FAKULTAS SYARIAH
TAHUN 2019/2020
A. Pengertian Jual Beli Dayn
Dalam syariat islam, hutang piutang masuk dalam bahasan muamalah (transaksi
non ritual ibadah). Dalam logika fikih muamalah, berlaku kaidah boleh melakukan apa
saja sampai ada dalil larangannya. Inilah prinsip utama yang harus dipahami sebelum
membahas tentang hutang piutang dalam islam.
Adapun transaksi yang dilarang dalam hutang piutang adalah dengan
mensyaratkan dan/ atau disyaratkan adanya kelebihan pengembalian dari pihak yang
berhutang. Inilah transaksi riba dalam hutang piutang dan tidak adil. Kaidah
pelarangannya adalah kullu qardhin jarra manfaah fahuwa ra riba. Padahal hukum riba itu
diharamkan, mau sedikit ataupun banyak.
Apabila kelebihan pengembalian tersebut tidak dipersyaratkan, maka jelas saja hal
ini boleh dilakukan. Bahkan Rasulullah SAW pernah mencontohkan keutamaan
memberikan kelebihan pengembalian atas pinjaman. kelebihan pengembalian itu jangan
dipersyaratkan. Asal terbentuknya transaksi, hutang piutang bisa berasal dari transaksi
pinjaman dan transaksi dan transaksi jual beli dengan pembayaran secara tangguh (bay’
mu’ ajjal) maupun jual beli dengan pembayaran secara angsuran (bay’ taqsith). Namun
ada sebagian pihak yang mendefinisikan hutang itu berasal dari transaksi pinjaman
(qardh) saja, sedangkan transaksi jual beli secara tangguh didefinisikan dengan kewajiban
(bukan dayn). Diantara dua pendapat tersebut, persamaannya adalah dua- duanya sama-
sama terdapat kewajiban dari pihak penerima pinjaman kepada pemberi pinjaman dan
pembeli kepada penjual.
Selanjutnya yang harus diperhatikan oleh pihak yang melakukan hutang piutang adalah
adab hutang piutang. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar hutang piutang bisa
dilakukan sesuai prinsip syariah islam.
1. Catatlah. Hal ini di ajarkan oleh Al- Qur’an bahwa ketika kita sedang melakukan
transaksi hutang piutang dengan pembayaran tempo, maka catatlah. Hal ini harus
diperhatikan terutama hutang piutang dengan nominal signifikan dan sifatnya legal
formal. Bahkan siapkan juga saksi atas transaksi hutang piutang tersebut.
2. Tunaikan janji. Al- Qur’an pun menegaskan bahwa kita harus memenuhi akad dan
janji. Ketika kita berhutang, maka ingatlah dan catatlah janji. Selanjutnya, penuhilah
janji. Hal ini dilakukan agar semua pihak bisa diperlakukan adil, tidak menzhalimi
dan tidak terzhalimi.
3. Jangan biasakan melakukan hutang. Hutang itu hukumnya halal. Tapi usahakan
sekuat hati agar tidak hobi berhutang. Hobi hutang akan berdampak negative pad
kondisi keseimbangan tata kelola uang dan kondisi psikologis.
4. Tagihlah utang. Jika ada hutang yang sudah sampai jatuh tempo pembayaran dan
belum dilakukan pembayaran, tagihlah hutang dengan cara baik- baik. Hal ini akan
berdampak baik bagi semua pihak, baik pemberi hutang maupun penghutang.
5. Boleh menggunakan agunan atau jaminan. Ketentuan ini pun telah digariskan dalam
Al- Qur’an. Ketika ada transaksi hutang piutang, boleh minta agunan atau jaminan
yang senilai. Hal ini dilakukan agar penghutang bisa memenuhi janji bayar hutang,
serta tidak ada pihak yang menzhalimi dan terzhalimi.
Dalam transaksi muamalah dewasa ini, terkadang ditemui transaksi berupa jual
beli piutang, seperti ketika seseorang yang memiliki piutang, lalu ia menjual piutang nya
tersebut kepada orang lain. Atau dalam kasus lembaga keuangan syariah, ketika suatu
LKS akan menjual asset pembiayaannya kepada LKS yang lainnya, maka bagaimanakah
hukumnya?
Berikut kami simpulkan dari beberapa referensi, utamanya dari Al-Fiqh Al-Islami
wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Al-Zuhaily. Syekh Wahbah Zuhaily memberikan
pembahasan tentang bai’ ad-dain ( بيع الدين ) sebagai berikut:
1. Menjual piutang dengan hutang ( بيع الدين نسيئة )
Dalam fiqh transaksi seperti ini dikenal dengan sebutan bai’ ad-dayn by ad-
dayn atau dalam hadits disebut bai’ al-kali bil kali ( اليءIIاليء بالكIIع الكIIبي ). Bentuk
transaksi jual beli seperti ini adalah dilarang secara syariah.
صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َْن بَي ِْع ْال َكالِ ِئ بِ ْال َكالِ ِئ (رواه النسائي في الكبرى َّ ِض َي هللاُ َع ْنهُ أَ َّن النَّب
َ ى ِ ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر َر
)والحاكم والدارقطني
Artinya: Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli hutang
dengan hutang. (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, Daruquthni dan Al-
Hakim)
a. ( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berutang tersebut yaitu seperti
seseorang yang berkata kepada orang lain, seperti:
Saya beli dari kamu satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan
serah terima dilakukan setelah satu bulan.
Cara seperti ini merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah ‘berikan
tambahan waktu dan saya akan berikan tambahan jumlah barang.’ ( زدني في
األجل وأزيدك في القدر )
b. ( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang
berhutang
Hal ini seperti seseorang berkata kepada orang lain, ‘Saya jual kepadamu
20 mud gandum milikku yang dipinjam oleh fulan dengan harga sekian dan kamu
bisa membayarnya kepadaku setelah satu bulan.’ Maka transaksi jual beli seperti
ini juga termasuk transaksi yang tidak diperbolehkan.
2. Menjual piutang dengan tunai pada saat transaksi. ( بيع الدين نقدا في الحال )
mengatakan bahwa oleh karena pada dasarnya tidak boleh menjual barang
yang tidak bisa diserah terimakan, maka menjual piutang kepada orang lain
yang bukan berhutang adalah tidak boleh. Sebab piutang tidak bisa diserahkan
kecuali kepada orang yang berhutang itu sendiri. Karena piutang adalah ibarat
dari harta yang ada dalam tanggungan seseorang secara hukum, atau ibarat
dari mengalihkan hak kepemilikan dan menyertakannya. Kedua hal tersebut
tidak bisa diserahkan oleh penjual kepada pihak lain yang bukan berhutang.
a) Dibayar dengan tunai (cash), dan tidak boleh dibayar dengan tunda (cicil).
karena jika dibayar dengan tunda atau cicil, mengakibatkan pada jual beli
hutang dengan hutang. dan hal tersebut dilaran oleh Rasulullah SAW.
b) Jual beli piutang dengan tuani diperbolehkan, apabila terhindar dari
praktek riba. Sehingga diharuskan adanya kesamaan harga, antara piutang
yang dijual, dengan piutang yang akan diperoleh. sehingga tidak boleh
misalnya menjual piutang Rp. 10.000,000,-, untuk kemudian dibayarnya
senilai Rp 11.000.000,-. Karena jika demikian terjadi tukar menukar uang
dengan jumlah yang tidak sama, dan hal ini merupakan riba fadhl yang
diharamkan. Jadi, jual beli piutang secara cash diperbolehkan dengan
syarat harganya harus sama.
c) Objek yang ditransaksikan haruslah jelas. Misalnya berapa jumlahnya, apa
objek terjadinya piutang, siapa orang yang memiliki piutang, dst.
Ketidakjelasan pada aspek ini, mengakibatkan transaksi terjerumus pada
bay' gharar yang diharamkan.
d) Lalu syarat-syarat lain yang disampaikan oleh Madzhab Maliki di atas,
seperti adanya pengakuan dari orang yang berhutang, lalu adanya
kepastian bahwa orang yang berhutang sanggup untuk melunasi
hutangnya, dsb.
e) Syarat lainnya adalah syarat yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi;i,
yaitu bahwa objeknya (piutang) haruslah termasuk dalam kategori maal
mustaqir (yang jelas dan tetap serta tidak adanya kemungkinan bahwa
hutang tersebut menjadi diputihkan), dsb. Apabila piutangnya adalah
sesuatu yang bukan maal mustaqir, maka tidak boleh diperjual belikan.
Karena berarti adanya ketidakjelasan pada objek yang berakibat pada bai'
gharar yang diharamkan.
َك َما َر َّج َحهُ فِي ص ُّح بَ ْي ُع ال َّد ْي ِن بِ َغ ْي ِر َد ْي ٍن لِ َغ ْي ِر َمنْ ُه َو َعلَ ْي ِه َكأَنْ بَا َع بَ ْك ٌر لِ َع ْم ٍرو ِمائَةً لَهُ َعلَى َز ْي ٍد ِب ِمائَ ٍة َكبَ ْي ِع ِه ِم َّمنْ ه َُو َعلَ ْي ِه
ِ ََوي
ْ ْ
ُاج البُطالَن ْ ْ
ِ ض ِة َوإِنْ ُر ِّج َح فِي ال ِمن َه َ ال َّر ْو
Sah menjual hutang dengan selain hutang kepada orang lain yang tidak punya kewajiban
atasnya, seperti Bakar menjual kepada Umar hutang senilai seratus yang menjadi
kewajiban Zaid dengan nilai seratus pula. Pendapat ini diunggulkan dalam al-Raudhah,
berbeda dengan al-Minhaj yang tidak mengesahkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, Ahmad Basyir. Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang, Gadai,Bandung: al
Ma’arif, 1983.
Hendi Suhendi,2011, Fikih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers