Anda di halaman 1dari 12

KONSEP DAN TEORI JUAL BELI DAYN

Dosen Pengampu: Drs. H. M. Fachrir Rahman, MA

Disusun Oleh Kelompok IV :

1. Annisa Yusuf : 180201083


2. Diana Ayu Lestari : 180201110

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

TAHUN 2019/2020
A. Pengertian Jual Beli Dayn

Al-dayn merupakan utang dalam bentuk pembiayaan. Al-dayn adalah sesuatu


dhabit dalam tanggungan, seperti jumlah uang dirham yang berada dalam tanggungan
seseorang. Maksudnya adalah kewajiban untuk membayara uang atau sesuatu yang
dianggap sama dengan uang. Al-dayn merupakan utang dengan maksud penundaan
tanggungan yang muncul dalam suatu kontrak yang melibatkan pertukaran nilai. Jadi, al-
dayn adalah harta yang terdapat pada tanggungan orang lain dan ia termasuk pada
penundaan tanggung jawab yang menyebabkan pertambahan nilai. Bai’i al Dayn adalah
seseorang mempunyai hak mengutip utang yang akan dibayarpada masa yang akan
datang, ia juga dapat menjual haknya kepada orang lain dengan harga yang disetujui
bersama. Jual beli utang dapat terjadi, baik pada orang yangberutang atau bagi mereka
yang tidak berutang melalui jual beli secara tunai.
Jual beli hutang merupakan salah satu bentuk perniagaan yang diperdebatkan
statusnya. sebagian ulama membolehkan jual beli hutang pada pengutang (orang yang
berutang). Dengan demikian jual beli hutang dilakukan, baik kepada pengutang atau
selain pihak pengutang. Juga dapat dilaksanakan dalam dua hal, baik pembayaran harga
secara tunai maupun bertangguh. Ada beberapa pendapat ulam tentang status hukum jual
beli tersebut.
Dayn, menurut perundangan Islam, mencakupi ruang lingkup yang luas; yaitu
bayaran kepada harga barangan, bayaran kepada qardh (hutang), bayaran mahr (mas
kahwin) selepas isteri disetubuhi atau sebelumnya; yakni mahar yang belum dibayar
selepas akad nikah, bayaran ke atas sewa, ganti rugi yang mesti dibayar kerana jenayah
( arsy ), ganti rugi ke atas kerusakan yang dilakukan, jumlah uang yang mesti dibayar
kerana tebus talak ( khulu' ) dan barangan pesanan yang belum sampai ( muslam fih ).
Maksudnya hutang itu tidak semestinya dalam bentuk harta semata-mata bahkan
merangkumi segala sesuatu yang sabit dalam tanggungan seseorang sama ada berupa
harta atau hak.
Bai’ al-dayn atau bai’ nasiah bi nasiah atau Nabi SAW sering menyebutnya bai’
kaly bi kaly adalah menjual hutang dengan hutang, membeli barang dengan hutang dan
uangnya juga hasil hutang. Bai’ al-dayn adalah akad penyediaan pembiayaan untuk jual-
beli barang dengan menerbitkan surat hutang dagang atau surat berharga lain berdasarkan
harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Pembiayaan ini bersifat jangka pendek
(kurang dari satu tahun) dan hanya termasuk surat-surat berharga yang memiliki nilai
rating investasi yang baik.

B. Konsep Jual Beli Dayn

Dalam syariat islam, hutang piutang masuk dalam bahasan muamalah (transaksi
non ritual ibadah). Dalam logika fikih muamalah, berlaku kaidah boleh melakukan apa
saja sampai ada dalil larangannya. Inilah prinsip utama yang harus dipahami sebelum
membahas tentang hutang piutang dalam islam.
Adapun transaksi yang dilarang dalam hutang piutang adalah dengan
mensyaratkan dan/ atau disyaratkan adanya kelebihan pengembalian dari pihak yang
berhutang. Inilah transaksi riba dalam hutang piutang dan tidak adil. Kaidah
pelarangannya adalah kullu qardhin jarra manfaah fahuwa ra riba. Padahal hukum riba itu
diharamkan, mau sedikit ataupun banyak.
Apabila kelebihan pengembalian tersebut tidak dipersyaratkan, maka jelas saja hal
ini boleh dilakukan. Bahkan Rasulullah SAW pernah mencontohkan keutamaan
memberikan kelebihan pengembalian atas pinjaman. kelebihan pengembalian itu jangan
dipersyaratkan. Asal terbentuknya transaksi, hutang piutang bisa berasal dari transaksi
pinjaman dan transaksi dan transaksi jual beli dengan pembayaran secara tangguh (bay’
mu’ ajjal) maupun jual beli dengan pembayaran secara angsuran (bay’ taqsith). Namun
ada sebagian pihak yang mendefinisikan hutang itu berasal dari transaksi pinjaman
(qardh) saja, sedangkan transaksi jual beli secara tangguh didefinisikan dengan kewajiban
(bukan dayn). Diantara dua pendapat tersebut, persamaannya adalah dua- duanya sama-
sama terdapat kewajiban dari pihak penerima pinjaman kepada pemberi pinjaman dan
pembeli kepada penjual.
Selanjutnya yang harus diperhatikan oleh pihak yang melakukan hutang piutang adalah
adab hutang piutang. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar hutang piutang bisa
dilakukan sesuai prinsip syariah islam.
1. Catatlah. Hal ini di ajarkan oleh Al- Qur’an bahwa ketika kita sedang melakukan
transaksi hutang piutang dengan pembayaran tempo, maka catatlah. Hal ini harus
diperhatikan terutama hutang piutang dengan nominal signifikan dan sifatnya legal
formal. Bahkan siapkan juga saksi atas transaksi hutang piutang tersebut.
2. Tunaikan janji. Al- Qur’an pun menegaskan bahwa kita harus memenuhi akad dan
janji. Ketika kita berhutang, maka ingatlah dan catatlah janji. Selanjutnya, penuhilah
janji. Hal ini dilakukan agar semua pihak bisa diperlakukan adil, tidak menzhalimi
dan tidak terzhalimi.
3. Jangan biasakan melakukan hutang. Hutang itu hukumnya halal. Tapi usahakan
sekuat hati agar tidak hobi berhutang. Hobi hutang akan berdampak negative pad
kondisi keseimbangan tata kelola uang dan kondisi psikologis.
4. Tagihlah utang. Jika ada hutang yang sudah sampai jatuh tempo pembayaran dan
belum dilakukan pembayaran, tagihlah hutang dengan cara baik- baik. Hal ini akan
berdampak baik bagi semua pihak, baik pemberi hutang maupun penghutang.
5. Boleh menggunakan agunan atau jaminan. Ketentuan ini pun telah digariskan dalam
Al- Qur’an. Ketika ada transaksi hutang piutang, boleh minta agunan atau jaminan
yang senilai. Hal ini dilakukan agar penghutang bisa memenuhi janji bayar hutang,
serta tidak ada pihak yang menzhalimi dan terzhalimi.

C. Teori Jual Beli Dayn

Dalam transaksi muamalah dewasa ini, terkadang ditemui transaksi berupa jual
beli piutang, seperti ketika seseorang yang memiliki piutang, lalu ia menjual piutang nya
tersebut kepada orang lain. Atau dalam kasus lembaga keuangan syariah, ketika suatu 
LKS akan menjual asset pembiayaannya kepada LKS yang lainnya, maka bagaimanakah
hukumnya?
Berikut kami simpulkan dari beberapa referensi, utamanya dari Al-Fiqh Al-Islami
wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Al-Zuhaily. Syekh Wahbah Zuhaily memberikan
pembahasan tentang bai’ ad-dain (  ‫بيع الدين‬ ) sebagai berikut:
1. Menjual piutang dengan hutang ( ‫بيع الدين نسيئة‬ )

Dalam fiqh transaksi seperti ini dikenal dengan sebutan bai’ ad-dayn by ad-
dayn atau dalam hadits disebut bai’ al-kali bil kali ( ‫اليء‬II‫اليء بالك‬II‫ع الك‬II‫بي‬ ). Bentuk
transaksi jual beli seperti ini adalah dilarang secara syariah.

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َْن بَي ِْع ْال َكالِ ِئ بِ ْال َكالِ ِئ (رواه النسائي في الكبرى‬ َّ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ أَ َّن النَّب‬
َ ‫ى‬ ِ ‫ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر َر‬
)‫والحاكم والدارقطني‬

Artinya: Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli hutang
dengan hutang. (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, Daruquthni dan Al-
Hakim)

Menjual piutang dengan hutang, bisa terjadi dalam dua bentuk :

a. ( ‫بيع الدين للمدين‬ ) Menjual piutang kepada orang yang berutang tersebut yaitu seperti
seseorang yang berkata kepada orang lain, seperti:

 Saya beli dari kamu satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan
serah terima dilakukan setelah satu bulan.

 Atau seseorang membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu


lalu ketika jatuh tempo, penjual tidak mendapatkan barang untuk menutupi
utangnya, lantas berkata kepada pembeli, ‘Juallah barang ini kepadaku
dengan tambahan waktu lagi dengan imbalan tambahan barang’. Lalu
pembeli menyetujui permintaan penjual dan kedua belah pihak tidak saling
sarah terima barang.

Cara seperti ini merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah ‘berikan
tambahan waktu dan saya akan berikan tambahan jumlah barang.’ (  ‫زدني في‬
‫األجل وأزيدك في القدر‬ )

b. ( ‫بيع الدين لغير المدين‬ )  Menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang
berhutang

Hal ini seperti seseorang berkata kepada orang lain, ‘Saya jual kepadamu 
20 mud gandum milikku yang dipinjam oleh fulan dengan harga sekian dan kamu
bisa membayarnya kepadaku setelah satu bulan.’ Maka transaksi jual beli seperti
ini juga termasuk transaksi yang tidak diperbolehkan.
2. Menjual piutang dengan tunai pada saat transaksi. ( ‫بيع الدين نقدا في الحال‬ )

Hukum menjual piutang dengan tunai diperselisihkan oleh ulama tentang


hukumnya dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. (  ‫بيع الدين للمدين‬ ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang

Kebanyakan ahli fiqih dari empat madzhab  memperbolehkan menjual


piutang atau menghibahkan piutang kepada orang yang berhutang. Karena
penghalang dari sahnya menjual piutang dengan hutang adalah karena
ketidakmampuan menyerahkan objek akad. Sementara dalam jual beli piutang
kepada orang yang berhutang di sini, tidak diperlukan lagi penyerahterimaan
objek akad, karena piutang sudah ada pada orang yang meminjamnya sehingga
sudah diserah terimakan dengan sendirinya. Contohnya adalah orang yang
memberikan hutang/ kreditur ( ‫الدائن‬ ) menjual piutangnya yang ada pada debitur (
‫دين‬II‫الم‬ ) dengan harga berupa sesuatu yang bukan sejenis piutangnya. Namun,
berbeda dengan jumhur ulama, Madzhab Zhahiriyah berperdapat bahwa menjual
piutang kepada orang yang berhutang adalah tidak sah, karena jual beli ini
mengandung unsur gharar. Ibnu Hazam berkata, ‘karena jual beli ini termasuk
jual beli barang yang tidak diketahui dan tidak jelas barangnya. Inilah yang
disebut dengan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

b. (  ‫بيع الدين لغير المدين‬ ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan berhutang

1. Mahdzhab Hanafi dan Zhahiri

mengatakan bahwa oleh karena pada dasarnya tidak boleh menjual barang
yang tidak bisa diserah terimakan, maka menjual piutang kepada orang lain
yang bukan berhutang adalah tidak boleh. Sebab piutang tidak bisa diserahkan
kecuali kepada orang yang berhutang itu sendiri. Karena piutang adalah ibarat
dari harta yang ada dalam tanggungan seseorang secara hukum, atau ibarat
dari mengalihkan hak kepemilikan dan menyertakannya. Kedua hal tersebut
tidak bisa diserahkan oleh penjual kepada pihak lain yang bukan berhutang.

2. Madzhab Syafii mengemukakan bahwa :

1) Menjual piutang yang bersifat tetap[2] kepada orang yang berhutang 


atau kepada pihak lain sebelum piutang itu diterima oleh orang yang
memberi hutang, adalah  diperbolehkan. Karena secara zahir,
kreditur (orang yang memberikan hutang) mampu menyerahkan
barang tanpa ada halangan apapun. Contoh piutang yang tetap adalah
nilai barang yang dirusak (yang harus diganti) dan barang yang ada
pada debitur (yang harus dikembalikan kepada si pemberi hutang).
2) Akan tetapi apabila piutang tersebut tidak tetap, maka jika ia berupa
barang yang diserahkan pada jual beli salam, hukumnya tidak
boleh menjualnya sebelum barang tersebut diterima. Hal ini karena
adanya larangan secara umum tentang jual beli barang yang belum
diterima. Disamping itu juga karena kepemilikan barang dalam jual
beli salam tidaklah tetap, karena ada kemungkinan barang tersebut
tidak bisa diserahkan karena hilang, sehingga jual beli menjadi batal.
3) Kemudian apabila piutang itu berupa harga barang dalam jual beli,
maka dalam pendapat terbaru dari madzhab Syafii
adalah juga diperbolehkan menjualnya sebelum dipegang, berdasarkan
riwayat Ibnu Umar, dari Rasulullah SAW ;
َ ْ‫الَ بَأ‬
‫س َمالَ ْم تَتَفَ َّرقَا َوبَ ْينَ ُك َما َش ْي ٌء‬

Artinya: ‘Tidak apa-apa selama keduanya belum berpisah dan


diantara keduanya ada sesuatu.’ (HR. Turmudzi)

3. Madzhab Hambali  berpendapat bahwa :

1) Boleh menjual piutang yang tetap kepada debiturnya sendiri, seperti


mengganti pinjaman dan mahar setelah senggama.
2) Namun tidak boleh menjual piutang kepada orang lain yang bukan
debiturnya, sebagaimana tidak boleh menghibahkan piutang kepada orang
lain yang bukan debiturnya. Karena pada dasarnya hibah mengharuskan
adanya barang sementara dalam hal hibaAH hutang ini, barangnya tidak
ada.
3) Tidak boleh juga menjual piutang yang tidak tetap, seperti sewa properti
sebelum selesai masa sewanya, atau seperti mahar sebelum bersenggama
dengan istri atau seperti barang pada jual beli salam sebelum diterima.
Namun sebagai catatan, walaupun madzhab Hambali tidak
memperbolehkan transaksi menjual piutang kepada orang lain yang bukan
orang yang berhutang, namun Ibnu Qayim yang merupakan salah satu
ulama besar Madzhab Hambali membolehkan jual piutang kepada orang
yang berhutang maupun kepada orang lain yang bukan orang yang
berhutang.
4. Sementara Madzhab Maliki berpendapat bahwa boleh menjual piutang kepada
orang lain yang tidak berhutang  apabila memenuhi delapan syarat berikut:

1) Jual beli tidak mengakibatkan pada pelanggaran syariah, seperti   riba,


gharar, atau sejenisnya. Dengan demikian, piutang harus berupa sesuatu
yang bisa dijual sebelum diterima, seperti halnya jika piutang itu
berupa pinjaman dan sejenisnya. Dan jika piutang bukan berupa barang
makanan.
2) Piutang harus dijual dengan harga tunai agar terhindar dari hukum jual
beli piutang yang dilarang.
3) Harga harus berupa sesuatu yang bukan sejenis piutang yang dijual atau
sejenisnya tetapi harus ada persamaan jumlahnya agar tidak terjebak
dengan jual beli riba yang haram.
4) Harga tidak boleh berupa emas, jika piutang yang dijual adalah perak agar
tidak terjadi jual beli uang dengan uang yang tidak tunai, tanpa diserahkan
keduanya.
5) Adanya dugaan kuat untuk mendapatkan piutang (dilunasinya utang),
seperti kemungkinan hadirnya  orang yang berhutang (debitur) di tempat
dilaksanakannya akad guna mengetahui kondisinya, apakah ia memiliki
dana atau tidak.
6) Orang yang berhutang (Debitur) harus mengakui utangnya agar ia tidak
mengingkarinya setelah itu. Maka oleh karenanya tidak diperbolehkan
menjual hak milik yang disengketakan.
7) Orang yang berutang (Debitur) adalah orang yang layak untuk membayar
utangnya; atau debitur bukanlah orang yang tidak mampu atau bukan
orang yang terhalang. Hal ini untuk memastikan agar ia bisa menyerah-
terimakan barang atau utang.
8) Tidak adanya konflik antara pembeli dan orang yang berutang
(debitur) seingga pembeli tidak dirugikan, atau agar debitur tidak
dirugikan dalam bentuk memberi peluang kepada sengketanya untuk
merugikannya.

Kesimpulannya adalah bahwa bai' ad-dayn boleh dilakukan menurut Madzhab


Syafi'i, Maliki dan juga Ibnu Qayim Al-Jauzi dengan syarat bahwa : 

a) Dibayar dengan tunai (cash), dan tidak boleh dibayar dengan tunda (cicil).
karena jika dibayar dengan tunda atau cicil, mengakibatkan pada jual beli
hutang dengan hutang. dan hal tersebut dilaran oleh Rasulullah SAW. 
b) Jual beli piutang dengan tuani diperbolehkan, apabila terhindar dari
praktek riba. Sehingga diharuskan adanya kesamaan harga, antara piutang
yang dijual, dengan piutang yang akan diperoleh. sehingga tidak boleh
misalnya menjual piutang Rp. 10.000,000,-, untuk kemudian dibayarnya
senilai Rp 11.000.000,-. Karena jika demikian terjadi tukar menukar uang
dengan jumlah yang tidak sama, dan hal ini merupakan riba fadhl yang
diharamkan.  Jadi, jual beli piutang secara cash diperbolehkan dengan
syarat harganya harus sama. 
c) Objek yang ditransaksikan haruslah jelas. Misalnya berapa jumlahnya, apa
objek terjadinya piutang, siapa orang yang memiliki piutang, dst.
Ketidakjelasan pada aspek ini, mengakibatkan transaksi terjerumus pada
bay' gharar yang diharamkan.
d) Lalu syarat-syarat lain yang disampaikan oleh Madzhab Maliki di atas,
seperti adanya pengakuan dari orang yang berhutang, lalu adanya
kepastian bahwa orang yang berhutang sanggup untuk melunasi
hutangnya, dsb. 
e) Syarat lainnya adalah syarat yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi;i,
yaitu bahwa objeknya (piutang) haruslah termasuk dalam kategori maal
mustaqir (yang jelas dan tetap serta tidak adanya kemungkinan bahwa
hutang tersebut menjadi diputihkan), dsb. Apabila piutangnya adalah
sesuatu yang bukan maal mustaqir, maka tidak boleh diperjual belikan.
Karena berarti adanya ketidakjelasan pada objek yang berakibat pada bai'
gharar yang diharamkan.

Contoh lain jual beli dayn

Si A berhutang pada B. Perjanjian hutang-piutang tersebut dikuatkan dalam akte


perjanjian hutang-piutang. Karena mendesaknya kebutuhan, sebelum jatuh tempo oleh B,
akte perjanjian hutang-piutang itu dijual kepada C. Berdasarkan akte perjanjian hutang-
piutang itu C menagih kepada si A.  Jawabannya jual beli hutang-piutang (bai’ al-dain)
seperti tersebut di atas hukumnya boleh, jika nilainya sama. Dan jika nilainya berkurang,
hukumnya tidak boleh. Dijelaskan pada hadits berikut:

Al-Iqna’ fi Hill Alfazh Abi Syuja

‫ َك َما َر َّج َحهُ فِي‬ ‫ص ُّح بَ ْي ُع ال َّد ْي ِن بِ َغ ْي ِر َد ْي ٍن لِ َغ ْي ِر َمنْ ُه َو َعلَ ْي ِه َكأَنْ بَا َع بَ ْك ٌر لِ َع ْم ٍرو ِمائَةً لَهُ َعلَى َز ْي ٍد ِب ِمائَ ٍة َكبَ ْي ِع ِه ِم َّمنْ ه َُو َعلَ ْي ِه‬
ِ َ‫َوي‬
ْ ْ
ُ‫اج البُطالَن‬ ْ ْ
ِ ‫ض ِة َوإِنْ ُر ِّج َح فِي ال ِمن َه‬ َ ‫ال َّر ْو‬

Sah menjual hutang dengan selain hutang kepada orang lain yang tidak punya kewajiban
atasnya, seperti Bakar menjual kepada Umar hutang senilai seratus yang menjadi
kewajiban Zaid dengan nilai seratus pula. Pendapat ini diunggulkan dalam al-Raudhah,
berbeda dengan al-Minhaj yang tidak mengesahkannya.  
DAFTAR PUSTAKA

Azhar, Ahmad Basyir. Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang, Gadai,Bandung: al
Ma’arif, 1983.
Hendi Suhendi,2011, Fikih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers

Anda mungkin juga menyukai