Tentang
JUAL BELI
Jual Beli merupakan pemindahan hak milik berupa barang atau harta kepada pihak lain dan
menggunakan uang sebagai salah satu alat Etimologis pengertian jual beli adalah menukar harta
dengan harga lainnya.Secara Terminologis pengertian jual beli adalah transaksi penukaran selain
dengan fasilitas dan kenikmatan. Secara bahasa, jual beli berarti “mengambil dan memberikan
sesuatu”.Sedangkan menurut istilah yaitu transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi
beralihnya hak kepemilikan, dan hal tersebut dapat terlaksana dengan akad baik akad ucapan
maupun perbuatan.Dengan kata lain, jual beli adalah transaksi antara satu orang dengan orang
lain yang berupa tukar menukar barang suatu barang dengan barang yang lain dengan cara dan
akad tertentu.
Hukum melakukan transaksi jual beli adalah boleh ataupun halal. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 275:
Artinya: “Padahal Allah telah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al-
Baqarah: 275)
Transaksi jual beli tidak sah apabila tidak memenuhi syarat dan rukun jual beli. Karena syarat
dan rukun jual beli telah ditetapkan di dalam Islam. Berikut penjelasannya:
Adapun syarat uang dan barang yang sah dalam jual beli adalah
Adapun ikrar dalam jual beli terdiri dari ijab dan qabul. Ijab merupakan ikrar penjual.
Sedangkan Qabul adalah ikrar pembeli. Adapun contoh dari ijab qabul dalam jual beli adalah:
Saya jual motor ini kepadamu dengan harga 20 juta”. Kemudian pembeli menjawab: “Saya
terima motor ini dengan harga tersebut.
kata as-salam disebut juga dengan as-salaf. Maknanya, adalah menjual sesuatu dengan
sifat-sifat tertentu, masih dalam tanggung jawab pihak penjual tetapi pembayaran segera atau
tunai. Para ulama fikih menamakannya dengan istilah al-Mahawi’ij. Artinya, adalah sesuatu yang
mendesak, karena jual beli tersebut barangnya tidak ada di tempat, sementara dua belah pihak
yang melakukan jual beli dalam keadaan terdesak. Pihak pemilik uang membutuhkan barang,
dan pemilik barang memerlukan uang, sebelum barang berada di tempat. Uang dimaksud untuk
memenuhi kebutuhannya. Ada pendapat yang mengartikan jual beli salam adalah pembiayaan
terkait dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.
Jual beli salam ini, biasanya berlaku untuk jual beli yang objeknya adalah agrobisnis. Misalnya,
gandum, padi, tebu dan sebagainya.
Dalam jual beli salam, spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan
penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu
akad. Dalam hal Bank bertindak sebagai pembeli, Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada
nasabah untuk menghindari risiko yang merugikan Bank. Barang pesanan harus diketahui
karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya.
Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan
penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggung
jawab atas kelalaiannya.
Secara bahasa, transaksi (akad) digunakan berbagai banyak arti, tetapi secara keseluruhan
kembali pada bentuk ikatan atau hubungan terhadap dua hal. Yaitu As-Salam atau disebut
juga As-Salaf yaitu istilah dalam bahasa arab yang mengandung makna “penyerahan”.
Sementara para fuqaha’ menyebutnya dengan al-Mahawi’ij (barang-barang mendesak) karena ia
sejenis jual beli barang yang tidak ada di tempat, sedangkan dua pokok yang melakukan
transaksi jual beli mendesak.
Salam merupakan transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada.
Maka dari itu barang diserhkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai.
Barang yang diperjualbelikan belum ada pada saat transaksi dan harus diproduksi terlebih
dahulu, seperti produk-produk pertanian dan produk-produk fungible adalah barang yang dapat
diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya. Jual beli pesanan dalam fiqih islam
adalah as-salam dan bahasa penduduk hijaz, sedangkan bahsa penduduk iraq as-salaf. Kedua
kata ini mempunyai arti yang sama, sebagaimana dua kata tersebut digunakan oleh Nabi,
sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. ketika membicarakan akad bai’salam, beliau
menggunakan kata as-salaf disamping as-salam, sehingga dua kata tersebut adalah kata yang
sinonim
Secara terminologi ulama fiqih mengartikannya: “Menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya jelas dan pembayaran modal
di awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian”. Sedangkan Ulama’ Syafi’yah dan
Hanabilah mendefinisikannya: “akad yang disepakati dengan menentukan kriteria tertentu
dengan membayar harganya terlebih dulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam
suatu majelis akad”.
Terdapat dalam Q.S Al-baqarah ayat 282 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika
kamu berpiutang hingga masa (janji) yang ditetapkan, hendaklah kamu tuliskan perjanjian itu.
Artinya “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang
yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “.
Artinya: Dari Shuhaib ra, bahwasanya Nabi SAW berkata; ada tiga hal yang padanya berkah
yaitu jual beli tangguh, jual beli muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan dirumah sendiri bukan untuk dijual. Hadis riwayat Ibn Majah.Dengan
dasar dua dalil ini, maka transaksi atau jual beli dengan salam dibolehkan. Tujuannya adalah
memperoleh kemudahan dalam menjalankan bisnis, karena barangnya boleh dikirim belakangan.
Jika terjadi penipuan atau barang tidak sesuai dengan pesanan, maka nasabah atau pengusaha
mempunyai hak khiyar yaitu berhak membatalkannya atau meneruskannya dengan konpensasi
seperti mengurangi harganya.
Adapun rukun salam adalah; a. Pembeli (muslam); b. Penjual (muslam ilahi); c. Modal uang
(annuqud); d. Barang (muslam fihi); e. Serah terima barang ( Ijab qabul). Syarat- syarat Jual Beli
Salam adalah sebagai berikut :Pihak yang berakad : a. Ada kerelaan di antara dua belah pihak
dan tidak ingkar janji, b. Cakap dalam bertindak Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan
tentang Jual beli Salam sebagai berikut:
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang atau manfaat.
Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Ketiga : Ketentuan tentang salam paralel. Dibolehkan melakukan salam paralel dengan
syarat:
Kelima : Pembatalan kontrak Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama
tidak merugikan kedua belah pihak. Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) tentang Akuntansi Salam memberikan karakteristik salam sebagai berikut:
Entitas dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika
entitas bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk
menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.
Salam paralel dapat dilakukan dengan dua syarat. Pertama, akad antara entitas (sebagai
pembeli) dan Produsen (penjual) terpisah dari akad antara entitas (sebagai penjual) dan
pembeli akhir. Kedua, kedua akad tidak saling bergantung (ta’alluq).
Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad.
Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam
hal bertindak sebagai pembeli, entitas dapat meminta jaminan kepada penjual untuk
menghindari risiko yang merugikan.
Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis,
spesifikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan
karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang
dikirimkan salah atau cacat maka penjual harus berlanggung jawab atas kelalaiannya.
Rukun Salam
Sedangkan persyaratan secara rinci dapat dilihat dari rukun-rukun salam syarat Aqidain:
Muslim (pembeli atau pemesan) dan syarat muslam ilaih (penjual /penerima pesanan).
Para Ulama melarang penggantian barang yang dipesan (Muslam Fihi) dengan barang lainnya.
Penggantian ini tidak diperkenankan, karena meskipun belum diserahkan, barang tersebut tidak
lagi milik muslam alaihi, tetapi sudah milik pemesan (Fi Dzimmah). Bila barang tersebut ditukar
dengan barang yang memiliki spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda,
para ulama membolehkannya.
Istishna adalah kesepakatan antara dua pihak, yakni pembeli (mustashni) dan penjual (shani)
terkait pemesanan barang berdasarkan kriteria tertentu yang disepakati kedua pihak. Dengan
demikian, penjual berkewajiban menyiapkan barang pesanan dan pembeli wajib membayarnya.
Pada praktiknya, istishna tidak hanya menyangkut barang yang diproduksi langsung oleh
penjual, misalnya kredit rumah. Akad ini sering dipersamakan dengan akad Salam karena sama-
sama mengatur mengenai jual beli. Namun, terdapat beberapa perbedaan Akad Salam dan
Istishna yang dapat menjadi patokan dalam transaksi syariah. Berikut ini beberapa perbedaannya.
Barang pesanan dalam akad istishna adalah benda yang belum tersedia dan harus dibuat
sesuai keinginan pembeli. Sedangkan pada akad salam, benda tersebut telah ada dan
memiliki padanan desain.
Pembayaran pada jual beli istishna dapat secara tunai saat akad dilakukan, angsuran,
maupun bayar di akhir ketika pesanan sudah siap.
Pada istishna, biasanya penjual harus membuat pesanan yang masuk terlebih dahulu
sehingga akan memakan waktu cukup lama. Sedangkan proses transaksi akad salam lebih
cepat karena barang yang dipesan sudah tersedia di gudang penjual.
Rukun Istishna
Meskipun terkesan mudah dipraktikkan, namun istishna adalah akad jual beli yang harus
dilaksanakan sesuai rukun berikut ini.
1. Penjual (Shani’)
Tugas shani’ dalam jual beli istishna adalah membuat atau menyiapkan pesanan sesuai
kriteria. Mereka berhak menerima pembayaran sesuai harga barang, baik secara tunai
atau melalui cicilan.
2. Pemesan (Mustashni)
Peran pemesan dalam akad istishna adalah sebagai pihak yang memberi kriteria pesanan
dan melakukan pembayaran. Contohnya, Anda memesan blouse kepada penjahit dengan
kriteria berbahan kain satin biru, model kerah tinggi dengan aksen renda di dada. Setelah
penjahit menyanggupi, Anda membayarnya secara tunai.
3. Ijab Kabul
Ijab dan kabul adalah pernyataan dari penjual dan pemesan yang membentuk suatu akad.
Contohnya, pemesan menyatakan ingin memesan sepatu kulit berukuran 38 sesuai model
yang telah digambarkan, Kemudian penjual menyanggupi. Maka sudah terjalin istishna.
4. Objek Akad (Mashnu’)
Objek akad istishna adalah barang yang dipesan. Agar transaksi dapat dilakukan, maka
harus ada kejelasan terkait apa dan bagaimana wujud pesanan.
Selain rukun dan syarat istishna, pelaksanaan akad ini juga harus berlandaskan aturan hukum
nasionalnya, yakni SAK ETAP dan PSAK No. 104 tentang Akuntansi Istishna. Beberapa
ketentuan istishna adalah sebagai berikut.
Saat akad dilakukan, spesifikasi dan harga barang harus sudah disepakati.
Harga barang tidak boleh berubah, kecuali atas kesepakatan kedua pihak.
Akad tidak dapat dibatalkan, kecuali atas kesepakatan atau kondisi yang menyebabkan
batal demi hukum.
Jika nasabah tidak mewajibkan bank membuat sendiri pesanannya, bank dapat
menggunakan istishna paralel, yakni meminta pihak lain untuk membuatnya.
Sesuai dengan rukun dan syarat-syarat yang telah diuraikan di atas, maka pelaksanaan istishna
adalah sebagai berikut.
Dalam praktik perbankan, contoh kasus istishna adalah sistem Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Sebelum membuat kesepakatan, biasanya nasabah harus melakukan simulasi KPR terlebih
dahulu. Cara mudahnya adalah dengan menggunakan yang telah disediakan oleh OCBC.
Selanjutnya, setelah memperkirakan jangka waktu dan harga rumah, Anda tinggal mengajukan
permohonan dan kriteria rumah idaman. Pihak bank akan memberikan arahan transaksi,
dilanjutkan dengan pembayaran uang muka.
Setelah itu, pihak bank yang akan bekerjasama dengan developer. Dana yang Anda setorkan
akan menjadi modal pembangunan. Dengan demikian, setelah rumah tersebut selesai digarap,
Anda tinggal menempatinya. Namun jangan lupa membayar cicilan.
Pengertian murabahah adalah akad dalam syariah Islam yang menetapkan harga produksi
dan keuntungan ditetapkan bersama oleh penjual dan pembeli. Sehingga skema akad murabahah
adalah transparansi penjual kepada pembeli. Pembiayaan murabahah membuat pembeli
mengetahui harga produksi suatu barang dan besaran keuntungan penjual.
Sedangkan akad murabahah dalam perbankan syariah yaitu perjanjian antara nasabah dan bank
dalam transaksi jual beli dimana bank membeli produk sesuai permintaan nasabah, kemudian
produk tersebut dijual kepada nasabah dengan harga lebih tinggi sebagai profit bank. Dalam hal
ini, nasabah mengetahui harga beli produk dan perolehan laba bank.
Dasar hukum murabahah adalah dari Al-Quran dan Ijma para ulama. Berdasarkan Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/2000 mengenai murabahah adalah penjualan barang yang
menekankan harga beli kepada pembeli dan pembeli bersedia membeli dengan harga lebih tinggi
sebagai perolehan keuntungan penjual.
Ijma para ulama ini mengikuti aturan yang telah disebutkan dalam Al-quran. Adapun dasar
hukum murabahah adalah Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29, Al-Baqarah ayat 275, Al-Ma’idah
ayat 1, dan Al-Baqarah ayat 280.
Perbedaan Murabahah dan Mudharabah
Akad mudharabah dan murabahah seringkali dikatakan sama. Padahal keduanya merupakan jenis
akad yang berbeda. Perbedaan murabahah dan mudharabah terletak pada konsep perjanjian dan
penetapan laba.
Sesuai pengertian murabahah adalah akad transparansi keuntungan dan harga beli antara penjual
dan pembeli. Sementara akad mudharabah yakni akad kerja sama antara pemilik modal (shahibul
maal) dengan pelaku usaha (mudharib) yang memiliki kemampuan dalam mengelola bisnis
secara produktif dan halal.
Sementara konsep penentuan laba pada murabahah adalah ditetapkan di awal dengan
kesepakatan. Sedangkan, imbal hasil mudharabah dari usaha tersebut akan dibagi antara pemodal
dan pelaku setelah diketahui hasil usaha.
Rukun Murabahah
Rukun murabahah adalah hal-hal yang harus dipenuhi sebelum menerapkan akad ini, yaitu antara
lain:
Penjual
Pembeli
Obyek jual beli berupa produk atau jasa
Harga
Ijab Qobul
Syarat Murabahah
Setelah rukun murabahah terpenuhi, selanjutnya Anda harus memperhatikan syarat murabahah
agar akad ini berjalan secara sah sesuai hukum syariah, yaitu:
Agar Anda semakin memahami akad ini, OCBC NISP akan sajikan contoh akad murabahah,
yaitu sebagai berikut:Adi adalah seorang pengusaha yang ingin membeli rumah dari Pak Sutaji,
sang pemilik rumah. Pak Sutaji menerangkan bahwa harga beli rumah tersebut sebesar Rp300
juta dan akan menjualnya seharga Rp500 juta, sehingga keuntungannya menjadi Rp200 juta.
Namun Adi melakukan penawaran agar keuntungan Pak Sutaji sebesar Rp150 juta sehingga
harga jualnya Rp450 juta. Pak Sutaji menerima penawaran tersebut sehingga mereka berdua
pun sepakat harga murabahah rumah tersebut adalah Rp460 juta, dengan angsuran Rp7,5 juta
per bulan.