(Makalah)
Penulis:
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai kewajiban dalam menyelesaikan tugas berkenaan dengan mata
kuliah Ekonomi Syariah yang diberikan oleh dosen pengampu Bapak Drs. Nurdin, M.Si. dan
Ibu Widya Hestiningtyas, S.Pd., M.Pd.
Penulis menyadari bahwa terselesainya makalah ini dapat terlaksana berkat bantuan berbagai
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan hingga
selesai nya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan-kekurangan dari segi kualitas atau kuantitas maupun dari ilmu pengetahuan yang
penulis kuasai. Oleh karena itu penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk menyempurnakan pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat bagi semua pihak. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
(632-655 M) .......................................................................................... 6
2.3 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Kedua Pada Masa Khulafa’ Al-Rasyidin
Masa Abu Bakar Ra. (656-661 M .......................................................... 10
2.4 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Ketiga Atau Periode Satu Dari Kalangan
Cendikiawan Islam (738-1037m ........................................................... 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun 1976. Paparannya tentang studi
historis ini lebih banyak bersifat diskriptif. Ia belum melakukan analisa kritik,
pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu
oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh ijtihad (pemikiran) dan
bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis. Dengan
demikian, tulisan ini hanya fokus kepada kajian historis, yakni bagaimana
pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba
Jadi, cakupan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tulisan ini ialah
menguraikan secara singkat mata rantai sejarah Pemikiran ekonomi islam dari
2
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui asal usul pemikiran ekonomi islam.
2. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap pertama pasa masa rasulullah
(632-655 M).
3. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap kedua pada masa khulafa’ al-
rasyidin masa abu bakar ra. (656-661 M).
4. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap ketiga atau periode satu dari
kalangan cendikiawan islam (738-1037M).
5. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap keempat atau periode kedua
(1058-1448 M).
6. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap kelima atau periode ketiga
(1446-1931 M).
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
menjadikan pedoman oleh para penggantinya dalam memutuskan masa;ah-
masalah ekonomo. Al-Quran dan Hadis digunakan sebagai dasar pijakan teori
ekonomi oleh para khalifah dan seterusnya dalam menata keidupan ekonomi
negara.
5
antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. (Karim,
2015:08). Baru pada tahun 1930-an ekonomi islam kembali menunjukkan
eksistensinya sebagai salah sau bangunan ilmu yang kukuh dan mampu
menjawab berbagai permasalahan-permasalahan ekonomi kontemporer.
2.2 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Pertama Pasa Masa Rasulullah (632-
655 M).
6
dengan bentuk sederhana telah dibangun. Rasulullah juga telah mengutus
utusan ke pemimpin negara-negara tetangga. Orang-orang ini mengerjakan
tugasnya dengan sukarela dan membiayai hidupnya dari sumber independen,
sedangkan pekerjaan sangat sederhana tidak memerlukan perhatian penuh.
Pada dasarnya, orang-orang yang ingin bertemu kebanyakan orang-orang
miskin. Mereka diberikan makanan dan juga pakaian. Setelah Makkah telah
dikuasai kaum muslimin, jumlah delegasi yang datang bertambah banyak
sehingga tanggung jawab Bilal untuk melayani mereka bertambah (Sudarsono,
2002).
Tentara secara formal juga belum terbentuk. Ketika diseru untuk berjihad,
semua muslim yang mampu dianjurkan untuk menjadi tentara. Mereka tidak
mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari
rampasan perang (ghanimah). Rampasan tersebut meliputi senjata, kuda, unta
dan barang-barang bergerak lain yang didapatkan dalam perang (Sudarsono,
2002). Situasi ini berubah setelah turunnya surat al-Anfal ayat 41:
7
tidak mendapatkan bagian dari ghanimah (Sudarsono, 2002).
8
berikan sebagai tambahan (riba) untuk menambah kekayaan manusia, maka
riba itu tidak menambah di sisi Allah” (QS, 30: 39).
Maka untuk menghilangkan riba ini, al-Qur’an memberi solusi dengan cara
zakat, shodaqah dan sejenisnya. Ini ditandai dengan diwajibkannya shadaqah
fitrah pada tahun kedua hijriyah atau lebih dikenal dengan zakat fitrah setiap
bulan ramadhan datang, yang didistribukan kepada para fakir, miskin, budak,
amil (pengurus zakat), muallaf dan lain-lain. Sebelum diwajibkannya zakat,
pemberian sesuatu kepada orang yang membutuhkan bersifat suka rela dan
belum ada peraturan khusu atau ketentuan hukumnya. Peraturan mengenai
pengeluaran zakat di atas muncul pada tahun ke-9 hijrah ketika dasar Islam
telah kokoh, wilayah negera berekspansi dengan cepat dan orang berbondong-
bondong masuk Islam. Peraturan yang disusun Rasulullah saat itu meliputi
pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas-batas dan tingkat
persentase zakat untuk barang-barang yang berbeda-beda (Karim, 2002).
Aset pemerintahan Islam Madinah juga didapat dari Khaibar, yang terlah
ditaklukkan pada tahun ke-7 hijrah. Setelah pertempuran satu bulan mereka
menyerah dengan syarat tidak meninggalkan tanah mereka. Mereka
9
mengatakan kepada Rasulullah, bahwa mereka memiliki kemampuan dan
pengalaman khusus dalam bertani dan berkebun kurma. Mereka meminta izin
untuk tetap tinggal di Khaibar. Rasulullah mengabulkan permintaan mereka
dan memberikan kepada mereka setengah bagian hasil panen dari tanah
mereka. Sahabat Nabi bernama Abdullah Rawabah biasanya daang tiap tahun
untuk memperkirakan hasil produksi dan membaginya menjadi dua bagian
yang sama banyak. Hal itu terus berlangsung selama masa pemerintahan
kepemimpinan Rasulullah saw. dan Abu Bakar al-Shiddiq (Sudarsono, 2002).
Pada intinya, pada zaman awal-awal Islam pendapatan yang didapatkan oleh
negara Islam Madinah masih sangat kecil. Di antara sumber pendapatan yang
masih kecil itu berasal dari sumber-sumber, diantaranya: rampasan perang
(ghanimah),tebusan tawanan perang, pinjaman dari kaum muslim, khumuz
atau rikaz (harta karun temuan pada periode sebelum Islam), wakaf, nawaib
(pajak bagi muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama
masa darurat, amwal fadhla (harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli
waris), zakat fitrah, kaffarat (denda atas kesalahan yang dilakukan seorang
mislim pada acara keagamaan), maupun sedekah dari kaum muslim dan
bantuan-bantuan lain dari para shahabat yang tidak mengikat.
2.3 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Kedua Pada Masa Khulafa’ Al-
10
Sebelum menjadi Khalifah Abu Bakar tinggal di Sikh yang terletak di
pinggiran kota Madinah. Setelah berjalan 6 bulan dari kekhalifahannya, Abu
Bakar pindah ke pusat kota Madinah dan bersamaan dengan itu sebuah Baitul
Mal dibangun. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarganya diurus oleh
kekayaan dari Baitul Mal ini. Abu Bakar diperbolehkan mengambil dua
setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Mal dengan
beberapa waktu. Ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga
ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan 6000 dirham per
tahun (Al-Usairy, 2006).
11
sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung
didistribusikan seluruhnya kepada kaum Muslimin hingga tidak ada yang
tersisa (Karim, 2006).
Prinsip yang digunakan Abu Bakar dalam mendistribusikan harta baitul mal
adalah prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada
semua sahabat Rasulullah saw. dan tidak membeda-bedakan antara sahabat
yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang kemudian, antara
hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. Dengan
demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar, harta Baitul mal tidak
pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung
didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar
wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh
kaum Muslimin diberikan bagian hak yang sama dari hasil pendapatan
negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum muslimin mendapat
manfaat yang sama dan tidak ada seorangpun yang dibiarkan dalam
kemiskinan (Karim, 2006).
a. Masa Umar bin Khattabb.
Umar bin Khattab merupakan pengganti dari Abu Bakar. Untuk
pertama kalinya, pergantian kepimpinan dilakukan melalui penunjukan.
Berdasarkan hasil musyawarah antara pemuka sahabat memutuskan
untuk menunjuk Umar bin al-Khattab sebagai khalifah Islam kedua.
Keputusan tersebut diterima dengan baik oleh kaum Muslimin. Setelah
diangkat menjadi khalifah, Umar bin Khattab menyebut dirinya sebagai
Khalifah Khalafati Rasulillah (Pengganti dari Pengganti Rasulillah).
Umar juga memperkenal istilah Amir al-Mu’minin (Komandan orang-
orang yang beriman) kepada para sahabat pada waktu itu (Yatim,
2000).
Pemerintahan umar berlangsung sepuluh tahun. Banyak kebijakan-
kebijakan yang dilakukan pada masa Umar, termasuk dibidang
perekonomian pemerintah. Pada masa Umar ini banyak daerah-daerah
disekitar Arab telah dikuasai Islam, termasuk daerah Persia dan
12
Romawi (Syiria, Palistina dan Mesir). Atas keberhasilan dan menguasai
wilayah-wilayah yang diluar wilayah jazirah Arabia ini, Umar dijuluki
sebagai The Saint Paul of Islam (Karim, 2006).
Pada masa ini harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum Muslimin,
sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang
amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk
menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatij, serta anak-anak
terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin; membayar
utang-utang yang bangkrut; membayar uang diyat untuk kasus-kasus
13
tertentu, seperti membayar diyat prajurit Shebani yang membunuh
seorang Kristianiuntuk menyelamatkan nyawanya; serta memberikan
pinjaman tanpa bunya untuk tujuan komersial, seperti kasus Hind bint
Ataba (Karim, 2004).
14
Umar bin Khattab menyadari bahwa sektor pertanian sangat signifikan
dalam membangkitkan perekonomian negara. Oleh karena itu, ia
mengambil langkah-langkah pengembangannya dan juga
mengembalikan kondisi orang-orang yang bekerja di bidang itu. Dia
menghadiahkan kepada orang-orang yang bekerja dibidang itu. Tetapi
siapa saja yang selama 3 tahun gagal mengolahnya yang bersangkutan
akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut. Orang-orang
yang mengungsi, pada waktu terjadi invasi dapat dipanggil kembali dan
dinyatakan boleh menempati kembali tanah mereka. Abu Yusuf
menceritakan tentang keinginan Khaliah memajukan dan membantu
pengembangan pertanian. Pada waktu invansi ke Syiria seorang tentara
Muslim dalam perjalanan melalui telah merusak tanamannya.
Mendengar pengaduan ini, khalifah segera memberi ganti rugi sebesar
10.000 dirham (Sudarsono, 2002).
15
menanyakan kepada Abu Ubaidah, Gubernur Syiria ketika itu, tentang
kewajiban membayar zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahukan
bahwa tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka menguslkan
kepada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakat atas keduanya tetapi
permintaan tersebut tidak dikabulkan. Mereka kemudian mendatangi
kembali Abu Ubaidah dan bersikeras ingin membayar. Akhirnya,
Gubernur menulis surat kepada Khalifah dan Khalifah Umar
menanggapinya dengan sebuah instruksi agar Gubernur menarik zakat
dari mereka dan mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta
budak-budak. Sejak saat itu, zakat kuda ditetapkan sebesar satu dinar
atau atas dasar ad valorem, sperti satu dirham untuk setiap empah puluh
dirham (Karim, 2004).
16
Khalifah Utsman bin Affan mengambil suatu langkah kebijakan tidak
mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban
pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di
bendahara negara. Hal tersebut menimbulkan kesalahfahaman dan
ketidakcocokan dengan Abdullah bin Arqam, bendahara Baitul Mal.
Konflik ini semakin meruncing ketika ia tidak hanya membuat
Abdullah menolak upah dari pekerjaannya, tetapi juga menolak upah
dari pekerjaannya, tetapi juga menolak hadir pada setiap pertemuan
publik yang dihadiri Khalifah. Permasalahan tersebut semakin rumit
ketika muncul berbagai pernyataan kontroversional mengenai
pembelanjaan harta Baitul Mal yang tidak hati-hati (Karim, 2004).
17
Utsman bin Affan berusaha mendiskusikan tingkat harga yang sedang
berlaku di pasaran dengan seluruh kaum Muslimin di setiap selesai
melaksanakan shalat berjamaah (Karim, 2004).
18
Di antara kebijakan ekonomi pada masa pemerintahannya, ia
menetapkan pajak terhadap para pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan
mengizinkan Ibnu Abbas, gubernur Kufah, memungut zakat terhadap
sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan. Pada
sama pemerintahannya juga, Ali mempunyai prinsip bahwa pemerataan
distribusi uang rakyat yang sesuai dengan kapasitasnya. Sistem
distribusi setiap pecan sekali untuk pertama kalinya diadopsi hari kamis
adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua
penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan
baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum
dan kontribusi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi
(Karim, 2006).
Ada persamaan kebijakan ekonomi pada masa Ali bin Abi Thalib
dengan khalifah sebelumnya. Pada masa Ali alokasi pengeluaran
kurang lebih masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa
pemerintahan Khalifah Umar. Pengeluaran untuk ankatan laut yang
ditambah jumlahnya pada masa Khalifah Utsman dihilangkan karena
sepanjang garis pantai Syiria, Palestina, dan Mesir berada di bawah
kekuasaan Muawiyah. Namun demikian, dengan adanya penjaga malam
dan patrol yang telah terbentuk sejak masa pemerintahan Khalifah
Umar, Ali membentuk polisi yang terorganisasi secara resmi yang
disebut syurthah dan pemimpinnya diberi gelar shahibu al-sulthah
(Karim, 2006).
19
pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya. Dalam surat
itu juga disebutkan kelebihan dan kekuarangn para jaksa, hakim, dan
abdi hukum lainnya; selain itu juga menjelaskan pendapatan pegawai
admisitrasi dan pengadaan perbendaharaan. Dalam suratnya juga
disebutkan bagaimana berhubungan dengan masyarakat sipil, lembaga
peradilan dan angkatan perang. Selanjutnya, Ali menekankan Malik
agar lebih memperhatikan kesejahteraan para prajurit dan keluarga dan
diharapkan berkomunikasi langsung dengan masyarakat melalui
pertemuan terbuka, terutama dengan orang-orang miskin (Karim, 2006)
2.4 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Ketiga atau Periode Satu Dari
Kalangan Cendikiawan Islam (738-1037M)
Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut:
20
seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas
kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap
pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum
Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori
utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh
Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum
Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi
terpenuhinya kebutuhan bersama (Zahrah,dkk. 1952: 73-74)
e. Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum
serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan
pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni
Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang
kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis
atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-
Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa
rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena
itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-
shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas
bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan
menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang
dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka.
Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah
peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil”
oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran
kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian
harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa.
21
g. Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan
sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (al-Qadli H
Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang
tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu
22
fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat
kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya
sehingga ia berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun
mengutip atsar Sahabat yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar
selalu berdzikir kepada Allah manakala dalam keadaan ragu, ketika
bersumpah, dan ketika mengadili atau menetapkan dan memutuskan
hukum. Abu ‘Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa masalah
ekonomi tak terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa.
Dengan kata lain, ilmu ekonomi syariah adalah bagian tak terpisahkan dari
ilmu hukum ketata-negaraan. Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia
menjelaskan aneka jenis harta yang dikuasai negara dan hak rakyat atas
harta termaksud dengan cara yang lebih terurai dan selalu berdasarkan
rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari tehnis
penulisannya dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat
Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam
Malik, al-Muwatha’, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk
dan petunjuk hukum Islam.
5. Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil
kerja;
23
7. pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran;
2.5 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-
1448)
Periode ini juga bisa dikenal dengan abad pertengahan dalam perkembangan
pemikiran ekonomi Islam, dimulai pada abad 11 – 15 M. Periode ini juga bisa
disebut dengan periode/ fase cemerlang dikarenakan banyak sekali warisan
intelektual yang bisa ditemukan khususnya terkait pemikiran ekonomi Islam.
Pada periode ini, para tokoh-tokoh pemikir telah mampu meyusun suatu
konsep tentang bagaimana kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan Al-
Qur’an dan Hadits. Tokoh-tokoh yang muncul pada periode ini seperti Al-
Ghozali (1111 M), Ibnu Taimiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M),
Syamsudin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud
Al Kasani (1182 M), Fakhruddin al Razi (1210 M), Najmudin Al Razi (1256
M), Ibnul Ukhuwa ( 1329 M), Ibnul Qayyim (1350 M), Muhammad bin Abdul
Rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi
(1441 M), Al Hujwary ( 1096 M), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar
(1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M),
dan Ibnu Rusyd (1198 M).
Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut:
24
unsur, yaitu materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini
interdependence;
c. Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq
–i-Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap
menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia
tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan
yang cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama
25
dengan lainya dan setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan
profesinya sehingga menghasilkan konsumsi yang lebih dari cukup untuk
dirinya sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan pertukaran produk
barang-barang yang menjamin ketersediannya untuk semua orang. Dengan
demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya, membedakan aktivitas
dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka mungkin melakukan
pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu. Perbedaan-
perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem
ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah
berbagai bentuk kontrak sosial.
26
Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika”
telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah
pengetahuan normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur yang
berarti massa yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari
ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu.
Individu adalah bagian dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku
pada massa, bukan pada individu yang terkucil. Ia melihat hubungan
timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika dan
pendidikan. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang
mendasar, yakni; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap
sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan
penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb.
Pemikiranya kiranya dapat disejajarkan dengn penulis klasik sekaliber
Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.
2.6 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Kelima Atau Periode Ketiga (1446-
1931 M)
Periode ini juga bisa disebut dengan periode/fase kemerosotan. Periode ini
juga ditandai dengan lenyapnya sistem Islam yang menaungi ekonomi Islami.
Kekhilafahan Ustmani Turki tercatat runtuh pada 03 Maret 1924 M dengan
diproklamirkannya sistem kenegaraan yang baru yakni Republik Turki. Sejak
saat itu, tidak ada lagi penerapan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem. Yang
ada hanya penerapan ekonomi Islam bagi individu masyarakat yang berkenan
menerapkannya untuk dirinya saja. Namun yang paling penting dari
kemerosotan pemikiran ekonomi Islam pada peridoe ini adalah disebabkan
oleh adanya asumsi yang mengatakan bahwa telah tertutupya pintu ijtihad
pada waktu itu.
Akan tetapi, pada periode ini juga masih bisa ditemukan beberapa tokoh yang
berusaha melakukan pembaharuan selama dua abad terakhir yang menyeru
untuk kembali pada Al-Qur’an dan Hadits, yakni Syeh Ahmad Sirhindi (1526
M), Ibnu Nujaim (1562 M), Shah Waliyullah Al Delhi (1726 M), Muhammad
bin Abdul Wahab (1787 M), Ibnu Abidin (1836 M), Jamaluddin Al Afghani
27
(1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), dan Muhammad Iqbal (1938
M).
2.7 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Keenam Atau Periode Lanjut (1931 M-
Sekarang)
Periode ini juga bisa dikenal dengan abad atau fase kontemporer. Sebenarnya
setelah tahun 1930-an, kebangkitan kembali melanda intelektualitas
cendekiawan Muslim. Yang dibuktikan salah satunya dengan kemerdekaan
beberapa negara-negara Muslim dari kolonialisme Barat. Tokoh-tokoh yang
muncul pada periode ini, diantaranya adalah Muhammad Nejatullah Siddiqi
(1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi ( 1935 M), Muhammad Abdul Mannan
(1938 M), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as
Sadr, Umer Chapra, dan lain-lain.
Topik kajian pada periode ini terbagi menjadi tiga kelompok seperti yang
dikemukakan oleh Zarqa pada tahun 1980, yakni :
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh melalui penyusunan makalah ini adalah :
Perkembangan pemikiran ekonomi islam secara umum dimulai dari
diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam Al-Qur’an. Berbagai ayat
Al-Qur’an menunjukkan bahwa islam telah menetapkan pokok pemikiran
ekonomi sejak disyariatkan islam atau sejak Rasulullah SAW ditunjuk
sebagai Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan sejumlah kebijakan yang
menyangkut berbagai hal yang berkaitan deng an masalah kemasyarakatan,
seperti hukum (fiqih), politik (siyasah), perkawinan (munakahat), dan
perniagaan atau ekonomu (muamalah). Muhammad Aslam Hanef,
Muhammad Nejatullah Siddiqi, dan Adiwarman Karim sepakat bahwa
perkembangan ekonomi islam dari sejak Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang dapat dibagi menjadi enam tahapan. Tahap pertama, dimulai dari
632 sampai tahun 656 M disebut sebagai pemikiran ekonomi islam pada masa
Rasulullah SAW. Tahap kedua, dimulai dari tahun 656 M sampai 661 M,
disebut sebagai pemikiran ekonomi islam pada masa Khulafaur Rasyidin.
Tahap ketiga, sering disebut sebagai periode awal emikiran ekonomi islam
dari kalangan cendikiawan dimulai tahun 738 M sampai 1037 M. Tahap
keempat atau periode kedua dimulai dari tahun 1058 sampai tahun 1448 M.
Tahap kelima atau periode ketiga dimulai dari tahun 1446 sampai 1931 M.
Tahap keenam atau periode lanjut, dimulai dari tahun 1931 M sampai
sekarang.
3.1. Saran
Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari saran dan kritik pembaca,
sehingga penulis dapat mengetahui kekurangan dan menjadi lebih baik di
masa mendatang, semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca dalam
memahami sistem pengendalian manajemen dan akuntansi
pertanggungjawaban.
29
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal.
73-74, 335-383, 432.
30
dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan BAPPEBTI Deperindag RI
Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
31