Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

“ PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU ISHAQ AL – SYATIBI ”


DOSEN PENGAMPU : DR. MUHAMMAD YAFIZ, M.AG

Disusun Oleh Kelompok VII :

Kinanti Iraza (0506222162)


Nanda Nurul Atika (0506222101)
Cindy Rayani Sinulingga (0506223170)
Abdu Rahman Hakim (0506223170)

MANAJEMEN IV A
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TP.2024
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat
kebaikan-Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Tidak
lupa, tim penyusun atau kelompok tujuh ingin mengucapkan terima kasih kepada DR.
MUHAMMAD YAFIZ, M.AG selaku dosen sejarah pemikiran ekonomi islam , sudah membantu
kami dalam proses penggarapannya. Makalah yang berjudul “PEMIKIRAN EKONOMI ABU
ISHAQ AL – SYATIBI” disusun oleh kami selaku kelompok tujuh untuk memenuhi tugas mata
kuliah sejarah pemikiran ekonomi islam. kami pun yang beranggotakan empat orang sedikitnya
bisa mengetahui proses pemikiran ekonomi.

Semoga hal-hal yang sudah kami dapatkan bisa diwujudkan dan berdampak banyak bagi
lingkungan rumah dan kampus. Kami pun mengetahui jika makalah yang sudah digarap masih
jauh dari kata sempurna. Masih banyak kekurangan sehingga kami sangat berharap saran dan
kritiknya kepada kami agar di kemudian hari kami bisa membuat satu makalah yang lebih
berkualitas.

Terakhir, semoga makalah berikut bisa mempunyai dampak dan manfaat bagi teman temen dan

lingkungan di sekitar kita.

Medan. 11 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................I

DAFTAR ISI...................................................................................................................................II

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................2
C. Tujuan Masalah....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................3

A. Riwayat Hidup Abu Ishaq Al-Syatibi..................................................................................3


B. Konsep Antara Maqasid Syari’ah Abu Ishaq Al-Syatibi.....................................................5
C. Hubungan Antara Maqashid Syari’ah dengan Ekonomi Islam..........................................10
D. Implikasi Maqashid Syari’ah terhadap Teori Perilaku Ekonomi.......................................11

BAB III PENUTUP........................................................................................................................16

A. Kesimpulan........................................................................................................................16
B. Saran..................................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemikiran Ekonomi Islam sebenarnya bukan hal yang baru dalam tradisi pemikiran intelektual
Islam, terutama dalam tradisi para pemikir Islam klasik, masa kejayaan umat Islam. Bahkan sejak
masa kenabian, pemikiran tentang ekonomi Islam muncul sebagai salah satu tradisi intelektual,
walaupun pemikiran tersebut sangat sederhana sesuai dengan konteks zaman dan tantangan
kehidupan yang berkembang pada saat itu.

Dibandingkan dengan bidang-bidang lain, pemikiran tentang ekonomi Islam tidak semarak dan
simultan dengan pemikiran lainnya, seperti tasawuf, kalam, fikih, tafsir, hadis dan lainnya. Bahkan
dibandingkan dengan pemikiran politik Islam, yang boleh dikatakan “baru” dalam tradisi
intelektual Islam, pemikiran ekonomi Islam masih berada di bawahnya. Namun demikian, seperti
yang dikemukakan di atas, bukan berarti pemikiran ekonomi Islam tidak dikenal dalam tradisi
intelektual para pemikir Islam. Para imam dan filosuf Islam mengkaji pemikiran mereka tentang
ekonomi Islam dalam berbagai karya tulis, baik yang ditulis secara khusus untuk mengulas
ekonomi Islam maupun bagian dari kajiannya dalam bidang ilmu lainnya. Model kedua ini yang
banyak dilakukan para pemikir Islam. Kebanyakan mereka menuangkan pemikirannya tentang
ekonomi bersama dengan pemikiran lain, khususnya hukum Islam. Hal yang sama dilakukan
alSyatibi, pemikiran ekonominya tidak dalam suatu karya khusus, tapi menjadi bagian tertentu dari
kajiannya tentang hukum Islam. Indikasi tersebut tampak dalam karya monumentalnya, al-
Muwafaqatfi Ushul alSyari’ah.

Ahmad Najetullah Siddiqi membagi periode perkembangan pemikiran ekonomi Islam ke dalam
tiga periode: Periode Awal, berlangsung pada masa ke-khalifah-an sampai 450 H (1058M), Periode
Kedua (1058-1446M), dan Periode Ketiga (1446-1931M).1 Al-Syatibi berdasarkan periodisasi di
atas berada dalam periode kedua perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Salah satu konsep

1 Muhammad Najetullah Siddiqi, “History of Islamic Thought”,dalam LecturesonIslamicEconomics,


(Jeddah: IDB-IRTI, 1992), h. 23; lihat pula Zainul Arifin, MemahamiBankSyariah:Lingkup,Peluang,
TantangandanProspek,(Jakarta: Alvabet, 1999), h. 7-10.

1
pemikirannya adalah persoalan maslahah (mewujudkan kemaslaharan) sebagai tujuan dari
maqasid syari’ah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Riwayat Hidup Abu Ishaq Al-Syatibi?

2. Bagaimana Konsep Pemikiran Maqasid Syari’ah Abu Ishaq Al-Syatibi?

3. Bagaimana Hubungan antara Maqashid Syari’ah dengan Ekonomi Islam?

4. Bagaimana Implikasi Maqashid Syari’ah terhadap Teori Perilaku Ekonomi?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui bagaimana riwayat hidup Abu Ishaq Al-Syatibi.

2. Untuk mengetahui bagaimana Konsep Pemikiran Maqasid Syari’ah Abu Ishaq Al-Syatibi.

3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara Maqashid Syari’ah dengan Ekonomi

Islam.

4. Untuk mengetahui bagaimana implikasi Maqashid Syari’ah terhadap teori Perilaku

ekonomi

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Riwayat Hidup Abu Ishaq Al-Syatibi

Al-Syatibi merupakan salah seorang pemikir ternama dalam sejarah intelektual Islam,
khususnya dalam bidang fikih. Nama lengkapnya Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad alLakhmi
al-Gharnati asy-Syatibi. Tidak ada ahli sejarah yang mengetahui secara pasti latar belakang
kehidupan dan kelahirannya, hanya saja menurut catatan sejarah ia wafat pada tanggal 8 Sya’ban
790 H (1388 M).2Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asySyatibi dinisbatkan ke
daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian
timur. Sekalipun namanya dinisbatkan ke daerah ini, Imam alSyatibi tidak dilahirkan di sana.
Menurut catatan sejarah, kota Syatibah telah jatuh ke tangan Kristen yang mengakibatkan
terusirnya seluruh penduduk muslim dari kota itu sejak tahun 645 H (1247), sekitar satu abad
sebelum kelahiran al-Syatibi, dan sebagian besar di antaranya berhijrah ke Granada3

Masa muda al-Syatibi dilaluinya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-
Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat
kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Sehingga seluruh pendidikan al-Syatibi
diperolehnya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di
Spanyol ketika itu.

Suasana ilmiah dan perkembangan peradaban Islam yang berkembang dengan baik di kota
Granada tersebut memberikan keuntuntungan tersendiri bagi al-Syatibi dalam pengembaraan dan
pengembangan intelektualnya.4 Granada menjadi kota pusat perhatian para sarjana yang datang
dari kawasan Afrika Utara. Saat itu, banyak ilmuan yang mengunjungi Granada atau berada di
istana Bani Nashr, di antaranya ibn Khaldum dan ibnu alKhatib.

2 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Klasik hingga Kontemporer, cet ke-2, (Jakarta:
Granada Press, 2007), h. 207. 3
Ibid. h. 215, lihat pula Abdul Azis Dahlan, et. al., SuplemenEnsiklopediIslam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996), Jilid 2, h. 187. 4
Nur Chamid, JejakLangkahSejarahPemikiranEkonomiIslam,cet ke-1, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.
278.

3
Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami
berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulumal-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi dan
hakikat).5 Al-Syatibi mendapat pendidikan baik dari guru-gurunya yang merupakan penduduk asli
di Granada maupun dari para pendatang yang menempuh pendidikan dan menjadi ulama di
Granada. Guru-guru al-Syatibi yang merupakan penduduk asli antara lain:

1. Abu Fakhar al-Biriy, seorang ulama paling ternama di bidang Bahasa Arab dan Qira’at
saat itu. Dari ulama ini al-Syatibi belajar tentang Qira’at dan Nahwu.
2. Abu Sa’id bin Lub, seorang mufti di Granada. Dari ulama ini, al-Syatibi belajar tentang
fikih
3. Abu Abdullah al-Balnisity, seorang mufassir ternama, dan dari ulama ini al-Syatibi
menimba ilmu tentang tafsir dan ulmul qur’an lainnya.

Dari mereka inilah al-Syatibi mempelajari berbagai disiplin ilmu keagamaan sehingga tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa al-Syatibi memiliki berbagai disiplin ilmu keagamaan.
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, al-Syatibi lebih memberikan perhatian
utama untuk mempelajari bahasa Arab dan, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu
ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yang sangat
menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam menanggapi perubahan sosial.6

Al-Syatibi mengawali pendidikannya dengan belajar tata bahasa dan sastra Arab kepada Abu Abd
Allah Muhammad bin Ali al-Fakhkhar, seorang pakar tata bahasa di Andalusia. Pengalaman
tinggal bersama gurunya sampai dengan tahun 754 H/ 1353 M dan tentang pelajaran-pelajaran
yang didapatnya terekam dalam kitab yang disusunnya yang berjudul alIfadat wa al-Irsyadat atau
Insya’at. Dari kitabnya ini dapat dilihat bahwa al-Syatibi menguasai ilmu bahasa dan sastra dengan
cukup qualified. Dua guru al-Syatibi yang memperkenalkannya kepada filsafat, ilmu kalam dan ilmu-ilmu
lain yang dikenal dalam klasifikasi ilmu pengetahuan Islam yakni ilmu pengetahuan tradisional, al-‘Ulum
al-Naqliyyah adalah Abu Ali Mansur al-Zawawi dan alSharif al-Tilimsani.

5
Ibid.,h. 278 6
Adiwarman Azwar Karim, SejarahPemikiranEkonomiIslam, Edisi ke-3 (Jakarta: PT.
StuditentangHidupdanPemikiranal-Syathibi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. ke-1, h. 111.

4
Setelah memeroleh ilmu pengetahuan yang memadai, al-Syatibi mengembangkankan potensi
keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, di antara muridmurid al-
Syatibi, antara lain: Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar ibn Asim, Syaikh Faqih Abu Abdullah al-
Bayani, Abu Jafar al-Qassar, Abu Abdullah al-Majariy. Kepada mereka, alSyatibi mengajarkan
hasil karya monumentalnya.

Karya-karya al-Syatibi dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu: pertama karya-karya al-
Syatibi yang telah diterbitkan dan dipublikasikan, kedua karya-karya yang belum dipublikasikan,
baik yang masih bersifat manuskrip atau disebutkan dalam kitab lain yang menisbahkan kitab
tersebut kepada al-Syatibi.

2. Konsep Pemikiran Maqasid Syari’ah Abu Ishaq Al-Syatibi

Sebagai sumber utama agama Islam, Al Qur’an mengandung berbagai ajaran. Ulama
membagi kandungan Al Qur’an dalam tiga bagian besar, yaitu akidah, akhlaq, dan syariah. Akidah
berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlaq berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan
dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan).
Kelompok terakhir (syari’ah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah
(habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas). Secara bahasa, MaqashidAl-Syari’ah terdiri dari
dua kata, yakni maqashid dan alsyariah. Maqashidberarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan Al-
Syari’ahberarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam Syariah menyangkut perlindungan
Maqashid Al-Syariah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia.

Sedangkan menurut istilah, al-Syatibi menyatakan:

‫ِين ْْ َوالدُّنيا َ َمعا‬ َ ‫فى قِيا َ ِم َم‬


ِ ‫صاِل َح ُه ْم فِى ال د‬ ِ ِ‫ارع‬
ِ ‫ش‬ ِ َ ‫ق َمقا‬
َّ ‫ص ِد ال‬ ِ ‫ضعتَ ْْ لِتحْ َْقِ ْي‬
َ ‫ُ…و‬
َ َ‫ش ِر يْعة‬
َّ ‫ه ِذ ِه ال‬

Arti : Sesungguhnya syariah itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia didunia

dandiakhirat. (Al-Syatibi, 2003, Juz I: 3)

Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Imam al-Syatibi adalah
kemaslahatan umat manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, ia menyatakan bahwa tidak satu pun

5
hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama
dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.3 Kemaslahatan, dalam hal ini
diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan
manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya,
dalam pengertian yang mutlak.9

Al-Syatibi menjelaskan bahwa Syari’ah berurusan dengan perlindungan mushalih, baik dengan
cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mushalih syariah, mengambil berbagai tindakan
untuk menunjang landasan-landasan mushalih maupun dengan presfektif.

Asy-Syatibi merupakan salah satu dari ahli hukum Islam yang menerangkan obyek syari’ah secara
jelas. Tidak dapat disangkal bahwa asy-Syatibi adalah peletak dasar ilmu maqashid syari’ah
sehingga wajar jika kemudian ia disebut sebagai “Bapak Maqashid asySyari’ah”.10 Syatibi juga
ahli hukum Islam yang pertama kali menyusun al-maqashid asysyari’ah secara sistematis
(sebagaimana Imam Syafi’I dengan ilmu ushul fiqh yang disusunnya) sehingga maqashid lebih
komunikatif untuk dipelajari dan dipahami. Teori maqashid dipopulerkan oleh asy-Syatibi melalui
salah satu karyanya yang berjudul almuwafaqat fi ushul asy-syari’ah, sebuah kitab yang ia tulis
sebagai upaya untuk menjembatani beberapa titik perbedaan antara ulama-ulama Malikiyah dan
ulama-ulama Hanafiyah.

Maqshid merupakan bentuk plural (jama’) dari maqshud. Sedangkan akar katanya berasal dari kata
verbal qashada, yang berarti menuju, bertujuan, berkeinginan dan kesengajaan. Kata maqshud-
maqashid dalam ilmu nahwu disebut dengan maf’ul bih yaitu sesuatu yang menjadi obyek. Oleh
karenanya kata tersebut dapat diartikan sebagai “tujuan” atau “beberapa tujuan”. Sedangkan asy-
Syari’ah, merupakan bentuk subjek dari akar kata syara’a yang artinya adalah “jalan menuju sumber air sebagai
sumber kehidupan”.11 Oleh karenanya secara terminoligis, al maqashid asy-syari’ah dapat
diartikan sebagai “tujuantujuan ajaran Islam” atau dapat juga dipahami sebagai “tujuan-tujuan
oembuat syari’at (Allah) dalam menggariskan ajaran atau syari’at Islam. Maqashid Syari’ah
terrdiri dari pemenuhan manfaat dan kesejahteraan manusia dimana Allah telah menggariskannya

10 Darusmanwiati, Aep Saepulloh, “Imam Syatibi: Bapak Maqashid asy-Syari’ah Pertama” dalam
www.islamlib.com, diakses 5 Juni 2012.

6
pada hukum-hukumNya. Maqashid Syari’ah bertujuan untuk memenuhi kebaikan, kesejahteraan,
keuntungan, manfaat dan lain sebaginya serta menghindari keburukan syetan dan kerugian
kerugian diri bagi manusia yang taat.

Dari pengertian tersebut, dapat dikatakn bahwa maqashid syari’ah (tujuan syari’ah) menurut
Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatn diartikan sebagai segala sesuatu yang
menyangkut rizki manusia, pemenuhan penghidupan manusia dan perolehan apa-apa yang dituntut
oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban
untuk melindungi maqashid syari’ah yang notabene sangat berkaitan dengan prinsip kemaslahatan
manusia dan untuk melindungnya maka diharuskan mengabil tindakan untuk melenyapkan apapun
baik secara aktual maupun potensial dapat merusak maslahah. Ia menyatakan bahwa tidak satupun
hukum Allah yang tidak memiliki tujuan karena hukum yang tidak memiliki tujuan berarti
membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.

Mengkaji teori maqashid tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang maslahah. Hal ini
sebenarnya dari segi subtansi, wujud al-maqashid asy-sayri’ah adalah kemaslahatan. Meskipun
pemahaman atas kemaslahatan yang dimaksud oleh penafsir-penafsir maupun madzhab-madzhab
tidaklah seragam, hal ini menunjukkan betapa maslahat menjadi acuan setiap pemahaman
keagaman dan menempati posisi yang sangat penting.12 Asy-Syatibi berpandangan bahwa Allah
menurunkan syari’at (aturan hukum) bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari
kemadharatan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid), baik di dunia maupun di akhirat. Aturan-aturan
dalam syari’ah tidaklah dibuat untuk syari’ah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan
kemaslahatan. Dengan dapat dipahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah
dalam syari’ah adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik dan menghindarkannya
dari segala hal yang membuatnya dalam kondisi yang buruk baik di dunia maupun di akhirat.

Selanjutnya menurut Syatibi, maslahat dapat dibagi menjadi tiga bagian yang berurutan secara
hierarkhis, antara lain: dharuriyyat, hajjiyat dan tahsiniyyat. Berikut penjelasan ketiganya:13

1. Maslahah Dharuriyyat

Dharuriyyat merupakn maslahat yang paling utama dan menjadi landasan dalam
menegakkan kesejahteraan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dharuriyyat
mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yaitu: hifdz al-din

7
(pemeliharaan agama), hifdz an-nafs (pemeliharaan jiwa), hifdz al-nasl (perlindungan
keturunan), hifdz almal (pemeliharaan harta) dan hifdz al‘aql (pemeliharaan akal).

Syatibi memandang perlindungan kelima hal tersebut merupakan unsur pokok yang
memberi kemanfaatan bagi dunia maupun akhirat. Begitupun sebaliknya, jika kelima unsur
pokok tersebut tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan kerusakan baik kerusakan di
muka bumi serta kerugian di akhirat kelak. Untuk melindungi pemeliharan kelima unsur
tersebut maka dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok
tersebut (din, nafs, nasl, mal dan ‘aql) dalam kehidupan manusia. Selain itu, dapat
dilakukan dengan cara melindunginya dari hal yang dapat merusaknya.

Sebagai contoh dalam hal ibadah adalah dengan dengan cara menegakan dan penunaian
rukun Islam. Iman, shalat, zakat, puasa, haji merupakan unsur yang menentukan eksistensi
penegakkan agama (din).

2. Maslahah Hajjiyyat

Hajjiayat merupakan jenis maslahat yang dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan,


menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima
unsur pokok manusia. Sebagai contoh adalah kebolehan berburu dan memakan makanan
yang halal, penginapan, transportasi dan lainnya. Disamping itu ada kebolehan dalam
melaksanakan akad-akad dalam bermu’amalah seperti qirad, musaqat, bai’ salam serta
berbagai akonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan dan
menghilangkan kesulitan bagi manusia di dunia.

3. Maslahah Tahsiniyyat

Tahsiniyyat adalah sesuatu yang tidak mencapai taraf dua kategori di atas. Tujuan maslahat
ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan
pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Tahsiniyyat hanya berfungsi sebagai
pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia dan tidak dimaksudakan untuk
menghilangkan atau mengurangi kesulitan.

12 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hal. 69.

8
Sebagai contoh antara lain adalah dibolehkanya menggnakan seni dan keindahan,
memakan makanan yang lezat, meminum minuman yang dingin dan jus, memakai pakaian
yang baik dan lain sebagainya.

Dari hasil penelaahannya lebih jauh, Syatibi menyimpulkan korelasi anatara dharuriyyat, hajjiyyat
dan tahsiniyyat sebagai berikut:

a. Dharuriyyat merupakan dasar bagi hajjiyyat dan tahsiniyyat

b. Kerusakan pada dharuriyyat akan membawa kerusakan pula pada hajjiyyat dan
tahsiniyyat

c. Kerusakan pada hajjiyat dan tahsiniyyat tidak dapat merusak dharuriyyat

d. Kerusakan pada hajjiyat dan tahsiniyyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak
dharuriyyat
e. Pemeliharaan hajjiyat dan tahsiniyyat diperlukan demi pemeliharaan dharuriyyat secara
tepat.

Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh dalam usaha mencapai pemeliharan lima
unsur pokok secara sempuran, ketiga tingkat maqashid tersebut tidak dapat dipisahkan.
Tampaknya bagi asy-Syatibi, tingkat hajjiyat merupakan penyempurna tingkat dharuriyyat,
tingkat tahsiniyyat merupakan penyempurnaan bagi tingkat hajjiyat, sedangkat dharuriyyat
menjadi pokok hajjiyat dan tahsiniyyat. Pengklasifikasian yang dilakukan asy-Syatibi tersebut
menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Di
samping itu, pengklasifikasian tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika
pemahaman hukum yang diciptakan Allah SWT dalam rangka memwujudkan kemaslahatan
manusia.

Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya
aspek dharuriyyat dapat merusak kehidupan manusia di dunia dan di akhirat secara keseluruhan.
Pengabaian terhadap aspek hajjiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi
hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikanya. Adapun
pengabaian pada aspek tahsiniyyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak
sempurna. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa segala aktifitas atau sesuatu yang bersifat
9
tahsiniyyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqashid yang lebih tinggi
(dharuriyyat dan hajjiyat).

3. Hubungan antara Maqashid Syari’ah dengan Ekonomi Islam

Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa tujuan diturunkannya syari’ah adalah
untuk mencapai kemaslahatan dan mneghidari kemafsadatan pada dua dimensi waktu yang
berbeda, yaitu dunia dan akhirat. Hal ini berarti semua aspek dalam ajaran Islam, harus mengarah
pada tujuan tersebut, tidak terkecuali aspek ekonomi. Oleh karenanya, ekonomi Islam harus
mampu menjadi solusi terhadap problem ekonomi kekinian. Konsekuensi logisnya adalah bahwa
untuk menyusun sebuah bangunan ekonomi Islam maka tidak bisa lepas dari teori maqashid yang
telah dijelaskan sebelumnnya.

Menghidupkan kembali ekonomi Islam yang telah sekian lama terkubir dan nyaris menjadi fosil
merupakan lahan ijtihad. Ini artinya bahwa dituntut kerja keras (ijtihad) dari para ekonom Muslim
untuk mencari nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah yang terkait dengan
ekonomi. Untuk selanjutnya nilai-nilai ideal tersebut diderivasi menjadi teori-teori ekonomi yang
kemudian dapat dijadikan rumusan/ kaidah pada tataran praksis.

Ekonomi Islam semestinya dibangun tanpa menafikan realitas yang ada namun tetap dalam
bingkai maqashid syari’ah. Ini karena maqashid syari’ah sendiri berupaya untuk mengekspresikan
penekan terhadap hubungan antara kandungan kehendak (hukum) Allah dengan aspirasi yang
manusiawi. Syatibi sendiri menyatakan bahwa maqashid syari’ah merupakan “ushulnya ushul”.
Ini berarti menyusun ushul fiqh sebagai sebuah metodologi, tidak dapat lepas dari maqashid
syari’ah. Hal ini karena teori maqashid dapat mengantarkan para mujtahid untuk menentukan
standar kemaslahatan yang sesuai dengan syari’ah atau hukum.

Terkait dengan hal tersebut, kebutuhan utama sebagaimana yang diintrodusir oleh Syatibi
bukanlah sesuatu yang “eksklusif” dan harga mati yang tidak bisa dikembangkan lebih banyak
lagi. Jika para ahli fiqh klasik telah merumuskan pada masa mereka kebutuhan-kebutuhan primer
mereka yang kita kenal dalam al-kulliyah al-khamsah, maka kebutuhan kita tidak cukup hanya
lima kebutuhan primer tersebut. Kita harus mampu menggali dan meletakkan kebutuhan-
kebutuhan primer kekinian sebagai maqashid syari’ah, seperti hak kebebasan berpendapat,

10
berpolitik, pemilu dan suksesi, hak mendapakan pekerjaaan, sandang, pangan, papan, hak
mendapatkan pendidikan, hak pengobatan dan lain sebagianya.

4. Beberapa Implikasi Maqashid Syari’ah terhadap Teori Perilaku Ekonomi

Aturan-aturan dalam syari’ah sangat terkait denga berbagai dimensi aspek perilaku
manusia. Aspek ekonomi hanyalah salah satu dari serangkaian perilaku manusia.

1. Problem Ekonomi

Problem ekonomi biasanya dikaitakan dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu apa yang diproduksi,
bagaimana mempproduksi dan untuk siapa sesuatu itu diproduksi. Pertanyaan-pertanyaan itu
muncul karena adanya keyakinan bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas, sedangkan sumber
daya yang tersedia itu terbatas. Namun demikian teori-teori dalam ekonomi konvensional tidak
mampu untuk memberi jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas. Akibatnya, teoriteori tersebut
tidak dapat secara spesifik mejelaskan problem ekonomi manusia.

Dalam perspektif syari’ah, alasan mengapa seseorang berproduksi dan mengapa harus terlibat
dalam kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagai upaya untuk menjaga kemaslahatan. Aktivitas
ekonomi, baik itu produksi dan konsumsi yang didasarkan pada maslahah, merupakan representasi
proses meraih sesuatu yang lebih aik di dunia dan di akhirat. Segala tindakan ekonomi yang
mengandung maslahah bagi manusia tadi disebut dengan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi.

Memenuhi kebutuhan (meeting/ fulfilling needs) dan bukan memuaskan keinginan (satisfying
wants) merupakan tujuan dalam akatifitas ekonomi yang sekaligus merupakan kewajiban agama.
Oleh karenanya fulfilling needs merupakan kewajiban agama. Berdasakan uraian tersebut maka
yang menjadi problem ekonomi adalah bagaimana individu memenuhi kebutuhan (fulfilling
needs) karena terkadang pada kondisi, waktu dan lokasi tertentu sumber daya yang tersedia
menjadi terbatas.

2. Wants versus Needs

Wants dalam teori ekonomi konvensioanal muncul dari keingina naluriah manusia yang uncul dari
konsep bebas nilai (value-free concept). Ilmu ekonomi konvesional tidak membedakan antara
kebutuhan dan keinginan, karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yaitu
kelangkaan. Mereka berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan, demikian pula sebaliknya.

11
Padahal konsekuensi dari hal ini adalah terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi
buta dan merusak keseimbangan ekologi.14 Pada sisi yang lain, ekonomi Islam justru tidak
memerintahkan manusia untuk meraih segala keingainan dan hasratnya. Memaksimalkan
kepuasan (maximization of satisfaction) bukanlah spirit dalam perilaku konsomsi ekonomi Islam,
karena hal tersebut adalah norma-norma yang disokong oleh peradaban yang materialistik. Sebagai
gantinya ekonomi Islam memerintahkan individu untuk memenuhi kebutuhannya (needs)
sebagaimana yang dikendaki oleh syari’ah. Needs memang muncul dari keinginan naluriah, namun
dalam framework Islam tidak semua keinginan naluriah itu bisa menjadi kebutuhan. Hanya
keinginan yang mengandung maslahah saja yang dapat dikategorikan sebagai needs. Menurut
Maslow, apabila kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan
kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal yang menjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang
individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan
dasarnya telah terpenuhi.

3. Maslahah versus Utility

Teori konvensional menjelaskan utilitas sebagai upaya untuk menguasai/memiliki barang dan jasa
guna memuaskan keinginan manusia. Satisfaction atau kepuasan hanya dapat ditetapkan secara
subyektif, sehingga setiap orang dapat menentukan tingkat kepuasannya tergantung pada kriteria
yang ia tetapkan sendiri. Semua aktifitas ekonomi, baik itu proses produksi maupun konsumsi
didasari pada semangat utilitas. Namun dalam ekonomi Islam hanya barang/jasa yang dapat
mengembangkan dan menompang maslahah saja yang dapat dikategorikan sebagai barang/jasa
yang mengandung maslahah. Oleh karenanya, dari sudut pandang agama, seorang individu
Muslim didorong untuk memperoleh atau memproduksi barang/jasa yang mengandung
kemaslahatan.

14 Mustava Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), hal. 69-70.

15 James H. Donelly, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals of Management, (New York:
Irwin McGraw-Hill,1998), hal. 267.

12
Barang/jasa dapat diukur dengab kemaslahatannya relatif pada kemampuan barang/jasa tersebut
untuk mengembangkan kemaslahatan. Bagi para ekonomi Muslim, konsep maslahah lebih
obyektif daripada konsep utilitas untuk mengeanliasis perilaku para pelaku ekonomi. Meskipun
maslahah mungkin akan menyisakan sedikit subyketifitas, namun subyektifitas tersebut tidak
membuatnya samar seperti yang terjadi dalam konsep utilitas.

Ada tiga alasan mengapa maslahah lebih superior daripada utilitas, antara lain:

A. Maslahah memang bersifat subyektif, karena setiap individu dapat menentukan sesuatu
yang baik/ maslahah bagi diri mereka sendiri. Akan tetapi kriteria untuk menentulan
maslahah ini lebih jelas dan terarah daripada subyektifitas yang ada pada konsep utilitas.
Dalam konsep utilitas, alcohol (minuman keras) bisa jadi mengandung utilitas tapi bisa
juga tidak, relative pada individu masing-masing. Namun dalam ekonomi Islam, karena
alkohol tidak mengandung kemaslahatan dan jelas kontradiktif dengan al-kuliyyah
alkhamsah jelas alkohol tidak akan dikosumsi
B. Konflik kepentingan individu dan kepentingan sosial dapat dihindari atau setidaknya dapat
diminimalisir. Hal ini karena kriteria maslahah antara individu dan sosial dapat
disinkronkan, sesuai yang tertuang dalam aturan-aturan syar’i.
C. Konsep maslahah berlaku pada semua aktifitas ekonomi di masyarakat, baik dalam proses
konsumsi maupun produksi. Berbeda halnya dnegan ekonomi konvensional, dimana
utilitas adalah tujuan dari konsumsi, sedangkan profitatau keuntungan tujuan dari proses
produksi.
D. Institusional Framework Di dalam ekonomi kapitalisme, mekanisme pasar bebas
merupakan institusi bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhannya.

14 Mustava Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), hal. 69-70.

15 James H. Donelly, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals of Management, (New York:
Irwin McGraw-Hill,1998), hal. 267.dalam konsep utilitas.

13
Sistem ekonomi kapitalis juga mempunyai institusi tersendiri untuk memenuhi kebutuhan
individu yang tidak mampu untuk memenuhi keinginannya. Institusi-institusi tersebut
tentunya dibutuhkan untuk membimbing perilaku konsumen dalam Ekonomi Islam.
Namun ada tiga unsur penting yang perlu ditambahkan untuk membangun institusi
tersebut, yaitu:

• Tidak ada perilaku pemborosan (israf);


• Konsistensi dalam pemenuhan kebutuhan sesuai dengan hierarkhi dharuriyyat,
hajjiyyat dan tahsiniyyat;
• Tidak adanya penyimpangan besar-besaran terhadap prinsip-prinsip Islam

Berdasarkan pada kondisi tersebut Fahim Khan dan Ghifari berpendapat bahwa institusi yang
dibangun untuk menangani “penyakit sosial” dalam pola perilaku konsumen adalah:

1. Institusi yang bersifat volunteer yang bertugas untuk mengadakan pendidikan dan
training yang bertujuan agar individu muslim dapat membatasi perilakunya agar tidak
menimbulakan deviasi terhadap dasar-dasar ajaran Islam.
2. Institusi yang mempunyai wewenang dan otoritas yang membatasi perilaku
konsumen agar tidak menimbulkan economic disorder. Institusi yang dimaksud di
sini agar lebih efektif adalah institusi negara sehingga mempunyai kekuatan yang
efektif yang dapat menjaga tatanan sosial dan kepentingan publik. Hal ini karena
kebebasan individu muslim dalam kerangka kerja Islam tidak akan mengganggu
tatanan sosial yang berlaku.

Dalam sejarah Ekonomi Islam, dikenal sebuah lembaga yang disebut dengan alHisbah. Lembaga
yang berada dibawah otoritas negara yang bertugas untuk mengkondisikan masyarakat untuk
melaksanakan tanggung jawabnya adalah sebuah lembaga keagamaan (dalam istilah Ibnu
Khaldun disebut dengan wadzifah diniyyah; sedangkan al-Maqrizi menyebutkan dengan
khidzmah diniyyah). Tujuan lembaga ini adalah untuk mengantisipasi terjadinya deviasi atau
penyimpanan di masyarakat, menjaga keimanan dan memastikan bahwa kesejahteraan masyarakat
baik dalam dimensi duniawi dan ukhrawi sesuai dengan aturan Allah.

14
Melirik trend ekonomi kekinian, maka lembaga yang berwenang untuk mengemban tugas ini
menurut hemat kami dapat dilakukan dengan dua alternatif. Pertama, tugas-tugas tersebut
langsung ditangani oleh pemerintah. Kedua, Pemerintah dapat memainkan peran sebagai regulator
terhadap para “pemain” di pasar. Pemerintah dapat berfungsi sebagai produsen terhadap
barang/jasa sekaligus juga dapat berfungsi segabai konsumen untuk menjaga stabilitas pasar.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Imam al-Syatibi merupakan salah seorang pemikir Islam yang hidup pada keemasan Islam
di Granada karena kota itu menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas
Granada. Al-Syatibi merupakanintelektual Islam yang memiliki kedalaman dan keluasan
ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang fikih Islam. Karya-karya monumentalnya
yang bisa dinikmati sampai sekarang, antara lain: al-Muwafaqatfi Ushulal-Syari’ah al-
I’tisham, dan al-IfadatwaalI syadat.
2. Pemikiran penting al-Syatibi adalah maslahah (kemaslahatan). Kemaslahatan merupakan
tujuan utama adanya syari’ah, maqasidsyari’ah. Maslahah bagi alSyatibi meliputi
kemaslahatan dunia dan akhirat, maka untuk mengukurnya harus dilihat dari tingkat
kebutuhan dasar manusia. Ada tiga kategori tingkatan kebutuhan manusia yaitu: kebutuhan
dharuriyat, hajiyat, tahsiniyah.
3. Konsep maslahah sangat relevan dengan pengembangan ekonomi syariah sehingga
implementasi nilai-nilai maslahahpenting dilakukan untuk membangun sistem ekonomi
yang holistis. Implementasi maslahah bisa dilakukan misalnya dalam hal: konsep
pemenuhan kebutuhan manusia, paradigma aktifitas ekonomi, dan standar utilitydalam
memenuhi kebutuhan barang dan jasa.

B. Saran
Demikian pembahasan dari kelompok 7 sekiranya ada kesalahan dalam penulisan maupun
ketidak jelasan dalam penyampaian materi“ PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU
ISHAQ AL – SYATIBI ” kami mohon maaf karena terbatasnya pengetahuan kami. Semoga
kedepannya kami dapat membuat makalah lebih baik lagi,terimakasih kami ucapkan selaku
kelompok tujuh kepada pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Melis (STEBIS),volume nomor 2 1 agustud 2016. Palembang

Siddiqi, Muhammad Najetullah. 1992. “History of Islamic Thought”, dalam


LecturesonIslamicEconomics.Jeddah: IDB-IRTI.

Arifin, Zainul. 1999. MemahamiBankSyariah:Lingkup,Peluang,Tantangandan


Prospek.Jakarta: Alvabet.

Amalia, Euis. 2017. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Klasik hingga
Kontemporer, cet ke-2. Jakarta: Granada Press.

Chamid, Nur. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Cet ke-1. Jogyakarta:

Pustaka Pelajar.

M. Sadeq and Aidit Ghazali (eds.), Reading in Islamic Economic Thought.

Asy-Syatibi. al-MuwafaqatfiUshulal-Syari’ahJilid 2. Kairo: Musthafa Muhammad.

17

Anda mungkin juga menyukai