Anda di halaman 1dari 17

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU UBAID, YAHYA BIN UMAR DAN AL-

MAWARDI

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi TugasMata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam


DosenPengampu: Syamsul Arifin, M.E

DisusunOleh :
Kelompok 6
1. 4120087 Afri Anti Risma Maya
2. 4120100 Rizqi Amalia
3. 4120123 Erfa Salwa Nahdliana

KELAS C
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang dengan topik “Pemikiran Ekonomi
Abu Ubaid, Yahya Ibn Umar, dan Al-Mawardi” tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. Selainitu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid, Yahya Ibn Umar, dan Al-Mawardi bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak SyamsulArifin, M.E. selaku dosen


mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan baik bagi para pembaca maupun penulis. Kami
juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Pekalongan, 30 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................................................... 2
BAB II ............................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3
A. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid (150-224 H) ................................................................ 3
1. Biografi Abu Ubaid ..................................................................................................... 3
2. Pandangan ekonomi Abu Ubaid ................................................................................. 4
B. Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar (213-289 H) ...................................................... 5
1. Biografi Yahya Bin Umar ........................................................................................... 5
2. Pemikiran Ekonomi ..................................................................................................... 6
C. Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi ................................................................................... 8
1. Biografi Al-Mawardi ................................................................................................... 8
2. Pemikiran Ekonomi ..................................................................................................... 9
BAB III .......................................................................................................................................... 12
PENUTUP ..................................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 12
B. Saran ............................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada 1970-
an. tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui
Nabi Muhammmad Saw. Karena rujukan utama pemikiran islami adalah Alquran dan Hadits
maka pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan ditunkannya Alquran dan
masa kehidupan Rasulullah Saw., pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa
tersebut banyak sarjama muslim yang memeberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi.
Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu memiliki dasar argumentasi relijius dan
sekaligus intelektual yang kuat serta kebanyakan didukung oleh fakta empiris pada waktu itu.
Banyak di antaranya juga sangat futuristik di mana pemikir-pemikir Barat baru mengkajinya
ratusan abad kemudian. Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir muslim banyak mengisi
khasanah pemikiran ekonomi dunia pada masa dimana Barat masih dalam kegelapan (dark
age). Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan dalan berbagai
bidang. Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan
manusia. Kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan manusia didasarkan
pada keinginanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi inipun dimulai
dari zaman nabi Adam hingga detik ini, meskipun dari zaman ke zaman mengalami
perkembangan.
Setiap masa manusia mencari cara untuk mengembangkan proses ekonomi ini sesuai
dengan tuntuan kebutuhannya. Tidak terlepas dari itu, Islam yang awal kejayaannya di masa
Rasulullah juga memiliki konsep system ekonomi yang patut dijadikan bahan acuan untuk
mengatasai permasalahan ekonomi yang ada saat ini. Oleh karena itu salah satu hal yang
mendasari dilakukannya penulisan ini adalah untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang
tersistematik yang pernah dilakukan pada zaman nabi Muhammad yang merupakan zaman
awal kegemilangan Institusi Islam sebelum hancur di tahun 1924.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid?

1
2. Bagaimana Pemikiran Ekonomi Yahya Ibn Umar?
3. Bagaimana Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi?

C. Tujuan
1. Mengetahui pemikiran ekonomi Abu Ubaid.
2. Mengetahui pemikiran ekonomi Yahya Ibn Umar.
3. Mengetahui pemikiran ekonomi Al-Mawardi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid (150-224 H)

1. Biografi Abu Ubaid

Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-
Harawi Al-Azadi Al-Baghdadidilahirkan di bahran (harat), di provinsi khurasan (barat
laut afganistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan byzantium maula dari suku
azd. Nama aslinya al-qosim ibnu salam ibnu miskin ibnu zaid al-azdhi dan wafat pada
tahun 224 H di mekkah.1
Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an beliau pergi ke
kufah, basrah dan baghdad untuk belajar tata bahasa arab, Qiro’ah, tafsir, hadist dan
fiqih ( dimana tidak ada satu bidangpun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari faham
tengah campuran). Setelah ia kembali ke khurasan ia mengajar dua anak yang
berpengaruh. Pada tahun 192 H. Thabit ibnu sasr ibnu malik ( gubernur yang di tunjuk
harun al rosyid untuk wilayah thuhur) menunjuknya sebagai qira’ di tursus sampe 210
H. Setelah itu ia tinggal di baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H setelah berhaji
ia tinggal di makkah sampai wafatnya.
Pada pandangan imam ibnu hambal “ ibnu ubaid adalah orang yang setiap hari
bertambah kebaikannya”. Menurut abu bakar ibnu al-anbari “ Abu Ubaid membagi
malam nya menjadi tiga bagian, 1/3 untuk tidur, 1/3 untuk sholat malam dan 1/3
malam nya lagi untuk mengarang”. Bagi ibnu ubaid satu hari mengarang itu lebih baik
dari pada menggoreskan pedang di jalan alloh. Menurut ishaq Abu Ubaid itu yang
terpandai di antara aku, ahmad bin hambal dan syafi’i. Dari pendapat pendapat
tersebut telihat bahwa Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan mempunyai reputasi
tinggi di antara ulama’ di masanya. Ia hidup semasa dengan imam besar seperti imam
syafi’i dan imam hambali. Kesejajaran ini membuat imam ibnu ubaid menjadi
mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan dengan suatu mazhab tertentu.
Pada masa pemerintahan abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan umat
Islam atau masa renaisance. Sebagaimana di ketahui pemikiran pemikiran daulah

1. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010,
Jilid Kedua, hlm. 242.

3
abbasiyah di bangun oleh abu al-abbas dan abu ja’far al-mansyur. Puncak keemasan
dari dinasti ini terletak pada tujuh kholifah sesudahnya yaitu al-mahdi (775-785M),
al-hadi (775-786M), Harun al-rosyid (786-809M), al-makmun (813-833M), Al
mu’tasyim (833-842M), al wasiq (842-847M), al mutawakkil (847-861M). Pada masa
almahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil pertambangan
seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashroh menjadi pelabuhan yang
penting. Baghdad merrupakan kota yang kosmopolit saat itu, penduduknya sangat
heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.2

2. Pandangan Ekonomi Abu Ubaid

a. Filosofi hukum dari sisi ekonomi


Abu ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama, baginya
pengimplementasian dari perinsip ini akan membawa kesejahteraan ekonomi
dan keselarasan sosial. Ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak
hak individual, publik, dan negara.
b. Dikotomi baduwi (masyarakat tradisional/desa) ke urban
Abu ubaid menegaskan bahwa perbedaan kaum baduwi dan kaum urban
yaitu: 1. Ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagai kewajiban
administrasi dari semua muslim. 2. Memelihara dan memperkuat pertahanan
sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka. 3. Menggalakan pendidikan
dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al quran dan assunnah
dengan diseminasi ( penyebaran) keunggulan keualitas isinya. 4. Melakukan
kontribusi terhadap keselarasan sosial melelui pembelajaran dan penerimaan
hudud. 5. Memberikan contoh universalisme islam dengan sholat berjamaah
pada waktu jumat dan idd.
c. Kepemilikan dalam pandangan kebijakan perbaikan pertanian
Menurut Abu Ubaid kebijakan pemerintahan seperti iqta’ terhadap tanah
guru dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus
atau tanah yang sedang di usahakan kesuburannya atau di perbaiki sebagai
insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang di berikan
dengan persyaratan untuk di tanami untuk di bebaskan dari kewajiban

2. Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm.
175-177.

4
membayar pajak.jadi menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber
air, pada rumput pengembalaan dan tambang minyak tidak boleh di monopoli
seperti tanaman pribadi.
d. Pertimbangan Kebutuhan
Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar
seberapa pun besarnya serta bagaimana menyalamatkan orang orang dari
kelaparan dan kekurangn
e. Fungsi uang
Abu Ubaid mengakuai adanya dua fungsi uang yng tidak mempunyai nilai
intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran dan sebagai media pertukaran.3

B. Pemikiran Ekonomi Yahya Ibn Umar (213-289 H)

1. Biografi Yahya Ibn Umar

Yahya Ibn Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama
yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya Ibn Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-
Andalusi lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di kordova, Spanyol.4Seperti para
cendikiawan Muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu.
Pada mulanya ia bersinggah di Mesir berguru kepada para pemuka sahabat Abdullah
bin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al- Qasim, setelah itu pergi ke Hijaj dan berguru,
diantaranya yaitu berguru kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri. Akhirnya Yahya Ibn Umar
menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang
ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi.
Perkembangan selanjutnya ia menjadi pelajar di Jami’ Al-Qairuwan. Pada
masa hidupnya ia terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan
fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam
pemerintahan Yahya Ibn Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah
ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya. Setelah
Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan
jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilih tetap

3. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 271-280.
4. Ibid., hlm. 261.

5
tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ al-Sabt hungga akhir hayatnya. Yahya Ibn
Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).5

2. Pemikiran Ekonomi Yahya Ibn Umar

Menurut Yahya Ibn Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa
ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian islam, sekaligus factor utama yang
membedaan Ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu,
disamping al-Qur’an, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan
mengikuti seluruh perintah Nabi Muhammad SAW dalamm melakukan setiap
aktivitas ekonominya.
Seperti yang telah disinggunmg, focus perhatianYahya Ibn Umar tertuju pada
hukum-hukum pasar yang terefleksi dalam pembahasan
tentang tas’ir (penetapanharga). Penetapanharga (al-tas’ir) merupakan tema sentral
dalam kitab Ahkam al-suq. Terkait dengan hal tersebut, Yahya Ibn Umar berpendapat
bahwa al-ta’ir (penetapanharga) tidak boleh dilakukan . Ia berhujjah dengan dengan
berbagai hadist Nabi Muhammad SAW, antar lain:Dari Annas bin Malik, ia berkata:
“telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rosululloh SAW. Mereka (para sahabat)
berkata: ”wahai Rosululloh, tetapkanlah harga kami.” Rosululloh menjawab:
“sesungguhnya Allahlah yang menguasai (harga), yang memberi rizki, yang
memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan
Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk melakukan suatu kezaliman
dan persolan jiwa dan harta. “ (Riwayat Abu Daud)
Dari hadist diatas tampak jelas bahwa Yahya Ibn Umar melarang kebijakan
penetapan harga(tab’ir) jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil
interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dengan kata lain, dalam hal
demikian pemerintah tidak mempunyai hak dalam intervensi harga. Hal ini akan
berbeda jika kenaikan harga diakibatkan oleh manusia (human error). Pemerintah,
sebagai institui formal memiliki tanggungjawab menciuptakan kesejahteraan umum,
tidak melakukan intervensiharga ketika terjadi aktivitas yang dapat membahayakan
kehidupan masyarakat luas. Yahya Ibn Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak
boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:

5. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Kedua, hlm. 261-262.

6
a. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat
dibutuhkan mesyatakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta
merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para
pedagang tersebut dari pasar serta menggantikanya dengan para pedagang yang
lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
b. Para pedagang melakukan praktik siyasah al-iqraq atau banting
harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat
mengacaukan stabilitas harga pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak
memerintahkan para pedagang tersebut untuk menaikkan kembali harganya sesuai
dengan harga yang ebrlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah
berhak mengusir para pedagang dari pasar. Hal ini pernah dipraktikan Umar bin
Khatab ketika seorang pedagang kismismenjual barang daganganya dibawah
harga pasar. Ia memberikan pilihan kepada pedagang tersebut, apakah menaikan
harga sesuai yang berlaku atau berbeda dengan pasar.
Pernyataan Yahya Ibn Umar tersebut jelas mengindikasikan bahwaa hukum
asal intervensi pemerintah adalah haram. Intervensi daapat dilakukan jika
kesejahteraan masyarakat umum terancam. Hal ini sesuai dengan tugas yang
dibebankan kepada pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial di setiap aspek
kehidupan masyarakat termasuk ekonomi. Di samping itu, pendapatnya yang
melarang praktik penetapan harga tersebut sekaligus menunjukkan Yahya Ibn Umar
mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh
kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supplay) dan
permintaan (demand). Namun Yahya Ibn Umar menambahkan bahwa mekanisme
harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah
pwemerintah berhak melakukan intervensi ketika tindakan sewenang-wenang dalam
pasar yang dapat menimbulakan kemudharatan bagi masyrarakat,
termasuk ikhtikar dan dumping. Dalam hal ini pemerintah berhak mengeluarkan
pelaku tindakan itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang diberikan terhadap
pelaku tersebut adalah berupa larangan melakukan aaktivitas di pasar, bukan berupa
hubungan maliyah. Menurut Dr. Rifa’at al-Aududi, pernytaan Yahya Ibn Umar yang
melarang praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah
harga-harga menjadi murah. Namun, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk

7
mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat
secara keseluruhan.
Tentang ikhtikar, Yahya Ibn Umar menyatakan bahwa
timbulnyaa kemudharatan terhadap masyarakat merupakan syarat pelanggaran
penimbunan barang. Apabilahal tersebutterjadi, barang dagangan hasil timbunan
tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini ndisedekahkan sebagai
pendidikan terhadap para pelaku ikhtikar. Adapun para pelaku ikhtikar itu sendiri
hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya, pemerintah
memperingatkan para pelaku ikhtikar agar tidak mengulang perbuatanya. Apabila
mereka tidak memperdulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak menghukum
mereka dengan memukul, lari mengelilingi kota, dan memenjarannya.
Dengan demikian, dalam ksus kenaikan harga akibat ulah manusia,
seperti ikhtikar dan dumping, kebijakan yang diambil pemerintah adalh
mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini berarti juga bahwa
dalam ekoonomi islam, undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan
penjamin pelaksanaan hak-hak masyarakay yang dapat meningkatkan kesejaahteraan
hidup mereka secara keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh
kekayaan secara semena-mena.6

C. Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi

1. Biografi Al-Mawardi

Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i
lahir di kota Basrah pada tahun 364 H (974 M). Setelah mengawali pendidikannya di
kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana ke berbagai negeri Islam
untuk menuntut ilmu.
Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab Syafi’i ini dipercaya
memangku jabatan qadhi (hakim) diberbagai negeri secara bergantian. Setelah itu Al-
Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian di angkat sebagai
Hakim Agung pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qaim bi Amrillah Al-
Abbasi.Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar dan

6. Ibid., hlm. 285-289.

8
menulis.Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputi berbagai bidang kajian dan
bernilai tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, seperti Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-
Amtsal wa al-Hikam, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab, ad-Dunya wa ad-Din,
Siyasah al-Maliki, Nashihat al-Muluk, al-Ahkam ash-Shulthaniyyah, An-Nukat wa al-
‘Uyun, dan Siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al-MalikI.
Dengan mewariskan berbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut, Al-
Mawardi meninggal dunia pada bulan Rabiul Awwal tahun 450 H (1058 M) di kota
Baghdad dalam usia 86 tahun.

2. Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi

Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah karya
tulisnya, yaitu kitab Adab ad-Daudnya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-
Sulthaniyyah. Dalam Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang
perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu
pertanian, peternakan, perdagangan dan industri. Dalam kitab al-Hawi, di salah satu
bagiannya, Al-dan Industri. Dalam kitab al-Hawi, di salah satu bagiannya, Al-
Mawardi secara Khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai
mazhab. Dalam Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang
sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam, seperti hak dan kewajiban
penguasa terhadap rakyatnya, berbagai lembaga negara, penerimaan dan pengeluaran
negara, serta institusi hisbah.7
Penulis al-Ahkam al-Shilthaniyyah adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang
menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara
urusan dunia dan agama atau urusan spiritual dan temporal. Jika diamati dalam
karyanya yaitu tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas
kepala negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, baik secara spiritual,
ekonomi, politik dan hak-hak individual secara berimbang dengan hak Allah atau hak
publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lallu lintas hak dan
kepemilikan atas harta, perniagaan, produksi barang dan jasa, distribusi serta
konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.8

7. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 301-302.
8. Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 216.

9
a. Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa negara
memiliki peran aktif demi terealisasikannya tujuan material dan spiritual. Ia
menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu merealisasikan
kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta
mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai
pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik, karena setiap individu tidak
mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian layanan publik
merupakan kewajiban sosial dan harus bersandar kepada kepentingan umum.9

b. Perpajakan
Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak laput
dari perhatian Al-Mawardi. Menurutnya penilaian atas kharaj harus bervariasi
sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar
pajak, yaitu kesuburan tanah jenis tanaman dan sistem irigasi.
Tentang metode penetapan kharaj, Al-Mawardi menyarankan untuk
menggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah
Islam, yaitu:
1. Metode Misahah, yaitu metode penerapan kharaj berdasarkan ukran tanah.
Metode ini merupakan fixed tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami
atau tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
2. Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja.
Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam
penilaian objek kharaj.
3. Metode Musaqah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan presentase dari
hasil produksi. Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami
masa panen.

c. Baitul Mal
Al-Mawardi mengatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam
rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap wrganya, negara membutuhkan lembaga

9. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 302-304.

10
keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga
ini, pendapatan negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos terpisah
dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Ma, Al-Mawardi menegaskan
bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan
yang direncanakan, pemerintah dapat meminjam uang belanja tersebut dari pos
lain. Ia juga menyatakan bahwa pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi
digunakan untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing.10

10. Ibid., hlm. 306-309.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Abu Ubaid dalam hal ekonomi memandang dari berbagai perpektif, diantaranya yaitu:
a. Filosofi hukum dari sisi ekonomi.
b. Dikotomi baduwi (masyarakat tradisional/desa) ke urban.
c. Kepemilikan dalam pandangan kebijakan perbaikan pertanian.
d. Pertimbangan Kebutuhan.
e. Fungsi uang

2. Yahya Ibn Umar melarang kebijakan penetapan harga (tab’ir) jika kenaikan harga
yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang
alami. Dengan kata lain, dalam hal demikian pemerintah tidak mempunyai hak dalam
intervensi harga. Yahya Ibn umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh
melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:
a. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat
dibutuhkan mesyatakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta
merusak mekanisme pasar.
b. Para pedagang melakukan praktik siyasah al-iqraq atau banting
harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat
mengacaukan stabilitas harga pasar.

3. Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan


yang dibutuhkan oleh layanan publik, karena setiap individu tidak mungkin
membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian layanan publik merupakan
kewajiban sosial dan harus bersandar kepada kepentingan umum. Diantaranya yaitu:
a. Negara dan Aktivitas Ekonomi.
b. Perpajakan.
c. Baitul Mal

12
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya
yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita. Amin.

13
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2010 Jilid Kedua.
Azwar, Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2010 Jilid Ketiga.
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.

14

Anda mungkin juga menyukai