Anda di halaman 1dari 8

Pengertian pegadaian syariah

Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai al-hasbu.
Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-hasbu berarti penahanan
terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang
tersebut. Sedangkan menurut Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta
menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.

Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab alMughni adalah sesuatu
benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuh dari harganya, apabila yang
berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.1

Ibnu Sayyidah mengartikan dengan sesuatu yang disimpan seseorang sebagai pengganti sesuatu
yang diambilnya. Adapun al-Harali mengartikannya dengan suatu kepercayaan dengan cara
memberikan sesuatu yang sepadan dengan jalan tertentu. Sedangkan rahn menurut istilah
sebagaimana dikemukakan para ulama adalah sebagai berikut:

a. Hanafiyah: “Menjadikan sesuatu tertahan karena ada kewajiban yang harus dipenuhinya,
seperti utang.”

b. Malikiyah: “Sesuatu yang dikuasa sebagai kepercayaan karena adanya utang.”

c. Syafi’iyah dan Hanabilah: “Menjadikan barang sebagai jaminan (kepercayaan) atas utang
yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang pada waktunya tidak
bisa membayar utangnya.”

Dari definisi yang dikemukakan para ulama diatas tentang rahn, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dinamakan gadai adalah akad sebuah kepercayaan dengan cara menjadikan sesuatu
sebagai barang jaminan atas utang yang harus dibayarnya. Dan apabila utang pada waktunya
tidak terbayar, maka barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual untuk membayar
utangnya.

Dalam jurnal Ahmad Supriyadi mengatakan bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum antara
satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan kata seepakat untuk mengikatkan dirinya

1
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Konsep, Implementasi, dan Institusionalisasi), Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 88.
bahwa di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan
membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin
sepakat untuk memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir.

Dasar Hukum Pegadaian Syariah

Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayatayat Al-qur’an, hadis Nabi
Muhammad saw, ijma’ ulama dan fatwa MUI. Hal dimaksud, diungkapkan sebagai berikut:

1. Alqur’an

QS. Al-Baqarah (2) ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun konsep
gadai adalah sebagai berikut.

"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagaian kamu mempercayai sebagai yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat diatas adalah untuk menjaga kepercayaan
masing-masing pihak, sehingga penerima gadai (murtahin) meyakini bahwa pemberi
gadai (rahin) beritikad baik untuk mengembalikan pinjamannya (marhun bih) dengan
cara menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan
jangka waktu pengembalian utangnya itu.2 Sekalipun ayat tersebut, secara literal
mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir.Hal
ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap dan/atau bermukim.

Jadi, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan
transaksi rahn. Apalagi, terdapat sebuah hadis yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw.
Menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi
keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.

2
Ibid, hal 6
2. Hadis Nabi Muhammad SAW

Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah
adalah hadis Nabi Muhammad saw, yang antara lain diungkapkan sebagai berikut: Hadis
‘Aisyah ra, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang berbunyi :

“Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan
beliau mengagunkan baju besinya (HR. Bukhari dan Muslim).”

Hadis dari Anas bin Malik ra yang berbunyi:

”Sesungguhnya Nabi saw. pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang
Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi
kebutuhan keluarga Beliau.(HR alBukhari).”

Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang berbunyi :

“Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami
Abdullah bin Mubarak, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Sya’bi dari
Abu Hurairah, dari Nabi saw, bahwasanya beliau bersabda: kendaraan dapat digunakan
dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggadai wajib
memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfaatnya. (HR. Al-
Bukhari)”

Hadis riwayat Abu Hurairah ra yang berbunyi :

Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan, baginya risiko
dan hasilnya.(HR. Asy-Syafi’I dan Addarulquthni).

Hadist Nabi Riwayat Jema’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i, Nabi SAW bersabda :

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya


dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung
biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan
biaya perawatan dan pemeliharaan.”

3. Ijma’ Ulama
Jumhur Ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan
pada kisah Nabi Muhammad saw, yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan
makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi
Muhammad saw tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada
para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, hahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap
Nabi Muhammad saw yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan
mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw kepada
mereka.

4. Fatwa Dewan Syariah Nasional

a. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.25/DSN-MUI/III/2002 yang ditetapkan


pada tanggal 28 Maret 2002 oleh ketua dan sekretaris DSN tentang Rahn,
menentukan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai barang jaminan
hutang dalambentuk Rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :

Penerima gadai (Murtahin) mempunyai hak untuk menahan barang jaminan (Marhun
bih) sampai semua utang nasabah (Rahin) dilunasi.

Barang jaminan (Marhun bih) dan manfaatnya tetap menjadi milik nasabah (Rahin)

Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai pada dasarnya menjadi kewajiban


nasabah, namun dapat dilakukan juga oleh penerima gadai, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban nasabah.

Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.

Penjualan barang gadai

Jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dapat
dilakukan melalui Badan Arbitrase Nasional, setelah tercapai kesepakatan
musyawarah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 yang ditetapkan pada


tanggal 28 Maret 2002 M, tentang Rahn Emas Memutuskan bahwa :
Pertama:

a) Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn (lihat Fatwa DSN Nomor:
25/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn).

Ongkos dan biaya penyimpanan barang (Marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).

Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang


nyatanyata diperlukan.

Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.

Kedua :

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 68/DSN-MUI/III/2008 yang ditetapkan pada


tanggal 6 Maret 2008 M, tentang Rahn Tasjily Memutuskan bahwa :

Pertama: Ketentuan Umum

Rahn Tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan
tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin dan bukti
kepemilikannya diserahkan kepada murtahin.

Kedua: Ketentuan Khusus

Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk
Rahn Tasjily dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

Rahin menyerahkan bukti kepemilikan kepada murtahin.

Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan atau sertifikat
tersebut tidak memindahkan kepimilikan barang ke Murtahin. Dan apabila terjadi
wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya, Marhun dapat dijual
paksa/dieksekusi langsung baik melalui lelang atau dijual ke pihak lain sesuai prinsip
syariah.

Rahin memberikan wewenang kepada Murtahin untuk mengeksekusi barang tersebut


apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi.
Pemanfaatan barang marhun oleh rahin harus dalam batas kewajiban sesuai
kesepakatan.

Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun


(berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat) yang ditanggung oleh rahin.

Besarnya biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun tidak boleh dikaitkan
dengan jumlah pinjaman yang diberikan.

Besaran biaya sebagaimana dimaksud huruf c tersebut didasarkan pada


pengeluaran yang riil dan beban biaya lainnya berdasarkan akad Ijarah.

Biaya asuransi pembiayaan Rahn Tasjily ditanggung oleh Rahin.

Ketiga: Ketentuan-ketentuan umum fatwa No.25/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn


yang terkait dengan pelaksanaan akad RahnTasjily tetap berlaku.

Keempat: Ketentuan Penutup

Jika terjadi perselisihan (Persengkataan) di antara para pihak, dan tidak tercapai
kesepakatan di antara mereka maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional atau melalui Pengadilan Agama.

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Sejarah Lahirnya Pegadaian syariah

Di Indonesia terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal
kebangkitan pegadaian, suatu hal yang perlu dicermati bahwa PP/10 menegaskan misi yang
harus diemban oleh pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga
terbitnya PP/103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha perum pegadaian sampai
sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi pegadaian pra-Fatwa MUI tanggal
16 Desember 2003 tentang bunga bank telah sesuai dengan konsep Islam meskipun harus diakui
bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Setelah melalui kajian panjang,
akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit layanan gadai Islam sebagai langkah awal
pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha Islam.3

Adapun pegadaian syariah merupakan sebuah lembaga yang relatif baru di Indonesia. Konsep
operasi pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu asas rasionalitas,
efisiensi dan efektivitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi pegadaian syariah
dijalankan oleh kantor-kantor cabang pegadain syariah atau unit layanan gadai syariah (ULGS)
sebagai satu unit organisasi dibawah binaan divisi lain perum pegadaian.

Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama unit layanan gadai syariah
(ULGS) cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS
di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta dan Yogyakarta di tahun yang samahingga
September 2003. Masih ditahun yang sama pula, 4 kantor cabang pegadaian di Aceh dikonversi
menjadi pegadaian syariah.4

Peran pegadaian syariah menurut ekonomi islam dalam meningkatkan perekonomian


masyarakat.

Dalam peranannya ikut serta dalam program pembangunan pemerintah khususnya untuk
meningkatkan perekonomian, Pegadaian Syariah mempunyai andil yang cukup besar, terutama
melalui produkproduk Pegadaian Syariah. Lembaga pegadaian Syariah berkembang semakin
pesat dan sudah banyak digunakan sebagian orang dalam membantu menyelesaikan masalah
perekonomiannya sesuai prinsip yang dianjurkan menurut syariat Islam. Salah satu kedudukan
Lembaga Keuangan Syariah dalam Pegadaian Syariah ini selalu mengalami kemajuan dari waktu
ke waktu.5

1. Peran Pegadaian dalam meningkatkan perekonomian masyarakat

Pegadaian Syariah dalam menjalankan operasionalnya harus berdasarkan pada prinsip


syariah. Prinsip syariat tersebut diantaranya:

tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba.

3
M. Habiburrahim Lc, dkk, Mengenal Pegadaian Syariah (Jakarta : Kuwais, 2012), 218.
4
M. Habiburrahim Lc, dkk, Mengenal Pegadaian Syariah, 219.
5
Nurhidayah , Peran Produk Pegadaian Syariah Dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Sidrap. Skripsi
Institut Agama Islam Negeri Parepare, 2018.
menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan.

melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan/atau bagi hasil.

Peran Pegadaian Syariah tidak lain sebagai penyalur dana tanpa membebankan pihak
peminjam. Secara khusus, peranan Pegadaian Syariah secara nyata dapat terwujud dalam
aspekaspek berikut:

Menyediakan uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan cara mudah, cepat, aman,
dan hemat.

Mengembangkan berbagai usaha yang menguntungkan bagi pegadaian serta masyarakat.

Mengelola keuangan, perlengkapan, kepegawaian, dan pendidikanpelatihan

Mengelola organisasi, tata kerja, dan tata laksana pegadaian

Melakukan riset dan pengembangan serta mengawasi pengelolaan pegadaian

Anda mungkin juga menyukai