segitiga
Namun bagi kelompok yang tidak setuju, pembangunan Yogyakarta dapat seimbang.
mereka berpendapat bahwa Islam dan Budaya Ketiga sinergisitas tersebut adalah agama,
Jawa tidak perlu dipisahkan. Karena budaya dan ekonomi. Menurut Sri Sultan,
pertemuan antara Islam dan budaya Jawa ini ketiga pilar ini dapat diimplementasikan
dapat menjadikan Islam lebih membumi dan sebagai perwujudan yang akan bisa dijadikan
mudah diterima masyarakat luas di Jawa. pengingat jati diri bangsa untuk membangun
Dalam sambutannya, Sri Sultan Indonesia ke depan agar menjadi bangsa yang
Hamengku Buwono ke 10, menegaskan lebih baik.57 Selain sebagai sarana interaksi
bahwa: warga masyarakat dalam sektor ekonomi,
“Budaya Sekaten merupakan budaya dan agama, perayaan Sekaten juga
tradisi yang mencakup adanya menjadi daya tarik tersendiri bagi sektor
kepercayaan atau keyakinan bahwa pariwisata di Yogyakarta.
dibalik semua sarana upacara Sekaten Jika dicermati, ketiga elemen tersebut
mengandung makna dan simbol
merupakan bentuk integrasi yang menarik
perwujudan keyakinan manusia
terhadap hal-hal yang transenden dan antara sisi duniawi dengan sisi rohani
yang bersifat ilahiyah. Upacara manusia yang diharapkan akan dapat
Sekaten pada hakekatanya merupakan menjadikan masyarakat Indonesia, khusunya
sarana penyebaran agama Islam. Yogyakarta menjadi lebih baik. Harmonisasi
Namun dalam perkembangannya
56
Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10, “Pidato
54
Subchan Mustofa, “Merajut Kembali Kesatuan Sambutan Pembukaan Sekaten 2015” tidak
Budaya Jawa dan Islam” dalam Suara Merdeka 17 diterbitkan.
57
Agustus 1997, h. 10. Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10, “Pidato
55
Subchan Mustofa, “Merajut Kembali Kesatuan…”, Sambutan Pembukaan Sekaten 2015” tidak
h. 10. diterbitkan.

142 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

inilah yang merupakan sebuah tradisi budaya Tuhanpun hadir dalam kemanusiaan aktual.59
leluhur yang dapat menjaga dan menjadi Sehingga lewat tradisi dan kebudayaannya,
benteng sosial bagi maraknya budaya asing masyarakat dapat mencari dan menemukan
yang tidak bisa ditolak lagi keberadannya eksistensi dirinya dalam berhubungan dengan
dengan adanya perkembagan ilmu Tuhan. Inilah makna filosofis di balik
pengetahuan dan teknologi modern saat ini.58 perayaan Sekaten. Dalam rangkaian upacara
Segitiga yang terbentuk antara Keraton Sekaten, masyarakat diharapkan dapat
sebagai pusat budaya, Masjid Agung sebagai menempatkan kebudayaan dan kearifan lokal
pusat agama dan Pasar Bringharjo sebagai sebagai lakus iman dalam berkomunikasi
pusat ekonomi. Ketiga elemen tersebut dengan Tuhan. Dari hal tersebut, terciptalah
menyiratkan simbol betapa mendalamnya aktualisasi kebudayaan yang tidakhanya
bagaimana harmonisasi kehidupan mencerminkan sinkritisme dan akulturalisme,
masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya melainkan juga penuh sakralitas dan nuansa
berlangsung. Sekaten, selain sebagai keislaman serta keimanan.60
fenomena sosial-budaya, tujuan Sri Sultan juga menegaskan bahwa
diselenggarakannya Sekaten adalah dalam kebudayaan hendaknya menjadi jalan
rangka ajang promosi niaga dan pariwisata. mencapai dan menuju Tuhan ketika
Karena Yogyakarta sendiri merupakan kota kualifikasi Ilahiah kebudayaan Islam
pendidikan dengan banyak tempat-tempat dijalankan masyarakat dan budaya tidak
wisatanya maka tepat sekali jika Sekaten dianggap sebagai lawan doktrinal ajaran
sekaligus dijadikan ajang promosi wisata. Islam. Jika dicermati, sejarah telah mencatat
Sehingga masyarakat yang datang bahwa banyak budaya local Jawa yang
berkunjung, selain mendapatkan hiburan, dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
masyarakat juga akan mengetahui apa makna mudah diterima dalam penyebarannya. Hal
esensial sesungguhnya yang ada dibalik tersebut tampak ketika Wali Songo, salah
taradisi Sekaten. Jelas bahwa Sekaten satunya dalah Sunan Kalijga dengan arif,
memiliki fokus pada nilai agama, budaya, cerdas dan bijaksana memodifikasi
pameran, promosi, serta hiburan. Tidak hanya kebudayaan dan tradisi Jawa dengan nilai-
menguntungkan secara ekonomi semata, nilai Islam sehingga Islam mudah diterima
namun juga dapat menumbuhkan potensi- dan membumi. Dan taradisi Sekaten dengan
potensi tradisi budaya lainnya. segala macam rangkaian upacaranya
Menurut Sri Sultan, puncak upacara merupakan perpaduan antara seni musik
Sekaten yang ditandai dengan grebeg gamelan dan dakwah Islam. Sehingga budaya
maulud, merupakan bentuk upaya manusia lokal menjadi lebih menarik dan Islami.
dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai Dengan demikian terciptalah sebuah
Islam dengan mencari serta menghampiri akulturasi budaya lokal dengan nilai-nilai
Tuhan. Sedangkan kebudayaan merupakan keislaman yang akan dapat memperkaya
sintesis segala realita sintesis ketuhanan dan khazanah peradaban manusia, khususnya bagi
kemanusiaan. Kebudayaan merupakan sebuah bangsa Indonesia yang memiliki
ritus–ritus yang hidup dan aktual dimana
manusia hadir di dalam perjamuan Tuhan dan 59
Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10, “Pidato
Sambutan Pembukaan Sekaten 2015” tidak
diterbitkan.
58 60
Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10, “Pidato Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10, “Pidato
Sambutan Pembukaan Sekaten 2015” tidak Sambutan Pembukaan Sekaten 2015” tidak
diterbitkan. diterbitkan.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 143


M. Nurdin Zuhdi, Sawaun

kemajemukan. ketiga elemen ini diharapkan dapat menjaga


dan menjadi benteng sosial bagi maraknya
F. SIMPULAN budaya barat yang sudah masuk dan
Dari uraian di atas, maka dapat berkembang di tengah masyarakat. Integrasi
diambil kesimpulan bahwa tradisi upacara ketiga elemen ini diwakili oleh tiga simbol
Sekaten bukanlah merupakan fenomena peradaban penting bagi warga masyarakat
sosial-budaya semata, namun ada makna Yogyakarta dan sekitarnya, yaitu segitiga
filofis yang mendalam dibalik peristiwa yang terbentuk antara Keraton Yogyakarta
tahunan tersebut. Tradisi Sekaten sebagai pusat budaya, Masjid Agung sebagai
menempatkan kebudayaan dan kearifan lokal pusat agama dan Pasar Bringharjo sebagai
sebagai lokus iman dalam berkomunikasi pusat ekonomi.
dengan Tuhan. Sehingga terciptalah
aktualisasi kebudayaan yang tidak hanya DAFTAR PUSTAKA
mencerminkan sinkritisme dan akulturalisme
melainkan juga penuh sakralitas dan nuansa A. Daliman, Upacara Garebek di Yogyakarta:
keislaman serta keimanan. Perjumpaan antara Arti dan Sejarahnya, Yogyakarta:
nilai-nilai Islam dengan budaya lokal Ombak, 2012.
merupakan bukti adanya resepsi antara Ahmad Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: dari
Pewahyuan Ke Resepsi (Sebuah Awal
agama dan budaya. Adapaun bentuk-bentuk
Pencarian Metodologis)” dalam
resepsi Al-Qur’an dalam budaya Sekaten Sahiron Syamsudin (ed.), Islam,
yang telah ditemukan dalam penelitian ini Tradisi, dan Peradaban, Yogyakarta:
ada empat: resepsi simbolis, resepsi historis, Bina Mulia Press, 2012.
resepsi estetis dan resepsi eksegesis. Pertama, Artikel “Jangan Lupa Misi Dakwah Sekaten”,
Resepsi simbolis adalah bentuk resepsi atau dalam Majalah Bakti Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Daerah
penerimaan nilai-nilai Qur’ani ke dalam
Istimewa Yogyakarta, 236/Februari,
budaya Sekaten dalam bentuk simbol-simbol 2011, h. 4.
tertentu. Kedua, resepsi historis yaitu B. Soelarto, Garebeg Kesultanan Yogyakarta,
penerimaan Al-Qur’an ke dalam budaya Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Sekaten dalam bentuk cerita sejarah yang Edi Sedyawati, Kebudayaan di Nusantara:
mengandung nilai-nilai Qur’ani. Ketiga, dari Keris, Tor-tor sampai Industri
resepsi estetis yaitu bentuk penerimaan Al- Budaya, Jakarta: Komunitas Bambu,
2014.
Qur’an dalam budaya Sekaten yang
H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Zinal
bernuansa kesenian yang mengandung nilai- Arifin Thoha, Berguru Pada Jogja:
nilai Qur’ani. Keempat, resepsi eksegesis Demokrasi dan Kearifan Kultural,
yaitu bentuk penerimaan Al-Qur’an dalam Yogyakarta: Kutub, 2005.
bentuk pemahaman masyarakat terhadap Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Menafsir ‘Al-
nilai-nilai Qur’ani yang ditampilkan dalam Qur’an yang Hidup’, Memaknai Al-
tradisi Sekaten. Sekaten menjadi fenomena Qur’anisasi Kehidupan: Perspektif
Antropologi Budaya”, Makalah
sosial-religious yang memaduakan tiga
Seminar “Living Qur’an: Al-Qur’an
elemen penting, yaitu agama, budaya dan sebagai Fenomena Sosial Budaya”,
Ekonomi. Ketiga eleman yang bersinergi ini Yogyakarta, 13-15 Maret 2005.
membuktikan adanya keseimbangan antara Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Al-
sisi duniawi dengan sisi rohani manusia yang Qur’an: Beberapa Perspektif
diharapkan akan dapat menjadikan hidup Antropologi”, dalam Jurnal
masyarakat menjadi lebih baik. Integrasi
Walisongo, Vol. 20, No. 1, Mei 2012.

144 Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017


Dialog Al-Qur’an dengan Budaya Lokal Nusantara

KRP. H. Diponingrat, Risalah Maulid Nabi Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah


Muhammad SAW, Yogyakarta: Penelitian dalam Studi Al-Qur’an dan
Kawedanan Pengulon Karaton Hadis”, dalam M. Mansyur dkk.,
Ngayogyakarta Hadiningrat, 2015. Metodologi Penelitian Living Qur’an
M. Mansyur, “Living Qur’an dalam Lintasan dan Hadis, Yogyakarta: TH-Press,
Sejarah Studi Qur’an” dalam dalam 2007.
M. Mansyur dkk., Metodologi Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap
Yogyakarta: TH-Press, 2007. Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta: UI
M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: Press, 1988.
dari Kontestasi Metodologi hingga Soepanto, dkk., Upacara Tradisional Sekaten
Kontekstualisasi, Yogyakarta: Daerah Istimewa Yogyakarta,
Kaukaba Dipantara, 2014. Yogyakarta: Departemen Pendidikan
M. Nurdin Zuhdi, “Hermeneutika al-Qur’an dan Kebudayaan, 1991.
Tipologi Tafsir Sebagai Solusi dalam Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10, “Pidato
Memecahkan Isu-Isu Budaya Lokal Sambutan Pembukaan Sekaten 2015”
Keindonesiaan” dalam Esensia: Jurnal tidak diterbitkan.
Ilmu-ilmu Ushuluddin,Vol. XIII, No. Subchan Mustofa, “Merajut Kembali
2, Juli 2012. Kesatuan Budaya Jawa dan Islam”
M. Nurdin Zuhdi, “Menyusuri Jejak Living dalam Suara Merdeka 17 Agustus
Qur’an dalam Mantra-Mantra Orang 1997.
Rimba: Teori Baru Tentang Suyami, Upacara Ritual di Keraton
Penyebaran Islam di Komunitas Suku Yogyakarta Refleksi Mithologi dalam
Anak Dalam di Hutan Rimba Bukit Budaya Jawa, Yogyakarta: Kepel
Duabelas, Jambi, Sumatera”, dalam Press, 2008.
Makalah Annual International Yuwono Sri Suwito, dkk., Nilai Budaya dan
Conference Islamic Studies (AICIS ke Filosofi Upacara Sekaten di
XV), di IAIN Manado, Sulawesi, Yogyakarta, Yogyakarta: Dinas
September 2014. Pariwisata dan Kebudayaan Kota
Nanik Herawati, Mutiara Adat Jawa, Klaten: Yogyakarta, 2010.
PT Macanan Jaya Cemerlang, 2010. Zyumardi Azra, “Pengantar: Santri-Abangan
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of Reviseted” dalam M. Bambang
the Qur’an as Reflected in Early Pranowo, Memahami Islam Jawa,
Muslim History,” dalam Issa J. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011.
Boullata, (Ed.), Literary Structures of Wawancara dengan K.R.M.T.
Religious in the Qur’an, Great Mangunkusumo, di Ndalem
Britain: Curzon, 2000. Pakualaman, pada 11 Desember 2015.
Nur Khaolis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Wawancara dengan K.R.T. Sostrodirjo
Sastra Terbesar, Yogyakarta: elSAQ (Bupati Anom), di Perpustakaan
Press, 2005. Pakualaman Yogyakarta pada 11
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Desember 2015.
Teknik Penelitian Sastra Dari Wawancara dengan Purwadi, saat pembukaan
Strukturialisme Hingga Sekaten 2015 di Alun-alun Utara
Posstrukturialisme Narasi Wacana Keraton Yogyakarta, pada 4
Perspektif, Yogyakarta: Pustaka Desember, 2014.
Pelajar, 2008.
Otong Sulaeman, Estetika Resepsi Dan
Intertekstualitas: Perspektif Ilmu
Sastra Terhadap Tafsir Al-Qur’an,
dalam Tanzil: Jurnal Studi Al-Quran,
No. 1, Oktober 2015.

Maghza Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2017 145

Anda mungkin juga menyukai