Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDALHULAN

A. Latar belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain,
masing-masing membutuhkan kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar-menukar
keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat.
Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang silaturrahmi
yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga kemaslahatan umat, maka
agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur, agama Islam memberikan peraturan
yang sebaik-baiknya aturan.
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata 'AMALA-YU'AMILI-
MU'AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal. Menurut
Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan
urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan
mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua
mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan
dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-
dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia
dalam bertukar manfaat di antara mereka.[1]
Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala
peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak
seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.

B. Rumusa masalah

1. Mengerti jual beli dalam islam.


2. Mengerti penjelasan tentang Khiyar
3. Mengerti penjelasan tentang Qiradh

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli


Jual-beli atau perdagangan dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-bay’u (‫)البيع‬, al-
tijarah. Sedangkan jual beli menurut istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk
keperluan pengelolaan yang disertai dengan lafal ijab dan kabul menurut tata aturan yang
ditentukan dalam syariat Islam.

Dasar Hukum Jual Beli


Jual beli merupakan akad yang dibolehkan menurut al-Quran, Sunnah dan ijmak ulama.
Maka, hukum asal jual beli adalah mubah atau boleh. Ini artinya setiap orang Islam bisa
melakukan akad jual beli ataupun tidak, tanpa ada efek hukum apapun. Adapun dasar
disyariatkannya jual beli sebagai berikut:

 Al-Qur’an
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 275).

 Hadits Rasulullah saw


Artinya: “Dari Rifa’ah bin Rafi’ Ra. bahwasannya Nabi Saw. ditanya tentang mata
pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, seseorang bekerja dengan tangannya dan
setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Al-Bazzar dan ditashih oleh Hakim).

Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu
yang dapat merugikan orang lain.

 Ijmak
Ijmak berarti kesepakatan para ulama. Syaikh Ibnu Qudamah Ra. menyatakan bahwa kaum
muslimin telah sepakat diperbolehkannya jual beli (bai’) karena mengandung hikmah yang
mendasar. Hikmah tersebut adalah bahwa setiap orang pasti mempunyai ketergantungan
terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain. Padahal orang lain tidak akan memberikan sesuatu
tanpa ada kompensasi. Dalam arti lain jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia
tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian,
barang milik orang lain yang di butuhkannya itu harus diganti dengan barang lain yang
sesuai.

Rukun jual beli


Rukun Jual beli adalah ketentuan yang wajib ada dalam transaksi jual beli. Jika tidak
terpenuhi, maka jual beli tidak sah. Mayoritas ulama menyatakan bahwa rukun jual beli ada
empat yaitu:

1. Penjual dan pembeli (aqidain).


2. Barang yang diperjual belikan (ma’qud alaih).
3. Alat nilai tukar pengganti

2
4. Ucapan serah terima antara penjual dan pembeli (ijab kabul).
Syarat Jual Beli
Syarat jual beli adalah ketentuan yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan akad jual beli.
Setiap rukun jual beli harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Syarat penjual dan pembeli (aqidain)


Jual beli dianggap sah apabila penjual dan pembeli memenuhi syarat sebagai berikut:

 Kedua belah pihak harus baligh, maksudnya baik penjual atau pembeli sudah
 Keduanya berakal
Penjual dan pembeli harus berakal sehat, maka orang yang gila dan orang yang bodoh yang
tidak mengetahui hitungan tidak sah melakukan akad jual beli.

Dalam hal ini Syaikh Taqiyuddin Abi Bakar al-Hushni dalam kitab

Kifâyatul Akhyâr menjelaskan:

Artinya: Disyaratkan bahwa jual beli dilakukan oleh ahlinya, baik penjual maupun pembeli.
Tidak sah jual belinya anak kecil, orang gila dan orang yang safih (bodoh).

 Bukan pemboros (tidak suka memubazirkan barang).


 Bukan paksaan, yakni atas kehendak sendiri. Rasulullah bersabda:
Artinya: “Nabi saw. bersabda sesungguhnya jual beli itu sah, apabila dilakukan atas dasar
suka sama suka.” (HR. Ibnu Hiban dan Ibnu Majah).

B. Syarat barang jual beli (ma’qud alaih)

Adapun syarat barang yang diperjualbelikan sebagai berikut:

 Barang harus ada saat terjadi transaksi, jelas dan dapat dilihat atau diketahui oleh kedua
belah pihak. Penjual harus memperlihatkan barang yang akan dijual kepada pembeli
secara jelas, baik ukuran dan timbangannya, jenis, sifat maupun harganya.
 Barang yang diperjualbelikan berupa harta yang bermanfaat. Semua barang yang tidak
ada manfaatnya seperti membahayakan ataupun melanggar norma agama dalam
kehidupan manusia tidak sah untuk diperjualbelikan. Contohnya jual beli barang curian
atau minuman keras.
 Barang itu Jual beli bangkai, kotoran, barang yang menjijikkan dan sejenisnya tidak
sah untuk diperjualbelikan dan hukumnya haram.
 Milik Oleh karenanya barang-barang yang bukan milik sendiri seperti barang
pinjaman, barang sewaan, barang titipan tidak sah untuk diperjualbelikan.
 Barang yang dijual dapat dikuasai oleh Tidak sah jual beli ayam yang belum ditangkap,
merpati yang masih beterbangan, ikan yang masih dalam kolam dan sebagainya.
Sebagaiamana hadis Nabi Muhammad Saw.:

3
Artinya: “ Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kamu sekalian membeli ikan yang masih
dalam air, karena sesungguhnya hal itu mengandung gharar (tipu muslihat, belum
jelas).” (HR. Ahmad).

3. Alat untuk tukar menukar barang

Alat tukar menukar haruslah alat yang bernilai dan diakui secara umum penggunaannya.
Selain itu, menurut ulama fikih bahwa nilai tukar yang berlaku dimasyarakat harus memenuhi
syarat sebagai berikut:

 Harga harus disepakati kedua belah pihak dan disepakati


 Nilai kesepakatan itu dapat diserahkan langsung pada waktu transaksi jual
 Apabila jual beli dilakukan secara barter (al-muqayyadah), bukan berupa uang tetapi
berupa barang
C. Ijab dan kabul

Ijab dilakukan oleh pihak penjual barang dan kabul dilakukan oleh pembeli barang. Ijab
kabul dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan dan penerimaan atau dapat juga
berbentuk tulisan seperti faktur, kuitansi atau nota dan lain sebagainya. Hal utama yang ada
dalam jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat dilihat pada saat akad
berlangsung dan ijab kabul harus diucapkan secara jelas dalam transaksi.

Macam-macam jual beli


Jual beli ditinjau dari segi hukumnya, dibagi menjadi tiga macam yaitu:

Jual beli yang sah

Jual beli yang boleh dilakukan karena memenuhi rukun dan syarat jual beli sebagaimana
yang dijelaskan dalam Fikih Islam.

Jual beli terlarang

Jual beli yang terlarang artinya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli.
Bentuk jual beli yang terlarang antara lain:

 Jual beli sistem ijon


Maksud jual beli sistem ijon adalah jual beli hasil tanaman yang masih belum nyata buahnya
ataupun belum ada isinya. Misalnya jual beli padi yang masih muda, jual beli buah-buahan
yang masih berwujud bunga ataupun masih sangat muda. Semua itu masih ada kemungkinan
rusak atau rontok, sehingga dapat merugikan kedua belah pihak khususnya pembeli.
Rasulullah

4
Saw. bersabda:

Artinya: “Nabi Saw. telah melarang jual beli buah-buahan sehingga nyata baiknya buah itu
(pantas untuk diambil dan dipetik buahnya).” (HR. Muttafaq Alaih).

 Jual beli barang haram


Jual beli ini hukumnya tidak sah serta haram hukumnya, seperti jual beli minuman keras
(khamar), bangkai, darah atau daging babi.

 Jual beli sperma hewan


Jual beli sperma hewan tidak sah, karena sperma tidak dapat diketahui kadarnya dan tidak
dapat diterima wujudnya. Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Rasulullah Saw. telah melarang jual beli kelebihan air (sperma).” (HR. Muslim).

 Jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya


Hal ini dilarang karena belum jelas kemungkinannya ketika lahir hidup atau mati. Rasulullah
Saw. bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah melarang jual beli anak binatang yang masih
dalam kandungan induknya.” (HR. Muttafaq Alaih).

 Jual beli barang yang belum dimiliki


Maksudnya adalah jual beli yang barangnya belum diterima oleh pembeli dan masih berada
di tangan penjual pertama. Sedangkan pembeli kedua akan menjualnya kembali sebelum
menerima barang itu. Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Nabi Saw. telah bersabda: “Janganlah engkau menjual sesuatu )yang baru saja
engkau beli( sehingga engkau menerima (memegang) barang itu”. (HR. Al-Baihaqi).

 Jual beli barang yang belum jelas


Jual beli ini masih ada unsur gharar (ketidakjelasan) dan cenderung berspekulasi, seperti
menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya. Namun, dikecualikan menjual buah yang
masih muda yang memang bisa dimanfaatkan ketika masih muda, seperti jual beli nangka
muda yang memang sudah umum digunakan untuk lauk maupun sayuran. Sabda Nabi Saw.
dari Ibnu Umar Ra.:

Artinya: “Nabi saw. telah melarang menjual buah-buah yang belum tampak
manfaatnya” (HR. Muttafaq Alaih).

D. Jual beli yang sah, tetapi dilarang agama

Jual beli ini hukumnya sah, tetapi dilarang oleh agama karena adanya suatu sebab atau akibat
yang tidak baik dari akad tersebut:

5
 Jual beli pada saat khutbah dan shalat Jum’at
Larangan melakukan kegiatan jual beli pada saat khutbah dan shalat Jum’at ini khusus bagi
laki-laki muslim yang wajib melaksanakan shalat Jum’at. Hal ini selaras dengan firman Allah
Swt.:

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan shalat, maka
bersegeralah kamu untuk mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9).

Perintah meninggalkan jual beli berarti larangan melakukannya. Berdasarkan ayat


tersebut, jumhur ulama sepakat bahwa jual beli saat dikumandangkan azan kedua pada saat
shalat Jum’at (azan menjelang khutbah) hukumnya haram.

Larangan tersebut berlaku untuk orang yang masuk dalam kategori wajib untuk
melaksanakan shalat Jum’at.

 Jual beli dengan cara menghadang di jalan sebelum sampai pasar


Jual beli seperti ini memungkinkan penjual tidak mengetahui harga pasar yang sebenarnya
sehingga akan menjual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasar. Kemudian
barang akan dibeli oleh pembeli dengan harga yang sangat rendah, selanjutnya dijual kembali
di pasar dengan harga yang tinggi. Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “janganlah kamu menghambat orang-orang yang akan ke pasar.” (HR. Al-
Bukhari).

 Jual beli dengan niat menimbun barang


Jual beli ini sangat tidak dibenarkan dan dilarang dalam ajaran Islam. Hal ini dikarenakan
sangat merugikan orang lain. Praktik penimbunan biasanya ditujukan untuk menaikkan harga.
Hal ini dimungkinkan karena saat terjadi penimbunan, stok menjadi langka dan orang
menjadi berani untuk membeli dengan harga yang tinggi. Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah akan menimbun barang kecuali orang-orang
yang durhaka” (HR. Muslim).

 Jual beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan


Dalam jual beli ini, penjual cenderung memainkan ukuran dan timbangan dengan tujuan
mengurangi hasil timbangan sehingga akan menghasilkan keuntungan jauh lebih banyak. Jual
beli seperti ini dilarang karena mengandung unsur penipuan. Seperti penjual menjual bensin
dengan mengatakan satu liter ternyata jumlahnya tidak sampai satu liter, menjual kedelai 1 kg
ternyata takarannya sebenarnya hanya 9,5 ons dan sebagainya.

 Jual beli dengan cara mengecoh


Jual beli ini mengandung unsur penipuan dan menzalimi pembeli. Misalnya ada penjual
buah-buahan meletakkan buah yang bagus dan segar di atas onggokan, sedangkan yang
kurang bagus ditempatkan di bawah onggokan dan secara diam-diam mencampurnya dengan

6
buah yang segar pada saat menimbangnya untuk pembeli. Hal itu berdasarkan hadis
Rasulullah Saw.:

Artinya: ”Nabi melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipuan.” (HR.
Muslim).

 Jual beli barang yang masih dalam tawaran orang lain


Dilarang menjual barang yang masih dalam proses tawar menawar antara penjual dan
pembeli atau dalam masa khiyar. Demikian juga, seseorang dilarang membeli suatu barang
yang masih ditawar oleh orang lain, kecuali jika sudah tidak ada kepastian dari orang tersebut
atau ia sudah membatalkan jual belinya. Larangan ini berdasarkan sabda Nabi Saw.:\

Artinya: “Janganlah seseorang menjual sesuatu yang telah dibeli orang lain.” (HR.
Muttafaq Alaih).

E. Pengertian Khiyar

Secara lughah (bahasa), khiyar berarti; memilih, menyisihkan atau menyaring. Secara
semantik kebahasaan, kata khiyar berasal dari kata khair yang berarti baik. Dengan demikian
khiyar dalam pengertian bahasa dapat berarti memilih dan menentukan sesuatu yang terbaik
dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan pegangan dan pilihan. Sedangkan menurut istilah,
khiyar adalah; hak yang dimiliki seseorang yang melakukan perjanjian usaha (jual-beli) untuk
menentukan pilihan antara meneruskan perjanjian jual-beli atau membatalkannya.

F. Macam-Macam Khiyar
Khiyar dalam transaksi atau akad jual beli – sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili
dalam kitabnya “Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu”, banyak sekali ragamnya. Ulama
Hanafiyah membagi khiyar menjadi 17 macam, dan ulama Hanabilah membaginya menjadi 8
(delapan) macam, yaitu; Khiyar Masjlis, Khiyar Syarat, Khiyar Ghubn, Khiyar Tadlis, Khiyar
Aib, Khiyar Takhbir Bitsaman, Khiyar bisababi takhaluf, dan Khiyar ru’yah. Sementara
Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi 2 (dua) macam (khiyar mutlak dan khiyar
naqishah), yakni apabila terdapat kekurangan atau aib pada barang yang dijual. Sedangkan
Ulama Syafi’iyah berpendap bahwa khiyar terbagi dua; Pertama, khiyar at-tasyahhi, yakni
khiyar yang menyebabkan pembeli memperlamakan transaksi sesuai dengan seleranya
terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua, khiyar naqhisah yang disebabkan
adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam pembuatan atau pergantian.
(Lihat Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili, Juz. IV, hlm. 519-522,
Damaskus, Dar Al-Fikri, cet. Ke-2 th.1985).
Agar tulisan ini dapat menjadi sebuah tuntunan praktis, maka dari berbagai pembagian khiyar
sebagaimana dikemukakan oleh para ulama tersebut di atas, di sini hanya dibahas tiga macam
khiyar yang umumnya dijelaskan dalam kitab-kitab fikih mu’tabar dan banyak dilakukan
dalam praktek jual-beli masyarakat. Ketiga macam khiyar tersebut adalah; Khiyar Majlis,
Khiyar Syarat dan Khiyar Aib

7
1. Pertama: Khiyar Majlis (Hak Pilih di Lokasi Perjanjian)
Pengertian khiyar majlis adalah; hak untuk memilih bagi pihak-pihak yang melakukan
transaksi atau perjanjian jual-beli, antara melanjutkan atau membatalkan transaksi/perjanjian
selama masih berada dalam majlis akad (seperti; di toko, kios, pasar dan sebagainya). Atau,
khiyar majlis adalah; kebebasan untuk memilih bagi pihak penjual dan pembeli untuk
melangsungkan jual beli atau membatalkannya selama masih berada ditempat jual beli.
Apabila kedua belah pihak telah terpisah dari majlis maka hilanglah hak khiyar sehingga
perubahan dalam jual beli itu tidak bisa dilakukan lagi.

Dalam ungkapan yang paling sederhana, khiar Majlis adalah tawar menawar antara penjual
dan pembeli pada saat mereka masih berada di tempat transaksi, yang menyebabkan
terjadinya jual beli atau sebaliknya.

Dampak dari khiyar majlis adalah, transaksi jual beli dinilai sah dan mengikat secara hukum
semenjak disepakatinya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak
mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak
khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli.

2. Perbedaan dan Persamaan antara Khiyar Syarat dan Garansi


Jika mencermati pengertian, tujuan dan maksud disyariatkannya khiyar Syarat, maka dapat
difahami bahwa antara khiyar Syarat dan garansi memiliki perbedaan yang cukup mendasar
sekalipun dalam hal tertentu memiliki sisi kesamaan.

Perbedaan mendasarnya adalah; bahwa Khiyar Syarat merupakan suatu transaksi antara
penjual dan pembeli yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan transaksi jual beli
sesuai dengan kesepakan kedua belah pihak. Sedangkan garansi umumnya merupakan salah
satu bentuk pelayanan pihak penjual untuk menjamin kualitas barang, dimana selama waktu
yang telah ditentukan, penjual memberikan perawatan terhadap barang yang telah dijual jika
terjadi sesuatu, baik menyangkut perawatan maupun kerusakan dan tidak berakibat pada
pembatalan transaksi jual beli.

Adapun persamaannya adalah, baik khiyar Syarat maupun sistem garansi, sama-sama
memiliki motif untuk menjamin hak-hak mereka (penjual dan pembeli) sehingga mereka
tidak merasa dirugikan dan terciptanya kepuasan dan saling ridha antara mereka berdua
sesuai dengan spirit yang diajarkan oleh Rasulullah saw “Innamal bai’ ‘an taradhin” (hanya
saja jual beli harus atas dasar saling meridhai).

3. Faktor-Faktor yang Menghalangi Pembatalan Akad dan Pengembalian


Barang
Ketentuan dalam pembatalan akad dan pengembalian barang cacat telah banyak dirumuskan
dalam kitab-kitab fikih, termasuk faktor-faktor yang menghalangi pembatalan akad dan
pengembalian barang. Dalam pembahasana ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

8
Pertama: Pihak pembeli ridha setelah mengetahui adanya kecacatan barang, baik dengan
mengucapkkannya secara langsung atau berdasarkan petunjuk/indikator lainnya. Misalnya;
membeli buah yang sudah diumumkan atau diberitahukan kecacatannya oleh pihak penjual
seperti sudah layu atau sebagiannya ada yang rusak, lalu pembeli rela/ridha membelinya
setelah terjadi penyesuaian harga, maka pembatalan dan pengembalian barang tidak dapat
dilakukan (tidak ada hak khiyar ‘aib).
Kedua: Menggugurkan Khiyar, baik secara langsung atau adanya indikator/petunjuk lainnya.
Seperti ucapan seorang pembeli, “Aku telah menggugurkan khiyar (hak pilih) ku”, atau
setelah ia mengetahui adanya kecacatan barang, si pembeli tidak mengembalikan barang
tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama atau bahkan barang yang dibelinya sudah
berubah wujud atau habis karena telah dikonsumsi.
Ketiga: Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya. Seperti
gelas pecah atau retak karena terjatuh oleh pihhak pembeli, atau sebagian barang ada yang
tidak utuh atau hilang akibat kelalaian pembeli.

Hikmah Disyari’atkan Khiyar


Hikmah disyariatkannya khiyar (hak untuk memilih) dalam Islam sangat banyak sekali dan
bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Bahkan khiyar dalam bisnis Islami memiliki
peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjaga kepentingan, transparansi,
kemaslahatan, kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi serta melindungi
mereka dari bahaya dan kerugian bagi semua pihak.

Secara leih rinci dapat dikemukakan beberapa hikmah disyari’atkan khiyar dalam Islam,
antara lain:
(1) Dapat mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam transaksi jual
beli,
(2) mendatangkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli),
(3) menghindarkan terjadinya penipuan dalam urusan jual beli,
(4) Menjamin kejujuran dan transparansi bagi pihak penjual dan pembeli,
(5) Menjamin kesempurnaan proses transaksi,
(6) untuk menjaga agar tidak terjadi perselisihan atau pertengkaran antara penjual dan
pembeli, dan lain-lain.

G. Pengertian Qiradh

Qiradh adalah kerja sama antara pemilik dan penerima sekaligus pengelola modal, yang mana
nantinya ada bagi hasil atas keuntungan yang didapat sesuai dengan kesepakatan.

Apabila ada kerugian, maka akan diganti dengan keuntungan di periode selanjutnya. Namun
jika kerugiannya terus menerus, maka akan ditanggung sepenuhnya oleh pemilik dana selama
kerugian tersebut bukan karena kelalaian pihak pengelola.

9
Metode qiradh adalah sistem bisnis syariah yang banyak digunakan sejak pemerintahan Nabi
Muhammad. Pada zaman dahulu, qiradh yang dilakukan masih sederhana, sebatas pada
meminjamkan uang kepada pihak lain untuk menjadi modal usaha.

Sedangkan di era modern saat ini, qiradh adalah suatu sistem bagi hasil yang banyak
diterapkan oleh berbagai bank syariah.

H. Dasar Hukum Qiradh

Dasar hukum pelaksanaan qiradh adalah fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’
Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).

Sedangkan menurut Islam, qiradh memiliki memiliki unsur tolong menolong yang dapat
saling meringankan. Oleh karena itu, hukum qiradh adalah mubah (boleh).

Dalam Al-Qur’an, dasar hukum qiradh adalah surah Al-Baqarah ayat 245 yang berbunyi:

Artinya: “Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah
melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki)
dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”

1. Rukun Qiradh

Sebelum mempraktikkannya, Anda perlu memperhatikan beberapa rukun qiradh di bawah ini.

1. Ada pemilik dan penerima modal


Kedua unsur ini sangat penting untuk menjalankan suatu kerja sama. Pemilik modal akan
menjadi pemberi dana, sedangkan penerima modal akan menjadi pengelola dana tersebut.
2. Modal
Modal yang diserahkan harus dalam bentuk tunai, bukan dalam bentuk emas atau perhiasan.
Selain itu, jumlah modal juga harus diketahui dengan jelas sehingga dapat dibedakan dari
keuntungan.
3. Pekerjaan
Penerima modal harus mengetahui dan mampu melakukan pengelolaan harta (tasarruf)
berupa modal yang telah diberikan. Pekerjaan ini dapat ditentukan oleh pemilik modal
maupun penerima modal, sesuai dengan perjanjian yang mereka buat.
4. Keuntungan
Keuntungan merupakan selisih antara modal dengan pendapatan yang diperoleh dari
pengelolaan modal tersebut. Keuntungan harus dibagi sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati.

2. Syarat Qiradh

Dalam rukun qiradh di atas, melekat juga syarat qiradh. Ketika menjalankannya, Anda tidak
boleh melewatkan syarat-syarat berikut ini.
10
1. Syarat Pemberi dan Penerima Modal
Pemberi dan penerima modal harus sehat secara pikiran, tidak gila, dan memiliki daya pikir
yang baik. Selain itu, kedua pihak haruslah sudah dewasa (baligh) serta tidak berada di bawah
pengampuan (harus cakap hukum).
2. Syarat Pinjaman
Jumlah dan wujud pinjaman yang diberikan harus pasti. Sehingga, antara modal dan
keuntungan bisa dibedakan serta tidak mengarah pada perjudian. Selain itu, pinjaman yang
diberikan harus atas persetujuan pemberi modal.
Selain itu, karena sifat pembagian keuntungan dalam qiradh adalah konsensuil (berdasarkan
kesepakatan), maka kedua pihak harus sudah bersepakat atas proporsi pembagian keuntungan
sejak saat pinjaman diberikan.

3. Syarat Ijab Qabul


Ijab diucapkan oleh pemberi modal sedangkan kabul diucapkan oleh penerima modal.
Terlebih dahulu pemberi modal harus mengucapkan ijab, misalnya “Aku serahkan uang ini
kepadamu untuk berdagang, dengan keuntungan kita bagi 2 sama besar”
Selanjutnya penerima modal akan mengucapkan qabul, misalnya “saya terima uang ini dan
akan saya kelola sesuai dengan yang telah diperjanjikan”

4. Perbedaan Qiradh dan Mudharabah

Pada prinsipnya, pengertian qiradh dan mudharabah itu sama. Bahkan fatwa Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama’ Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh) menyatakan bahwa kedua istilah ini sama.

Bedanya, Istilah “qiradh” banyak dipakai oleh kalangan Syafi'iyah dan Malikiyyah.
Sedangkan istilah “mudharabah” banyak dipakai oleh mazhab Hanafi, Hambali, dan
Zaidiyah.

Perbedaan lainnya terletak pada makna bahasa. Mudharabah berasal dari kata “dharb” , yang
berarti “berjalan” atau “memukul”. Maksud dari kedua kata ini adalah proses seseorang
memukulkan kakinya untuk menjalankan sebuah usaha.

Sedangkan qiradh berasal dari bahasa “al-qardhu” atau “al-qath’u” yang artinya “potongan”
karena pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk memperoleh sebagian keuntungan.

11
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hikmah disyariatkannya khiyar (hak untuk memilih) dalam Islam sangat banyak sekali dan
bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Bahkan khiyar dalam bisnis Islami memiliki
peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjaga kepentingan, transparansi,
kemaslahatan, kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi serta melindungi
mereka dari bahaya dan kerugian bagi semua pihak.

B. SARAN

Secara leih rinci dapat dikemukakan beberapa hikmah disyari’atkan khiyar dalam Islam,
antara lain:
(1) Dapat mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam transaksi jual
beli,
(2) mendatangkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli),
(3) menghindarkan terjadinya penipuan dalam urusan jual beli,
(4) Menjamin kejujuran dan transparansi bagi pihak penjual dan pembeli,
(5) Menjamin kesempurnaan proses transaksi,
(6) untuk menjaga agar tidak terjadi perselisihan atau pertengkaran antara penjual dan
pembeli, dan lain-lain.

12
Daftar Pustaka

https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/09/09/qiradh-adalah#:~:text=Pengertian
%20Qiradh,dengan%20keuntungan%20di%20periode%20selanjutnya.

https://muhammadiyah.or.id/khiyar-dalam-jual-beli/

https://an-nur.ac.id/pengertian-jual-beli-dasar-hukum-rukun-syarat-dan-macam-macam-jual-
beli/#:~:text=Jual%20beli%20merupakan%20akad%20yang,tanpa%20ada%20efek
%20hukum%20apapun.

13

Anda mungkin juga menyukai