Anda di halaman 1dari 27

PEMIKIRAN EKONOMI YAHYA BIN UMAR (213-289 H)

DAN AL-MAWARDI (364-450 H/974-1058 M)


Tugas ini disusun Untuk Memenuhi

Tugas Mata Kuliah: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Dosen Pengampu : Nurul Inayah, M.E

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 6

ANGGI SAFITRI SEMBIRING 0502193238

NURHABIBAH RAHMADANI SIREGAR 0502192072

VANIA ANANDA NASHUHA HARAHAP 0502191032

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA

TA:2021/2022
KATA PENGANTAR

‫الر ِحيم‬
‫الرحْ َم ِن ه‬
‫َّللا ه‬
ِ ‫س ِم ه‬
ْ ‫ِب‬

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga makalah mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam ini dapat terselesaikan dengan
baik, meskipun jauh dari kata sempurna. Selawat dan salam kita hadiahkan kepada Nabi besar
Muhammad saw. beserta keluarga dan para pengikutnya.

Makalah ini membahas tentang “PEMIKIRAN EKONOMI YAHYA BIN UMAR (213-289
H) DAN AL-MAWARDI (364-450 H/974-1058 M)” Untuk itu kami membuat makalah ini untuk
menambah pengetahuan dan wawasan kita sebagai manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk itu kami mengharapkan sebesar-besarnya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita , serta
dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Terimakasih banyak atas partisipasi dan dukungan pihak-pihak yang terkait dalam
pembuatan makalah ini. Tak lupa kami mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan
ataupun kata-kata yang menyinggung didalam makalah ini. Karena sesungguhnya kesempurnaan
hanya milik Allah SWT dan kekurangan hanya milik kami sebagai manusia

Medan, 16 April 2022

Pemakalah

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ ..2

C. Tujuan ............................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup ................................................................................................................. 3

B. Kitab Al-Ahkam Al-Suq ....................................................................................................5

C. Pemikiran Ekonomi .......................................................................................................... ...7

D. Wawasan Modren Teori Yahya Bin Umar ..........................................................................9

E. Pemikiran Ekonomi .......................................................................................................... 16

F. Negara dan Aktivitas Ekonomi .......................................................................................... 17

G. Perpajakan............................................................................................................................18

H. Baitul Mal............................................................................................................................19

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 23

B. Saran ................................................................................................................................. 23

Daftar Pustaka .................................................................................................................... 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada 1970-an.
tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi
Muhammmad Saw. Karena rujukan utama pemikiran islami adalah Alquran dan Hadits maka
pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan ditunkannya Alquran dan masa
kehidupan Rasulullah Saw pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa tersebut
banyak sarjama muslim yang memeberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi.

Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu memiliki dasar argumentasi relijius dan
sekaligus intelektual yang kuat serta -kebanyakan- didukung oleh fakta empiris pada waktu itu.
Banyak di antaranya juga sangat futuristik di mana pemikir-pemikir Barat baru mengkajinya
ratusan abad kemudian. Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir muslim banyak mengisi
khasanah pemikiran ekonomi dunia pada masa dimana Barat masih dalam kegelapan (dark age).
Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan dalan berbagai bidang.
Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi
seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan manusia didasarkan pada keinginanannya
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi inipun dimulai dari zaman nabi Adam
hingga detik ini, meskipun dari zaman ke zaman mengalami perkembangan.

Setiap masa manusia mencari cara untuk mengembangkan proses ekonomi ini sesuai
dengan tuntuan kebutuhannya. Tidak terlepas dari itu, Islam yang awal kejayaannya di masa
Rasulullah juga memiliki konsep system ekonomi yang patut dijadikan bahan acuan untuk
mengatasai permasalahan ekonomi yang ada saat ini. Oleh karena itu salah satu hal yang
mendasari dilakukannya penulisan ini adalah untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang
tersistematik yang pernah dilakukan pada zaman nabi Muhammad yang merupakan zaman awal
kegemilangan Institusi Islam sebelum hancur di tahun 1924

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Riwayat Hidup mereka?

2. Apa itu kitab Al-ahkam Al-suq?

3. Apa saja pemikiran ekonominya?

4. Apa saja wawasan modern teori yahya bin umar?

5. Apa saja pemikran ekonominya?

6. Bagaimana negara dan aktivitas ekonominya?

7. Apa saja perpajakannya?

8. Apa itu baitul mal?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui bagaimana Riwayat Hidup mereka.

2. Untuk mengetahui apa itu kitab Al-ahkam Al-suq.

3. Untuk mengetahui apa saja pemikiran ekonominya.

4. Untuk mengetahui apa saja wawasan modern teori yahya bin umar.

5. Untuk mengetahui apa saja pemikran ekonominya.

6. Untuk mengetahui bagaimana negara dan aktivitas ekonominya.

7. Untuk mengetahui apa saja perpajakannya.

8. Untuk mengetahui apa itu baitul mal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup

➢ Yahya bin Umar

Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama
lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi lahir pada tahun 213 H
dan dibesarkan di kordova, Spanyol. Seperti para cendikiawan Muslim terdahulu, ia berkelana ke
berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya ia bersinggah di Mesir berguru kepada para
pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al- Qasim, setelah itu pergi ke Hijaj dan
berguru, diantaranya yaitu berguru kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri. Akhirnya Yahya bin Umar
menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli
ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi dan ide ide yang di
kembangkan cukup brilian yang di tuangkan ke dalam karya tulis ilmiah. Dalam perkembangan
selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan.

Yahya bin Umar merupakan salah satu ulama' abad III H dari madzhab Maliki yang
sangat produktif dalam menuangkan ide-idenya menjadi karya tulis yang bermanfaat bagi orang
banyak. Karya tulis yang sudah berhasil dibukukan ±dari 40 juz, diantaranya adalah kitab
"Ahkam as-Suq." Sebuah kitab yang membahas tentang persoalan-persoalan ekonomi.

Perkembangan selanjutnya ia menjadi pelajar di Jami’ Al-Qairuwan. Pada masa hidupnya


ia terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu
oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan Yahya bin Umar terpaksa pergi
dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para
ulama penentangnya. Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi
menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilih tetap
tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ al-Sabt hungga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat
pada tahun 289 H (901 M)1

1 Adiwarman Azwar Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Jilid Kedua, hlm. 261-262.

3
➢ Al-Mawardi
Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i lahir di
kota Basrah pada tahun 364 H ( 974 M ). Setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan
Baghdad selama dua tahun, ia berkelana ke berbagai negeri islam untuk menuntut ilmu. Di antara
guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan bin Ali bin Muhammad Al-Jabali, Muhammad bin Adi
bin Zuhar Al-Manqiri, Ja’far bin Muhammad bin Fadhl Al-Baghdadi, Abu Al-Qasim Al-
Qusyairi, Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi dan Ali Abu Al-Asyfarayini.

Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab syafi’i ini dipercaya memangku
jabatan qadhi (hakim) di berbagai negeri secara bergantian. Setelah itu, Al-Mawardi kembali ke
kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian diangkat sebagai Hakim Agung pada masa
pemerintahan khalifah Al-Qaim bi Amrillah Al Abbasi. Sekalipun hidup di masa dunia Islam
terbagi ke dalam tiga dinasti yang saling bermusuhan, yaitu Dinasti Abbasiyah di Mesir, Dinasti
Umawiyah II di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Al-Mawardi memperoleh
kedudukan yang tinggi di mata para penguasa di masanya. Bahkan, para penguasa Bani Buwaihi,
selaku pemegang kekuasaan pemerintahan Baghdad, menjadikannya sebagai mediator mereka
dengan musuh-musuhnya.

Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar dan menulis. Al-Hafidz
Abu Bakar Ahmad bin Ali-Khatib Al-Baghdadi dan Abu Al-Izz Ahmad bin Kadasy merupakan
dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputi
berbagai bidang kajian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, seperti Tafsir al-Qur’an
al-Karim, al-Amtsal wa al-Hikam, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab ad-Dunya wa ad-Din,
Siyasah al-Maliki, Nashihat al-Muluk, al-Ahkam ash-Shulthaniyyah, An-Nukat wa al-‘Uyun,
dan siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al-Maliki. Dengan mewariskan berbagai karya tulis yang
sangat berharga tersebut, Al-Mawardi meninggal dunia pada bulan Rabiul Awal tahun 450 H
(1058 M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun.

2 Abdullah Boedi, “Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam”, (Bandung:CV Pustaka Setia 2010), hlm. 193-194

4
B. Kitab Al-Ahkam Al-Suq

Semasa hidupnya, di samping aktif mengajar,karya tulis yang di tulis oleh Yahya bin
Umar juga banyak menghasilkan hingga mencapai 40 juz. Di antara beberapa karyanya yang
terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtishar al Mustakhrijah fi al fiqh al Maliki dan kitab
Ahkam al-Suq.

Kitab al-kam al-suq yang membahas tentang persoalan ekonomi yang di hasilkan
dialektika dengan lingkungannya yang berasal dari benua afrika yang merupakan tempat yang
mempunyai institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H. Pada abad ketiga hijriyah ini
merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum
pasar, taksir (penetapan harga), satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan–
pembahasan fiqh pada umumnya, dan para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al
Muhibli hingga sebelum masa Ja’far al Manshur, sangat memerhatikan keberadaan institusi pasar.
Bahkan, pada tahun 234 H., Qanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut,
mengangkat seorang hakim yang khusus menangani permasalah-permasalahan pasar. Dengan
demikian, pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua keistimawaan, yaitu:

1. Konstitusi pasar yang mendapat perhatian dan pengaturan khusus yang memadai dari
seorang penguasa.

2. Lembaga peradilan, dimana adanya seorang hakim yang menangani masalah yang ada di
pasar.
Tentang kitab Ahkam al Suq, Yahya bin Umar menjelaskan bahwa penulisan kitab yang
tulisnya ini di latar belakangi oleh persoalan-persoalan besar yang mendasari penulisan kitab ini
yaitu, pertama, hukum syara’ perdaganagn suatu wilayah tentang perbedaan kesatuan timbangan
dan takaran, kedua hukum syara’ akibat pemberlakuaan liberalisasi harga tentang harga gandum

3 Mustain.“Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim.” (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Kependidikan IAIN Mataram.) 17 (Juni 2013) hlm: 191-212.

5
yang tidak terkendali, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para
konsumen Dengan demikian, kitan Ahkam al Suq sebenarnya merupakan penjelasan dari
jawaban kedua persoalan tersebut.

Penulisan Kitab Ahkam Al Suq, dilatarbelakangi dua persoalan mendasar yaitu :

1. Hukum syara tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam
suatu wilayah.

2. Hukum syara tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan
liberalisasi harga, sehingga dikhawatikan akan menimbulkan kemudharatan bagi para
konsumen.
Yahya bin Umar diyakini mengajarkan kitab tersebut pertama kali di Kota Sausah pada masa
pasca konflik.

Yahya bin umar menjelaskan secara komprehensif yang disertai dengan diskusi panjang
akibat persoalan yang sudah di jelaskan di atas, hingga melampaui jawaban yang diperlukan.
Sebelum menjawabnya, yahya bin umar menulis mukaddimah atau pembukaan secara terperinci
dan seksama mengenai berbagai tanggung jawab pemerintah, seperti kewajiban melakukan
inspeksi pasar, mengontrol dan takaran, serta mengungkapkan perihal mata uang atau yang
sering di kenal dengan ekonomi kotemporer monopoly’s rent-seeking (ihtikar) dan dumping
Policy (siyasah al-ighraq). Jika dilihat dari sisi metode pembahasan, hal ini berarti bahwa
pembhasan dalam kitab Ahkam al Suq lebih banyak menggunakan metode presentasi dan
kategorisasi.

Yahya bin umar di ketahui dan diyakini mengajarkan kitab tersebut untuk pertama
kalinya di kota Sausah pada masa pasca konflik yang terjadi pada masa itu. Dalam
perkembangan berikutnya, terdapat dua riwayat tentang kitab ini, riwayat al Qashri yang
sekarang kita pelajari dan riwayat al Syibli.

4 Ibid., hlm. 285-289.

6
C. Pemikiran Ekonomi

Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
ketakwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan
asas dalam perekonomian islam, sekaligus faktor utama yang membedakan Ekonomi Islam
dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, disamping al-Qur’an, setiap muslim harus
berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi Muhammad SAW dalamm
melakukan setiap aktivitas ekonominya. Seperti yang telah disinggunmg, fokus perhatian Yahya
bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksi dalam pembahasan
tentang tas’ir (penetapan harga). Penetapan harga (al-tas’ir) merupakan tema sentral dalam kitab
Ahkam al-suq. Terkait dengan hal tersebut, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-
ta’ir (penetapan harga) tidak boleh dilakukan . Ia berhujjah dengan dengan berbagai hadist Nabi
Muhammad SAW, antar lain:

Dari Annas bin Malik, ia berkata: “telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rasulullah
SAW. Mereka (para sahabat) berkata: ”wahai Rasulullah, tetapkanlah harga kami.” Rasulullah
menjawab: “sesungguhnya Allahlah yang menguasai (harga), yang memberi rizki, yang
memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan Allah dan
tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk melakukan suatu kezaliman dan persolan jiwa dan
harta. “ (Riwayat Abu Daud)

Dari hadist diatas tampak jelas bahwa Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan
harga(tab’ir) jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan
permintaan yang alami. Dengan kata lain, dalam hal demikian pemerintah tidak mempunyai hak
dalam intervensi harga. Hal ini akan berbeda jika kenaikan harga diakibatkan oleh
manusia (human error). Pemerintah, sebagai institui formal memiliki tanggungjawab
menciuptakan kesejahteraan umum, tidak melakukan intervensiharga ketika terjadi aktivitas yang
dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas. Yahya bin umar menyatakan bahwa
pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:5

5 Ali Abdur Rasul, “Al-Mabadi’ al- iqtishadiyyah fi al-Islam” (Beirut: Dar al-Fikr al Arabi, 1980), Cet. Ke-2, hlm.
101

7
a) Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat
dibutuhkan mesyatakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta
merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang
tersebut dari pasar serta menggantikanya dengan para pedagang yang lain
berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum. 6

b) Para pedagang melakukan praktik siyasah al-iqraq atau banting harga (dumping) yang
dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga
pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk
menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga yang ebrlaku di pasar. Apabila mereka
menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang dari pasar. Hal ini pernah
dipraktikan Umar bin Khatab ketika seorang pedagang kismismenjual barang daganganya
dibawah harga pasar. Ia memberikan pilihan kepada pedagang tersebut, apakah menaikan
harga sesuai yang berlaku atau berbeda dengan pasar.7
Pernyataan yahya bin Umar tersebut jelas mengindikasikan bahwaa hukum
asal intervensi pemerintah adalah haram. Intervensi dapat dilakukan jika kesejahteraan
masyarakat umum terancam. Hal ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada pemerintah
dalam mewujudkan keadilan sosial di setiap aspek kehidupan masyarakat termasuk ekonomi. Di
samping itu, pendapatnya yang melarang praktik penetapan harga tersebut sekaligus
menunjukkan yahya bin Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan
kepemilikan.

Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar,
yakni kekuatan penawaran (supplay) dan permintaan (demand). Namun Yahya bin Umar
menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-
kaidah tersebut adalah pemerintah berhak melakukan intervensi ketika tindakan sewenang-
wenang dalam pasar yang dapat menimbulakan kemudharatan bagi masyrarakat,
termasuk ikhtikar dan dumping. Dalam hal ini pemerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan

6 Ali Abdur Rasul, “Al-Mabadi’ al- iqtishadiyyah fi al-Islam” (Beirut: Dar al-Fikr al Arabi, 1980), Cet. Ke-2, hlm.
101-102

7 Ibid., hlm. 285-289.

8
itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang diberikan terhadap pelaku tersebut adalah
berupa larangan melakukan aaktivitas di pasar, bukan berupa hubungan maliyah. Menurut Dr.
Rifa’at al-Aududi, pernytaan Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga
(dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah. Namun, pelarangan
tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Tentang ikhtikar, Yahya bin Umar menyatakan
bahwa timbulnyaa kemudharatan terhadap masyarakat merupakan syarat pelanggaran
penimbunan barang. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus
dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para
pelaku ikhtikar. Adapun para pelaku ikhtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok
mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingatkan para pelaku ikhtikar agar tidak mengulang
perbuatanya. Apabila mereka tidak memperdulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak
menghukum mereka dengan memukul, lari mengelilingi kota, dan memenjarannya.

Dengan demikian, dalam kasus kenaikan harga akibat ulah manusia,


seperti ikhtikar dan dumping, kebijakan yang diambil pemerintah adalh mengembalikan tingkat
harga pada equilibrium price. Hal ini berarti juga bahwa dalam ekoonomi islam, undang-undang
mempunyai peranan sebagai pemelihara dan penjamin pelaksanaan hak-hak masyarakay yang
dapat meningkatkan kesejaahteraan hidup mereka secara keseluruhan, bukan sebagai alat
kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara semena-mena.

D. Wawasan Modern Teori Yahya Bin Umar

Tema utama yang diangkat dalam kitab yang di tulis dengan judul, Ahkam al Suq, adalah
mengenai hukum-hukum pasar, pada dasarnya, konsep Yahya bin Umar lebih banyak membahas
dan mengenai permasalahan ihtikar dan siyasah al ighraq. Dalam ilmu ekonomi kontemporer,
kedua hal tersebut masing-masing dikenal dengan istilah monopoly’s rent-
seeking dan dumping yang sudah di jelaskan sebelumnya. Berikut adalah wawasan modern
Yahya bin Umar yang dikemukakan pada masanya :8

8 Ali Abdur Rasul, “Al-Mabadi al-Iqtisadiyah fial-Isla” (Beirut; Daral-Fikr al-‘Arabi, 1980), hlm 101

9
➢ Ihtikar (Monopoly’s Rent-Seeking).
Praktek ihtikar didalam islam dengan tegas sangat dilarang, yakni pengambilan
keputusan yakni mengambil keuntungan tinggi di atas keuntungan normal dengan cara menjual
lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi dengan cara menimbun barang
Sehingga ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar atau kegagalan pasar.
Pendapat yang di kemukakan oleh aristoteles bahwa motif utama mendorong untuk bertindk
adalah keuntungan bukan kegunaan adalah benar bahwasanya orang mematok harga tinggi
dengan bertujuan profit oriented. Dimana penjual akan menjual sedikit barang dagangannya,
sementara permintaan terhadap barang tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi
kelangkaan barang. Berdasarkan hukum ekonomi, maka: ”Semakin sedikit persediaan barang di
pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin
berkurang.”
Kondisi seperti ini produsen akan menjual barang daganganya dengan harga tinggi dari
harga pasar atau harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari
keuntungan normal atau laba tinggi yang sering kita sebut laba super normal, sementara
konsumen akan menderita kerugian karena tidak mampu mengkonsumsi barang karena mahalnya
barang dengan pendapatan dibawah rata-rata. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh
ulah sekelompok kecil atau oknum yang bertanggung jawab . Oleh karena itu, dalam pasar
monopoli seorang produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga). Maka untuk
menanggulangi atau mengurangi kegiatan atau perilaku hal seperti ini perlu adanya intervensi
pemerintah dalam menstabilkan pasar, supaya produsen yang mampu menguasai pasar tidak
memonoply suatu produk. Hal ini pula yang dapat memicu atau yang melatar belakangi marak
dan tingginya angka kejahatan yang ada di masyarakat.
Para ulama dan pemikir ekonomi islam sepakat bahwasannya pengharaman ihtikar adalah
karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi manusia.Sedangkan kemudlaratan atau keburukan
merupakan sesuatu yang harus dihilangkan dan ditekankan. Penerapan lebihnya, ihtikar tidak
hanya akan merusak mekanisme dan sistem pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan9

9 Ali Abdur Rasul, “Al-Mabadi al-Iqtisadiyah fial-Isla” (Beirut; Daral-Fikr al-‘Arabi, 1980), hlm 101-103

10
dari perusahaan atau produsen yang melakukan pengolahan dari barang setengah jadi menjadi
barang yang siap untuk di konsumsi ataupun yang akan diperoleh orang lain dan dapat
menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia, yang menyebabkan konsumen harus
membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos marjinal.maka dari itu praktek ini sangat
di larang oleh agama kita dimana hal seperti ini juga di atur oleh agama kita yakni agama yang
romatanlil’alamiin.sistem ekonomi di bentuk memiliki tujuan yang sangat mulia yakni
mensejahterakan masyarakat pun yang kita ketahui bahwasannya sistem ekonomi ini juga
merupakan salah satu sistem yang paling penting dalam maju tidaknya sebuah negara. Di dalam
sistem ekonomi tujuan utamanya sudah jelas yakni mensejahterakan masyarakat dimana di
indonesia sendiri badan pusat statistik mendikripsikan aspek dan indikator kesejahteraan
masyarakat yakni : pendapatan, pengeluaran, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas.

➢ Siyasah al-Ighraq (Dumping Policy)


Siyasah al-Ighraq (dumping) adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan untuk
mencari keuntungan dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari
harga yang berlaku di pasaran. Perilaku seperti ini secara tegas dilarang oleh agama karena dapat
menimbulkan kemudlaratan bagi masyarakat. Siyasah al-Ighraq (dumping) dilakukan oleh
seseorang dengan maksud agar para saingan dagangnya mengalami kebangkrutan. Dengan
demikian ia akan leluasa menentukan harga di pasar. Siyasah al ighraq atau banting harga
(dumping) dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas
harga di pasar.

Dalam kondisi seperti ini pemerintah mempunyai otoritas untuk memerintahkan para
pedagang tersebut agar menaikkan kembali harga barang sesuai dengan harga yang berlaku di
pasar. Apabila mereka tidak mau mentaati aturan pemerintah, maka pemerintah berhak mengusir
para pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab,
ketika mendapati seorang pedang kismis yang menjual barang dagangannya di bawah standart
harga di pasar. Maka Khalifah Umar bin Khattab memberikan pilihan kepada pedagang tersebut;
menaikkan harga sesuai dengan harga standart di pasar atau keluar dari pasar.

10

10 Ali Abdur Rasul, “Al-Mabadi al-Iqtisadiyah fial-Isla” (Beirut; Daral-Fikr al-‘Arabi, 1980), hlm 103

11
Dalam sistem negara modern dewasa ini, keterlibatan negara dalam mengontrol pasar
khususnya yang terkait dengan fluktuasi harga barang dan regulasi pasar semakin dibutuhkan.
Kebutuhan akan peran pemerintah semakin diperlukan sebagai akibat dari meningkatnya pola-
pola ketidakadilan para pelaku pasar bebas yang berujung pada merebaknya otoritasi kontrol
harga yang terpusat pada segelintir orang.

Di samping mentalitas para spekulan yang hanya berorientasi mengeruk keuntungan


sepihak, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Seperti penimbunan barang-barang
kebutuhan pokok khususnya pada saat permintaan barang meningkat di hari-hari besar umat
Islam atau tahun baru dan lain-lain. Tidak mengherankan jika pada hari-hari besar tersebut tiba-
tiba harga barang meningkat tajam, atau stok habis dari peredaran. Bahkan kelangkaan juga
tejadi pada barang yang jelas-jelas telah mendapatkan subsidi dari pemerintah seperti gas elpiji
dalam ukuran 3 kg atau minimnya minyak tanah baru-baru ini dan langkanya pupuk di beberapa
daerah di Indonesia.

Peran pemerintah untuk menertibkan sekaligus memberikan kenyamanan dalam bentuk


memberikan efek jera kepada para pelaku ketidakadilan di atas sungguh diharapkan. Pernah
suatu waktu, harga-harga barang di pasar Madinah meningkat tajam, dan hal ini dikeluhkan oleh
para sahabat kepada Nabi, dan mereka meminta kepada nabi untuk mematok harga atas barang-
barang di pasar (al-tas`ir). Namun Nabi menolak, dengan alasan khawatir hal itu akan merugikan
para penjual dari kalangan pemilik barang. Tentu kejadian ini harus dilihat dari konteks waktu
diucapkannya perkataan nabi tersebut, jika seandainya nabi masih hidup saat ini, niscaya beliau
akan setuju dengan permintaan para sahabat untuk memberikan harga standar atas barang-barang
yang beredar di pasar. Perubahan karakter pada pelaku bisnis dahulu dan sekarang tentunya yang
merubah fatwa tersebut. Dan bukan seperti yang disangka oleh para pendukung sistem kapitalis,
bahwa hakekatnya nabi mendukung pasar bebas atau sangat membela kepentingan para pemiliki
modal (the capital).11

11 Ali Abdur Rasul, “Al-Mabadi al-Iqtisadiyah fial-Isla” (Beirut; Daral-Fikr al-‘Arabi, 1980), hlm 103-104

12
Demikianlah etika pasar dalam Islam, yang tidak semata diarahkan bagi para pelaku
bisnis baik pedagang dan pembeli saja, melainkan juga bagi stakeholders atau pada pembenahan
sistem secara menyeluruh. Lebih jelasnya etika pasar dalam Islam ini menghendaki pembenahan
sistem dan kerjasama sinergis antara semua unsur baik pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah.

➢ Intervensi Pemerintah terhadap Ta’sir (Regulas Harga)


Pasar merupakan pusat terjadinya penyediaan (supply) dan permintaan (demand) barang.
Kedudukan pasar dalam Islam begitu tinggi, sebab selain bidang pertanian dan perdagangan
merupakan salah satu profesi yang sangat dianjurkan oleh Islam. Karakteristik pasar Islam ialah
di dalamnya terdapat aturan, mekanisme dan nilai-nilai Islam yang dijadikan standar aktifitas.
Karakteristik inilah yang menjadi kekhasan Islam yang tidak mengenal dikotomi ranah dunia dan
akhirat. Aktifitas bisnis yang berorientasi materiil selalu diimbangi dengan kecintaan
membelanjakan harta di jalan Allah (spiritual). Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi
kebebasan dalam berekonomi. Sehingga Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk
melakukan inovasi dan kreativitas dalam bermuamalah.

Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar,
yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam kondisi seperti ini, maka
pemerintah di larang melakukan intervensi terhadap harga. Pada pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 5
Tahun 1999 mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan persekongkolan dalam rangka
menetapkan harga di pasar. Berbicara tentang regulasi harga, tentu kita ingat bahwa pengawasan
harga muncul pertama kali pada zaman Rasulullah SAW. Pada masa itu Rasulullah bertindak
sebagai Hasib (pengawas) – versi Indonesia,

12

12 Ali Abdur Rasul, “Al-Mabadi al-Iqtisadiyah fial-Isla” (Beirut; Daral-Fikr al-‘Arabi, 1980), hlm 105

13
KPPU-Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Kondisi saat itu, masyarakat dihadapkan dalam
kondisi harga yang melambung tinggi, sehingga sahabat meminta Rasul untuk menurunkan harga.
Namun demikian, Rasul menolak permintaan sahabat tersebut. Rasul mengatakan ”Allah
mengakui adanya kelebihan dan kekurangan, Dia-lah pembuat harga berubah dan menjadi harga
sebenarnya, saya berdo’a agar Allah tidak membiarkan ketidakadilan seseorang dalam darah atau
hak milik.” Dalam sebuah hadits dinyatakan:

‫ ان هللا هوالمسعرالقابض‬:‫ يارسول هللا غال اسعرفسعرلنا فقال رسول هللا‬:‫عن انس بن مالك قال الناس‬
)‫الباسط الرزاق وانى الرجو ان القى هللا وليس احدمنكم يطالبنى بمظلمة فى دم وال مال (رواه ابو داود‬

“Dari Anas bin Malik, para manusia (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah telah terjadi
lonjakan harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-
lah penentu harga, penahan, yang memudahkan dan yang memberi rizki. Aku berharap dapat
bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun dari kalian (boleh) menuntutku karena kedzaliman
dalam persoalan jiwa dan harta.”(HR. Abu Daud)

Dari riwayat tersebut, dapatlah kiranya kita pahami bahwa penetapan harga secara
eksplisit tidak diperkenankan oleh Rasul. Sebab dengan penetapan harga akan memicu
ketidakadilan baru. Jika harga ditetapkan jauh lebih tinggi maka konsumen akan dirugikan,
sebaliknya jika harga ditetapkan sangat rendah, maka produsen yang akan dirugikan. Bagi
penulis, Hadist di atas dilatar belakangi oleh kondisi harga yang dalam prespektif Rasul masih
bisa di jangkau oleh masyarakat. Selain itu, penetapan harga adalah sesuatu yang sensitif, sebab
jika terjadi kesalahan dalam menetapkan harga maka akan melahirkan ketidakadilan
(dhalim/injustice) baru dalam kehidupan masyarakat.13

13 Ali Abdur Rasul, “Al-Mabadi al-Iqtisadiyah fial-Isla” (Beirut; Daral-Fikr al-‘Arabi, 1980), hlm 105

14
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana jika harga komoditas tidak bisa
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dalam hal ini, jika kenaikan harga di pasar diakibatkan
oleh ulah para spekulan, sehingga menyebabkan instabilitas harga di pasar, pemerintah sebagai
institusi formal yang mempunyai tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak
melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan bagi
kehidupan masyarakat luas dengan melakukan stabilisasi. Dua hal yang membolehkan
pemerintah melakukan intervensi terhadap regulasi harga di pasar, yaitu:

a) Para pedagang tidak menjual barang dagangan tertentu (ihtikar/Monopoly’s Rent-Seeking),


padahal masyarakat sangat membutuhkannya, akibat ulah dari sebagian pedagang tersebut, harga
di pasar menjadi tidak stabil dan hal tersebut dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas
dan mencegah terciptanya masyarakat yang sejahtera. Dalam kondisi seperti itu pemerintah dapat
melakukan intervensi agar harga barang menjadi normal kembali.

b) Sebagian pedagang melakukan praktek siyasah al ighraq atau banting harga (dumping).
Praktek banting harga dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan
stabilitas harga di pasar. Dalam kondisi seperti ini pemerintah mempunyai otoritas untuk
memerintahkan para pedagang tersebut agar menaikkan kembali harga barang sesuai dengan
harga yang berlaku di pasar.

➢ Dumping Respirokal
Analisis dumping tersebut memberikan kesan bahwa diskriminasi harga (price
discrimination) akan dapat meningkatkan perdagangan luar negeri. Namun, bila ditelaah lebih
jauh, akan tampak jelas bahwa kesan tersebut tidak selamanya benar. Anggap saja ada dua
perusahaan monopoli yang masing-masing memproduksi barang yang sama, satu di dalam negeri
dan satu lainnya di luar negeri. Untuk menyederhanakan analisis ini, asumsikan bahwa kedua
perusahaan tersebut memiliki marginal cost yang sama. Anggap juga terdapat beberapa biaya
transportasi antara kedua pasar tersebut sehingga, jika perusahaan itu mengenakan harga yang
sama, tidak akan ada perdagangan.

14

14 Ali Abdur Rasul, “Al-Mabadi al-Iqtisadiyah fial-Isla” (Beirut; Daral-Fikr al-‘Arabi, 1980), hlm 105-106

15
Jika kita memasukkan kemungkinan terjadinya praktik dumping, perdagangan dapat saja
tetap terjadi. Dalam hal ini, setiap perusahaan akan membatasi jumlah barang yang akan dijual di
pasar domestic, karena volume penjualan yang lebih besar akan menurunkan harga yang telah
ada di pasar domestic. Apabila mampu menjual sejumlah kecil di pasar lain, perusahaan akan
menambah keuntungannya sekalipun harganyalebih rendah daripada yang ada di pasar domestic,
karena efek negative terhadap harga dari penjualan yang ada akan terkena pada perusahaan lain,
bukan perusahaan itu sendiri. Dengan demikian, setipa perusahaan memiliki daya tarik untuk
“menyerbu” pasar lain, menjual sejumlah kecil unit pada tingkat harga yang lebih rendah
daripada tingkat harga yang berlaku di pasar domestic, akan tetapi tetap di atas marginal cost.

Apabila kedua perusahaan tersebut melakukan hal ini, yang berarti terjadi reciprocal dumping,
hasilnya akan timbul perdagangan yang tidak memiliki perbedaan harga suatu barang di kedua
pasar, sekalipun terdapat biaya-biaya transportasi. Bahkan lebih dari itu, secara khusus, akan
terdapat dua jalur perdagangan dalam produk yang sama. Sebagai contoh, sebuah pabrik semen
di Negara A melakukan ekspor ke Negara B dan, sebaliknya, pabrik semen di Negara B
melakukan ekspor ke Negara A. Sekalipun contoh tersebut terlihat ekstrem dan pada
kenyataannya jarang terjadi dalam dunia perdagangan internasional, hal ini menunjukkan
bahwa reciprocal dumping tidak dapat meningkatkan volume perdagangan, bahkan merupakan
perbuatan yang sia-sia.

E. Pemikiran Ekonomi

Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah karya tulisnya,
yaitu kitab Adab ad-Daudnya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam Kitab
Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta
empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industri.
Dalam kitab al-Hawi, di salah satu bagiannya, dan Industri. Dalam kitab al-Hawi, di salah satu
15

15 Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 216

16
bagiannya, Al-Mawardi secara Khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan
berbagai mazhab. Dalam Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang
sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam, seperti hak dan kewajiban penguasa
terhadap rakyatnya, berbagai lembaga negara, penerimaan dan pengeluaran negara, serta institusi
hisbah.

Penulis al-Ahkam al-Shilthaniyyah adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan
bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama
atau urusan spiritual dan temporal. Jika diamati dalam karyanya yaitu tugas dan fungsi
pemerintah dan negara yang dibebankan di atas kepala negara adalah untuk mensejahterakan
rakyatnya, baik secara spiritual, ekonomi, politik dan hak-hak individual secara berimbang
dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta,
lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, produksi barang dan jasa, distribusi serta
konsumsinya yang semuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.

F. Negara dan Aktivitas Ekonomi

Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa negara memiliki
peran aktif demi terealisasikannya tujuan material dan spiritual. Yang menjadi kewajiban moral
bagi penguasa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara
kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang
dibutuhkan oleh layanan publik, karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan
semacam itu. Dengan demikian layanan publik merupakan kewajiban sosial dan harus bersandar
kepada kepentingan umum. 16

16 Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 216-218

17
G. Perpajakan

Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian
al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas Kharaj harus berfariasi sesuai dengan factor-faktor
yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis
tanaman dan sisitem irigasi. Lebih jauh, ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut
sebagai factor-faktor penilaian Kharaj. Kesuburan tanah merupakan factor yang sangat penting
dalam melakukan penilaian Kharaj karena sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung
kepadanya. Jenis tanaman juga berpengaruh terhadap penilaian kharaj karena berbagai jenis
tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitupula halnya dengan sistem irigasi.

Disamping ketiga faktor tersebut, al-Mawardi juga mengungkapkan factor yang lain, yitu
jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Factor terahir ini juga sangat relevan
karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah dari pasar.
Dengan demikian, dalam pandangan al-Mawardi ” keadilan baru akan terwujud terhadap para
pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor
dalam melakukan penilaian suatu objek Kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, system
irigaasi dan jarak tanah ke pasar”.

Tentang metode penetapan Kharaj, al-Mawardi menyarankan untuk mengguanakan salah satu
dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah islam, yaitu:

a. Metode Misahah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah.


Metode ini merupakan Fixed-Tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami
atau tidak, selama tanah tersebut bisa ditanami.

b. Metode penetapan Kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam
metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek
Kharaj.17

17 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 306-307.

18
c. Metode Musaqah yaitu metode penetapan Kharaj berdasarkan presentase dari
hasil produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah
tanaman mengalami masa panen.
Secara kronologis, metode pertama yang digunakan umat islam dalam penerapan kharaj
adalah metode Misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa khalifah Umar ibn
Khatab berdasarkan masukan dari para sahabat yang melakukan survey. Pada masa ini, pajak
ditetapkan tahunan pada tingkat yang berbeda secara Fixed atas setiap tanah yang berpotensi
produktif dan memiliki akses keair, sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima
oleh Negara dari jenis pajak ini pun bersifat fixed.Melalui penggunaan metode ini, Khalfah
Umar ingin menjamin pendapatan Negara pada setiap tahunnya demi kepentingan ekspansi,
sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan dalih hasil produksi
rendah.

Metode yang kedua juga pernah diterapkan pada masa Umar. Pengenaan pajak dengan
menggunakan metode ini dilakukan pada bebarapa wilayah tertentu saja, terutama di Syiria.
Metode yang terahir, Muqasamah, pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah,
Khususnya pada masa dinasti Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.

H. Baitul Mal

Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam rangka


memenuhi kebutuhan dasar setiap negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap
warganya, negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara
permanen. Melalui lembaga ini, pendpatan negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam
pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasi masing-masing.

Berkaitan dengan harta Baitul Mal, Al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pos tertentu
tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah meminjam
uang belanja tersebut ke pos lain.

18

18 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 306-309.

19
Setiap pendapatan Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan
kebutuhan untuk memenuhi pembiayaaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika terdapat
surplus, gubernut mengirim sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya pemerintah
pusat atau provinsi yang memperoleh surplus harus mengalihkan sebagian harta Baitul Mal
kepada daerah-daerah yang mengalami defisit. Al-mawardi menegaskan bahwa tanggung jawab
Baitul Mal yaitu untuk memenuhi kebutuhan publik. Tanggung jawab baitul Mal diklasifikasikan
di dalam dua hal:

1. Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul
Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.

2. Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi
aset kekayaan baitul Mal itu sendiri.
Berdasarkan ketegori yang dibuat al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari tanggung
jawab Baitul Mal yang terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari sedekah. Kerena
pendapatan sedekah yang diperuntukan bagi klompok masyarakat telah ditertentukan dan tidak
dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum, Negara hannya diberi kewenangan untuk mengatur
pendaptan itu sesuai apa yang telah digariskan oleh ajaran islam. Dengan demikian kategori
tanggung jawab yang pertama merupakan pembelanjaan yang bersifat tetap dan minimum.

Kemudian kategori tanggung jawab yang kedua yakni terkait dari pendapatan Negara
yang berasal dari Fai. Menurut al-Mawardi, seluruh jenis kekayaan yang menjadi milik kaum
muslimin secara umum dan bukan milik perseorangan secara khusus merupakan bagian dari
harta Baitul Mal. Oleh karena itu, pendapatan fai yang diperuntukan bagi seluruh kaum
muslimin tersebut merupakan bagian dari harta Baitul Mal. Lebih jauh, al-Mawardi
mengklasifikasikan kategori yang kedua ini kedalam dua hal.

➢ Pertama, tanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal),
seperti untuk pembayaran gaji para tentara dan pembiayaan pengadaan senjata.
Pelaksanaan tanggung jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah, berapapun besarnya.19

19 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 306-309.

20
➢ Kedua, tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan umum. Al-
Mawardi menyatakan bahwa pelaksanaan jenis tanggung jawab ini berkaitan dengan
keberadaan dana Baitul Mal. Jika terdapat dana yang cukup dari Baitul Mal, maka
pelaksanaan tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab sosial (fardh kifayah)
seluruh kaum muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab Negara, uraian al-Mawardi tersebut juga
menunjukan bahwa dasar pembelanjaan publikdalam Negara islam
adalam Maslahah (kepentingan umum). Hal ini berarti bahwa Negara hanya mempunyai
wewenang untuk membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaan
maslahah dan kemajuannya. Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi
menyatakan bahwa kewajiban Negara untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang
fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak
ada batasan jumlah tertentu untuk membantu mereka karena ‘pemenuhan kebutuhan’ merupakan
istilah yang relativ. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebingga terbebas dari 1 Dinar,
sementara yang lain mungkin membutuhkan 100 dinar.

Disamping itu al-Mawardi berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan diwilayah


tempat zakat itu diambil. Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh
golongan mustahik zakat diwilayah tersebut telah diterimanya secara memadai. Kalau terdapat
surplus, maka mereka yang paling berhak menerimannya adalah yang terdekat wilayah tempat
zakat tersebut diambil. Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta
Baitul Mal agar berjalan lancar dan tepat sasaran, Negara harus memberdayakan Dewan
Hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal ini salah satu fungsi Muhtasib adalah memperhaikan
kebutuhan public serta merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteran bagi masyarakat
umum. 20

20 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 306-309.

21
Al-mawardi menegaskan, jika mekanisme pengadaan air minum kekota mengalami kerusakan,
atau dinding sekitarnya bocor, atau kota tersebut banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat
membutuhkan air, maka Muhtasib (petugas hisab) harus memperbaiki system air minum,
merekonstruksi dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang miskin, karena
hal ini adalahh kewajiban baitul Mal bukann kewajiban Masyarakat. Disamping menguraikan
teori tentang pembelanjaan public,, al-Mawardi ternyata memahami dampak ekonomi pengalihan
pendapatan melalui kebijakan public. Ia menyatakan: “ Setiap penurunan dalam kekayaan public
adalah peningkatan kekayaan Negara dan setiap penurunan dalam kekayaan Negara adalah
peningkatan dalam kekayaan public.” Dengan demikian, menurut al-Mawardi pembelanjaan
public, seperti halnya perpajakan, merupakan alat efektif untuk mengalihkan sumber-sumber
ekonomi. Pernyataan al-Mawradi tersebut juga mengisyaratkan bahwa pembelanjaan public akan
meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan.

21

21 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 306-309.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan harga (tab’ir) jika kenaikan harga yang
terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dengan kata
lain, dalam hal demikian pemerintah tidak mempunyai hak dalam intervensi harga. Yahya bin
umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal,
yaitu:

a. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat


dibutuhkan mesyatakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta
merusak mekanisme pasar.

b. Para pedagang melakukan praktik siyasah al-iqraq atau banting harga (dumping) yang
dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga
pasar.

Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan


yang dibutuhkan oleh layanan publik, karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis
layanan semacam itu. Dengan demikian layanan publik merupakan kewajiban sosial dan harus
bersandar kepada kepentingan umum. Diantaranya yaitu: Negara dan Aktivitas Ekonomi,
Perpajakan dan Baitul Mal

B. Saran

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita. Amin.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rasul, Ali. 1980. “Al-Mabadi’ al- iqtishadiyyah fi al-Islam”. Beirut: Dar al-Fikr al Arabi.

Azwar,Karim,Adiwarman,2010 ”Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” Jakarta: Raja Grafindo


Persada,Jilid Kedua.

Boede,Abdullah, 2010 “Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam”. Bandung:CV Pustaka Setia.

Chamid Nur,2010. “Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ibid

Mustain, 2013 “Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim.”
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kependidikan IAIN Mataram.

Rasul,Abdur,Ali 1980 “Al-Mabadi al-Iqtisadiyah fial-Isla” Beirut; Daral-Fikr al-‘Arabi

24

Anda mungkin juga menyukai