Anda di halaman 1dari 12

NAMA : IKA OCTAVIA WULANDARI

NIM : 126401203112
KELAS : PERBANKAN SYARIAH 2C

 PENGERTIAN JUAL BELI

 jual beli menurut istilah (terminologi) yaitu tukar menukar barang dengan barang
ataubarangdengan uang yang dilakukan dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu
kepada yang lain atas dasar saling merelakan.

Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah


memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini.
Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-
1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji
menyerahkan sesuatu barang/benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri
berjanji untuk membayar harga.

Jual-beli menurut Syaikh Al-Qalyubi dalam Hasyiyah-nya, “jual-beli merupakan akad saling


mengganti dengan harta dengan berakibat kepada kepemilikan terhadap suatu benda atau
manfaat untuk tempo waktu selamanya. Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 di atas,
persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu:
 Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
 Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

Menurut Salim Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan
pihak pembeli. Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek
jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar
harga dan berhak menerima objek tersebut.
 LANDASAN HUKUM JUAL BELI

Transaksi atau aktivitas jual beli tentunya memiliki dasar yang jelas dalam qur’an dan sunnah.
Diantaranya QS. Al-Baqarah[2] : 275 yang artinya, “Allah menghalalkan jual beli dan
mengaramkan riba”.

Dalam ayat lain yang terkait jual beli, Allah berfirman pada QS. An-Nisa[4]: 29 yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”

Nabi SAW pernah ditanya, “profesi apakah yang paling baik?” Maka beliau menjawab, bahwa
profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan
kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan
syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10;
dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).

Dalam sirah nabawiyah juga telah banyak menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
seorang pedagang. Bahkan pedagang yang ulung. Dalam sejarah disebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW selama berdagang tidak pernah rugi ataupun balik modal. Semua yang dijual
pada akhirnya akan membawa keuntungan.

Terlebih sejak umur yang masih muda yaitu sekitar 8 tahun sudah membantu pamannya, Abu
Thalib untuk berdagang dan mengembala kambing. Menariknya permintaan tersebut bukan
datang dari Abu Thalib tapi langsung terucap oleh lisan Nabi Muhammad SAW.

 Rukun Jual Beli dalam Islam


Jual beli akan menjadi sah dan valid apabila ditunaikan rukun-rukunnya. Apabila ada satu rukun
yang tidak ditunaikan maka jual beli dianggap tidak sah. Terkait dengan rukun-rukun tersebut
paling tidak ada dua pendapat ulama.

Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual beli cukup satu saja yaitu ijab Kabul (shighat). Adapun
Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli paling tidak terdiri dari 4 hal, diantaranya:

1. Aqidain  (2 orang yang berakad baik pembeli maupun penjual),


2. Objek Jual Beli,
3. Ijab Kabul (shighat),
4. Nilai tukar pengganti barang.

 Syarat Jual Beli dalam Islam

Syarat jual beli dalam Islam mengikut pada rukun yang disertakan dalam jual beli. Rukun-rukun
yang disebut sebelumnya akan sempurna bila diiringi dengan syarat-syarat berikut.

Terkait dengan aqidain (2 orang yang berakad) maka yang perlu diperhatikan diantaranya
berakal dan dua orang yang berbeda. Jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak waras maka
jual beli itu tidak sah.

Untuk objek jual beli terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan diantaranya,

1. Keberadaan barang tersebut harus tampak,


2. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat,
3. Dimiliki sendiri oleh penjual, tidak diperkenankan menjual barang yang bukan dimiliki
oleh penjual.
4. Diserahkan langsung ketika akad.
Perlu diperhatikan juga bahwa syarat yang dijelaskan tersebut adalah syarat jual beli pada
umumnya. Adapun jual beli saat ini yang berlangsung pada dunia online akan ada bahasannya
pada sub bab berikutnya.
Dari segi shighat  yang perlu diperhatikan adalah adanya kerelaan kedua belah pihak. Hal ini
karena terdapat kaidah muamalah yaitu an taradin minkum (suka sama suka/saling memiliki
kerelaan).

Terakhir, terkait dengan nilai uang/nilai tukar barang yang dijual maka ada lima hal yang harus
diperhatikan, diantaranya:

1. Suci (Tidak boleh barang najis),


2. Dapat diserahterimakan/dipindahkan,
3. Ada manfaatnya,
4. Dimiliki sendiri atau yang mewakilinya,
5. Diketahui oleh penjual dan pembeli.

 Jual Beli yang Terlarang

Jual beli yang terlarang umumnya disebabkan oleh dua faktor yaitu karena tidak memenuhi
rukun dan syarat jual beli dan karena ada faktor lain yang merugikan.

Jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat diantaranya jual beli barang yang zatnya haram
seperti babi dan khamr, jual beli yang belum jelas barangnya seperti menjual buah yang belum
tampak atau anak sapi yang masih dikandungan ibunya, dan jual beli bersyarat.

Jual beli yang disebabkan oleh faktor yang merugikan diantaranya jual beli orang yang masih
melakukan transaksi tawar menawar, jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar
(talaqqi rukban), dan membeli barang dengan memborong untuk kemudian ditimbun lalu dijual
kembali ketika harganya naik (ikhtikar).

 Jenis-Jenis Jual Beli dalam Islam


Jual beli dalam Islam memiliki beberapa jenis yang terbagi dalam 3 kategori yaitu berdasarkan
perbandingan harga jual dan beli, berdasarkan obyek yang diperjualbelikan dan berdasarkan
waktu penyerahan barang/dana.

Terkait dengan perbandingan harga jual dan beli, jual beli ini terbagi pada 3 jenis,
yaitu murabahah (jual beli dengan untung), tauliyah  (jual beli dengan harga modal),
dan Muwadha’ah (jual beli dengan harga rugi)

Berdasarkan obyek yang diperjualbelikan, jenis jual beli terbagi menjadi 3 jenis,
yaitu muqayadah  (barter), Mutlaq, Sharf  (mata uang).

Terakhir berdasarkan waktu penyerahan barang/dana, jual beli terbagi menjadi 4 jenis, yaitu Ba’I
bi thaman ajil (cicil), Salam (pesan), istishna (pesan), istijrar.

 Jual Beli Online

Di era digital saat ini, aktivitas jual beli sudah tidak lagi terselenggara sebagaimana lazimnya
dimana fisik seorang penjual bertemu dengan fisik seorang pembeli. Hadirnya internet
mempermudah segala bentuk transaksi termasuk transaksi jual beli yang kemudian dikenal
dengan sebutan jual beli online.

Siapa yang tidak mengenal marketplace atau e-commerce seperti Bukalapak, Tokopedia,


Shopee, Lazada dan Matahari Mall. Mungkin kamu adalah salah satu yang pernah
menggunakannya.

Namun, yang jadi pertanyaan mendasar adalah apakah jual beli online diperbolehkan dalam
Islam? Karena dalam jual beli online tidak ada tatap muka antar penjual dan pembeli. Barang
yang diperjual belikan juga masih dalam bentuk gambar dan tak terlihat secara langsung.
Dr. Oni Sahroni dalam bukunya Fikih Muamalah Kontemporer: Membahas Ekonomi
Kekinian menyebutkan bahwa jual beli online diperbolehkan selama ketentuan terkait barang
tersebut halal dan jelas spesfikasinya dipenuhi.

Selain itu, penjual harus memberikan hak khiyar (opsi melanjutkan/membatalkan) kepada


pembeli jika barang diterima tidak sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh penjual.

Kebolehan atas hukum jual beli online didsarkan pada standar syaraiah internasional AAOIFI,
dan fatwa DSN MUOI terkait dengan jual beli ijarah serta kaidah-kaidah fikih muamalah terkait.

Islam memberikan kemudahan pada setiap hal yang dilakukan oleh umatnya terutama dalam hal
muamalah. Kekhawatiran akan ketidakjelasan barang yang akan dibeli pada jual beli online
harus diatasi dengan memperjelas gambar produk yang ditampilkan dan penjelasan spesfikasi
yang sedetail mungkin oleh penjual. Bila ada kecacatan pada produk yang dijual maka penjual
harus menyampaikan hal tersebut.

 BENTUK JUAL BELI TERLARANG

Islam melarang bentuk jual beli yan mengandung tindak bahaya bagi yang lain semacam jika
BBM naik, sebagian pedagang menimbun barang sehingga membuat warga sulit mencari minyak
dan hanya bisa diperoleh dengan harga yang relatif mahal. Begitu pula segala bentuk penipuan
dan pengelabuan dalam jual beli menjadikannya terlarang. Saat ini kita akan melihat bahasan
sebagai tindak lanjut dari tulisan sebelumnya mengenai bentuk jual beli yang terlarang. Moga
bermanfaat.
Ketiga: Jual beli yang mengandung dhoror (bahaya) dan pengelabuan (tindak penipuan)
1. Menjual di atas jualan saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫طبَ ِة أَ ِخي ِه إِالَّ أَ ْن يَأْ َذنَ لَه‬ْ ‫الَ يَبِع ال َّر ُج ُل َعلَى بَيْع أَ ِخي ِه َوالَ يَ ْخطُبْ َعلَى ِخ‬
ِ ِ
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah pula seseorang khitbah
(melamar) di atas khitbah saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu” (HR. Muslim
no. 1412)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ض ُك ْم َعلَى بَي ِْع أَ ِخي ِه‬
ُ ‫الَ يَبِي ُع بَ ْع‬
“Janganlah seseorang di antara kalian menjual di atas jualan saudaranya” (HR. Bukhari no.
2139).
Yang dimaksud menjual di atas jualan saudaranya semisal seseorang yang telah membeli sesuatu
dan masih dalam tenggang khiyar (bisa memutuskan melanjutkan transaksi atau
membatalkannya), lantas transaksi ini dibatalkan. Si penjual kedua mengiming-imingi, “Mending
kamu batalkan saja transaksimu dengan penjual pertama tadi. Saya jual barang ini padamu (sama
dengan barang penjual pertama tadi), namun dengan harga lebih murah.” Si penjual intinya
mengiming-imingi dengan harga lebih menggiurkan atau semisal itu sehingga pembeli pertama
membatalkan transaksi. Jual beli semacam ini jelas haramnya berdasarkan dalil-dalil di atas
karena di dalamnya ada tindakan memudhorotkan saudara muslim lainnya.
Begitu pula diharamkan membeli di atas belian saudaranya. Contohnya si pembeli kedua berkata
pada si penjual yang masih berada dalam tenggang khiyar dengan pembeli pertama, “Mending
kamu batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi. Saya bisa beli dengan harga lebih
tinggi dari yang ia beli.” Si pembeli dalam kondisi ini berani membayar dengan harga lebih
tinggi sehingga penjual berani membatalkan transaksi dengan pembeli pertama.
Dua macam transaksi di atas adalah transaksi yang haram karena menimbulkan mudhorot dan
kerusakan bagi kaum muslimin lainnya.
Ibnu Hajar katakan bahwa dua macam transaksi di atas haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan
para ulama). Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula
membeli di atas belian orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang
membeli suatu barang dari pembeli pertema dan masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua
mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih murah.” Atau
bentuknya adalah seorang pembeli mengatakan pada penjual, “Batalkan saja transaksimu dengan
pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan. Jual beli semacam ini haram
dan disepakati oleh para ulama” (Fathul Bari, 4: 353).
Konsekuensi dari transaksi ini menunjukkan akan tidak sahnya (Shahih Fiqh Sunnah, 4: 391).
Jual beli macam ini jelas sekali menimbulkan saling benci, saling hasad (iri) dan saling omong-
omongan yang tidak baik antara satu dan lainnya. Oleh karena itu terlarang.
Ada juga bentuk serupa yang terlarang yang diistilahkan dengan “saum”. Bentuknya adalah ada
dua orang yang tawar menawar, penjual menawarkan barangnya dengan harga tertentu dan
pembeli pertama sudah ridho dengan harga tersebut kemudian datanglah pembeli kedua, ia pun
melakukan tawaran. Akhirnya, pembeli kedua yang diberi barang dengan harga lebih atau
dengan harga yang sama seperti pembeli pertama. Lantas kenapa pembeli kedua yang diberi?
Karena pembeli kedua adalah orang terpandang. Sehingga ini yang membuat si penjual
menjualkan barangnya pada pembeli kedua karena ia lebih terpandang. Lihat penjelasan dalam
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 9: 216.
Dalam keterangan lain dari Imam Nawawi rahimahullah, “Melakukan saum di
atas saum saudaranya, bentuknya adalah penjual dan pembeli telah sepakat dan sudah penjual
sudah mau menjual barangnya, namun belum terjadi akad, kemudian datanglah pembeli lainnya
dengan berkata, “Saya beli barang itu yah.” An Nawawi mengatakan bahwa tindakan seperti ini
haram karena sudah ditetapkan harga saat itu. Adapun penawaran terhadap barang yang telah
dijual dengan sistem lelang, maka itu tidaklah haram” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 10: 158).
Dalam keterangan An Nawawi ini menunjukkan bahwa si penjual fix melakukan akad dengan
pembeli yang tidak mesti orang terpandang, artinya di sini lebih umum pada siapa saja.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ‫الَ يَس ُِم ْال ُم ْسلِ ُم َعلَى َسوْ ِم أَ ِخي ِه َوالَ يَ ْخطُبْ َعلَى ِخ‬
‫طبَتِ ِه‬
“Janganlah melakukan saum (penawaran) di atas saum (penawaran) saudaranya. Jangan pula
melakukan khitbah di atas khitbah saudaranya” (HR. Muslim no. 1413).
2. Jual beli najesy
Yang dimaksud adalah seseorang sengaja membuat harga barang naik padahal ia tidak
bermaksud membeli dan dia mendorong yang lain untuk membelinya, akhirnya pun membeli
atau ia memuji barang yang dijual sehingga orang lain membeli padahal tidak sesuai kenyataan.
Dalil terlarangnya jual beli semacam ini disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam  bersabda,
‫اض ٌر لِبَا ٍد‬ِ ‫ َوالَ يَبِ ْع َح‬، ‫ َوالَ تَنَا َج ُشوا‬، ‫ع ْال َمرْ ُء َعلَى بَي ِْع أَ ِخي ِه‬ُ ‫الَ يَ ْبتَا‬
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya, janganlah melakukan najesy dan
janganlah orang kota menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa” (HR. Bukhari no.
2160 dan Muslim no. 1515).
Najesy berdasarkan hadits di atas dihukumi haram, demikian pendapat jumhur. Namun jumhur
(mayoritas) ulama memandang bahwa jual beli najesy tetap sah karena najesy dilakukan oleh
orang yang ingin menaikkan harga barang –namun tidak bermaksud untuk membeli- sehingga
tidak mempengaruhi rusaknya akad. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 118-119.
Ulama Hambali berpendapat bahwa jika dalam jual beli najesy terdapat ghoban (beda harga yang
amat jauh dengan harga normal), maka pembeli punya hak khiyar (pilihan) untuk membatalkan
jual beli (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 119).
Sedangkan jual beli pada sistem lelang (dikenal dengan istilah “muzayadah”), itu dibolehkan.
Jual beli lelang setiap yang menawar ingin membeli, beda halnya dengan najesy yang cenderung
merugikan pihak lain karena tidak punya niatan untuk membeli.
3. Talaqqil jalab atau talaqqi rukban
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban
yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan. Adapun yang dimaksud talaqqil
jalab atau talaqqi rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari
tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan harga yang lebih
rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para pedagang luar itu dibeli sebelum
masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
. ُ‫ أَ ْن يُتَلَقَّى ْال َجلَب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab” (HR. Muslim no. 1519).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,
‫ق الطَّ َع ِام‬
ُ ‫ فَنَهَانَا النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – أَ ْن نَبِي َعهُ َحتَّى يُ ْبلَ َغ بِ ِه سُو‬، ‫ُكنَّا نَتَلَقَّى الرُّ ْكبَانَ فَنَ ْشت َِرى ِم ْنهُ ُم الطَّ َعا َم‬
“Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik
mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan jual beli
semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana” (HR.
Bukhari no. 2166).
Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia
menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia
berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli (Lihat
Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 805). Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  bersabda,
ِ َ‫ق فَهُ َو بِ ْال ِخي‬
‫ار‬ َ ‫فَ َم ْن تَلَقَّاهُ فَا ْشتَ َرى ِم ْنهُ فَإ ِ َذا أَتَى َسيِّ ُدهُ السُّو‬.‫ب‬
َ َ‫الَ تَلَقَّ ُوا ْال َجل‬
“Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli
barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan
penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan
jual beli)” (HR. Muslim no. 1519).
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan
atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada
atau tidak adanya ‘illah (sebab pelarangan).
4. Jual beli hadir lil baad, menjadi calo untuk orang desa (pedalaman)
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo untuk orang pedalaman
atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-
barangmu sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan
mendapatkan harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
ِ ‫س َما قَوْ لُهُ الَ يَبِي ُع َح‬
‫اض ٌر لِبَا ٍد قَا َل الَ يَ ُكونُ لَهُ ِس ْم َسارًا‬ ٍ ‫ت ِال ْب ِن َعبَّا‬ ُ ‫ال فَقُ ْل‬
َ َ‫ ق‬. » ‫ض ٌر لِبَا ٍد‬ ِ ‫« الَ تَلَقَّ ُوا الرُّ ْكبَانَ َوالَ يَبِي ُع َحا‬
“Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo
untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa
maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi
calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 84).
Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini
menjadi terlarang, yaitu:
1. Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh
orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang
dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
2. Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar
secara diangsur, maka tidaklah masalah.
3. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia tahu,
maka tidaklah masalah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 83)
5. Menimbun Barang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الَ يَحْ تَ ِك ُر إِالَّ خَ ا ِط ٌئ‬
“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa” (HR. Muslim
no. 1605).
Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan
mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya di sini jika menimbun
barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli
hasil panen di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi beberapa bulan
berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak ada masalah karena jual beli memang
wajar seperti itu. Jadi, larangan memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli
barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli
barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka.
Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan
penawaran atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.
Al Qodhi Iyadh rahimahullah berkata, “Alasan larangan penimbunan adalah untuk
menghindarkan segala hal yang menyusahkan umat Islam secara luas. Segala hal yang
menyusahkan mereka wajib dicegah. Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di suatu
negeri menyebabkan harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas, maka itu
wajib dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah ‘menghindarkan
segala hal yang menyusahkan’ adalah pedoman dalam masalah penimbunan barang.” (Ikmalul
Mu’lim, 5: 161).
Adapun jika menimbun barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke depan seperti yang
dilakukan oleh beberapa pihak grosir, maka itu dibolehkan jika tidak memudhorotkan orang
banyak (Shahih Fiqh Sunnah, 4: 395).
6. Jual beli dengan penipuan atau pengelabuan
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
.» ‫ب الطَّ َع ِام‬
َ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ ‫صابِ ُعهُ بَلَالً فَقَا َل « َما هَ َذا يَا‬َ َ‫ت أ‬
ْ َ‫ص ْب َر ِة طَ َع ٍام فَأَدْخَ َل يَ َدهُ فِيهَا فَنَال‬
ُ ‫ َم َّر َعلَى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ ‫ق الطَّ َع ِام َك ْى يَ َراهُ النَّاسُ َم ْن غَشَّ فَلَي‬
» ‫ْس ِمنِّى‬ َ ْ‫ قَا َل « أَفَالَ َج َع ْلتَهُ فَو‬.ِ ‫صابَ ْتهُ ال َّس َما ُء يَا َرسُو َل هَّللا‬
َ َ‫قَا َل أ‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau
memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah,
maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab,
“Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak
meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa
menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102). Jika dikatakan tidak
termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ َّ‫ع فِي الن‬
.‫ار‬ ُ ‫ َو ْال َم ْك ُر َو ْال ِخدَا‬،‫ْس ِمنَّا‬َ ‫َم ْن َغ َّشنَا فَلَي‬
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar
dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits
ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).
Jual beli yang mengandung penipuan ini di antaranya adalah jual beli najesy yang sudah dibahas
di atas. Contoh bentuk jual beli ini adalah jual beli yang dilakukan dengan mendiskripsikan
barang melalui gambar, audio atau tulisan dan digambarkan seolah-olah barang tersebut
memiliki harga yang tinggi dan menarik, padahal ini hanyalah trik untuk mengelabui pembeli.
Termasuk pula adalah jual beli dengan menyembunyikan ‘aib barang dan mengatakan barang
tersebut bagus dan masih baru, padahal sudah rusak dan sudah sering jatuh berulang kali.
Intinya, setiap tindak penipuan dalam jual beli menjadi terlarang.

 KHIYAR DALAM JUAL BELI


engertian khiyar secara etimologi adalah memilih, sedangkan khiyar dalam jual beli menurut
syara’ ialah hak memilih bagi penjual atau pembeli untuk meneruskan akad jual beli atau
membatalkannya.

Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dapat memikirkan sejauh
mungkin kebaikan kebaikan berlansungnya jual beli atau kebaikan untuk membatalkan jual beli,
agar masing-masing pihak tidak menyesal atas apa yang telah dijualnya atau dibelinya. Sebab
penyesalan tersebut bisa terjadi karena kurang hati-hati, tergesa-gesa, atau karena faktor-faktor
lainnya.

Hukum khiyar adalah boleh, sejauh memenuhi persyarata-persyaratan yang telah ditentukan,
tetapi hiyar untuk menipu hukumnya haram dan dilarang.Sebagaimana Rasulullah saw., bersabda
:

َ َ‫اال ِخيَار بِ ُك ِّل ِس ْل َع ٍة إِ ْبتَ ْعتَهَا ثَال‬


ٍ َ‫ث لَي‬
)‫ ماجه‬ ‫ال (رواه البيهقى واببن‬ ْ ِ‫اَ ْنتَ ب‬

Artinya :

“Engkau berhak khiyar dalam tiap-tiap barang yang engkau beli selama tiga malam”(HR.Al-
Baihaqy dan Ibnu Majah)

 Jenis-Jenis Khiyar

 Khiyar Majlis

Khiyar majlis adalah jenis pemilihan yang dilakukan dalam satu majelis akad jual beli. Diantara
kedua belah pihak memiliki hak untuk memilih. Selain itu juga dapat meneruskan jual beli yang
telah disepakati atau di akadkan dalam majelis tersebut. Hal ini sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Rasulullah SAW.

 Khiyar Syarat
Khiar syarat adalah hak memilih berdasarkan persyaratan. Pada saat akad jual beli, maka
pembeli atau penjual dapat memilih atau meneruskan atau membatalkan proses transaksi jual beli
denan batasan waktu yang ditentukan. Setelah waktu yang ditentukan tiba, maka proses transaksi
jual beli itu wajib dipastikan apakah dilanjut atau tidak.

 Khiyar Aib

Khiyar aib adalah hak pilih karena adanya cacat pada barang. Hak ini untuk memilih, bisa
membatalkan atau menerusan akad jual beli jika ada kecacatan (aib) pada objek atau barang yang
diperjual belikan. Hal ini terjadi karena pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan pada saat
akad berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai