Fiqih Muamalah I
RAHN
Oleh :
Tito Widyanto Cipta
Deni Ariyanto
Abstrak
Penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas Fiqih Muamalah mengenai rahn. Rahn atau yang
biasa kita sebut sebagai gadai adalah suatu kegiatan akad perjanjian antara pihak pemberi
pinjaman dengan pihak yang meminjam uang. Rahn pada prinsipnya menganut suatu
kegiatan utang piutang yang memiliki berfungsi sosial dan utang piutang murni. sehingga
disebut sebagai akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan dalam hal imbalan
atau mengambil suatu keuntungan. Praktik rahn ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
dan beliau sendiri pun pernah melakukannya. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan rahn
ini, yaitu mengenai dasar hukum rahn, rukun rahn, dan syarat-syarat rahn serta beberapa
pengertian rahn menurut mazhab-mazhab yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Kata Kunci : Rahn, Gadai, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, Pemanfaatan Barang Gadai
A. Pendahuluan
Pengertian umum Rahn atau gadai adalah kegiatan menjaminkan suatu barang yang
berharga atau memiliki nilai berharga kepada pihak tertentu, untuk memperoleh sejumlah
uang dan barang yang dijaminkan dan akan diambil kembali sesuai dengan perjanjian antara
penggadai dengan penerima gadai. Substansi dari akad Rahn adalah qordh atau utang piutang.
yang disertai dengan barang jaminan.
Fiqih Muamalah
B. Pengertian Rahn
Menurut bahasa rahn adalah tetap dan lestari, sering juga disebut dengan al-halsu
yang berarti penahan, Rahn dalam istilah di Indonesia disebut “agunan”, yaitu barang
jaminan atau barang yang dijaminkan, sinonim kata berupa “rungguhan”, “cagar” atau
“cagaran” atau “tanggungan”. Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi
agunan atau barang jaminan bagi pelunasan utang. Barang yang menjadi jaminan disebut al-
marhun, pihak yang memberikan jaminan disebut ar-rahin, pihak yang memperoleh jaminan
atau pemegang jaminan atau kreditur disebut al-murtahin.
1. Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang dijadikan pemiliknya sebagai
jaminan utang yang bersifat mengikat.
2. Mazhab hanafi, menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang)
yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya
maupun sebagian.
3. Mazhab Syafi’i dan Hambali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu menjadikan
materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila
orang yang berutang tidak dapat membayar utangnya itu. Secara sederhananya rahn
adalah semacam barang yang dijadikan jaminan pelunasan utang.
Ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan dalam islam berdasarkan
Alquran dan sunnah. Dalam surah al-Baqarah ayat 282 dan 283, Allah berfirman :
‘’Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua
oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-
saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
Fiqih Muamalah
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu’’.(Al-Baqarah ayat 282 )
‘’Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’’. ( Al-Baqarah
ayat 282 )
Menurut kesepakatan ahli fiqih, peristiwa Rasulullah me-rahnkan baju besinya itu adalah
kasus rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh beliau.
2) Barang jaminan adalah barang yang memiliki nilai ekonomis ( mempunyai nilai
harta secara hukum syara’).
3) Barang yang dapat diambil manfaatnya.
4) Barang harusi jelas, baik bentuk, jenis maupun nilainya.
5) Barang jaminan itu milik sah orang yang berutang.
Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa gadai itu
dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan
pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Para ulama
menyebut syarat ini adalah qabdh al-marhun ( barang jaminan dikuasai secara hukum oleh
pemberi piutang ).
dengan izin yang menggadaikan.Apabila tidak dizinkan oleh yang menggadaikan, meskipun
barang gadaian itu adalah barang yang dapat dikendarai, maka jumhur ulama berpendapat
bahwa itu sama sekali tidak dapat diambil manfaat oleh sipemegang jaminan. Akan tetapi
Imam Ahmad, Ishaq, Al-Laits, al-Hasandan satu jama’ah berpendapat boleh mengambil
manfaat barang itu untuk dikendarai dan diperah sekedar belanja yang dikeluarkan.
Menurut mazhab Syafi’i adalah halal bagi penggadai untuk mengambil manfaat dari
barang gadaian tersebut tanpa izin pemeganggadai. Karena barang itu adalah miliknya dan
seorang pemilik tidak dapat dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya. Namun
demikian, pemanfaatan itu tidak boleh merusak, baik kualitas maupun kuantitas barang itu.
Oleh sebab itu, jika terjadi kerusakan pada barang tersebut, maka pemilik bertanggung jawab
atas hal itu.
Sedangkan ulama Hanafiyah dan Hanabilah, menyatakan pemilik barang boleh
memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan itu, apabila diizinkan oleh pemegang
jaminan. Hal ini sejalan dengan hadits di atas. Oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin
memanfaatkan barang itu, haruslah mendapat izin dari pihak lainnya.Apabila barang yang
dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkannya bertanggung jawab membayar
ganti ruginya.
Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah berpendapat bahwa
pemilik barang tidak boleh memanfaatkan barang jaminan, baik diizinkan oleh al-murtahin
maupun tidak, karena barang itu berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak milik secara
penuh. Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang
ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pemeganggadai boleh memanfaatkan hewan
ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanafiyah menetapkan bahwa
apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya, maka pemegang jaminan
boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak, karena membiarkan harta itu
sia-siatermasuk pemubadziran yang dilarang oleh Rasulullah saw. Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan adalah hewan, maka pemegang
jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya sesuai dengan
jumlahbiaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan tersebut. Hal ini
sejalan dengan hadits Nabi yang mengatakan :
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Hewan yang dijadikan
barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari
kambing yang dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan
Fiqih Muamalah
pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya.”
(HR. al-Bukhari,al-Tirmidzi dan Abu Daud)
Hadits ini menetapkan manfaat barang gadaian berdasarkan nafakahnya dan itulah
tempatnya perselisihan. Maka tidak dikatakan yang dimaksud di situ bahwa orang yang
menggadaikan menafakahkan dan mengambil manfaat, karena ia mengambil manfaat
berdasarkan hak milik bukan dengan jalan imbangan antara nafakah dan manfaat sebagai
yang tersebut dalam diktum hadits. Dinyatakan lagi dalam sebuah riwayat, apabila binatang
itu digadaikan, maka wajib atas yang peganggadai memberi umpannya dan susunya
diminumnya serta wajib atasorang yang meminum susunya memberi nafakah.
F. PENUTUP
Rahn merupakan akad penyerahan barang untuk menjadi agunan atau barang jaminan
bagi pelunasan utang. Barang jaminan disebut al-marhun, pihak yang memberikan atau yang
menggadai disebut ar-rahin atau debitur, dan pihak yang menerima atau pemegang jaminan
disebut al-murtahin atau kreditur.
Hukum akad rahn dibolehkan berdasarkan Al-Quran dan hadits, beberapa diantaranya
dalam Surat Al-Baqarah ayat 282-283 dan Hadits mengenai Rasulullah menjadikan baju
besinya sebagai barang jaminan.
Akad rahn haruslah memenuhi rukun dan syaratnya yang telah ditetapkan oleh Syara’,
yaitu adanya rahin, murtahin, marhun dan marhun bih, sedangkan menurut Hanafiyah
berpendapat bahwa rukun gadai itu hanya ijab dan qabul. Sedangkan syaratnya, Rahin dan
Murtahin, memiliki kecakapan hukum untuk bertindak, adanya hutang piutang dan barang
yang dijaminkan.
Pemanfaatan barang jaminan tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak penerima jaminan,
karena barang tersebut bersifat tetap menjadi milik pemberi jaminan dan penerima jaminan
hanya menahan barang jaminan hingga pemberi jaminan melunasi hutangnya, kecuali atas
izin pemberi jaminan.
Daftar Pustaka