Anda di halaman 1dari 18

PEMIKIRAN EKONOMI DI MASA ASY-SYATIBI

DOSEN PENGAMPU:

AHMAD RIYANSYAH, ME

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK IX

CAROLINE DAMIMA JOHAN (0502202178)

FARHAN RIZQI BANGKO (0502202184)

PUJA MY LOFENDA (0502203029)

RANI RUFMANA POHAN (0502203007)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARI’AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih

memberikan kami nikmat iman dan juga rahmat-Nya serta kesehatan, sehingga

kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang

“Pemikiran Ekonomi Di Masa Asy-Syatibi”.

Shalawat serta salam tidak lupa kami panjatkan untuk junjungan Nabi

Muhammad SAW yang telah menyampaikan hidayah dari Allah SWT untuk kita

semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni syariah agama

Islam.

Sekaligus pula kami menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-

banyaknya untuk Bapak Ahmad Riyansyah, M.E, selaku dosen mata kuliah

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam yang telah menyerahkan kepercayaan kepada

kami guna menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Kami juga berharap dengan sungguh-sungguh agar makalah ini berguna

serta bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait

“Pemikiran Ekonomi Di Masa Asy-Syatibi”.

Kami juga mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan

makalah kami agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal mungkin. Akhir kata

kami mengucapkan terimakasih.

Medan, 16 Maret 2023

Kelompok IX

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I .......................................................................................................................1

PENDAHULUAN ...................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG ....................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH ...............................................................................2

BAB II ......................................................................................................................3

PEMBAHASAN ......................................................................................................3

A. BIOGRAFI ASY-SYATIBI ...........................................................................3

B. PEMIKIRAN EKONOMI DI MASA ASY-SYAITIBI .................................4

C. MAQASHID SYARI’AH MENURUT ASY-SYATIBI ...................................9

D. HUBUNGAN ANTARA MAQASHID SYARI’AH DENGAN EKONOMI

ISLAM..........................................................................................................12

BAB III ..................................................................................................................14

PENUTUP ..............................................................................................................14

A. KESIMPULAN ............................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian global tidak terlepas dari pemikiran tokoh-

tokoh ekonomi dunia. Demikian pula dengan tokoh-tokoh ekonomi Islam

yang telah banyak menyumbangkan hasil pemikiran dan sumbangsihnya bagi

perkembangan ekonomi kontemporer. Bahkan beberapa konsep perekonomian

masih relevan untuk diterapkan di kehidupan modern seperti saat ini, Syatibi

merupakan beberapa diantara tokoh ekonomi Islam yang cukup dikenal di

kalangan ekonom Islam. Asy-Syatibi merupakan tokoh ekonomi Islam asal

spanyol yang mengeluarkan beberapa pemikiran ekonomi yang sangat erat

kaitannya dengan konsep yang ia ciptakan yakni konsep maqashid al-syar’i.

Perdebatan seputar masalah ekonomi tersebut mendorong untuk menelaah

kembali sejarah Islam klasik. Saat itu tradisi dan praktek ekonomi maupun

perdagangan dengan landasan syari’ah telah dipraktekkan oleh Rasulullah

SAW bahkan lebih luas dari itu, Rasulullah yang hidup di tengah masyarakat

Arab kuno telah menanaman prinsip-prinsip etika ekonomi dan perdagangan

yang bertumpu pada Islam. Salah satu pemikir ekonomi Islam adalah Asy-

Syatibi, di mana karya-karya dan pemikirannya terkait teori ekonomi Islam

menarik untuk dikaji. Dalam artikel ilmiah ini, penulis berusaha mengungkap

teori-teori terkait dengan ekonomi yang dikemukakan oleh asy-Syatibi

kemudian mecoba untuk merekonstuksinya menjadi sebuah subjek materi

1
tersendiri yang menjadi landasan dan disiplin ilmu ekonomi modern, baik

pada tataran teori produksi, konsumsi maupun distribusi.1

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu:

1. Bagaimana pemikiran ekonomi di masa asy-syaitibi?

2. Bagaimana maqashid syari’ah menurut asy-syaitibi?

3. Bagaimana hubungan antara maqashid syari’ah dengan ekonomi islam?

1
Toriquddin, Moh. (2014). “Teori Maqashid Syariah Perspektif AlSyatibi.” De Jure 6 (1): 33–47.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Asy-Syatibi

Abu Ishaq ibn Musa ibn Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syatibi

merupakan salah seorang tokoh ekonomi Islam yang biasa dikenal dengan

nama Asy-Syatibi. Nama Asy-Syatibi berasal dari asal nama keluarga

besarnya yakni Syatibah merupakan suatu daerah di spanyol bagian timur.

Al-Syatibi tumbuh dan besar serta mengenyam pendidikannya di ibukota

kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan salah satu kerajaan Islam

terakhir di spanyol. Asy-Syatibi hidup pada usia muda di masa

pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang menjadi tanda

dan masa emas bagi kerajaan Islam spanyol saat itu pada bidang ilmu

pengetahuan dan penelitian ilmiah ditandai dengan berdirinya Universitas

Granada.2

Asy-Syatibi mempelajari serta mendalami bahasa Arab dari Abu

Abdillah Muhammad Al-Syatibi, dan Abu Ja’far Ahmad Al-Syaqwari.

kemudian, ia mempelajari dan mendalami ilmu hadits dari Abu Qasim ibn

Bina dan Syamsuddin Al-Tilimsani, lalu mendalami ilmu kalam dan

filsafat dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqh dari Muhammad

ibn Ahmad Al-Miqarri dan Muhammad ibn Ahmad Al-Syarif Al-

Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar Al-Qarsyi, kemudian berbagai ilmu

2
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2010),
hal. 378.

3
lainnya, seperti mengirim surat kepada seorang ulama sufi, Abu Abdillah

ibn Ibad Al-Rundi.

Setelah mengemban dan menguasai berbagai bidang ilmu yang

telah ia pelajari, Asy-Syatibi kemudian meneruskan dan mengajarkan

pengetahuannya kepada generasi penerusnya, seperti Abu Yahya bin

Asim, Abu Bakar Al-Qadi dan Abu Abdillah Al-Bayani. Kemudian dari

sekian banyak hasil pemikirannya, ia menulis dan menghasilkan berbagai

karya ilmiah, seperti syarh Jalil ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Usul al-

Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Usul alSyari’ah dan

al-I’tisham dalam bidang ushul fiqh. Asy-Syatibi tercatat dalam sejarah

wafat bertepatan pada 8 Sya’ban 790 H (1388 M). 3

B. Pemikiran Ekonomi Di Masa Asy-Syaitibi

Maslahah dan maqashid al-Syari’ah dalam pandangan al-Syatibi

merupakan dua hal penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum

Islam. Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan dapat

diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal, mengandung makna bahwa

akal dapat mengetahui dengan jelas kemaslahatan tersebut. Menurut Amir

Syarifuddin ada 2 bentuk maslahah:

1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang

disebut jalb almanafi’ (membawa manfaat). Kebaikan dan kesenangan

ada yang dirasakan langsung oleh orang melakukan sesuatu perbuatan

yang diperintahkan, tetapi ada juga kebaikan dan kesenangan dirasakan

3
Ibid., hal. 380.

4
setelah perbuatan itu dilakukan, atau dirasakan hari kemudian, atau

bahkan Hari Kemudian (akhirat). Segala perintah Allah swt berlaku

untuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti itu.

2. Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang

disebut dar’u almafasid. Kerusakan dan keburukan pun ada yang

langsung dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dilarang,

ada juga yang merasakan sesuatu kesenangan ketika melakukan

perbuatan dilarang itu, tetapi setelah itu yang dirasakannya adalah

kerusakan dan keburukan. Misalnya: berzina dengan pelacur yang

berpenyakit atau meminum minuman manis bagi yang berpenyakit

gula.4

Tuntutan kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat, menurut al-

Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan itu yaitu: dharuriyat

(kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah

(kebutuhan tertier).

1. Dharuriyat, kebutuhan tingkat “primer” adalah sesuatu yang harus ada

eksistensinya atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan manusia

tanpa harus dipenuhi manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan

manusia, yaitu secara peringkatnya: agama, jiwa, akal, harta, dan

keturunan. Kelima hal itu disebut al-dharuriyat al-khamsah (dharuriyat

yang lima). Kelima dharuriyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada

4Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008), h. 208

5
pada diri manusia. Karenanya Allah SWT menyuruh manusia untuk

melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya

Allah swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau

mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima itu.

2. Hajiyat, kebutuhan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia yaitu

sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai

tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam

kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu

sendiri. Namun demikian, keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan

kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam

kehidupan mukallaf.

3. Tahsiniyat, kebutuhan tingkat “tertier” adalah sesuatu yang sebaiknya ada

untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut

kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan.

Keberadaan kebutuhan tingkat ini sebagai penyempurna dari dua tingkatan

kebutuhan sebelumnya, ia bersifat pelengkap dalam kehidupan mukallaf,

yang dititikberatkan pada masalah etika dan estetika dalam kehidupan. 5

1. Paradigma Maslahah dalam Pemenuhan Kebutuhan Manusia

Inti masalah ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional

(kapitalis maupun sosialis) adalah masalah kebutuhan manusia yang tak

terbatas sedangkan alat pemuas kebutuhan yang terbatas atau langka

(scarcity). Dalam kaitan itu ekonomi konvensional menempatkan

5 Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 140.

6
keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) sebagai satu bentuk yang sejajar

dan saling terikat karena memang wants dan needs berasal dari tempat

yang sama, yaitu naluri hasrat manusia.

Islam menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak

terbatas. Sebab dalam kebutuhan tertentu misalnya makan dan minum

manakala perut sudah merasa kenyang maka dia sudah merasa puas karena

kebutuhannya telah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya bahwa kebutuhan

manusia sifatnya terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep law of

diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi

maka pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari

setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang.

2. Paradigma Maslahah dalam Aktifitas Ekonomi

Kemaslahatan dalam aktifitas ekonomi mengandung makna bahwa

aktifitas ekonomi yang dilakukan atas dasar maslahah akan mendatangkan

manfaat dan berkah. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang

mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan

(needs). Pemenuhan kebutuhan (fulfilling needs) adalah tujuan aktivitas

ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama.

Pendekatan ekonomi konvensional bahwa keinginan (wants) tidak terbatas

sehubungan dengan kelangkaan sumberdaya alam yang menetapkan

problematika ekonomi manusia mungkin menjelaskan perilaku ekonomi

suatu masyarakat kapitalis, akan tetapi secara meyakinkan gagal untuk

menjelaskan perilaku beberapa masyarakat dunia tradisional.

7
Para anggota masyarakat tradisional tidak merasa termotivasi untuk

memaksimalisasi kepuasan dari keinginan mereka (wants) dengan sumber

daya alam yang tersedia bagi mereka, karena mendapatkan kebutuhan

mereka telah terpenuhi secara mencukupi dan tidak merasa diwajibkan

untuk memelihara kepuasan dari keinginan mereka melebihi kebutuhan

(needs) yang didefinisikan oleh diri mereka sendiri atau lingkungan

mereka.

3. Maslahah sebagai Standar Utility

Salah satu yang dibahas dalam ilmu ekonomi khusus ekonomi

konvensional adalah utility, dimana konsumen diasumsikan selalu

bertujuan untuk memeroleh kepuasan (utility) dalam kegiatan

konsumsinya. Utility secara bahasa berarti berguna (usefulness),

membentu (helpfulness) atau menguntungkan (advantege). Ia diartikan

sebagai konsep kepuasan konsumen dalam terhadap barang dan jasa. Pada

sisi lain, ekonomi konvensional menggambarkan utility sebagai sifat

barang atau jasa untuk memuaskan keinginan manusia. Ini berarti bahwa

setiap orang harus menentukan tingkat kepuasannya berdasarkan kriteria

yang diciptakannya sendiri.

Dalam perspektif ekonomi syariah, pengembangan utility

diarahkan bahwa yang menjadi sifat atau kekuatan barang atau jasa untuk

memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia adalah maslahah. Seperti

yang diungkapkan al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan

memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal,

8
keturunan, dan harta. Untuk itu, setiap pelaku ekonomi selalu ingin

meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Beberapa barang atau jasa

akan memiliki maslahah yang lebih besar dan yang lainnya memiliki

maslahah yang lebih kecil, tergantung pada perhatian barang atau jasa

tersebut dalam mempertimbangkan kelima unsur pokok kehidupan. 6

C. Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatibi

Imam Syatibi merupakan seorang ulama besar yang menggagas

ilmu Maqashid asy-syari’ah dan al-muwafaqat. Karya terbesar Imam

Syatibi merupakan karya ilmiyah dalam bidang ushul fiqih. Buku ini,

bukan hanya menjelaskan dasar-dasar ilmu ushul fiqih dengan metodologi

baru yang berlandaskan istiqra’ dari sumber utama syariah Islam, tapi juga

menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami syariah secara

menyeluruh.

Menurut Asy-Syatibi, Al-Qur’an merupakan pedoman utama umat

Islam yang berisikan pokok-pokok ajaran Islam secara global, kemudian

dijelaskan oleh sunah. Berbicara masalah Maqashid Syariah adalah

berbicara apa maksud dari Pensyariatan Agama. Memperhatikan berbagai

persoalan yang dibicarakan Al-Quran dan berbagai tujuan dari penjelasan

Al-Quran dapat kita tangkap bahwa tujuan dari pensyariatan Islam itu

adalah untuk memberi rahmat sekalian alam. 7

6 Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th),


Jilid 2, h. 374.
7Aziz, Muhammad dan Sholikah, “Metode Penetapan Maqashid Al-Syariah: Studi
pemikiran Abu Ishaq Al-syatibi,”Ulul Albab, Vol. 14:2 Tahun 2013.

9
Konsep Asy-Syatibi yang paling mashur ialah Maqashid Al-

Syariah yang secara literal berarti tujuan penerapan hukum. Sejak

terbitnya kitab Al-Muwafaqat karya gemilang Asy-Syatibi, Maqashid Al-

Syariah menjadi suatu konsep baku dalam ilmu ushul fiqh yang

berorientasi kepada tujuan hukum (syariah). Secara etimologi maqashid

berasal dari kata qa-sa-da yang berarti menghadap pada sesuatu.

Sedangkan secara terminologi adalah sasaran-sasaran yang dituju dan

rahasia-rahasia yang diinginkan oleg syari’ dalam setiap hukum-hukumnya

untuk menjaga kemaslahatan manusia.8

Menurut Asy-Syatibi Maqashid Syariah secara umum dapat

dikelompokkan menjadi dua katagori yaitu: pertama yang berkaitan

dengan tujuan syariah (Tuhan). Kedua yang berkaitan dengan tujuan para

Mukallaf (orang yang telah mampu bertindak hukum. Jadi, dapat dilihat

dari dua sudut pandang yaitu:

1. Maqashid Al-Syariah (Tujuan Tuhan)

Maqashid al-syariah mengandung empat aspek yaitu:

a. Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan didunia dan diakhirat

b. Syariat sebagai sesuatu yang harus di pahami.

c. Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan

d. Tujuan syariat adalah membawa manusia ke bawah naungan

hukum.

8Djalaluddin, Muhammad Mawardi, “Pemikiran Abu Ishaq Asy-Syatibi Dalam


Kitab Almuawafaqat,” Al-Daulati, Vol.4:2, Desember, 2015.

10
2. Maqashid Al-Mukallaf (Tujuan Mukallaf)

Kemaslahattan yang akan diwujudkan itu menurut asy-syatibi terbagi

kepada tiga tingkatan yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat,

dan kebutuhan tahsiniyat.

a. Kebutuhan dharuriyat. Dharuriyat ialah kebutuhan yang harus ada

dan ketiadaanya akan menghancurkan kehidupan secara total. Bila

tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan

umat manusia baik di dunia maupun diakhirat kelak.

b. Kebutuhan Hajiyat. Hajiyat ialah kebutuhan dimana bila tidak

terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun

akan mengalami kesulitan. Dengan kata lain hal-hal yang

diperlukan manusia dengan tujuan membuat ringan, lapang,

nyaman, dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan beban yang

harus dipikul dalam mengarungi kehidupan.

Dalam katagori ibadat, islam mensyariatkan beberapa

hukum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat

kesulitan dalam menjalankan perintah Allah. Misalnya seperti

islam membolehkan tidak berpuasa bagi orang yang berjalan jauh

dengan syarat diganti dan demikian juga dengan orang yang sakit.

c. Kebutuhan tahsiniyat. Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang

apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari

lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan.

Tahsiniyat ini juga dapat disebut suatu yang diperlukan untuk

11
menjadi kehidupan lebih indah dan harmoni yang dapat menghiasi

kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dalam

urusan-urusan hidup secara lebih baik.

Dalam lapangan ibadat menurut Abd. Wahab Khallaf,

umpamanya islam mensyariatkan bersuci baik dari najis maupun

dari hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan.

Islam menganjurkan berhias ketika hendak kemasjid,

menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah. Dan dalam lapangan

muamalat islam melarangkan boros, kikir, menaikan harga dan

lain-lain.9

D. Hubungan antara Maqashid Syari’ah dengan Ekonomi Islam

Maqashid syariʻah adalah dasar bagi pengembangan ekonomi

Islam karena bertujuan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan

kebahagiaan manusia dengan menyeimbangkan peredaran harta secara adil

dan seimbang baik secara personal maupun sosial. Tujuan utama dari

maqashid syariah adalah kesejahteraan manusia (masalah), dan

menghindarkan mereka dari madharat, maka aspek ekonomi dalam tidak

luput dari perhatian syariah itu sendiri. Untuk memahami maksud al-Syari'

(Allah) dalam syari'ah yang diturunkannya diperlukan pemahaman yang

baik terhadap maqasid al-syari'ah Membicarakan Membicarakan maqasid

9
Abdurrahman kasdi, “Maqashid syariah dan hak asasi manusia(implimentasi
ham dalam pemikiran islam),” jurnal penelitian. Vol. 8:2, Agustus 2014. Hlm. 248

12
al-syari'ah tidak bisa dilepaskan dari pribadi al-Imam al- Syathibi, yang

disebut sebagai "bapaknya maqasid al-syari'ah".10

Dan untuk menyusun bangunan ekonomi islam tidak bisa

dilepaskan dari teori maqasid dan etika, agar para mujtahid ekonomi islam

mampu menggali nilai-nilai Al-Qur'an dan sunnah yang berhubungan

dengan ekonomi. variabel etika, yang dikaitkan dengan maslahah sebagai

sebagai keywordnya-nya tampaknya memang sangat urgen dalam proses

ijtihad di wilayah ekonomi islam dalam membicarakan epistomologi ilmu

ekonomi islamm digunakan metode deduksi dan induksi. Al- Ijtihad al-

tathbiqi yang banyak menggunakan induksi akan menghasilkan

kesimpulan yang lebih operasional sebab ia didasarkan pada kenyataan

empiris. Selanjutnya, dari keseluruhan proses iniyaitu kombinasi dari

elaborasi kebenaran wahyu Allah dan sunnah dengan pemikiran dan

penemuan manusia yang dihasilkan melalui ijtihad- akan menghasilkan

umum dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk ekonomi. Dengan

metode inilah, ilmu ekonomi islam bisa menjelaskan perbedaan antara

needs dengan wants, juga perbedaan antara utility dengan maslahah.

Problem mendasar dari ekonomi pun bisa dijelaskan oleh ilmu ekonomi

islam dengan baik.11

10
Sidik tono, Pemikiran Dan Kajian Teori Hukum Islam Menurut Imam Al-
Syatibi, Almawarid edisi XIII tahun 2005

11 Asafri Jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Iman Asy-Syatibi,hlm.70.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Abu Ishaq ibn Musa ibn Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syatibi

merupakan salah seorang tokoh ekonomi Islam yang biasa dikenal dengan

nama Asy-Syatibi.

Tuntutan kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat, menurut al-

Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan itu yaitu: dharuriyat

(kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah

(kebutuhan tertier).

Menurut Asy-Syatibi Maqashid Syariah secara umum dapat

dikelompokkan menjadi dua katagori yaitu: pertama yang berkaitan

dengan tujuan syariah (Tuhan). Kedua yang berkaitan dengan tujuan para

Mukallaf (orang yang telah mampu bertindak hukum).

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman kasdi, “Maqashid syariah dan hak asasi

manusia(implimentasi ham dalam pemikiran islam),” jurnal penelitian. Vol. 8:2,

Agustus 2014. Hlm. 248

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:

Rajawali Press, 2010), hal. 378.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2008), h. 208

Asafri Jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Iman Asy-

Syatibi,hlm.70.

Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Musthafa

Muhammad, t.th), Jilid 2, h. 374.

Aziz, Muhammad dan Sholikah, “Metode Penetapan Maqashid Al-

Syariah: Studi pemikiran Abu Ishaq Al-syatibi,”Ulul Albab, Vol. 14:2 Tahun

2013.

Djalaluddin, Muhammad Mawardi, “Pemikiran Abu Ishaq Asy-Syatibi

Dalam Kitab Almuawafaqat,” Al-Daulati, Vol.4:2, Desember, 2015.

Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 140.

Sidik tono, Pemikiran Dan Kajian Teori Hukum Islam Menurut Imam Al-

Syatibi, Almawarid edisi XIII tahun 2005

Toriquddin, Moh. (2014). “Teori Maqashid Syariah Perspektif AlSyatibi.”

De Jure 6 (1): 33–47.

15

Anda mungkin juga menyukai