Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

PERIODE PERTAMA 450H/1508M

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Oleh:
Widya Mauludi 141002121
Rizky Moch. Thopik 141002125
Dea Fauziyyah 141002131
Zia Azkiaul Malik 141002137
Rahmawati 141002154
Pipit Puji Noor Fazri 141002156

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SILIWANGI
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala


atas karunia, rahmat, dan nikmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Periode
Pertama 450H/1508M.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan makalah ini penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Ibu Hj. Lina Marlina, S.Ag., M.Ag., selaku dosen mata kuliah Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam;
2. Rekan-rekan seangkatan yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan
penyusunan makalah ini;
3. Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Semoga bantuan baik berupa moril maupun materil yang telah diberikan,
oleh Allah SWT. dapat diberikan balasan yang berlipat ganda.
Makalah ini juga masih jauh dari kata sempurna karena memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hal isi dan sistematika maupun dalam teknik
penulisannya. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Tasikmalaya, Mei 2016

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan............................................................................................2

D. Manfaat Penulisan..........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4

A. Tokoh Pemikiran Ekonomi Islam Periode Pertama 450H/1508M.................4

B. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam Pada Periode Pertama.................5

1. Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)........................................................5

2. Abu Hanifah (80-150 H/767 M)..............................................................6

3. Abu Yusuf (113 – 182 H/731 – 798 M)..................................................7

4. Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-804 M)................8

5. Abu Ubaid (150-224 H).........................................................................10

6. Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M).....................................................12

7. Al-Mawardi (364-450 H/974-1058 M).................................................12

BAB III SIMPULAN DAN SARAN...................................................................14

A. Simpulan.......................................................................................................14

B. Saran.............................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim
terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran
ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah juga oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka.
Pemikiran merupakan sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-
Qur’an dan Sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek
kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang
ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-
Qur’an dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran ekonomi Islam
juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam
praktek historis.
Pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak Nabi Muhammad SAW
ditunjuk sebagai seorang Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan sejumlah
kebijkan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah
kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqih), politik (siyasah), juga
masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah).
Setelah wafatnya Nabi kepemimpinan dipegang oleh Khulafa
Urrasyidin, berbagai perkembangan, gagasan, dan pemikiran muncul
pada masa itu. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan yang berbeda
antar Khalifah itu sendiri, kebijakan-kebijakan itupun muncul sebagai
akibat dari munculnya masalah-masalah baru. Salah satunya pemenuhan
kehidupan masyarakat di bidang ekonomi sehingga masalah teknis untuk
mengatasi masalah-masalah perniagaan muncul pada waktu itu. Sejumlah
aturan yang bersumberkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi hadir untuk

1
2

memecahkan masalah ekonomi yang ada. Masalah ekonomi menjadi


bagian yang penting pada masa itu.
Setelah perkembangan pemikiran ekonomi Islam pasca Rasulullah
SAW dan khulafaurrasyidin, muncul perkembangan pada abad
pertengahan yang dibagi menjadi 3 periode yang didasarkan atas nama
tokoh ekonomi Islam tersebut hidup. Yaitu Ekonomi Islam periode awal
Islam sampai 1058 M. Tokohnya antara lain : Zaid bin Ali (738), Abu
Hanifa (798), Ibnu Farabi (950), Ibnu Sina (1037), dll, periode kedua
dan, periode ketiga.
Dengan demikian, kajian historis dalam pemikiran ekonomi Islam
adalah bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan
mengaplikasikan ajaran Alquran pada waktu dan tempat tertentu dan
bagaimana orang-orang dahulu mencoba memahami dan mengamati
kegiatan ekonomi juga menganalisa kebijakan-kebijakan ekonomi yang
terjadi pada masanya.
Karena latar belakang inilah akhirnya penulis berkeinginan untuk
mengambil tema dalam makalah yang akan penulis susun, dengan judul
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Periode Pertama 450H/1508M.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai :
1. Siapa saja tokoh pemikiran ekonomi Islam pada periode pertama?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada periode
pertama?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui siapa saja tokoh pemikiran ekonomi Islam pada
periode pertama;
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi
Islam pada periode pertama.
3

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat bagi penulis dalam penulisan makalah ini adalah untuk
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai sejarah
pemikiran ekonomi islam periode pertama 450H/1508M;
2. Manfaat bagi pembaca dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai
acuan atau sarana untuk lebih megetahui tentang sejarah pemikiran
ekonomi islam periode pertama 450H/1508M dan sebagai salah satu
referensi dalam sistematika penulisan makalah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tokoh Pemikiran Ekonomi Islam Periode Pertama 450H/1508M


Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama ini antara lain
diwakili oleh Zaid bin Ali (w. 80H/38M), Abu Hanifah (w. 150H/767M),
Abu Yusuf (w. 182H/798M), Al-Syaibani (w. 189H/804M), Abu Ubaid
bin Sallam (w. 224H/383M), Harits bin Asad Al-Muhasibi (w.
243H/858M), Junaid Al-Baghdadi (297H/910M), Ibnu Miskawaih (w.
421H/1030M), dan Al-Mawardi (450H/1050M).
Peride pertama merupakan periode abad awal sampai dengan abad ke-
5 Hijriyah atau abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai periode dasar-
dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fukaha, diikuti oleh sufi dan
kemudian oleh filosof. Pada awalnya pemikirannya mereka berasal dari
orang yanng berbeda, tetapi di kemudian hari para ahli harus mempunyai
dasar pengetahuan dasar dari ketiga disiplin ilmu tersebut.
Fokus fiqih adalah apa yang diturunkan oleh syariah, dan dalam
konteks ini para fukaha mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan
mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan fenomena ini.
Namun demikian, dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadits mereka
mengeksplorasi konsep maslahah dan mafsadah yang terkait dengan
aktivitas ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokus pada apa manfaat
sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang
dilarang agama. Pemaparan ekonomi para fukaha tersebut mayoritasnya
bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku
yang adil, kebijakan yang baik, dan batasan-batasan yang diperbolehkan
dalam kaitannya dengan permasalahan dunia.
Sedangkan kontribusi utama tasawuf terhadap pemikiran ekonomi
adalah pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling
menguntungkan, tidak rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang

4
5

diberikan Allah Swt., dan secara tetap menolak penempatan tuntutan


kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara itu filosof Muslim dengan
tetap berasaskan syariah dalam keseluruhan pemikirannya, mengikuti para
pendahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (367-322 SM), yang fokus
pembahasannya tertuju pada sa’adah (kebahagiaan) dalam arti luas.
Pendekatannya global dan raional, serta metodologinya syarat dengan
analisis ekonomi positif dan cenderung makroekonomi. Dan hal ini
berbeda dengan para fukaha yang fokus perhatiannya pada masalah-
masalah mikroekonomi.

A. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam Pada Periode Pertama


1. Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
Zaid bin Ali merupakan salah satu ahli fiqih yang terkenal di
Madinah dan cucu dari Imam Husein serta merupakan seorang guru dari
ulama terkemuka Abu Hanifah.
Zaid bin Ali memperbolehkan penjualan suatu komiditi secara
kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai, selama transaksi
yang dilakukan dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah
pihak. Karena pada dasarnya keuntungan yang diperoleh para
pedagang dari penjualan secara kredit adalah murni bagian dari sebuah
perniagaan dan tidak termasuk riba.
Namun, beliau tidak memperbolehkan pengambilan keuntungan
dari suatu penangguhan pembayaran pinjaman. Setiap penambahan
terhadap penundaan pembayaran adalah riba. Sebagaiman firman Allah
dalam surat An-Nisaa’( 4) ayat 29 :” Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka dia ntara kamu”.
Karena dalam hal ini peminjam memperoleh suatu aset yakni uang,
yang harganya tidak mengalami perubahan karena uang sendiri
merupakan standar harga. Dengan kata lain, uang tidak dengan
sendirinya menghasilkan sesuatu, kecuali melalui perniagaan.
6

2. Abu Hanifah (80-150 H/767 M)


Abu Hanifah merupakan seorang fuqaha terkenal yang juga
seorang pedagang di kota Kufah yang ketika itu merupakan pusat
aktivitas perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan
berkembang.
Abu Hanifah menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah
satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak
penjual dan pembeli sepakat bila barang dikirimkan setelah dibayar
secara tunai pada waktu kontrak/akad disepakati. Abu Hanifa
mengkritisi prosedur akad tersebut yang cenderug mengarah pada
perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih
dahulu, dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba
menghilangkan perselisihan ini dengan merinci kontrak, seperti jenis
komoditi, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau
memberikan persyaratan bahwa komoditi harus tersedia di pasar selama
waktu kontrak dan pengiriman.
Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilangkan
ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi, hal ini merupakan
salah satu tujuan syariah dalam hubungan dengan jual beli.
Pengalamannya di bidang perdagangan juga memungkinkan Abu
Hanifah dapat menentukan aturan-aturan yang adil dalam transaksi ini
(salam) dan transaksi-transaksi lainnya yang sejenis.
Abu Hanifah sangat memperhatikan pada orang-orang lemah.
Beliau tidak akan membebaskan kewajiban zakat terhadap perhiasan,
dan sebaliknya membebaskan pemilik harta yang dililit utang dan tidak
sanggup menebusnya dari kewajiban membayar zakat. Ia juga tidak
memperbolehkan pembagian hasil panen (muzara’ah) dari penggarap
kepada pemilik tanah dalam kasus tanah tidak menghasilkan apapun.
Hal ini untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang
lemah.Beberapa karya yang dihasilkan antara lain : Al-Makharif fi Al-
Fiqh, Al-Musnad, sebuah kitab hadist yang dikumpulkan oleh para
muridnya dan Al-Fiqh Al-Akbar.
7

3. Abu Yusuf (113 – 182 H/731 – 798 M)


Abu Yusuf terkenal sebagai Qadi ( hakim ). Diantara kitab-kitab
Abu Yusuf yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj. Kitab ini
ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam
menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr,
zakat, dan jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai public finance
dalam pengertian ekonomi modern.
Abu Yusuf juga cenderung menyetujui negara mengambil bagian
dari hasil pertanian dari pada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam
hal pajak, Ia telah meletakan prinsip-prinsip yang jelas yang dikenal
oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Beberapa prinsip
yang ditekankannya yakni meliputi kesanggupan membayar, pemberian
waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan sentrallisasi bagi
pembuatan keputusan dalam adminisrasi pajak. Abu Yusuf juga dengan
keras menentang pajak pertanian. Ia menyarankan agar petugas pajak
diberi gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk mencegah
korupsi dan praktik penindasan.
Poin kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf adalah pada
masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa
menetapkan harga, dengan didasarkan pasa Sunnah Nabi Muhammad
saw. Beliau menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan
alasan untuk mennurunkan harga panen, dan sebaliknya. Namun, di sisi
lain Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintan dan penawaran
dalam penentuan harga. Kecenderungan dalam pemikiran ekonomi
Islam adalah membersihkan pasar dari praktik penimbunan, monopoli,
dan praktik korup lainnya dan kemudian membiarkan permintaan dan
penawaran menentukan harga.
Kecenderungan dalam pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah
keuangan publik. Ia memberikan beberapa saran tentang cara
memperoleh sumber pembelanjaan jangka panjang, seperti pembanguan
jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan
kecil.
8

4. Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-804 M)


Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Al-Syaibani para
ekonom Muslim banyak merujuk pada kitab al-Kasb, yang isinya
mengenai kasb (pendapatan) dan sumbernya, serta perilaku produksi
dan konsumsi. Kitab tersebut termasuk kitab yang pertama di dunia
Islam yang membahas permaslahan tersebut. Oleh karena itu, Dr. Al-
Janidal menyebut Al-Syaibani sebagai seorang perintis ekonomi Islam.
Beberapa pemikiran ekonominya antara lain sebagai berikut:
a. Al-Kasb (Kerja)
Al-Syaibani mendefinisikan al-kasb sebgai cara
memperoleh harta melalui cara yang halal (aktivitas
produksi). Aktivitas produksi dalam ekonomi Islam
tentulah berbeda dengan ekonomi konvensional. Dalam
ekonomi Islam tidak semua aktivitas yang menghasilkan
barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena
aktivitas produksi sangat berkaitan erat dengan halal-
haramnya suatu bararang atau jasa. Kegiatan produksi
dimaksudkan untuk meningkatkan nilai guna suatu barang
atau jasa. Sedangkan Islam memandangnya lebih jauh,
yakni suatu barang atau jasa akan mempunyai nilai guna
apabila mengandung kemaslahatan.
b. Kekayaan dan Kefakiran
Menurutnya sekalipun banyak dalil yang menunjukan
keutamaan sifat-sifat kaya, tapi sifat-sifat fakir mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila
manusia telah merasa cukup dengan kebutuhannya,
kemudian bergegas pada kebajikan dan mencurahkan
perhatian paada urusan akhirat adalah lebih baik bagi
mereka. Dalam hal ini sifat-sifat fakir maksudnya adalah
sebaagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi
meminta-minta (kafayah). Sifat-sifat kaya berpotensi
menimbulkan kemewahan bagi pemiliknya. Sekalipun
9

begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari


cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk
kebaikan.
c. Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian
Menurut Al-Syaibani usaha-usaha perekonomian
terbagi menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa,
perdagangan, pertanian, dan industri. Diantara ke-empatnya
beliau lebih mengutamakan pertanian karena memproduksi
sebagian kebutuhan dasar manusia yang menunjang untuk
melaksanakan kewajibannya.
d. Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah
menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang
tubuhnya tidak akan mampu berdiri kecuali dengan empat
perkara; makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Jika
empat hal itu tidak diusahakan untuk dipenuhi, ia akan
masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa
keempat hal tersebut. (Qs. Al-Jumu’ah [62]: 10)
e. Spesialisasi dan Distribusi Pekejaan
Al-Syaibani menandaskan bahwa yang fakir
membutukan orang kaya, dan yang kaya membutuhkan
tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut
manusia akan semakin mudah dalam menjalankan ibadah
kepada-Nya. Dan apabila seseorang tersebut bekerja karena
ketaatan kepada Allah atau membantu saudaranya untuk
melaksanakan ibadah kepada-Nya, niscaya itu semua akan
diberi ganjaran sesuai dengan niatnya.
Dengan demikian distribusi pekerjaan seperti ini
merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek
secara bersamaan, yaitu aspek religius dan ekonomis.
10

5. Abu Ubaid (150-224 H)


Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin
Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Salah satu karyanya yaitu
Kitab al-Amwal. Berikut ini adaalah beberapa pandangan ekonomi dari
Abu Ubaid:
a. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utamanya.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid pada masa keemasan Dinasti
Abbasiyah menitik beratkan pada berbagai persoalan yang
berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu
kebijakan dalam memutuskan suatu perkara. Beliau juga
menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalah
gunakan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.
b. Dikotomi Badui-Urban
Dikotomi ini dilakukan ketika menyoroti masalah alokasi
pendapatan fai. Singkatnya Abu Ubaid membangun suatu
negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan,
hukum, dan kasih sayang. Karakteristik ini hanya Allah berikan
kepada kaum urban. Kaum badui yang tidak memberikan
kontribusi sebesar yang telah diberikan kaum urban, dan tidak
bisa memperoleh manfaat pendapaan fai sebanyak kaum urban.
Mereka hanya mendapatkan hak klaim sementara atas
penerimaan fai hanya pada saat terjadi invansi musuh, kemarau
panjang, dan kerusuhan sipil.
c. Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan
kepemilikan publik. Akan tetapi untuk hal-hal yang menyangkut
hajat hidup orang banyak tidak boleh dimonopoli oleh pihak
individu. Seperti air, padang rumput, dan api, seluruh sumber
daya ini hanya dapat dimasukan ke dalam kepemilikan negara
yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
11

d. Pertimbangan Kebutuhan
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan
bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata
antara delapan kelompok penerima zakat. Baginya yang
terpenting adalah memenuhi kebutuhan dasar, seberapapun
besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari
kelaparan.
Namun Abu Ubaid tidak memberikan zakat kepada orang-
orang yang memiliki 40 dirham atau harta lain yang setara.
Beliau mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi
yang terkait dengan status zakat; kalangan kaya yang terkena
wajib zakat, kalangan menengah yang tidak kena wajib zakat
tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima
zakat.
e. Fungsi Uang
Pada prinsipnya Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi
uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of
exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Ia
juga mendukung teori konvensional mengenai uang logam,
walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan
perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga
dari barang dan jasa.
Salah satu ciri khas kitab al-Amwal adalah pembahassan
mengenai timbangan dan ukuran yang bisa digunakan untuk
menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan
harta atau denda, dalam satu bab khusus. Di dalam bab ini juga
Abu Ubaid menceritakan tentang usaha khalifah Abdul Al-
Malik ibn Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai
jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.
12

6. Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M)


Salah satu pandangan Ibn Miskawaih yang terkait dengan aktivitas
ekonomi adalah tentanng pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan
bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja sama dan
saling membantu dengan sesamanya. Oleh karena itu mereka akan
saling mengambil dan memberi.
Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompensasi yang
pantas. Sebagai contoh, jika tukang sepatu memakai jasa tukang cat dan
ia memberikan jasanya sendiri, ini akan menjadi reward jika kedua
karya tersebut seimbang. Dalam hal ini, dinar akan menjadi suatu
penilai dan penyeimbang di antara keduanya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa logam yang dapat diterima
secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa,
tidak mudah rusak, dikehendaki orang, dan fakta orang senang
melihatnya.

7. Al-Mawardi (364-450 H/974-1058 M)


Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri
Al-Syafi’i lahir di kota Basrah pada tahun 364 H/974 M. Beliau adalah
seorang hakim, namun juga tetaap aktif mengajar dan menulis. Ia
meninggal pada bulan Rabiul Awwal tahun 450 H/1508 M di kota
Baghdad dalam usia 86 tahun dengan mewariskan berbagai karya tulis
yang sangat berharga.
Pada dasarnya pemikiran ekonomi Al-Mawardi tersebar paling
tidak pada tiga buah karya tulisnya, yaitu Kitab Adab ad-Dunya wa ad-
Din, al-Hawi, dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
Ia memaparkan tentang perilaku seorang Muslim serta empat jenis
mata pencaharian utama, yaitu pertanian, perternakan, perdagangan dan
industri. Dalam Kitab Al-Hawi, di salah satu bagiannya, Al-Mawardi
secara khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan
berbagai mazhab. Dalam Kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, ia banyak
menguraikan tentang sistem pemerintahan dan administrasi negara
13

Islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbagai


lembaga negara, penerimaan dan pengeluaran negara, serta institusi
hisbah.
Dari ketiga karya tulis tersebut, para peneliti ekonomi Islam
tampaknya sepakat menyatakan bahwa Kitab Al-Ahkam as-
Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komprehensif dalam
merepresentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi Al-Mawardi.
Dalam kitabnya tersebut, Al-Mawardi menempatkan pembahasan
ekonomi dan keuangan negara kecara khusus, pada bab 11, 12, dan 13
yang masing-masing membahas tentang harta sedekah, harta fai dan
ghanimah, serta harta jizyah dan kharaj.
Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya
yang sejenis menunjukan bahwa Al-Mawardi membahas masalah-
masalah keuangan dengan cara yang lebih sistematis dan runtut.
Sumbangan utama Al-Mawardi terletak pada pendapatnya tentang
pembebanan pajak tambahan dan diperbolehkannya pinjaman publik.
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Dari berbagai penjelasan yang telah penulis paparkan di bab
sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama
diantaranya adalah Zaid bin Ali (w. 80H/38M), Abu Hanifah (w.
150H/767M), Abu Yusuf (w. 182H/798M), Al-Syaibani (w.
189H/804M), Abu Ubaid bin Sallam (w. 224H/383M), Harits bin
Asad Al-Muhasibi (w. 243H/858M), Junaid Al-Baghdadi
(297H/910M), Ibnu Miskawaih (w. 421H/1030M), dan Al-
Mawardi (450H/1050M);
2. Berbagai pemikiran ekonomi telah dikemukakan oleh beberpa
pemikir Islam, mereka memberikan banyak pemikirannya di
berbagai bidang khususnya di bidang ekonomi. Seperti pemikiran
Zaid bin Ali mengenai penjualan secara kredit; Abu Hanifah
mengenai salam; Abu Yusuf mengenai pendapatan negara; Al-
Syaibani mengenai pendapatan, produksi dan konsumsi; Abu Ubaid
mengenai fungsi uang; Ibn Miskawaih tenatang pertukaran dan
peranan uang; serta Al-Mawardi mengenai pembebanan pajak
tambahan dan diperbolehkannya pinjaman publik.

E. Saran
Sejalan dengan simpulan di atas, penulis merumuskan saran
sebagai berikut:
1. Ada banyak Ilmuan Islam yang mendidikasikan pemikirannya di
bidang ekonomi misalnya saja pada periode pertama ini sudah ada
tujuh pemikiran yang penulis paparkan, dan sebagai umat Muslim

14
15

seharusnya kita bangga karena ternyata para ahli ekonomi Islam itu
pemikirannya sangat hebat dan bermanfaat;
2. Sudah saatnya sebagai Muslim kita mengenal dan memperkenalkan
ahli ekonomi umat kita. Jangan sampai kita hanya mengenal dan
mengagumi para pemikir ekonomi dari barat saja seperti Adam
Smith, David Ricardo, dkk;
3. Pemikiran-pemikiran yang ada, yang sudah dikemukakan oleh para
pemikir ekonomi Islam sudah seharusnya menjadi ilmu yang kita
gunakan dalam menjalankan kegiatan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Karim. Adiwarman Azwar. 2014. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:


Rajawali Pers.
http://dunia-angie.blogspot.co.id/2013/10/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam-
periode.html (diakses pada 29 April 2016)
https://www.academia.edu/4697901/Sejarah_Pemikiran_Ekonomi_Islam
(diakses pada 29 April 2016)
http://www.pendidikanekonomi.com/2012/11/pemikiran-ekonomi-islam-
periode.html (diakses pada 29 April 2016)

Anda mungkin juga menyukai