Anda di halaman 1dari 31

AKUNTANSI MANAJEMEN LINGKUNGAN

Tugas ini disusun untuk

Memenuhi tugas mata kuliah : Akuntansi Manajemen 2

Dosen pengampuh : Wan Fachruddin, S.E.Ak, M.Si.CA

Disusun oleh Kelompok 9:

Anggi Safitri Sembiring (0502193238)

Imelda Sitompul (0502192052)

Venni Yolanda (0502192106)

Wahyu Haji Muharram (0502192136)

AKS 5-D

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2021/2022
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya kepada kita. Sholawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada baginda Nabi
Muhammad s.a.w yang telah membawa kita dari zaman yang gelap menuju zaman yang terang
benderang seperti sekarang ini.

Tak lupa, kami ucapkan terimakasih kepada bapak Wan Fachruddin, S.E.Ak, M.Si.CA
yang telah membimbing kami sehingga kami telah menyelesaikan makalah dengan tepat waktu.
Dan ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah mendorong dan mendukung demi
selesainya tugas makalah ini.

Makalah yang kami buat untuk membahas materi tentang “Akuntansi Manajemen
Lingkungan“. Semoga makalah ini bermanfaat bagi diri penulis sendiri juga para pembaca
makalah ini.Dan kami mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan
dan kesalahan yang tidak berkenan di hati pembaca.Oleh karena itu kritik dan saran dari
pembaca kami harapkan sebagai masukan dan koreksi perbaikan makalah kami selanjutnya.

Medan, 29 November 2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................................

1.3 Tujuan Masalah....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Environmental Cost Of Quality...........................................................................................

2.2 Pelaporan Biaya Pengelolaan Lingkungan..........................................................................

2.3 Triple Bottom Line...............................................................................................................

2.4 Analisa Perubahan Laba Kotor……………………………………...…………………......

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................

3.2 Saran...................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat populasi dunia berkembang dan banyak pengusaha mulai memperluas kegiatan
usahanya, jutaan orang di seluruh dunia mulai sadar akan pentingnya melestarikan lingkungan
untuk diri kita dan anak cucu kita nantinya. Masalah-masalah seperti kualitas udara dan air,
pemanasan global, dan konsumsi berlebihan atas sumber energi tak terbarukan menjadi berita
utama setiap harinya. Para pemimpin bisnis telah berbicara tentang keinginan untuk melakukan
pembangunan berkelanjutan, yang berarti kegiatan usaha yang menghasilkan barang dan jasa
yang diperlukan di masa kini tanpa membatasi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka nantinya. Banyak perusahaan yang berjuang untuk ecoefficiency lebih besar,
yang berarti meningkatkan produksi barang dan jasa, sementara pada saat yang sama mengurangi
efek merusak pada lingkungan produksi yang sayangnya tidak semua perusahaan sama-sama
berusaha keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
Untuk memaksa perusahaan memperhatikan isu-isu lingkungan, di Amerika Serikat
memiliki undang-undang lingkungan, seperti US Clean Air Act dan AS U.S. Superfund Act, serta
badan pengawas federal, inisiatif lingkungan juga, seperti Protokol Kyoto, yang berusaha untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca yang dipercaya banyak ilmuwan berkontribusi pada
pemanasan global. Sedangkan di Indonesia, pemerintah mengeluarkan undang-undang
lingkungan hidup yang mewajibkan industri-industri untuk melakukan pengelolaan lingkungan
sehubungan dengan aktivitas usahanya.
Suatu industri perlu mengukur dampak lingkungan dari aktivitas produksi baik dampak
lingkungan secara fisik dan juga dampak lingkungan secara finansial bagi perusahaan.
Pendekatan Environmental Management Accounting (EMA) tepat untuk dipakai dalam masalah
ini, karena melalui EMA didapatkan informasi mengenai aliran material atau energi, dan dampak
ke lingkungan berdasarkan biaya lingkungan yang dikeluarkan.Biaya lingkungan ini mengambil
banyak bentuk, seperti menginstal scrubber pada cerobong asap untuk mematuhi peraturan EPA,
meningkatkan proses produksi untuk mengurangi atau menghilangkan polusi tertentu, atau
membersihkan sungai yang terkontaminasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah itu Environmental Cost Of Quality ?
2. Apakah itu Pelaporan Biaya Pengelolaan Lingkungan ?
3. Apakah itu Triple Bottom Line ?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui apakah itu Environmental Cost Of Quality!
2. Untuk mengetahui apakah itu Pelaporan Biaya Pengelolaan Lingkungan!
3. Untuk Mengetahui apakah itu Triple Bottom Line!
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Environmental Cost Of Quality

A. Akuntansi Lingkungan (Environment Accounting / EA)

Praktek-praktek akuntansi tradisional seringkali melihat biaya lingkungan sebagai biaya


mengoperasikan bisnis, meskipun biaya-biaya tersebut signifikan, meliputi biaya sumberdaya,
yaitu mereka yang secara langsung berhubungan dengan produksi dan mereka yang terlibat
dalam operasi bisnis umum, pengolahan limbah, dan biaya pembuangan. Biaya reputasi
lingkungan, dan biaya membayar premi asuransi resiko lingkungan.
Dalam banyak kasus, biaya-biaya lingkungan seperti yang berkaitan dengan sumberdaya
alam (energi, udara, air) dimasukkan ke dalam satu jalur ‘biaya operasi’ atau ‘biaya administrasi’
yang diperlakukan independen dengan proses produksi. Juga biaya lingkungan sering
didefinisikan secara sempit sebagai biaya yang terjadi dalam upaya pemenuhan dengan atau
kaitan dengan hukum atau peraturan lingkungan. Hal ini karena sistem akuntansi cenderung
berfokus pada biaya bisnis yang teridentifikasi secara jelas, bukan pada biaya dan manfaat
pilihan alternatif.
Akuntansi Lingkungan (Environment Accounting) adalah biaya-biaya lingkungan yang
dimasukkannya ke dalam praktik akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah. Sedangkan,
menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United States Environment
Protection Agency (US EPA), akuntansi lingkungan merupakan fungsi yang menggambarkan
biaya-biaya lingkungan yang harus diperhatikan oleh pemangku kepentingan perusahaan di
dalam pengidentifikasian cara-cara yang dapat mengurangi atau menghindari biaya-biaya pada
waktu yang bersamaan dengan usaha memperbaiki kualitas lingkungan. Oleh karena itu,
akuntansi lingkungan mempunyai pengertian yang sama dengan akuntansi biaya lingkungan
yaitu sebagai penggabungan informasi manfaat dan biaya lingkungan kedalam praktik akuntansi
perusahaan atau pemerintah dengan mengidentifikasikan cara-cara yang dapat mengurangi atau
menghindari biaya perbaikan
Akuntansi Lingkungan secara spesifik mendefinisikan dan menggabungkan semua biaya
lingkungan ke dalam laporan keuangan perusahaan. Bila biaya-biaya tersebut secara jelas
teridentifikasi, perusahaan akan cenderung mengambil keuntungan dari peluang-peluang untuk
mengurangi dampak lingkungan. Manfaat-manfaat dari mengadopsi akuntansi lingkungan dapat
meliputi:
a) Perkiraan yang lebih baik dari biaya sebenarnya pada perusahaan untuk memproduksi
produk atau jasa. Ini bermuara memperbaiki harga dan profitabilitas.
b) Mengidentifikasi biaya-biaya sebenarnya dari produk, proses, sistem, atau fasilitas dan
menjabarkan biaya-biaya tersebut pada tanggungjawab manajer.
c) Membantu manajer untuk menargetkan area operasi bagi pengurangan biaya dan perbaikan
dalam ukuran lingkungan dan kualitas.
d) Membantu dengan penanganan keefektifan biaya lingkungan atau ukuran perbaikan kualitas.
e) Memotivasi staf untuk mencari cara yang kreatif untuk mengurangi biaya-biaya lingkungan.
f) Mendorong perubahan dalam proses untuk mengurangi penggunaan sumberdaya dan
mengurangi, mendaur ulang, atau mengidentifikasi pasar bagi limbah.
g) Meningkatkan kepedulian staf terhadap isu-isu lingkungan, kesehatan dan keselamatan
kerja.
h) Meningkatkan penerimaan konsumen pada produk atau jasa perusahaan dan sekaligus
meningkatkan daya kompetitif.

B. Konsep Ekoefisensi
Konsep ini mengandung tiga hal penting. Pertama, perbaikan kinerja ekologi dan ekonomi
dapat dan sudah seharusnya saling melengkapi. Kedua, perbaikan kinerja lingkungan seharusnya
tidak lagi dipandang hanya sebagai amal dan derma, tetapi juga sebagai persaingan
(competitiveness). Ketiga, ekoefisiensi adalah suatu pelengkap dan pendukung pengembangan
yang berkesinambungan (sustainable development). Pengembangan yang berkesinambungan
didefinisikan sebagai pengembangan yang memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengurangi
kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Ekoefisiensi mengimplikasikan peningkatan efisiensi yang berasal dari perbaikan kinerja
lingkungan. Ada sejumlah sumber dari insentif dan penyebab peningkatan efisiensi, yaitu :
a) Pelanggan menginginkan produk yang lebih bersih, yaitu produk yang diproduksi tanpa
merusak lingkungan serta penggunaan dan pembuangannya ramah lingkungan.
b) Para pegawai lebih suka bekerja di perusahaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan
dan akan menghasilkan produktivitas yang lebih besar.
c) Perusahaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan cenderung memperoleh
keuntungan eksternal, seperti biaya modal yang lebih rendah dan tingkat asuransi yang lebih
rendah.
d) Kinerja lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan keuntungan sosial yang signifikan,
seperti keuntungan bagi kesehatan manusia.
e) Fokus pada perbaikan kinerja lingkungan membangkitkan keinginan para manajer untuk
melakukan inovasi dan mencari peluang baru.
f) Pengurangan biaya lingkungan dapat mempertahankan atau menciptakan keunggulan
bersaing.

Pengurangan biaya dan insentif kompetitif merupakan hal yang penting. Biaya lingkungan
dapat merupakan persentase yang signifikan dari biaya operasional total. Pengetahuan mengenai
biaya lingkungan dan penyebab-penyebabnya dapat mengarah pada desain ulang proses yang
dapat mengurangi bahan baku yang digunakan. Jadi, biaya lingkungan saat ini dan di masa depan
dikurangi sehingga perusahaan menjadi lebih kompetitif.

C. Biaya Lingkungan Perusahaan


Biaya lingkungan adalah biaya yang ditimbulkan akibat adanya kualitas lingkungan yang
rendah, sebagai akibat dari proses produksi yang dilakukan perusahaan. Biaya lingkungan juga
diartikan sebagai dampak, baik moneter atau non-moneter yang terjadi oleh hasil aktifitas
perusahaan yang berpengaruh pada kualitas lingkungan. Biaya lingkungan juga merupakan
pengorbanan untuk menjaga kelestarian perusahaan. Yang dimaksud lingkungan perusahaan
adalah objek di luar perusahaan yang terdiri dari:
a) Lingkungan alam → polusi udara dan air, kerusakan alam, biaya kerusakan alam.
b) Lingkungan Ekonomi → agraris subsistens, agraris komersial, perdagangan dan industry,
biaya krisis ekonomi (buruh mogok, dsb).
c) Lingkungan Sosial → pranata sosial, lembaga sosial, biaya krisis sosial (protes masyarakat).
d) Lingkungan politik → pajak dan pungutan lainnya, kebijakan fiskal dan moneter, ideology,
biaya kebijakan politik (BBM, Pajak, dan sebagainya).
e) Lingkungan budaya → adat-istiadat, kepercayaan, biaya kerusakan budaya (dekadensi
moral).

Kelima lingkungan itu harus dikelola oleh perusahaan agar dampaknya tidak menimbulkan
kerugian. Kerusakan lingkungan akan berdampak terhadap biaya perusahaan, dan akhirnya akan
mengakibatkan kerugian perusahaan. Misalnya, lingkungan alam yang rusak (polusi udara, air,
kerusakan tanah), mengakibatkan naiknya biaya, lingkungan ekonomi yang rusak (kenaikan
valuta asing) akan menaikkan biaya, lingkungan social yang rusak (huru-hara) mengakibatkan
biaya produksi naik, lingkungan politik yang rusak karena adanya pungutan liar, mengakibatkan
naiknya biaya overhead perusahaan, dan lingkungan budaya yang rusak karena pengaruh
narkoba, mengakibatkan produktivitas kerja rendah. Semuanya itu berdampak pada naiknya
biaya dan penurunan pendapatan perusahaan, yang berakibat kerugian.
Bagaimana perusahaan menjelaskan biaya lingkungan tergantung pada bagaimana
perusahaan menggunakan informasi biaya tersebut (alokasi biaya, penganggaran modal, desain
proses/produk, keputusan manajemen lain), dan skala atau cakupan aplikasinya. Tidak selalu
jelas apakah biaya itu masuk lingkungan atau tidak, beberapa masuk zona abu-abu atau mungkin
diklasifikasikan sebagian lingkungan sebagian lagi tidak. Terminologi akuntansi lingkungan
menggunakan ungkapan seperti full, total, true, dan life cycle untuk menegaskan bahwa
pendekatan tradisional adalah tidak lengkap cakupannya karena mereka mengabaikan pentingnya
biaya lingkungan (serta pendapatan dan penghematan biaya).

D. Model Biaya Kualitas Lingkungan


Dalam model kualitas lingkungan total, keadaan yang ideal adalah tidak ada kerusakan
lingkungan. Kerusakan didefenisikan sebagai degradasi langsung dari lingkungan, seperti emisi
residu benda padat, cair, atau gas ke dalam lingkungan (misalnya: pencemaran air dan polusi
udara), atau degradasi tidak langsung seperti penggunaan bahan baku dan energi yang tidak
perlu.
Biaya lingkungan dapat diklasifikasikan dalam empat kategori:
a) Biaya Pencegahan Lingkungan (environmental prevention costs), adalah biaya-biaya untuk
aktivitas yang dilakukan untuk mencegah diproduksinya limbah dan/atau sampah yang dapat
merusak lingkungan. Contoh : Evaluasi dan pemilihan pemasok, evaluasi dan pemilihan alat
untuk mengendalikan polusi, desain proses dan produk untuk mengurangi dan menghapus
limbah, melatih pegawai, mempelajari dampak lingkungan, audit risiko lingkungan, daur
ulang produk.
b) Biaya Deteksi Lingkungan (environmental detection costs), adalah biaya-biaya untuk
aktivitas yang dilakukan untuk menentukan bahwa produk, proses, dan aktivitas lain di
perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau tidak. Contoh : Audit
aktivitas lingkungan, pemeriksaan produk dan proses, pengembangan ukuran kinerja
lingkungan, pelaksanaan pengujian pencemaran, verifikasi kinerja lingkungan dari pemasok,
serta pengukuran tingkat pencemaran.
c) Biaya Kegagalan Internal Lingkungan (environmental internal failure costs), adalah biaya-
biaya untuk aktivitas yang dilakukan karena diproduksinya limbah dan sampah, tetapi tidak
dibuang ke lingkungan luar. Contoh : Pengoperasian peralatan untuk mengurangi atau
menghilangkan polusi, pengolahan dan pembuangan limbah beracun, pemeliharaan
peralatan polusi, lisensi fasilitas untuk memproduksi limbah, serta daur ulang sisa bahan.
d) Biaya Kegagalan Eksternal Lingkungan (environmental external failure), adalah biaya-biaya
untuk aktivitas yang dilakukan serta melepas limbah atau sampah ke dalam lingkungan.
Biaya ini terbagi menjadi dua yaitu Biaya Kegagalan Eksternal yang direalisasi (realized
external failure costs) adalah biaya yang dialami dan dibayar oleh perusahaan. Biaya
Kegagalan Eksternal yang tidak direalisasikan (unrealized external failure costs) atau biaya
sosial disebabkan oleh perusahaan, tetapi dialami dan dibayar oleh pihak-pihak di luar
perusahaan. Contoh biaya kegagalan eksernal yang direalisasi adalah: pembersihan danau
yang tercemar, pembersihan minyak yang tumpah, pembersihan tanah yang tercemar,
penggunaan bahan baku dan energi secara tidak efisien, penyelesaian klaim kecelakaan
pribadi dari praktik kerja yang tidak ramah lingkungan, dll. Contoh biaya sosial adalah:
mencakup perawatan medis karena udara yang terpolusi (kesejahteraan individu), hilangnya
kegunaan danau sebagai tempat rekreasi karena pencemaran (degradasi), hilangnya lapangan
pekerjaan karena pencemaran (kesejahteraan individual), dan rusaknya ekosistem karena
pembuangan sampah padat (degradasi).
E. Klasifikasi Biaya Lingkungan
Ronald Hilton membagi jenis biaya lingkungan sebagai berikut:
a) Biaya lingkungan Private vs Sosial.
Satu perbedaan penting antara biaya privat dan sosial (atau biaya publik). Biaya lingkungan
private yang ditanggung oleh perusahaan atau individu. Contohnya biaya yang dikeluarkan
oleh perusahaan untuk mematuhi peraturan EPA atau untuk membersihkan danau yang
tercemar.
Biaya lingkungan sosial yang ditanggung oleh masyarakat luas. Contoh ini meliputi biaya-
biaya yang ditanggung oleh pembayar pajak kepada staf EPA, biaya ditanggung oleh
pembayar pajak untuk membersihkan sebuah danau atau sungai tercemar, biaya ditanggung
oleh individu, perusahaan asuransi dan Medicare karena masalah kesehatan yang disebabkan
oleh polutan, dan kualitas hidup unquantifiable, kita menanggung semua biaya dari
lingkungan yang rusak. Sementara biaya-biaya lingkungan sosial penting bagi kita semua,
kita akan memusatkan perhatian pada manajemen biaya lingkungan (environmental cost
management), yang merupakan upaya sistematis untuk mengukur dan mengendalikan atau
mengurangi biaya lingkungan private yang ditanggung oleh perusahaan atau organisasi
lainnya.
b) Biaya Lingkungan Terlihat (Visible ) vs Tersembunyi (Hidden).
Biaya lingkungan sosial dan private dapat terlihat atau tersembunyi. Biaya lingkungan sosial
terlihat (Visible) adalah yang dikenal dan diidentifikasi dengan jelas terkait dengan isu-isu
lingkungan, seperti biaya pembayar pajak dari staf EPA atau membersihkan danau yang
tercemar.
Biaya lingkungan sosial tersembunyi (hidden) termasuk yang disebabkan oleh isu-isu
lingkungan tetapi belum begitu diidentifikasi, seperti biaya yang ditanggung oleh individu,
perusahaan asuransi, atau Medicare karena kanker yang disebabkan oleh polusi, tetapi tidak
diidentifikasi dengan jelas seperti itu. Sebagai contoh, adalah melanoma (jenis kanker kulit
serius) yang disebabkan oleh kecenderungan keturunan, kegagalan dalam menggunakan sun
block, atau penipisan lapisan ozon yang dihasilkan dari emisi industri chlorofluorocarbons?
Tidak ada yang tahu pasti.
F. Mengelola Biaya Lingkungan
Mari kita memfokuskan perhatian kita sekarang pada manajemen biaya lingkungan, atau
pengukuran dan pengendalian atau pengurangan biaya lingkungan private.
Biaya Lingkungan Private Terlihat (Visible ) vs Tersembunyi (Hidden). Sekali lagi, kita
perlu membedakan antara biaya terlihat (visible) dan tersembunyi (hidden). Biaya lingkungan
private terlihat (visible) adalah yang terukur dan telah diidentifikasi dengan jelas isu-isu
lingkungan terkait. Biaya lingkungan private tersembunyi (hidden) adalah yang disebabkan oleh
isu-isu lingkungan tetapi belum begitu diidentifikasi oleh sistem akuntansi. diklasifikasikan lebih
lanjut sebagai berikut:
a) Memonitor biaya (Monitoring costs). Memonitor biaya proses produksi untuk menentukan
polusi yang dihasilkan (misalnya, biaya pengujian untuk kontaminan air limbah).
b) Pengurangan biaya (Abatement costs). Biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi atau
menghilangkan polusi (misalnya, mengubah desain produk untuk menggunakan bahan yang
lebih mahal yang tidak menghasilkan pencemaran lingkungan).
c) Perbaikan biaya (Remediation costs) (yaitu, pembersihan biaya). Pemulihan di lokasi (On-
site remediation). Biaya untuk mengurangi atau mencegah keluarnya polutan yang telah
dihasilkan dalam proses produksi ke lingkungan (misalnya, biaya pemasangan scrubber pada
cerobong asap untuk menghilangkan polutan udara tertentu dalam asap). Pemulihan di luar
lokasi (Off-site remediation). Biaya untuk mengurangi atau menghilangkan polutan dari
lingkungan setelah mereka habis (misalnya, biaya pembersihan sungai yang tercemar oleh
operasi perusahaan).
Perbedaan antara biaya yang terlihat (visible) dan tersembunyi (hidden) yang tercantum
dalam Tabel 1 adalah salah satu yang penting tapi samar. Perhatikan, misalnya biaya tambahan
(Incremental cost) menggunakan bahan lebih mahal karena itu menyebabkan kurangnya (atau
tidak) ada dampak negatif terhadap lingkungan. Apakah ini biaya yang terlihat atau
tersembunyi? Jawabannya adalah tergantung pada apakah sistem akuntansi biaya ini telah diukur
dan diidentifikasi sebagai biaya lingkungan. Studi menunjukkan bahwa biaya lingkungan banyak
yang tersembunyi, karena sistem akuntansi tidak mengukur dan mengidentifikasi mereka sebagai
biaya lingkungan. "Kebanyakan sistem akuntansi biaya yang terlihat menumpuk ke dalam kolam
biaya lingkungan, terpisah dari kolam biaya overhead yang lain. Misalnya, banyak pabrik baja
kolam kompilasi biaya terpisah untuk pengolahan air limbah, pemulihan, pembuangan limbah
berbahaya, pengeluaran pengurangan polusi modal, dan penyusutan pada peralatan pengurangan
polusi". Namun, biaya tambahan pabrik bahan baja disebabkan oleh perubahan dari Sinter untuk
mengurangi polusi, dalam menanggapi peraturan lingkungan yang lebih ketat, biasanya tidak
dilaporkan tersendiri oleh sistem akuntansi sebagai biaya lingkungan. Oleh karena itu, tetap
merupakan biaya lingkungan tersembunyi (hidden).
Mengapa pada titik ini mengenai biaya yang terlihat (visible)  dibandingkan tersembunyi
(hidden) begitu penting? Karena banyak pengamat percaya bahwa biaya yang terlihat dilaporkan
oleh sistem akuntansi yang paling mungkin hanya sebagian kecil dari biaya tersembunyi. Sebuah
studi pada industri baja, menyimpulkan bahwa biaya tersembunyi hampir 10 kali biaya terlihat.

Tabel 1 Private Environment Costs

Visible costs Hidden Costs


Monitoring 1. Memeriksa produk terkontaminasi 1. Inspeksi produk
2. Mengukur kontaminasi terhadap 2. Tambahan biaya staf pengadaan untuk
proses atau mesin memastikan kepatuhan vendor dengan
3. Memverifikasi kepatuhan vendor standar lingkungan.
dengan standar lingkungan.
Pengurangan 4. Kualifikasi vendor untuk kepatuhan 3. Incremental material costs yang
lingkungan. dikeluarkan untuk menggunakan bahan
5. Daur ulang bahan, wadah, atau air. polusi yang kurang.
6. Merancang produk dan proses untuk 4. Incremental direct-labor costs yang
mengurangi atau menghilangkan dikeluarkan untuk melakukan tugas
dampak lingkunganyang negatif. yang terkait untuk mengurangi polusi.
7. Melakukan analisis dampak 5. Incremental costs yang lebih mahal
lingkungan. yang dipasang semua atau sebagian
untuk mengurangi polusi.
6. Incremental costs untuk membeli hybrid
kendaraan (bertenaga listrik dan bensin)
untuk mengurangi polusi udara.

Perbaikan 8. Instalasi pengurangan polusi atau 7. Incremental direct-labor costs yang


Di lokasi perangkat eliminasi dikeluarkan untuk mempertahankan
(On-site) 9. Membuang limbah beracun dengan pemulihan peralatan.
cara yang ramah lingkungan 8. Incremental energy atau biaya overhead
10.Pengobatan limbah beracun lainnya yang dikeluarkan untuk
mengoperasikan pemulihan peralatan.
Di luar lokasi 11. Membersihkan lokasi yang tercemar 9. Incremental direct-labor costs bagi para
(Off-site) (misalnya, air, tanah, atau bangunan) pekerja yang digunakan untuk
12. Mempertahankan atau menata tuntutan melakukan pembersihan lingkungan
hukum lingkungan tugas.
13. Membayar denda EPA 10.Margin kontribusi yang hilang pada
penjualan yang hilang akibat catatan
lingkungan yang kurang
menguntungkan atau reputasinya.

G. Strategi Biaya Lingkungan


Ada tiga strategi untuk mengelola biaya lingkungan, yaitu :
a) Strategi Akhir dari pipa (End of pipe strategy). Dalam pendekatan ini, perusahaan
menghasilkan limbah atau polutan, dan kemudian membersihkannya sebelum dibuang ke
lingkungan. Scrubber cerobong asap, pengolahan air limbah, dan filter karbon udara adalah
contoh-contoh strategi akhir pipa.
b) Strategi Proses perbaikan (Process improvement strategy). Dalam pendekatan ini,
perusahaan memodifikasi produk dan proses produksi untuk menghasilkan polutan sedikit
atau tidak ada, atau mencari cara untuk mendaur ulang limbah internal.
c) Strategi pencegahan (Prevention strategy). "Strategi utama untuk memaksimalkan nilai
dari kegiatan pencemaran yang berhubungan dengan melibatkan ... tidak menghasilkan
polutan apapun di tempat pertama. Dengan strategi ini, perusahaan menghindari semua
masalah dengan pihak berwenang dan dalam banyak kasus, menghasilkan perbaikan laba
yang signifikan.

H. Environmental Management Accounting (EMA)


Guna menanggulangi masalah pengelolaan lingkungan, kini telah mulai dikembangkan
Environmental Management Accounting (EMA) sebagai perangkat untuk membantu usaha para
manajer dalam meningkatkan performa finansial sekaligus kinerja lingkungannya. Secara
sistematis, EMA mengintegrasikan aspek lingkungan dari perusahaan ke dalam akuntasi
manajemen dan proses pengambilan keputusan. Selanjutnya EMA membantu pelaku
bisnis/manager untuk mengumpulkan, menganalisa dan menghubungkan antara aspek
lingkungan dengan informasi moneter maupun fisik.
Definisi Environmental Management Accounting (EMA) menurut The International
Federation of Accountants adalah manajemen lingkungan dan performansi ekonomi melalui
pengembangan dan implementasi sistem akuntansi yang berhubungan dengan lingkungan dan
prakteknya secara tepat. Hal ini dapat mencakup pelaporan dan audit pada beberapa perusahaan,
secara umum EMA meliputi LCC, full cost accounting, benefit assessment, dan perencanaan
strategis untuk manajemen lingkungan.
Fokus Environmental Management Accounting untuk suatu perusahaan berbeda-beda,
tergantung pada tujuannya, informasi apa yang hendak dicapai dalam penerapan EMA, misalnya
untuk manajer suatu departemen akan berfokus terhadap informasi mengenai EMA yang
diterapkan untuk departemennya saja, atau misalnya perusahaan ingin mendapatkan informasi
mengenai pelaksanaan EMA dalam satu siklus hidup sebuah produk (Life Cycle Analysis). EMA
yang dikembangkan oleh Burrit et.al mengintergrasikan dua komponen lingkungan yaitu
monetary environmental management accounting (MEMA) dan physical environmental
management accounting (PEMA), lihat Tabel 1.3. Pada Tabel 1.3, dapat dilihat bahwa EMA
terbagi dalam dua dimensi waktu yaitu waktu lampau dan waktu yang akan datang. Tiap dimensi
waktu, terbagi lagi dalam informasi yang reguler dan ad hoc.
EMA adalah kerangka yang komprehensif dalam membahas akuntansi lingkungan. Dalam
hubungan dengan akuntansi lingkungan, ada konsensus utama:
a) Dampak lingkungan terhadap finansial perusahaan (MEMA) dan
b) Dampak lingkungan terhadap sistem lingkungan (PEMA).
Dampak lingkungan pada sistem ekonomi dinyatakan dalam bentuk monetary
environmental information yaitu semua dampak masa lalu, sekarang dan pada waktu yang akan
datang dari aliran uang, misalnya: pengeluaran dan pendapatan karena produksi bersih, denda
karena melanggar aturan lingkungan.
Dampak lingkungan terhadap sistem lingkungan dinyatakan dalam physical environmental
information. Pada tingkat perusahaan, physical environmental information termasuk semua
material dan energi yang dikeluarkan pada masa lalu, sekarang dan pada waktu yang akan datang
yang mempengaruhi sistem ekologi. Physical environmental information selalu dinyatakan
dalam satuan fisik, misalnya: kilogram atau Jules
Monetary Environmental Management Accounting (MEMA) berkenaan dengan aspek
lingkungan dari aktivitas perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk uang dan digunakan untuk
manajemen internal, misalnya: untuk biaya membayar denda karena melanggar aturan
lingkungan. Dalam bentuk metode, MEMA didasarkan atas akuntansi manajemen konvensional
yang diperluas untuk masalah lingkungan. Hal ini merupakan alat utama untuk keputusan
manajemen internal, juga untuk menelusuri dan memperlakukan biaya dan pengeluaran yang
terjadi karena tindakan perusahaan yang mempengaruhi lingkungan. MEMA berkontribusi
terhadap perencanaan strategis dan operasional, menyediakan dasar untuk pengambilan
keputusan tentang bagaimana mencapai target yang diinginkan dan mengendalikan secara
bertanggung-jawab.
Physical Environmental Management Accounting (PEMA) menyediakan informasi untuk
pengambilan keputusan manajemen yang berfokus pada dampak perusahaan terhadap
lingkungan alam yang dinyatakan dalam satuan fisik seperti kilogram.Ada tiga dimensi dari
EMA yaitu:
1) Time frame yaitu waktu lampau, sekarang dan waktu yang akan datang. EMA berorientasi
pada waktu lampau dan waktu yang akan datang untuk PEMA dan MEMA. Tabel 1.3
membedakan antara MEMA dan PEMA yang tersedia bagi manajemen untuk membahas isu
lingkungan dengan fokus pada pengukuran transaksi masa lampau, transformasi atau bahkan
prediksi hasil transaksi yang akan dilakukan. Misalnya, akuntansi biaya lingkungan pada kiri
atas secara rutin menyediakan informasi jangka pendek tentang aktivitas yang telah terjadi
terhadap produk atau divisi di perusahaan.
2) Panjang dari time frame yaitu jangka pendek dan jangka panjang dan EMA juga membahas
isu jangka pendek dan jangka panjang. Panjangnya waktu berkaitan dengan panjangnya
horison perencanaan. Jika horison perencanaan panjang, digunakan PEMA atau MEMA
jangka panjang yang biasanya melibatkan investasi.
3) Rutinitas dari informasi yaitu informasi rutin dan ad hoc. Dari pandangan pengambilan
keputusan manajemen secara internal, waktu lampau dan waktu yang akan datang dapat
dibedakan menjadi informasi yang didapatkan secara rutin maupun secara ad hoc.
Beberapa keuntungan yang dapat dicapai oleh usaha/kegiatan yang menerapkan EMA
antara lain :
a) EMA dapat menghemat pengeluaran usaha. Dampak dari isu-isu lingkungan dalam biaya
produksi seringkali tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini digambarkan sebagai gunung es
(ice-berg) yang bisa menenggelamkan laju kapal. EMA dapat membantu untuk
mengidentifikasi dan menganalisa biaya tersembunyi (hidden cost), misalnya biaya
minimisasi limbah yang hanya memasukkan biaya insenerasi dan pembuangan limbah,
namun juga memasukkan biaya material, opearsional, buruh dan administrasi.
b) EMA dapat membantu pengambilan keputusan. Keputusan yang menguntungkan harus
didasarkan pada berbagai informasi penting. EMA membantu pengambil keputusan dengan
informasi penting tentang biaya tambahan yang disebabkan oleh isu-isu lingkungan. EMA
membuka kembali biaya produk dan proses spesifik yang seringkali tersembunyi dalam
bagian overhead cost usaha/kegiatan.
c) EMA meningkatkan performa ekonomi dan lingkungan usaha. Ada banyak cara positif
untuk meningkatkan performa usaha/kegiatan atau organisasi, seperti investasi teknologi
bersih, kampanye minimalisasi limbah, pengenalan sistem pengendalian pencemaran udara,
dll. Dari sekian banyak cara tersebut, mana yang menguntungkan? Guna mengidentifikasi
perangkat-perangkat tersebut dalam meningkatkan pembagian tingkat keuntungan
usaha/kegiatan dengan menurunkan dampak lingkungan dari produk dan proses produksi,
EMA memberikan solusi saling menguntungkan (win-win situations). Usaha/kegiatan
diharapkan akan mempunyai performa lebih baik baik pada sisi ekonomi maupun sisi
lingkungan.
d) EMA akan mampu memuaskan semua pihak terkait. Penerapan EMA pada usaha/kegiatan
secara simultan dapat meningkatkan performa ekonomi dan kinerja lingkungan. Oleh karena
itu akan berimplikasi pada kepuasan pelanggan dan investor, hubungan baik antara
Pemerintah Daerah dan masyarakat sekitar, serta memenuhi ketentuan regulasi.
Usaha/kegiatan berpeluang untuk memenuhi keuntungan usaha, mengurangi resiko dari
berbagai pelanggaran hukum dan meningkatkan hubungan baik secara menyeluruh dengan
stakeholders laiinya.
e) EMA memberikan keunggulan usaha/kegiatan. EMA meningkatkan keseluruhan berbagai
metoda dan perangkat yang membantu usaha/kegiatan dalam meningkatkan laba usaha dan
pengambilan keputusan. Sangat mudah dalam penerapannya baik pada usaha menengah
keatas maupun usaha kecil. EMA membantu salah satu pengambilan keputusan penting
seperti investasi baru dalam fungsi pengelolaan usaha seperti akuntasi biaya. Hal ini sangat
memungkinkan diaplikasikan pada semua jenis sector industri dan kegiatan.
Para pengambil keputusan di perusahaan dapat menggunakan informasi dan data yang
diperoleh dari EMA sehingga dapat mengambil keputusan dengan lebih baik, dengan
mempertimbangkan perhitungan fisik (dari material dan energi) dan juga kinerja finansial. Jika
perusahaan berupaya untuk meminimalkan biaya berbarengan dengan meningkatkan kinerja
lingkungan (misalnya mengurangi limbah), EMA dapat memberikan informasi penting yang
berkaitan dengan kedua hal tersebut.
Data dan informasi yang diperoleh dengan melakukan EMA di perusahaan dapat memberikan
keuntungan untuk kegiatan-kegiatan pro-lingkungan sebagai berikut:
a) Pencegahan Pencemaran
b) Design for Environment
c) Penilaian / Pembiayaan / Desain Daur Hidup Lingkungan
d) Manajemen Supply Chain
e) Pembelian dengan pertimbangan lingkungan
f) Sistem Manajemen Lingkungan (ISO 14001)
g) Evaluasi Kinerja Lingkungan & Benchmarking
h) Reporting (CSR Reporting maupun Environmental Performance Reporting)

2.2 Pelaporan Biaya Pengelolaan Lingkungan

A. Pengukuran Biaya Lingkungan


Biaya lingkungan harus dikelola dengan efektif dan efisien agar: 1) produk harus lebih
berdaya guna, dan 2) perusahaan dalam melakukan pengurangan biaya dengan cara: a)
mengurangi dampak negatif lingkungan, b) mengkonsumsi sumber daya alam secara efektif.
Biaya lingkungan perlu dilaporkan secara terpisah berdasarkan klasifikasi biayanya. Hal ini
dilakukan supaya laporan biaya lingkungan dapat dijadikan informasi yang informatif untuk
mengevaluasi kinerja operasional perusahaan terutama yang berdampak pada lingkungan.
Pelaporan biaya lingkungan adalah penting jika sebuah organisasi serius memperbaiki
kinerja lingkungannnya dan mengendalikan biaya lingkungannya. Langkah pertama yang baik
adalah laporan yang memberikan perincian biaya lingkungan menurut kategori.
Pelaporan biaya lingkungan menurut kategori memberikan dua hasil yang penting:
a) Dampak biaya lingkungan terhadap profitabilitas perusahaan, dan
b) Jumlah relatif yang dihabiskan untuk setiap kategori.
Dengan mengelola lingkungan perusahaan secara efektif dan efisien, perusahaan dapat
membantu pembangunan secara berkesinambungan sehingga pelanggan dapat mengkonsumsi
produk yang ramah lingkungan. Di samping itu karyawan dapat bekerja dalam situasi kondusif,
biaya modal perusahaan rendah, biaya asuransi kesehatan rendah, dan masyarakat dapat hidup
sehat.
Biaya lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam biaya gagal eksternal dalam dimensi
biaya mutu yang besarnya dapat dihitung dari total biaya produksi. Makin tinggi biaya
lingkungan, makin tinggi beban biaya perusahaan dan menurunkan laba, atau mungkin dapat
mengakibatkan kerugian. Perhitungan biaya lingkungan disajikan dalam tabel 2.1, 2.2., dan 2.3.

Tabel 2.1
Laporan Biaya Lingkungan

Biaya Produksi Rp. 20.000, diproduksi 1.000 unit


Jenis Biaya Rp %
Biaya Pencegahan :
-          Pelatihan 60
-          Desain produk 180
-          Pemilihan peralatan 40 1,4
280
Biaya Pemeriksaan :
-          Pemeriksaan proses 240
-          Pemeriksaan bahan 80 1,6
320
Biaya gagal internal :
-          Biaya produk rusak atau cacat 400
-          Biaya pemeliharaan peralatan 200 3
600
Biaya gagal eksternal :
-          Biaya lingkungan alam (polusi udara, air) 200
-          Biaya lingkungan ekonomi ( kerugian valas) 200
-          Biaya lingkungan social (huru-hara, pemogokan) 200
-          Biaya lingkungan politik (pungutan liar) 200
-          Biaya lingkungan budaya (narkoba) 200
-          Biaya kebersihan 200
-          Biaya penataan lahan 200
-          Biaya klaim kerusakan 400 9
1.800
Total 3.000 15

Tabel 2.2
Pembebanan Biaya Lingkungan
Jenis Biaya Biaya Per Unit
Biaya produksi per unit (20.000/1.000 unit) 20
Biaya pencegahan (280/1.000 unit) 0,028
Biaya pemeriksaan (320/1.000 unit) 0,032
Biaya gagal internal (600/1.000 unit) 0,60
Biaya gagal eksternal (1.800/1000 unit ) 0,180
Total biaya produksi 23

Tabel 2.3
Perhitungan Laba-Rugi Berbasis Biaya Lingkungan
(Harga per unit Rp 25, biaya pemasaran dan administrasi 10% dari penjualan)
Ada Biaya Tidak Ada Biaya
Keterangan Lingkungan (Rp) Lingkungan (Rp)
Pendapatan atas penjualan 25.000 25.000
Biaya produksi per unit (20.000/1.000 unit) = 20 20.000 20.000
Biaya pencegahan (280/1.000 unit) = 0,028 280 0
Biaya pemeriksaan (320/1.000 unit) = 0,032 320 0
Biaya gagal internal (600/1.000 unit) = 0,06 600 0
Biaya gagal eksternal ( 1800/1000 unit) = 0,18 1.800 0
Laba Kotor 2.000 5.000
Biaya pemasaran dan administrasi 10 % x 25.000 2.500 2.500
Laba (rugi) operasi (500) 2.500
Keterangan Tabel 2.3 → Jika perusahaan tidak membayar biaya lingkungan, maka ia
memperoleh laba operasi Rp 2.500, dan jika ia membayar biaya lingkungan ia menderita
kerugian Rp 500. Oleh sebab itu perusahaan harus mengelola biaya lingkungan serendah-
rendahnya agar tidak menderita kerugian.

2.3 Triple Bottom Line


Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang, dan dengan berkembangnya konsep CSR
tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR ini. Salah satu yang
terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini memberi pandangan bahwa jika sebuah
perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus
memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus
memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut
berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Yusuf wibisono, 2007).

A. Profit (Keuntungan)
Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan usaha.
Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit dan
mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk tanggung jawab ekonomi
yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk
mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efiisensi
biaya.Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan memperbaiki manajemen kerja mulai
penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan
pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat tercapai jika perusahaan menggunakan material
sehemat mungkin dan memangkas biaya serendah mungkin (Yusuf wibisono, 2007).
B. People (Masyarakat Pemangku Kepentingan)
People atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi perusahaan,
karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan
perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya
memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Dan perlu juga disadari bahwa
operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada masyarakat. Karena itu perusahaan perlu
untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat menyentuh kebutuhan masyarakat (Yusuf
wibisono, 2007).

C. Planet (Lingkungan)
Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam
kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara yang dihirup dan
seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan. Namun sebagaian besar
dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena tidak
ada keuntungan langsung yang bisa diambil didalamnya.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang wajar.
Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana menghasilkan uang
sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk melestarikan lingkungan. Padahal
dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan memperoleh keuntungan yang lebih,
terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di samping ketersediaan sumber daya yang lebih
terjamin kelangsungannya (Yusuf wibisono, 2007). 

PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM LINE


Dalam era globalisasi peursahaan tidak hanya mementingkan aspek ekonomi saja, tetapi
harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, setiap perusahaan berusaha
untuk memenuhi kegiatan yang berkaitan dengan memperhatikan kepentingan sosial dan
lingkungan. Seperti penelitian Sandra (2011) menyatakan bahwa perusahaan yang berkelanjutan
bukan hanya mengejar keuntungan financial, bukan hanya peningkatan nilai pemegang saham.
Namun yang paling baik adalah dicapai melalui kerangka kerja yang luas di bidang ekonomi,
sosial, lingkungan dan nilai-nilai etika serta tujuan bersama yang melibatkan interaksi antara
perusahaan dan berbagai pemangku kepentingan.
Selanjutnya, konsep ini dikembangkan seperti penelitian Zu (2009) dalam Sandra (2011)
mengungkapkan tentang teori triple bottom line dengan tiga aspek utama yaitu, ekonomis, sosial
dan lingkungan. Triple bottom line menangkap spektrum yang lebih luas dari nilai-nilai dan
kriteria untuk mengukur kesuksesan organisasi yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. Hal ini
berarti memperluas kerangka kerja pelaporan sederhana untuk memperhitungkan kinerja sosial
dan lingkungan disamping kinerja keuangan. Ini juga menangkap esensi pembangunan
berkelanjutan (sustainability development) dengan mengukur dampak ketiga aspek tersebut dari
kegiatan operasi perusahaan.
Konsep disampaikan oleh Solihin (2008) menyatakan bahwa pengenalan konsep
sustainability development memberi dampak besar kepada perkembangan konsep triple bottom
line selanjutnya. Sebagai contoh the organization for economic cooperation and development
(OECD merumuskan”kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku
korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian kepada para pemegang
saham, upah bagi karyawan dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan melainkan
perusahaan bisnis juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting
serta nilai-nilai masyarakat”.
Solihin (2008) juga menyatakan paparan tentang triple bottom line. Yaitu menyatakan
bahwa semua konsep ini sebagai adopsi dari atas konsep sustainability development, saat ini
perusahaan secara sukarela menyusun laporan setiap tahun yang dikenal dengan sustainability
report. Laporan tersebut menguraikan dampak organisasi perusahaan terhadap ekonomi, sosial,
lingkungan. Salah satu model awal yang digunakan oleh perusahaan dalam menyusun
suistanability report mereka adalah dengan mengadopsi metode akuntansi yang dinakaman
triple bottom line. Menurut John Elkington (1997) dalam Solihin (2008) konsep triple bottom
line merupakan perluasan dari konsep akuntansi tradisional yang hanya membuat single bottom
line tunggal yakni hasil-hasil keuangan dari aktivitas ekonomi perusahaan. Secara lebih rinci,
Elkington menjelaskan triple bottom line sebagai berikut.
“The three lines of the triple bottom line represent society , the economy and the
environment. Societ depend on the global ecosystem, whose hearh represents ultimate bottom
line. The three line are not stable; they are in constant flux, due to social, political, economic
and environmental pressures, cycle and conflicts.”
Dari pengertian dan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas perusahaan yang
berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan sangat berkaitan dengan masyarakat. Terutama
pada aktivitas sosial dan lingkungan sesuai dengan definisi OCED dan dari John Elkington
(1997) dalam Sandra (2011) tersebut bahwa tidak ada pengembalian secara langsung yang dapat
dirasakan oleh perusahaan. Oleh karena itu pengungkapan TBL sangat penting diungkapkan
dalam laporan tahunan perusahaan.
TRIPLE BOTTOM LINE: Lebih dari Sekadar Profit
Baru-baru ini, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan menghentikan
pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas. Alasan mereka adalah
dugaan adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan kehidupan satwa, mengurangi
kemampuan penyerapan karbon dioksida yang merupakan salah satu penyebab utama perubahan
iklim global yang lebih dikenal dengan global warming.
Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga didera hal
yang sama (Harvard Business Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni 2009, Jeff Swartz,
menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah. Mereka menuduh Timberland
membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara ilegal di Amazon. Parahnya, awalnya
Timberland tidak mengetahui apakah material yang mereka beli benar berasal dari Amazon atau
tidak, yang mengimplikasikan mungkin saja tuduhan tersebut benar.Bukan itu saja, di bulan Mei
2010, seluruh dunia gempar dengan kasus bunuh diri di pabrik FoxConn, Cina. Delapan
pegawainya mati karena bunuh diri dalam waktu lima bulan.
Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan dengan jelas bahwa perusahaan
masa kini tidak bisa sekadar memperhatikan profit lagi. John Elkington tahun 1988
memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL). Atau juga 3P – People, Planet
and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang mengukur nilai kesuksesan suatu
perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring
perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak digunakan
oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan tanggung jawab sosial
(Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu bentuk implementasi TBL.
Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan kepentingan
stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang dilakukan
perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham). Tidak dapat diingkari, masih
banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai suatu program yang menghabiskan banyak
biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa perusahaan menerapkan program ini karena “terpaksa”
untuk mengantisipasi penolakan dari masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi
internal perusahaan, hambatan lainnya dari sisi eksternal karena belum adanya dukungan
regulator dan profesi akuntansi tentang penyajian pelaporannonfinansial.
Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya yang
berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social
Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah melakukan riset dan
mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari strategi perusahaan. Strategi
perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab sosial. Perusahaan tidak akan
menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski dilanda krisis, kecuali ingin mengubah
strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus program tanggung jawab dipotong lebih
dulu.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM LINE


Faktor yang mempengaruhi pengungkapan triple bottom line dalam penelitian dapat
dianalisa dari 3 sisi yaitu: karaktristik perusahaan, struktur kepemilikan, dan good corporate
governance. Dalam analisa mengenai pengaruh kerakteristik perusahaan terhadap pengungkapan
TBL diukur dengan beberapa variabel antara lain, leverage, profitabilitas, likuiditas, dan jenis
industri. Dan pada masing-masing variabel jenis pengukurannya juga berbeda-beda. Sehingga
masing-masing variabel diharapakan bisa menjelaskan keterkaitan antara karakteristik
perusahaan dan pengungkapan TBL.
Pengungkapan TBL selanjutnya juga dipengaruhi oleh struktur kepemilikan perusahaan.
Dan bagaimanapun juga struktur kepemilikan perusahaan berhubungan langsung dengan
aktivitas perusahaan, salah satunya adalah dalam pengungkapan TBL dilaporan tahunan
perusahaan. Karakteristik kepemilikan perusahaan dapat diukur dengan beberapa variabel yaitu,
kepemilikan asing, kepemilikan manajemen, dan kepemilikan institusional.

1) Leverage dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Bahwa perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi beresiko memiliki biaya
monitoring yang tinggi pula. Sehingga manajemen secara konsisten mengungkapkan untuk
tujuan monitoring agar memastikan kepada kreditor kemampuan untuk membayar. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi biaya agensi. Jika perusahaan mempunyai tingkat utang yang
tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk melakukan kegiatan dalam rangka penungkapan
triple bottom line menjadi sulit. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki tingkat leverage
yang tinggi cenderung untuk menurunkan pelaporan pengungkapan triple bottom line. Faktor
tingkat leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial.

2) Profitabilitas dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan, sehingga
perusahaan dapat bertahan selama-lamanya. Sehingga besar kecilnya suatu perusahaan itu dinilai
dari profit yang dihasilkan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban dari agen yang memegang
kendali pada perusahaan maka perusahaan pasti melakukan pengungkapan ekonomi, sosial dan
lingkungan serta pelaporannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Belkaoui dan Karpik (1989)
yang menyatakan bahwa profitabilitas mendukung keyakinan kepada perusahaan agar
melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial. Hubungan profitabilitas dalam kinerja
keuangan dengan tanggung jawab sosial saling berkaitan.
Investor menangkap setiap informasi yang disampaikan dapat membandingkan kegiatan
dan pengungkapan triple bottom line yang sudah dilakukan oleh perusahaan dengan profit yang
dimilikinya. Konsep legitimasi juga menghubungkan antara laba yang dihasilkan perusahaan
dengan pengungkapan triple bottom line. Jika perusahaan memiliki laba yang tinggi, manajemen
juga harus memberikan akstifitas sosial dan lingkungannya sebagai perwujudan kontrak sosial
yang terjadi dalam interaksi dimasyarakat.

3) Likuiditas`dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Likuiditas perusahaan adalah faktor utama penting bagi pengungkapan yang dilakukan
perusahaan, karena investor, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya sangat memperhatikan
status going concern perusahaan. Sesuai konsep agensi, manajer perusahaan sebagai agen
berusaha untuk memenuhi kepentingan para investor (prinsipal) antara lain dengan
meningkatkan nilai perusahaan dan menjaga kelangsungan operasi perusahaan dengan menjaga
likuiditasnya agar perusahaan dapat bertahan lama. Perusahaan dengan tingkat likuiditas yang
tinggi selalu menciptakan nilai berupa image positif terhadap prinsipalnya. Oleh karena itu,
perusahaan berusaha untuk memperluas pegungkapkan seluruh informasi tentang perusahaan,
terutama tentang triple bottom line. Perusahaan sangat likuid mungkin memiliki insentif yang
kuat untuk memberikan rincian lebih lanjut dalam pengungkapan perusahaan mereka tentang
kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban jangka pendek keuangan. Sehingga semakin
tinggi tingkat likuiditasnya maka semakin luas pula pengungkapan triple bottom line perusahaan.

4) Jenis Industri dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Perusahaan pada jenis industri yang sejenis mempengaruhi penuh kebijakan pengungkapan
informasi dan informasi yang disampaikan cenderung serupa, baik isi dan pengungkapannya.
Jenis industri dikategorikan berdasarkan low profile dan high profile. Perusahaan dengan
kategori high profile berusaha memberikan pengungkapan informasi yang cenderung lebih luas.
Hal ini dilakukan perusahaan untuk melegitimasi kegiatan usahanya agar mengurangi tekanan
dari masyarakat. Senada dengan pernyataan tersebut Anggraini (2006) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa jenis industri berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line.

5) Kepemilikan Asing dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Hubungan pengungkapan triple bottom line di Indonesia dengan kepemilikan asing adalah
untuk menjamin bagaimana kepercayaan yang diberikan oleh prinsipal yaitu investor asing
dipertanggungjawabkan oleh maanajemen yang bersangkutan. Dalam penelitian indah (2009)
menyebutkan bahwa kepemilikan asing tak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab
sosial atau triple bottom line, padahal dalam fakta sekarang banyak investor yang mensayaratkan
adanya laporan sosial pada perusahaannya. Selanjutnya investor asing sebagai pemegang saham
dihadapkan pada besarnya tingkat informasi asimentri, sehingga untuk menghindari potensi
kerugian yang ditimbulkan dengan adanya asimetri informasi, berlandaskan teori agensi maka
perusahaan juga harus memperhatikan faktor ini.

6) Kepemilikan manajemen dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Semakin tinggi tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula untuk melakukan
program tanggung jawab sosial perusahaan. Rawi (2010) juga mengatakan bahwa kepemilikan
manajemen berpengaruh positif terhadap pengeluaran program tanggungjawab sosial dengan
tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Namun pada suatu titik yang mana mengurangi nilai
perusahaan dan batasan yang telah dicapai ditemukan hubungan negatif. Hal ini berhubungan
dengan kepemilikan saham perusahaan. Akan berbeda jika prinsipalnya adalah orang-orang yang
duduk dalam manajemen perusahaan itu sendiri. Bila dihubungkan dengan konsep agensi, jadi
prinsipal dan agen menjadi satu pihak yang tidak terpisahkan. Sehingga manajemen cenderung
untuk berbuat semaunya sendiri. Oleh karena itu, luas pengungkapan triple bottom line pasti
rendah. Informasi pengungkapan yang disampaikan juga berbeda bila penerima informasi bukan
orang yang menyampaikan informasi tersebut.

7) Kepemilikan Institusional dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Persentase saham institusional menyebabkan tingkat monitor lebih efektif. Oleh karena itu,
semakin tinggi kepemilikan institusi, maka untuk program tanggungjawab sosial dan lingkungan
semakin luas. Monitor yang ketat yang dilakukan oleh prinsipal dalam hal ini dilakukan untuk
meminimalkan biaya agensi yang terjadi. Sehingga pengungkapan triple bottom line menjadi
lebih luas. Investor konstitusional memiliki kekuatan dan pengalaman serta bertanggungjawab
dalam menerapkan konsep good corporate governance untuk mengkomodasi hak dan
kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut perusahaan melakukan
komunikasi secara transparan oleh manajemen. Oleh karena itu, kepemilikan institusional dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan triple bottom line. Hal ini berarti
kepemilikan institusional dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan
triple bottom line.

8) Ukuran dewan komisaris dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Sandra (2011) menyatakan bahwa dari konsep teori legitimasi, adanya direktur independen
dalam komposisi dewan perusahaan dapat memperkuat pandangan publik terhadap legitimasi
perusahaan. Masyarakat menganggap dan menilai tinggi suatu perusahaan jika memiliki
independen direktur yang seimbang atau banyak dalam dewan perusahaan, karena kondisi seperti
ini menandakan lebih efektifnya pengawasan dalam aktivitas managemen perusahaan.
Sementara itu dalam teori agensi menyatakan bahwa dewan komisaris bertugas melakukan
mekanisme untuk mengatasi masalah keagenan yang muncul dari tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh manajemen selaku agen. Karena mungkin fungsi pengawasan dan pemonitoran
dewan komisaris sangat efektif dilakukan.
9) Ukuran komite audit dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Dalam pelaksanaan good corporate governance banyak aspek yang dapat dilakukan oleh
manajemen sebagai pelaku utama dalam melakukan mekanisme perusahaan. Salah satu aspek
dari pelaksanaan good corporate governance adalah pembentukan komite audit. Dasar
pembentukan komite audit juga berdasarkan atas keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-
29/PM/2004 dalam peraturan Nomor IX.I.5 disebutkan bahwa komite audit yang dimiliki oleh
perusahaan minimal terdiri dari tiga orang di mana sekurang-kurangnya satu orang berasal dari
anggota komisaris independen dan dua orang lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan
publik.
Setelah adanya komite audit dalam struktur organisasi perusahaan, pengawasan
manajemen menjadi lebih baik dan terperinci. Komite audit sebagai wakil dari dewan komisaris
yang langsung mengawasi operasi perusahaan, sehingga shareholder dalam hal ini diwakili oleh
dewan komisaris menjadi lebih mudah dalam mengontrol manajemen. Sehingga biaya agensi
yang ditimbulkan oleh adanya moral hazard lebih dapat diminimalkan. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian Sembiring (2005) yang menyatakan bahwa ukuran komite audit berpengaruh
terhadap pengungkapan triple bottom line.

Dunia usaha merupakan bagian dari komunitas masyarakat dan memiliki tanggung jawab
sosial yang sama dengan masyarakat. Istilah triple bottom line pertama kali diperkenalkan oleh
John Elkington (1998) dalam bukunya yang berjudul Cannibals With Forks: The Triple Bottom
Line in 21st Century Business. Elkington menganjurkan agar dunia usaha perlu mengukur sukses
(atau kinerja) tak hanya dengan kinerja keuangan (berapa besar deviden atau bottom line yang
dihasilkan), namun juga dengan pengaruh terhadap perekonomian secara luas, lingkungan dan
masyarakat di mana mereka beroperasi. Disebut triple sebab konsep ini memasukkan tiga ukuran
kinerja sekaligus: Economic, Environmental, Social (EES) atau istilah umumnya 3P: “Profit-
Planet-People”.
Pada tahapan selanjutnya, wujud nyata Triple Bottom Line ini diistilahkan menjadi
Corporate Social Responsibility (CSR: tanggung jawab sosial perusahaan). CSR berhubungan
erat dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di mana ada argumentasi
bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya
tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga
harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka
panjang. Secara tegas dapat dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses
pembangunan (lahan, kota, dunia usaha, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
CSR menjadi hal penting penting dalam menjamin kelangsungan hidup dunia usaha saat
ini. Adapun manfaat dan motivasi yang didapat perusahaan dengan melakukan tanggung jawab
sosial perusahaan menurut Ambadar (2008) meliputi:
(1) perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar
keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan.
(2) kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan menghadapi
masalah seperti permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana perusahaan bekerja.
(3) perusahaan mendapat rasa hormat dari kelompok inti masyarakat yang membutuhkan
keberadaan perusahaan khususnya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan.
(4) perilaku etis perusahaan aman dari gangguan lingkungan sekitar sehingga dapat beroperasi
secara lancar.

Berdasarkan pendapat di atas, pelaksanaan CSR menjadi suatu keharusan bagi perusahaan
dalam mendukung aktivitas dunia usahanya, bukan hanya sekedar pelaksanaan tanggung jawab
tetapi menjadi suatu kewajiban bagi dunia usaha. Dalam megimplemetasikan CSR, oreantasi
perusahaan bukan hanya pada pencapaian laba maksimal tetapi juga menjadi suatu organisasi
pembelajaran, dimana setiap individu yang terlibat di dalamnya memiliki kesadaran sosial dan
rasa memiliki tidak hanya pada lingkungan organisasi melainkan juga pada lingkungan sosial
dimana perusahaan berada. Meskipun kegiatan tampak sederhana dan cakupan masalah sempit
tetapi memiliki dampak positif yang sangat besar bagi masyarakat sekitar perusahaan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa untuk meraih sustainability,  perusahaan perlu peduli terhadap
lingkungan alam sekitar (natural environment), hak-hak pegawai, perlindungan
konsumen, corporate governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap isu-isu sosial pada
umumnya seperti kekurangan pangan, kemiskinan, pendidikan, perawatan kesehatan, HAM,
yang semuanya dihubungkan dengan profit.
DAFTAR PUSTAKA

Hansen dan Mowen. 2006.Buku I Management Accounting Edisi 7. Jakarta : Salemba Empat.

Rilen N., Wiwik S., 2012. Pelaporan Biaya Lingkungan dan Penilaian Kinerrja Lingkungan
(Studi Kasus Pada PT Tangjungenim Lestari Pulp and Paper). http://e-
journal.uajy.ac.id/4915/1/Jurnal.pdf (Diakses pada 19 Februari 2017)

Anda mungkin juga menyukai