Anda di halaman 1dari 34

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

(Makalah)

Penulis:

1. Yayah Rogayah (1713031026)


2. Asri Putri Handayani (1713031048)
3. Iqbal Akbar (1753031010)
Kelas :B
Mata Kuliah : Ekonomi Syariah
Dosen : 1. Drs. Nurdin,M.Si.
2. Widya Hestiningtyas, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun sebagai kewajiban dalam menyelesaikan tugas berkenaan dengan mata
kuliah Ekonomi Syariah yang diberikan oleh dosen pengampu Bapak Drs. Nurdin, M.Si. dan
Ibu Widya Hestiningtyas, S.Pd., M.Pd.

Penulis menyadari bahwa terselesainya makalah ini dapat terlaksana berkat bantuan berbagai
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan hingga
selesai nya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan-kekurangan dari segi kualitas atau kuantitas maupun dari ilmu pengetahuan yang
penulis kuasai. Oleh karena itu penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk menyempurnakan pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat bagi semua pihak. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Bandar Lampung, 14 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................i


KATA PENGANTAR ......................................................................................ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................... 3
1.4 Metode Penulisan .................................................................................. 3

Bab II Pembahasan ......................................................................................... 4

2.1 Asal Usul Pemikiran Ekonomi Islam ..................................................... 4

2.2 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Pertama Pasa Masa Rasulullah

(632-655 M) .......................................................................................... 6

2.3 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Kedua Pada Masa Khulafa’ Al-Rasyidin
Masa Abu Bakar Ra. (656-661 M .......................................................... 10

2.4 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Ketiga Atau Periode Satu Dari Kalangan
Cendikiawan Islam (738-1037m ........................................................... 20

2.5 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Keempat Atau Periode

Kedua (1058-1448 M) ........................................................................... 24

2.6 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Kelima Atau Periode

Ketiga (1446-1931 M) ........................................................................... 27


BAB III PENUTUP ......................................................................................... 29

3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 29

3.2 Saran ..................................................................................................... 29


DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah

pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah

Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun tidak menyentuh sejarah

pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku sejarah Islam lebih dominan

bermuatan sejarah politik. Kajian yang khusus tentang sejarah pemikiran

ekonomi Islam adalah tulisan Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi yang

berjudul Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary

Literature dan Artikelnya berjudul History of Islamic Economics Thought .

Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun 1976. Paparannya tentang studi

historis ini lebih banyak bersifat diskriptif. Ia belum melakukan analisa kritik,

khususnya terhadap “kejahatan” intelektual yang dilakukan ilmuwan Barat

yang menyembunyikan peranan ilmuwan Islam dalam mengembangkan

pemikiran ekonomi, sehingga kontribusi pemikiran ekonomi Islam tidak

begitu terlihat pengaruhnya terhadap ekonomi modern.

Menurut Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy pemikiran ekonomi Islam

adalah respons para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi

pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu

oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh ijtihad (pemikiran) dan

pengalaman empiris mereka.

Pemikiran adalah sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan

sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam

pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-quran dan sunnah tentang


ekonomi tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah

atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan Sunnah tentang

ekonomi ( Hoetoro, 207:39). Obyek pemikiran ekonomi Islam juga mencakup

bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis. Dengan

demikian, tulisan ini hanya fokus kepada kajian historis, yakni bagaimana

usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran Alquran

pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba

memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga menganalisa kebijakan-

kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya (Abdullah, 2010:15)

Jadi, cakupan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tulisan ini ialah

menguraikan secara singkat mata rantai sejarah Pemikiran ekonomi islam dari

masa Rasulullah SAW hingga saat ini.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana asal usul pemikiran ekonomi islam?
2. Bagaimana pemikiran ekonomi islam tahap pertama pasa masa rasulullah
(632-655 M)?
3. Bagaimana pemikiran ekonomi islam tahap kedua pada masa khulafa’ al-
rasyidin masa Abu Bakar ra. (656-661 M) ?
4. Bagaimana pemikiran ekonomi islam tahap ketiga atau periode satu dari
kalangan cendikiawan islam (738-1037M)?
5. Bagaimana pemikiran ekonomi islam tahap keempat atau periode kedua
(1058-1448 M)?
6. Bagaimana pemikiran ekonomi islam tahap kelima atau periode ketiga
(1446-1931 M)?

2
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui asal usul pemikiran ekonomi islam.
2. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap pertama pasa masa rasulullah
(632-655 M).
3. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap kedua pada masa khulafa’ al-
rasyidin masa abu bakar ra. (656-661 M).
4. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap ketiga atau periode satu dari
kalangan cendikiawan islam (738-1037M).
5. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap keempat atau periode kedua
(1058-1448 M).
6. Mengetahui pemikiran ekonomi islam tahap kelima atau periode ketiga
(1446-1931 M).

1.3 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis menggunakan metode study pustaka yakni penulis
melakukan pengumpulan informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan
mencari referensi-referensi yang berhubungan dengan makalah, yang
diperoleh dari e-book, jurnal dan internet.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asal Usul Pemikiran Ekonomi Islam

Perkembangan pemikiran ekonomi islam secara umum dimulai dari


diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam Al-Qur’an yakni, pertama,
tentang pengelolaan harta (Q.S al- A’raaf [7]: 128, ar-Rahman [55]:33, an-
Nisaa’ [4] :10 dan lain-lain. Kedua, tentang perdagangan (QS. Al-Baqarah [2]
:275, 279, 282, ar-Ra’d [13] :11, Yunus [10]: 67, al-Lail [92]: 4 dan lain-lain.
Ketiga, tentang riba (QS. Ali Imran [3]:130, al-Baqarah [2]: 276, 278, an-
Nisaa’ [4] :161 dan ar-Rum [30]:39). Ke-empat, tentang utang (QS. Al-
Baqarah [2]: 280. 282, 283). Kelima, tentang pertanian dan perkebunan (QS.
Al-An’am [6]:99). Keenam, tentang perikanan dan perhiasan. Lautan yang
mahaluas diciptakan Allah untuk memenuhi kehidupan manusia (QS. An-Nahl
[16]:14). Ketujuh, tentang peternakan (QS. An-Nahl [16] :5). Kedelapan,
tentang pertambangan dan industri (QS. Al-Hadiid [57] :25). Kesembilan,
tentang pakaian (QS. Al-A’raaf [7]:26). Kesepuuh, tentang industri konstruksi
( QS. Al- A’raaf [7] : 74, an-Nahl [16]:80). Kesebelas tentang industri
perkapalan (QS. Hudd [11]:37). Kedua belas, tentang industri besi baja (QS.
Al- Anbiya’ [21]:80. Ketiga belas, tentang sumberdaya alam dan bahan baku ,
produksi, distribusi dan konsumsi (QS. Al-an’am [6]: 141. Keempat belas
tentang kehalalan binatang ternak ( QS. Al-Maidah [5]:1) dan lain-lain.

Berbagai ayat diatas menunjukkan bahwa islam telah menetapkan pokok


pemikiran ekonomi sejak disyariatkan islam atau sejak Rasulullah SAW
ditunjuk sebagai Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan sejumlah kebijakan
yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan deng an masalah
kemasyarakatan, seperti hukum (fiqih), politik (siyasah), perkawinan
(munakahat), dan perniagaan atau ekonomu (muamalah).

Masalah-masalah ekonomi menjadi perhatian rasulalullah SAW, karena


masalah ekonomi merupakan pilar penyangga keiamanan yang harus
diperhatikan. Selanjautanya, kebijakan- kebijakan Rasulullah SAW

4
menjadikan pedoman oleh para penggantinya dalam memutuskan masa;ah-
masalah ekonomo. Al-Quran dan Hadis digunakan sebagai dasar pijakan teori
ekonomi oleh para khalifah dan seterusnya dalam menata keidupan ekonomi
negara.

Muhammad Aslam Hanef, Muhammad Nejatullah Siddiqi, dan Adiwarman


Karim sepakat bahwa perkembangan ekonomi islam dari sejak Nabi
Muhammad SAW sampai sekarang dapat dibagi menjadi enam tahapan.
Tahap pertama, dimulai dari 632 sampai tahun 656 M disebut sebagai
pemikiran ekonomi islam pada masa Rasulullah SAW. Tahap kedua, dimulai
dari tahun 656 M sampai 661 M, disebut sebagai pemikiran ekonomi islam
pada masa Khulafaur Rasyidin. Tahap ketiga, sering disebut sebagai periode
awal emikiran ekonomi islam dari kalangan cendikiawan dimulai tahun 738 M
sampai 1037 M. Tahap keempat atau periode kedua dimulai dari tahun 1058
sampai tahun 1448 M. Tahap kelima atau periode ketiga dimulai dari tahun
1446 sampai 1931 M. Tahap keenam atau periode lanjut, dimulai dari tahun
1931 M sampai sekarang.

Dari tahap perkembangan pemikiran ekonomi islam diatas dpat dipahami


bahwa ekonomi islam pada dasarnya sudah dibahas dan dipraktikkan dalam
kehdupan sehari-hari. Bahkan sejak masa Rasulullah SAW dan sahabat-
sahabatnya. Akan tetapi perkembagan ekonomi islam terhenti, karena adanya
dikatomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang lahir akibat dogmatisasi
yang terjadi pada masa kegelapan (taqlid), konsekuensinya ada
ketidakpercayaan terhada kemampuan eknomi islam dalam menjawab
berbagai permasalahan yang muncul dalam bidang ekonomi. Selain itu
kuatnya dominasi kapitalis dan sosialis buah dari politik imperialisme dan
kolonialisme menjadikan ekonomi islam makin tergerus dan muali
ditiggalkan.

Kemudian diperparah ddengan diabaikannya kontribusi pemikiran ekonomi


tersebut oleh para ilmuan barat. Dengan cara buku-uku teks ekonomi barat
yang hampir tidak pernah menyebutkan peranan kaum muslimin ini. Para
sejarawan barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sumsi bahwa peride

5
antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. (Karim,
2015:08). Baru pada tahun 1930-an ekonomi islam kembali menunjukkan
eksistensinya sebagai salah sau bangunan ilmu yang kukuh dan mampu
menjawab berbagai permasalahan-permasalahan ekonomi kontemporer.

2.2 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Pertama Pasa Masa Rasulullah (632-
655 M).

Munculnya Islam dengan diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah


merupakan babak baru dalam sejarah dan peradaban manusia. Pada saat di
Makkah Rasullah saw. mengemban tugas menguatkan pondasi akidah kaum
muslim. Rasulullah di Makkah hanya berposisi sebagai pemuka agama.
Sedangkan ketika hijrah ke Madinah, saat pertama kali tiba keadaan Madinah
masih kacau. Masyarakat Madinah belum memiliki pemimpin atau raja yang
berdaulat. Yang ada hanya kepala-kepala suku yang menguasai daerahnya
masing-masing. Suku-suku yang terkenal saat itu adalah suku Aus dan
Khazraj. Pada saat masih berupa suku-suku ini kota Madinah belum ada
hukum dan pemerintahan. Antar kelompok masih saling bertikai. Kelompok
yang terkaya dan terkuat adalah Yahudi, namun ekonominya masih lemah dan
bertopang pada bidang pertanian (Karim, 2002).

Kedatangan Rasulullah di Madinah diterima dengan tangan terbuka dan penuh


antusias oleh masyarakat Madinah. Dalam waktu yang singkat beliau menjadi
pemimpin suatu komunitas yang kecil yang terdiri dari para pengikutnya,
namun jumlah hari demi hari semakin meningkat. Hampir seluru penduduk
kota Madinah menerima Nabi Muhammad menjadi pemimpin di Madinah, tak
terkecuali orang-orang Yahudi. Di bawah kepemimpinannya, Madinah
berkembang cepat dan dalam waktu sepuluh tahun telah menjadi negara yang
sangat besar dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di seluruh jazirah
Arab (Karim, 2002).

Di Madinah, Rasulullah mula-mula mendirikan majelis syura, majelis ini


terdiri dari pemimpin kaum yang sebagian dari mereka bertanggung jawab
mencatat wahyu. Pada tahun 6 Hijriyah Rasulullah mengangkat sekretaris

6
dengan bentuk sederhana telah dibangun. Rasulullah juga telah mengutus
utusan ke pemimpin negara-negara tetangga. Orang-orang ini mengerjakan
tugasnya dengan sukarela dan membiayai hidupnya dari sumber independen,
sedangkan pekerjaan sangat sederhana tidak memerlukan perhatian penuh.
Pada dasarnya, orang-orang yang ingin bertemu kebanyakan orang-orang
miskin. Mereka diberikan makanan dan juga pakaian. Setelah Makkah telah
dikuasai kaum muslimin, jumlah delegasi yang datang bertambah banyak
sehingga tanggung jawab Bilal untuk melayani mereka bertambah (Sudarsono,
2002).

Tentara secara formal juga belum terbentuk. Ketika diseru untuk berjihad,
semua muslim yang mampu dianjurkan untuk menjadi tentara. Mereka tidak
mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari
rampasan perang (ghanimah). Rampasan tersebut meliputi senjata, kuda, unta
dan barang-barang bergerak lain yang didapatkan dalam perang (Sudarsono,
2002). Situasi ini berubah setelah turunnya surat al-Anfal ayat 41:

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai


rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.
Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. al-Anfal: 41).

Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah mengimple-mentasikannya kepada para


sahabatnya yang telah menang dalam peperangan. Rasulullah membagi
seperlima (khums) rampasan perang menjadi tiga bagian. Bagian pertama
untuk Rasulullah sendiri dan keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya dan
bagian ketiga untuk anak yatim piatu, orang yang membutuhkan dan yang
sedang dalam perjalanan (ibnu sabil). Empat perlima bagian yang lain dibagi
di antara para prajurit yang ikut dalam perang (dalam kasus tertentu beberapa
orang yang tidak ikut serta dalam perang juga mendapat bagian). Penunggang
kuda mendapatkan dua bagian, untuk dirinya sendiri dan kudanya. Bagian
untuk prajurit wanita yang hadir dalam perang untuk membantu beberapa hal

7
tidak mendapatkan bagian dari ghanimah (Sudarsono, 2002).

Permasalahan ekonomi yang dibangun Rasulullah di Madinah dilakukan


setelah menyelesaikan urusan politik dan masalah konstitusional. Rasulullah
meletakkan sistem ekonomi dan fiskal negara sesuai dengan ajaran al-Qur’an.
Al-Qur’an telah meletakkan dasar-dasar ekonomi. Prinsip Islam yang dapat
dijadikan poros dalam semua urusan duniawi termasuk masalah ekonomi
adalah kekuasan tertinggi hanyalah milik Allah swt. semata (QS, 3: 26, 15:2,
67:1) dan manusia diciptkan sebagai khalifah-Nya di muka bumi (QS, 2:30,
4:166, 35:39), sebagai pengganti Allah di muka bumi, Allah melimpahkan
urusan bumi untuk dikelola manusia sebaik-baiknya. Kamakmuran dunia
merupakan pemberian Allah Swt. dan manusia akan dapat mencapai
keselamatannya jika ia dapat menggunakan kemakmuran tersebut dengan baik
dan dapat memberikan keuntungan bagi orang lain (Karim, 2002).

Dalam sistem ekonominya, Islam mengakui kepemilikan pribadi, Dalam


mencari nafkah kaum muslimin berkewajiban mencara nafkah yang halal dan
dengan cara yang adil. Rasulullah pun menganjurkan mencari nafkah yang
baik adalah melalui perniagaan dan jual beli. Dalam berniagaan Rasulullah
melarang mencari harta kekayaan dengan cara-cara yang ilegal dan tidak
bermoral. Islam tidak mengakui permbuatan menimbun kekayaan atau
mengambil keuntungan atas kesulitan orang lain. Di sisi lain, terdapat pula
cara-cara perniagaan yang dilarang oleh Islam, misalnya judi, menimbunan
kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, korupsi, bunya, riba dan aktivitas-
aktivitas yang sejenisnya (Karim, 2002).

Pada zaman Rasulullah, sudah mulai ditanamkan larangan pembungaan uang


atau riba, sebagaimana yang biasa oleh orang-orang Yahudi di Madinah. Islam
benar-benar menentang praktik-praktik tidak fair dalam perekonomian
tersebut. Karena riba didasarkan atas pengeluaran orang dan merupakan
eksploitasi yang nyata, dan Islam melarang bentuk eksploitasi apapn “apakah
itu dilakukan olehorang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, oleh penjual
terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budak, oleh laki-laki terhadap
wanita, dan lain sebagainya.” Al-Qur’an pun menyebut, “Dan apa yang kamu

8
berikan sebagai tambahan (riba) untuk menambah kekayaan manusia, maka
riba itu tidak menambah di sisi Allah” (QS, 30: 39).

Maka untuk menghilangkan riba ini, al-Qur’an memberi solusi dengan cara
zakat, shodaqah dan sejenisnya. Ini ditandai dengan diwajibkannya shadaqah
fitrah pada tahun kedua hijriyah atau lebih dikenal dengan zakat fitrah setiap
bulan ramadhan datang, yang didistribukan kepada para fakir, miskin, budak,
amil (pengurus zakat), muallaf dan lain-lain. Sebelum diwajibkannya zakat,
pemberian sesuatu kepada orang yang membutuhkan bersifat suka rela dan
belum ada peraturan khusu atau ketentuan hukumnya. Peraturan mengenai
pengeluaran zakat di atas muncul pada tahun ke-9 hijrah ketika dasar Islam
telah kokoh, wilayah negera berekspansi dengan cepat dan orang berbondong-
bondong masuk Islam. Peraturan yang disusun Rasulullah saat itu meliputi
pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas-batas dan tingkat
persentase zakat untuk barang-barang yang berbeda-beda (Karim, 2002).

Tatanan ekonomi negera madinah sampai tahun keempat hijrah, pendapatan


dan sumber dayanya masih relatif kecil. Kekayaan pertama datang dari banu
Nadzir, kelompok ini masuk dalam pakta Madinah tetapi mereka melanggar
perjanjian, bahkan berusaha membunuh Rasulullah saw. nabi meminta mereka
meninggalkan kota Madinah, akan tetapi mereka menolaknya, Nabipun
mengerahkan tentara untuk mengepung mereka. Pada akhirnya, mereka
menyerah dan setuju meninggalkan kota dengan membawa barang-barang
sebanyak daya angkut unta, kecuali baju baja. Semua milik Banu Nadzir yang
ditinggalkan menjadi milik Rasulullah saw. sebagaimana ketentuan yang
sampaikan Allah dalam al-Qur’an, kaerena mereka mendapatkan tanpa
peperangan. Rasulullah pun membagikan tanah-tanah ini kepada kaum fakir
miskin dari golongan anshar dan muhajirin. Sendangkan bagian Rasulullah
diberikan kepada keluarganya untuk memenuhi kebutuhannya (Sudarsono,
2002).

Aset pemerintahan Islam Madinah juga didapat dari Khaibar, yang terlah
ditaklukkan pada tahun ke-7 hijrah. Setelah pertempuran satu bulan mereka
menyerah dengan syarat tidak meninggalkan tanah mereka. Mereka

9
mengatakan kepada Rasulullah, bahwa mereka memiliki kemampuan dan
pengalaman khusus dalam bertani dan berkebun kurma. Mereka meminta izin
untuk tetap tinggal di Khaibar. Rasulullah mengabulkan permintaan mereka
dan memberikan kepada mereka setengah bagian hasil panen dari tanah
mereka. Sahabat Nabi bernama Abdullah Rawabah biasanya daang tiap tahun
untuk memperkirakan hasil produksi dan membaginya menjadi dua bagian
yang sama banyak. Hal itu terus berlangsung selama masa pemerintahan
kepemimpinan Rasulullah saw. dan Abu Bakar al-Shiddiq (Sudarsono, 2002).

Pada intinya, pada zaman awal-awal Islam pendapatan yang didapatkan oleh
negara Islam Madinah masih sangat kecil. Di antara sumber pendapatan yang
masih kecil itu berasal dari sumber-sumber, diantaranya: rampasan perang
(ghanimah),tebusan tawanan perang, pinjaman dari kaum muslim, khumuz
atau rikaz (harta karun temuan pada periode sebelum Islam), wakaf, nawaib
(pajak bagi muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama
masa darurat, amwal fadhla (harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli
waris), zakat fitrah, kaffarat (denda atas kesalahan yang dilakukan seorang
mislim pada acara keagamaan), maupun sedekah dari kaum muslim dan
bantuan-bantuan lain dari para shahabat yang tidak mengikat.

2.3 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Kedua Pada Masa Khulafa’ Al-

Rasyidin Masa Abu Bakar ra. (656-661 M)

Setelah Rasulullah wafat, kaum muslimin mengangkat Abu Bakar menjadi


khalifah pertama. Abu Bakar mempunyai nama lengkap Abdullah bin Abu
Quhafah al-Tamimi. Masa pemerintahan Abu Bakar tidak berlangsung lama,
hanya sekitar dua tahunan. Dalam kepemimpinannya Abu Bakar banyak
menghadapi persoalan dalam negerinya, di antaranya kelompok murtad, nabi
palsu, dan pembangkang membayar zakat. Berdasarkan musyawarah dengan
para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut
melalui apa yang disebut sebagai perang Riddah (perang melawan
kemurtadan) (Yatim, 2000).

10
Sebelum menjadi Khalifah Abu Bakar tinggal di Sikh yang terletak di
pinggiran kota Madinah. Setelah berjalan 6 bulan dari kekhalifahannya, Abu
Bakar pindah ke pusat kota Madinah dan bersamaan dengan itu sebuah Baitul
Mal dibangun. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarganya diurus oleh
kekayaan dari Baitul Mal ini. Abu Bakar diperbolehkan mengambil dua
setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Mal dengan
beberapa waktu. Ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga
ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan 6000 dirham per
tahun (Al-Usairy, 2006).

Namun di sisi lain, beberapa waktu menjelang wafatnya Abu Bakar, ia


banyak menemui kesulitan dalam mengumpulkan pendapatan negara
sehingga ia menayakan berapa banyak upah atau gaji yang telah diterimanya.
Ketika diberitahukan bahwa jumlah tunangannya sebesar 8000 dirham, ia
langsung memerintahkan untuk menjual sebagian besar tanah yang
dimilikinya dan seluruh hasil penjualannya diberikan kepada negara. Juga,
Abu bakarr mempertanyakan tentang berapa banyak fasilitas yang telah
dinikmatinya selama menjadi khalifah. Ketika diberitahukan tentang
fasilitasnya, ia segera menginstruksikan untuk mengalihkan semua fasilitas
tersebut kepada pemimpin berikutnya nanti (Karim, 2004).

Dalam menjalankan pemerintahan dan roda ekonomi masyarakat Madinah


Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Abu Bakar
juga mengambil langkah-langkah yang strategis dan tegas untuk
mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui (a’rabi) yang
kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan membayar zakat
sepeninggal Rasulullah saw. Dalam kesempatan yang lain Abu Bakar
mengintruksikan pada pada amil yang sama bahwa kekayaan dari orang yang
berbeda tidak dapat digabung, atau kekayaan yang telah digabung tidak dapat
dipisahkan. Hal ini ditakutkan akan terjadi kelebihan pembayaran atau
kekurangan penerimaan zakat. Hasil pengumpulan zakat tersebut dijakan

11
sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung
didistribusikan seluruhnya kepada kaum Muslimin hingga tidak ada yang
tersisa (Karim, 2006).

Prinsip yang digunakan Abu Bakar dalam mendistribusikan harta baitul mal
adalah prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada
semua sahabat Rasulullah saw. dan tidak membeda-bedakan antara sahabat
yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang kemudian, antara
hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. Dengan
demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar, harta Baitul mal tidak
pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung
didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar
wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh
kaum Muslimin diberikan bagian hak yang sama dari hasil pendapatan
negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum muslimin mendapat
manfaat yang sama dan tidak ada seorangpun yang dibiarkan dalam
kemiskinan (Karim, 2006).
a. Masa Umar bin Khattabb.
Umar bin Khattab merupakan pengganti dari Abu Bakar. Untuk
pertama kalinya, pergantian kepimpinan dilakukan melalui penunjukan.
Berdasarkan hasil musyawarah antara pemuka sahabat memutuskan
untuk menunjuk Umar bin al-Khattab sebagai khalifah Islam kedua.
Keputusan tersebut diterima dengan baik oleh kaum Muslimin. Setelah
diangkat menjadi khalifah, Umar bin Khattab menyebut dirinya sebagai
Khalifah Khalafati Rasulillah (Pengganti dari Pengganti Rasulillah).
Umar juga memperkenal istilah Amir al-Mu’minin (Komandan orang-
orang yang beriman) kepada para sahabat pada waktu itu (Yatim,
2000).
Pemerintahan umar berlangsung sepuluh tahun. Banyak kebijakan-
kebijakan yang dilakukan pada masa Umar, termasuk dibidang
perekonomian pemerintah. Pada masa Umar ini banyak daerah-daerah
disekitar Arab telah dikuasai Islam, termasuk daerah Persia dan

12
Romawi (Syiria, Palistina dan Mesir). Atas keberhasilan dan menguasai
wilayah-wilayah yang diluar wilayah jazirah Arabia ini, Umar dijuluki
sebagai The Saint Paul of Islam (Karim, 2006).

Dalam pemerintahannya ini, banyak hal yang menjadi kebijakan Umar


terkait dengan perekonomian masyarakat Muslim pada waktu itu, di
antaranya:
Pertama, pendirian Lembaga Baitul Mal. Seiring dengan perluasan
daerah dan memenangi banyak peperangan, pendapatan kaum muslimin
mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini memerlukan perhatian
khusus dalam pengelolaannya, agar dapat dimanfaatkan secara benar,
efektif dan efisien. Setelah mengadakan musyawarah dengan para
pemuka sahabat, maka diputuskan untuk tidak menghabiskan harta
Baitul Mal sekaligus, akan tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan masyarakat didasarkan atas musyawarah.

Dalam pemerintahan Khalifah Umar, Baitul Mal berfungsi sebagai


pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan Khalifah merupakan pihak
yang berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal. Namu demikian,
Khalifah tidak diperbolehkan menggunakan harta Baitul Mal untuk
kepentingan pribadi. Dalam hal ini, tunjangan Umar sebagai Khalifah
untuk setiap tahunnya adalah tetap, akni sebesar 5000 dirham, dua stel
pakaian yang biasa digunakan untuk musim panas (shaif) dan musim
dingin (syita’) serta serta seekor binatang tunggangan untuk
menunaikan ibadah haji (Karim, 2004).

Pada masa ini harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum Muslimin,
sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang
amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk
menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatij, serta anak-anak
terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin; membayar
utang-utang yang bangkrut; membayar uang diyat untuk kasus-kasus

13
tertentu, seperti membayar diyat prajurit Shebani yang membunuh
seorang Kristianiuntuk menyelamatkan nyawanya; serta memberikan
pinjaman tanpa bunya untuk tujuan komersial, seperti kasus Hind bint
Ataba (Karim, 2004).

Kedua, Pajak Kepemilikan tanah (Kharaj). Pada zaman Khalifah Umar,


telah banyak perkembangan admistrasi dibanding pada masa
sebelumnya. Misal, kharaj yang semula belum banyak di zaman
Rasulullah tidak diperlukan suatu sistem administrasi. Sejak Umar
menjadi Khalifah, wilayah kekuasan Islam semakin luas seiring dengan
banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui
peperangan maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai
permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah
kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-
tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut. Para tentara dan beberapa
sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut
dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara
sebagian kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara
sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut (Karim,
2004).

Dari berbagai perdebatan dan musyawarah itu akhirnya Umar


memutuskan untuk memperlakukan tanah-tanah tersebut sebagai fai,
dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan datang.
Sayyidina Ali tidak hadir dalam pertemuan tersebut karena sedangan
menggantikan posisi Umar sebagai Khalifah di Madinah. Diriwayatkan
bahwa Ali tidak sependapat dengan pandangan Umar seluruhnya. Ia
juga berpendirian bahwa seluru pendapatan Baitul Mal harus
didistribuskan seluruhnya tanpa menyisakan sedikitpun sebagai
cadangan (Karim, 2004).

14
Umar bin Khattab menyadari bahwa sektor pertanian sangat signifikan
dalam membangkitkan perekonomian negara. Oleh karena itu, ia
mengambil langkah-langkah pengembangannya dan juga
mengembalikan kondisi orang-orang yang bekerja di bidang itu. Dia
menghadiahkan kepada orang-orang yang bekerja dibidang itu. Tetapi
siapa saja yang selama 3 tahun gagal mengolahnya yang bersangkutan
akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut. Orang-orang
yang mengungsi, pada waktu terjadi invasi dapat dipanggil kembali dan
dinyatakan boleh menempati kembali tanah mereka. Abu Yusuf
menceritakan tentang keinginan Khaliah memajukan dan membantu
pengembangan pertanian. Pada waktu invansi ke Syiria seorang tentara
Muslim dalam perjalanan melalui telah merusak tanamannya.
Mendengar pengaduan ini, khalifah segera memberi ganti rugi sebesar
10.000 dirham (Sudarsono, 2002).

Ketiga, Zakat. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, kekayaan


yang dimiliki negara Madinah sudah mulai banyak, berbeda pada awal-
awal Islam. Pada zaman Rasulullah, jumlah kuda yang dimiliki orang
Arab masih sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh Kaum Muslimin.
Misalkan, dalam perang badar kaum Muslim hanya mempunyai dua
kuda. Pada saat pengepungan suku Bani Quraizha (5 H), pasukan kaum
Muslimin memiliki 36 Kuda. Pada tahun yang sama, di Hudaybiyah
mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan
terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas maka seorang
buka atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak
dikenakan zakat (Karim, 2006). Pada generasi selanjutnya, kuda-kuda
sudah mulai banyak, di Syiria Misalkan, kuda-kuda sudah mulai
diternakkan secara besar-besaran di Syiria dan di berbagai wilayah
kekuasan Islam lainnya. Beberapa kuda memiliki nilai jual tinggi,
bahkan diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Tabhlabi diperkirakan
bernilai 20.000 dirham dan orang-orang Islam terlibat dalam
perdagangan ini. Karena maraknya perdagangan kuda, mereka

15
menanyakan kepada Abu Ubaidah, Gubernur Syiria ketika itu, tentang
kewajiban membayar zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahukan
bahwa tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka menguslkan
kepada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakat atas keduanya tetapi
permintaan tersebut tidak dikabulkan. Mereka kemudian mendatangi
kembali Abu Ubaidah dan bersikeras ingin membayar. Akhirnya,
Gubernur menulis surat kepada Khalifah dan Khalifah Umar
menanggapinya dengan sebuah instruksi agar Gubernur menarik zakat
dari mereka dan mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta
budak-budak. Sejak saat itu, zakat kuda ditetapkan sebesar satu dinar
atau atas dasar ad valorem, sperti satu dirham untuk setiap empah puluh
dirham (Karim, 2004).

b. Masa Utsman bin Affan.


Utsman bin Affan merupakan khalifah ketiga setelah wafatnya Umar
bin Khatab. Perluasan daerah kekuasaan Islam yang telah dilakukan
secara masif pada masa Umar bin Khattab diteruskan oleh Utsman bin
Affan. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, banyak negara
yang telah dikuasainya, seperti Balkan, Kabul, Grozni, Kerman dan
Sistan. Setelah negera-negara tersebut ditaklukkan, pemerintahan
Khalifah Utsman menata dan mengembangkan sistem ekonomi yang
telah diberlakukan oleh Khalifah Umar. Khalifah Utsman mengadakan
empat kontrak dagang dengan negara-negara taklukan tersebut dalam
rangka mengembangkan potensi sumber daya alam. Aliran air digali,
jalan dibangun, pohon-pohon, buah-buahan ditanam dan keamanan
perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian
tetap untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman
membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah,
hingga berhasil membangun supremasi kelautannya di wilayah
Mediterania (Sudarsono, 2002).

16
Khalifah Utsman bin Affan mengambil suatu langkah kebijakan tidak
mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban
pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di
bendahara negara. Hal tersebut menimbulkan kesalahfahaman dan
ketidakcocokan dengan Abdullah bin Arqam, bendahara Baitul Mal.
Konflik ini semakin meruncing ketika ia tidak hanya membuat
Abdullah menolak upah dari pekerjaannya, tetapi juga menolak upah
dari pekerjaannya, tetapi juga menolak hadir pada setiap pertemuan
publik yang dihadiri Khalifah. Permasalahan tersebut semakin rumit
ketika muncul berbagai pernyataan kontroversional mengenai
pembelanjaan harta Baitul Mal yang tidak hati-hati (Karim, 2004).

Kebijakan lain yang dilakukan Utsman terkait perekonomian adalah


tetap mempertahankan sistem pemberian bantuan dan santunan serta
memberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-
beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat, ia memberikan bantuan yang berbeda
pada tingkat yang lebih tinggi. Dalam hal pengeloaan zakat, Utsman
mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada
pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan
zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan
kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum zakat. Di sisi lain,
Utsman berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik
seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. Ia
juga mengurangi zakat dari dana pensin (Karim, 2004).

Ada perbedaan antara kebijakan fiskal Khalifah Utsman bin Affan


dengan sebelumnya. Utsman tidak memiki kebijakan kontrol harga.
Pada khalifah sebelumnya, ia tidak menyerahkan tingkat harga
sepernuhnya kepada pada pengusaha, tetapi berusaha untuk tetap
memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi harga di pasaran,
bahkan terhadap harga dari suatu barang yang sulit dijangkau sekalipun.

17
Utsman bin Affan berusaha mendiskusikan tingkat harga yang sedang
berlaku di pasaran dengan seluruh kaum Muslimin di setiap selesai
melaksanakan shalat berjamaah (Karim, 2004).

Memasuki paruh kedua kepemimpinannya yaitu enam tahun kedua


masa pemerintahan Utsman bin Affan, tidak terdapat perubahan situasi
ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman
banyak menguntungkan keluarganya (terkesan nepotisme) telah
menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar
kaum Muslimin. Akibatnya, pada masa ini, pemerintahannya lebih
banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya
sang Khalifah (Karim, 2004).

c. Masa Ali bin Abi Thalibd.


Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah keempat menggantikan Utsman
bin Affan yang terbunuh. Ali mempunyai gelar karramahu wajhah. Ia
menikah dengan putri Rasulullah Fatimah al-Zahra dikarunia dua putra
yaitu Hasan dan Husain. Pada masa Ali, merupakan masa pemerintahan
tersulit yang harus dilampaui karena karena masa-masa itu merupakan
masa paling kritis berupa pertentangan antar kelompok (Sudarsono,
2002). Muncul pula pada waktu itu tuntutan para sahabat untuk
menelisik siapa sebenarnya orang yang membunuh Utsman bin Affan.

Khalifah Ali merupakan salah satu khalifah yang sederhana, ia dengan


suka rela menarik dirinya dari daftar penerima bantuan Baitul Mal (kas
negara), bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5000 dirham
setiap tahunnya. Apapun faktanya hidup Ali sangat sederhana dan ia
sangat ketat dan rigit dalam menjalankan keuangan negara. Suatu hari
saudaranya Aqil datang kepadanya meminta bantuan uang, tetapi Ali
menolak karena hal itu sama dengan mencuri uang milik masyarakat
(Sudarsono, 2002).

18
Di antara kebijakan ekonomi pada masa pemerintahannya, ia
menetapkan pajak terhadap para pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan
mengizinkan Ibnu Abbas, gubernur Kufah, memungut zakat terhadap
sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan. Pada
sama pemerintahannya juga, Ali mempunyai prinsip bahwa pemerataan
distribusi uang rakyat yang sesuai dengan kapasitasnya. Sistem
distribusi setiap pecan sekali untuk pertama kalinya diadopsi hari kamis
adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua
penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan
baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum
dan kontribusi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi
(Karim, 2006).

Ada persamaan kebijakan ekonomi pada masa Ali bin Abi Thalib
dengan khalifah sebelumnya. Pada masa Ali alokasi pengeluaran
kurang lebih masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa
pemerintahan Khalifah Umar. Pengeluaran untuk ankatan laut yang
ditambah jumlahnya pada masa Khalifah Utsman dihilangkan karena
sepanjang garis pantai Syiria, Palestina, dan Mesir berada di bawah
kekuasaan Muawiyah. Namun demikian, dengan adanya penjaga malam
dan patrol yang telah terbentuk sejak masa pemerintahan Khalifah
Umar, Ali membentuk polisi yang terorganisasi secara resmi yang
disebut syurthah dan pemimpinnya diberi gelar shahibu al-sulthah
(Karim, 2006).

Keistimewaan khalifah Ali dalam mengatur strategi pemerintahan


adalah masalah admistrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan
dengannya tersusun secara rapi. Konsep penataan administrasi ini
dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik
Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lai
mendekripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa
dalam mengatur berbagai prioritas pelaksaaan dispensasi keadilan serta

19
pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya. Dalam surat
itu juga disebutkan kelebihan dan kekuarangn para jaksa, hakim, dan
abdi hukum lainnya; selain itu juga menjelaskan pendapatan pegawai
admisitrasi dan pengadaan perbendaharaan. Dalam suratnya juga
disebutkan bagaimana berhubungan dengan masyarakat sipil, lembaga
peradilan dan angkatan perang. Selanjutnya, Ali menekankan Malik
agar lebih memperhatikan kesejahteraan para prajurit dan keluarga dan
diharapkan berkomunikasi langsung dengan masyarakat melalui
pertemuan terbuka, terutama dengan orang-orang miskin (Karim, 2006)

2.4 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Ketiga atau Periode Satu Dari
Kalangan Cendikiawan Islam (738-1037M)

Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut:

a. Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu


komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.
(Sudarsono, 2002: 149)

b. Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai


imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas
keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang
dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan al-murābah

c. Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-


Awza’i yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu
Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah.
Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem
muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan
peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis
(Mahmashani,1978: 426)

d. Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.). Imam Malik lebih dikenal


sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab
hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi,

20
seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas
kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap
pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum
Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori
utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh
Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum
Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi
terpenuhinya kebutuhan bersama (Zahrah,dkk. 1952: 73-74)

e. Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum
serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan
pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni
Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang
kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis
atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-
Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa
rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena
itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-
shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas
bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan
menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang
dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka.
Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah
peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil”
oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran
kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian
harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa.

f. Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa


tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah
dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat
dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah
wajib melakukanya. (Taymiyyah,1999)

21
g. Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan
sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (al-Qadli H
Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang
tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu

1. Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau negara liar;

2. Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang atau negara primitif;

3. Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan;

4. Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan;

5. Madinatu A-Tabadul auw al-badalah, negara bertukar kebutuhan;

6. Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis;

7. Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis;

8. Madinatu al fadhilah, Negara utama. (Ahmad, 1979:242-250)

h. Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M).

Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l,


diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala`
al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas
rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan
sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena
sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-Quran dan
Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan
mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-
nshihat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah
“penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara
tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan
bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas
gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan
bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang
pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya.
Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang pemimpin yang adil dan

22
fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat
kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya
sehingga ia berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun
mengutip atsar Sahabat yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar
selalu berdzikir kepada Allah manakala dalam keadaan ragu, ketika
bersumpah, dan ketika mengadili atau menetapkan dan memutuskan
hukum. Abu ‘Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa masalah
ekonomi tak terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa.
Dengan kata lain, ilmu ekonomi syariah adalah bagian tak terpisahkan dari
ilmu hukum ketata-negaraan. Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia
menjelaskan aneka jenis harta yang dikuasai negara dan hak rakyat atas
harta termaksud dengan cara yang lebih terurai dan selalu berdasarkan
rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari tehnis
penulisannya dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat
Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam
Malik, al-Muwatha’, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk
dan petunjuk hukum Islam.

i. Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara


lain:

1. manusia adalah makhluk berekonomi;

2. ekonomi membutukan negara;

3. perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga


ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara;

4. ekonomi negara ia berpendapat bahwa tujuan politik negara harus


diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam
mewujudkan perekonomian dan kestabilan ekonomi harus dijaga;

5. Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil
kerja;

6. wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya


yang sah;

23
7. pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran;

8. pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus


dikeluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum
(masyarakat dan negara) yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan
dengan hati yang iklas;

9. setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi


jaminan baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.

2.5 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-
1448)

Periode ini juga bisa dikenal dengan abad pertengahan dalam perkembangan
pemikiran ekonomi Islam, dimulai pada abad 11 – 15 M. Periode ini juga bisa
disebut dengan periode/ fase cemerlang dikarenakan banyak sekali warisan
intelektual yang bisa ditemukan khususnya terkait pemikiran ekonomi Islam.
Pada periode ini, para tokoh-tokoh pemikir telah mampu meyusun suatu
konsep tentang bagaimana kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan Al-
Qur’an dan Hadits. Tokoh-tokoh yang muncul pada periode ini seperti Al-
Ghozali (1111 M), Ibnu Taimiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M),
Syamsudin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud
Al Kasani (1182 M), Fakhruddin al Razi (1210 M), Najmudin Al Razi (1256
M), Ibnul Ukhuwa ( 1329 M), Ibnul Qayyim (1350 M), Muhammad bin Abdul
Rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi
(1441 M), Al Hujwary ( 1096 M), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar
(1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M),
dan Ibnu Rusyd (1198 M).

Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut:

a. Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal


sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat
bahwa:

1. perkembangan ekonomi bertolak dari hd) akikat dunia terdiri dari 3

24
unsur, yaitu materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini
interdependence;

2. perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi;

3. uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;

4. perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu


hubungan jasa di antara manusia;

5. perlu adanya pemerintah;

6. mata uang negara Islam;

7. perlunya institut perbankan;

8. hati-hati terhadap riba;

9. Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.

b. Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah, adalah pakar


dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan
pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau
urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-
dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara
dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi
pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak kepala negara
adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara spiritual
(ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami)
secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk
di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas
harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya
yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.

c. Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq
–i-Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap
menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia
tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan
yang cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama

25
dengan lainya dan setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan
profesinya sehingga menghasilkan konsumsi yang lebih dari cukup untuk
dirinya sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan pertukaran produk
barang-barang yang menjamin ketersediannya untuk semua orang. Dengan
demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya, membedakan aktivitas
dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka mungkin melakukan
pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu. Perbedaan-
perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem
ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah
berbagai bentuk kontrak sosial.

d. Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat


al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi
dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan
rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta
sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-
siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat
al-maliyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya
lainya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah
dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat
kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan
demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah
mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan
bahwa ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan
bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran.

e. Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal


sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan
perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-
Muqaddimah, tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia
membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu
ekonomi jauh lebih luas daripada definisi Tusi. Ia dapat melihat dengan
jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia.

26
Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika”
telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah
pengetahuan normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur yang
berarti massa yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari
ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu.
Individu adalah bagian dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku
pada massa, bukan pada individu yang terkucil. Ia melihat hubungan
timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika dan
pendidikan. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang
mendasar, yakni; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap
sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan
penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb.
Pemikiranya kiranya dapat disejajarkan dengn penulis klasik sekaliber
Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.

2.6 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Kelima Atau Periode Ketiga (1446-
1931 M)
Periode ini juga bisa disebut dengan periode/fase kemerosotan. Periode ini
juga ditandai dengan lenyapnya sistem Islam yang menaungi ekonomi Islami.
Kekhilafahan Ustmani Turki tercatat runtuh pada 03 Maret 1924 M dengan
diproklamirkannya sistem kenegaraan yang baru yakni Republik Turki. Sejak
saat itu, tidak ada lagi penerapan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem. Yang
ada hanya penerapan ekonomi Islam bagi individu masyarakat yang berkenan
menerapkannya untuk dirinya saja. Namun yang paling penting dari
kemerosotan pemikiran ekonomi Islam pada peridoe ini adalah disebabkan
oleh adanya asumsi yang mengatakan bahwa telah tertutupya pintu ijtihad
pada waktu itu.
Akan tetapi, pada periode ini juga masih bisa ditemukan beberapa tokoh yang
berusaha melakukan pembaharuan selama dua abad terakhir yang menyeru
untuk kembali pada Al-Qur’an dan Hadits, yakni Syeh Ahmad Sirhindi (1526
M), Ibnu Nujaim (1562 M), Shah Waliyullah Al Delhi (1726 M), Muhammad
bin Abdul Wahab (1787 M), Ibnu Abidin (1836 M), Jamaluddin Al Afghani

27
(1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), dan Muhammad Iqbal (1938
M).

2.7 Pemikiran Ekonomi Islam Tahap Keenam Atau Periode Lanjut (1931 M-
Sekarang)
Periode ini juga bisa dikenal dengan abad atau fase kontemporer. Sebenarnya
setelah tahun 1930-an, kebangkitan kembali melanda intelektualitas
cendekiawan Muslim. Yang dibuktikan salah satunya dengan kemerdekaan
beberapa negara-negara Muslim dari kolonialisme Barat. Tokoh-tokoh yang
muncul pada periode ini, diantaranya adalah Muhammad Nejatullah Siddiqi
(1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi ( 1935 M), Muhammad Abdul Mannan
(1938 M), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as
Sadr, Umer Chapra, dan lain-lain.
Topik kajian pada periode ini terbagi menjadi tiga kelompok seperti yang
dikemukakan oleh Zarqa pada tahun 1980, yakni :

a. Perbandingan sistem ekonomi Islam dengan sistem lainnya, khususnya


kapitalisme dan sosialime,

b. Kritik terhadap sistem ekonomi konvensional, baik dalam tatanan filosofi


maupun praktik,

c. pembahasan yang mendalam tentang ekonomi Islam itu sendiri, baik


secara mikro maupun secara makro.

28
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh melalui penyusunan makalah ini adalah :
Perkembangan pemikiran ekonomi islam secara umum dimulai dari
diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam Al-Qur’an. Berbagai ayat
Al-Qur’an menunjukkan bahwa islam telah menetapkan pokok pemikiran
ekonomi sejak disyariatkan islam atau sejak Rasulullah SAW ditunjuk
sebagai Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan sejumlah kebijakan yang
menyangkut berbagai hal yang berkaitan deng an masalah kemasyarakatan,
seperti hukum (fiqih), politik (siyasah), perkawinan (munakahat), dan
perniagaan atau ekonomu (muamalah). Muhammad Aslam Hanef,
Muhammad Nejatullah Siddiqi, dan Adiwarman Karim sepakat bahwa
perkembangan ekonomi islam dari sejak Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang dapat dibagi menjadi enam tahapan. Tahap pertama, dimulai dari
632 sampai tahun 656 M disebut sebagai pemikiran ekonomi islam pada masa
Rasulullah SAW. Tahap kedua, dimulai dari tahun 656 M sampai 661 M,
disebut sebagai pemikiran ekonomi islam pada masa Khulafaur Rasyidin.
Tahap ketiga, sering disebut sebagai periode awal emikiran ekonomi islam
dari kalangan cendikiawan dimulai tahun 738 M sampai 1037 M. Tahap
keempat atau periode kedua dimulai dari tahun 1058 sampai tahun 1448 M.
Tahap kelima atau periode ketiga dimulai dari tahun 1446 sampai 1931 M.
Tahap keenam atau periode lanjut, dimulai dari tahun 1931 M sampai
sekarang.

3.1. Saran
Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari saran dan kritik pembaca,
sehingga penulis dapat mengetahui kekurangan dan menjadi lebih baik di
masa mendatang, semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca dalam
memahami sistem pengendalian manajemen dan akuntansi
pertanggungjawaban.

29
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim, 2002. Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: IIIT.

Sudarsono, Heri. 2002. Konsep ekonomi Islam: suatu pengantar.


Universitas Michigan :Ekonisia.

Arif Hoetoro, missing link dalam sejarah pemikiran ekonomi, (Unibraw:


BPFE, 2007).

Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung:


Pustaka Setia, 2010).

Pengantar Ekonomi Syariah. 2018. Diakses melalui


https://ahmadrofiqzakariya.blogspot.com/2018/01/sejarah-pemikiran-ekonomi-
islam.html

Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta:


Ekonisia, 2002), hal. 149. Penulis buku ini menkompilasi dari Sumber M.
Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995), dan A. Karim (2001).

Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby


[nd]., hal. 404-410, 432-442, 539.

Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-


Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-Mala’in, 1978, hal. 426, 314-318, 447.

Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal.
73-74, 335-383, 432.

Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah


sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan

30
dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan BAPPEBTI Deperindag RI
Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.

Zainal Abidin Ahmad. Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan


Bintang, 1979), hal. 242-250.

HMI Komisariat Lafran Pane FIAI UII Yogyakarta. 2016. Sejarah


Ekonomi Islam. diakses tanggal 13 Oktober 2020 melalui
https://hmikomilafranpane.wordpress.com/2016/05/19/sejarah-ekonomi-islam/

Msuii. 2015. Sejarah Ekonomi Islam: Perkembangan Panjang Realitas


Ekonomi Islam. Diakses tanggal 13 Oktober 2020 melalui
https://master.islamic.uii.ac.id/article/sejarah-ekonomi-islam-perkembangan-
panjang-realitas-ekonomi-islam/

31

Anda mungkin juga menyukai