Anda di halaman 1dari 19

MUAMALAT

Dosen Pengampu :
Ali Asmul, S.Pd. M. Pd

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA


2021

1
MUAMALAT
A. ATURAN JUAL BELI
Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki tujuan ingin mencapai apa yang
dibutuhkannya. Untuk itu, dalam interaksi sosial manusia membutuhkan orang lain untuk
bisa saling memenuhi kebutuhan. Hal ini mengakibatkan adanya transaksi ekonomi yang
dalam hal ini disebut dengan jual beli. Ada penjual dan pembeli adalah hal yang pasti dalam
konteks sosial ekonomi.

Transaksi dan kebutuhan ekonomi tentu saja bagian dari manusia untuk mencapai Tujuan
Penciptaan Manusia , Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep
Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama ,
Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan
Cara Sukses Menurut Islam.

Secara umum, islam mengatur keseluruhan aspek hidup manusia hingga pada
permasalahan ekonomi, khususnya masalah jual beli. Islam sebagai agama yang rahmatan lil
alamin, tentu saja mengatur hal jual beli dalam rangka memberikan kemaslahatan atau tidak
terjadi kemudharatan atau dampak buruk dari transaksi yang dilakukan.

Mengingat manusia adalah mahluk yang juga memiliki hawa nafsu (walaupun memiliki
akal juga), akhirnya aturan harus ada dan diterapkan agar hawa nafsu manusia tidak
mengakibatkan ketidak adilan. Berikut adalah mengenai jual beli dalam islam, yang perlu
dipahami dan diketahui oleh ummat islam.

B. PENGERTIAN JUAL BELI

Secara etimologi, Al Bay’u atau jual beli memiliki arti mengambil dan memberikan
sesuatu. Hal ini merupakan turunan dari Al Bara sebagaimana orang Arab senantiasa
mengulurkan depa ketika melangsungkan akad jual beli agar saling menepukkan tagan. Hal
ini sebagai tanda bahwa akad jual beli tersebut sudah terlaksana dan akhirnya mereka saling
bertukar uang atau barang.

Secara terminiologi, jual beli memiliki arti transaksi tukar menukar barang atau uang
yang berakibat pada beralihnya hak milik barang atau uang. Prosesnya dilaksanakan dengan

2
akad, baik secara perbuatan maupun ucapan lisan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Tauhidul
Ahkam atau Kitab Hukum Tauhid, 4-211.

Dalam Fiqih Sunnah, jual beli sendiri adalah tukar menukar harta (apapun bentuknya)
yang dilakukan mau sama mau atau sukarela atau proses mengalihkan hak milik harta pada
orang lain dengan kompensasi atau imbalan tertentu. Menurut fiqih sunnah, hal ini boleh
dilakukan asalkan masih dalam koridor syariat. Seperti harta dan barang yang dijual belikan
adalah halal, bukan benda haram, atau asalnya dari jalan yang haram.

C. ATURAN JUAL BELI DALAM ISLAM

Dalam islam, aturan jual beli disampaikan dalam ayat-ayat, hadist, serta berbagai
pendapat ulama mengenai hal tersebut. Tentu saja aturan ini berdasarkan pada nilai dasar dari
rukun islam , rukun iman , Fungsi Iman Kepada Kitab Allah, Fungsi Iman Kepada Allah
SWT, dan Fungsi Al-quran Bagi Umat Manusia. Hal ini dapat dipahami dari beberapa dalil
dibawah ini mengenai jual beli menurut islam .

Di dalam Al-Quran surat Al Baqarah 275, dijelaskan bahwa Allah menghalalkan adanya
Jual beli. Yang diharamkan oleh Allah adalah riba, untuk itu, proses jual beli adalah suatu
yang halal dan tidak dilarang. Dalilnya sebagaimana ayat berikut:

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS Al Baqarah:
275)

Dalam syariat islam tidak melarang jual beli karena ada manfaat dan tujuan sosial
yang ingin diraih. Manusia membutuhkan aspek ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
hiudpnya. Jika hal ini dilarang tentu saja manusia akan kesulitan memenuhi kebutuhan
hidupnya, padahal sangat banyak kebutuhan hidup manusia dan tidak dapat dipenuhi secara
sendirian.

Dalam Sunnah Rasul

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila
berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara
kontan” (HR. Muslim)

3
Dalil hadist di atas mensyariatkan bahwa proses jual beli adalah hal yang diperbolehkan.
Begitupun dengan barang yang berbeda jenisnya hal ini diperbolehkan asalkan tidak
merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi.

D. SYARAT-SYARAT JUAL BELI DALAM ISLAM

Dalam konteks masyarakat terkadang proses jual beli ini diremehkan begitu saja,
apalagi banyak orang yang tidak menjalankan proses jual beli ini berdasarkan aturan islam.
Tentu saja akhirnya terjadi beragam ketidakadilan dan kedzaliman seperti penipuan, riba, dan
lain sebagainya. Untuk itu ada beberapa hal yang harus dilakukan umat islam agar hal itu
tidak terjadi, dan melaksnakannya berdasarkan syariat islam.

“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat),
para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli,
wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala
menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta,
mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Maktabah Asyamilah)

Adapaun yang disampaikan oleh Umar Ibnu Khatab RA, “Yang boleh berjualan di
pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak,
maka dia akan menerjang riba.”

Berikut adalah syarat-syarat jual beli menurut islam yang perlu diperhatikan umat
islam, agar jual beli terlaksana dengan adil dan seimbang.

1. Transaksi di Lakukan dengan Ridha dan Sukarela

“janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa: 29)

Ayat ini diperjelas bahwa kedua belah pihak harus berkompeten untuk melakukan
transaksi jual beli. Mereka adalah orang orang yang paham mengenai jual beli, mampu
menghitung atau mengatur uang, dan dilakukan dengan kesadaran. Anak kecil yang tidak
pandai atau belum mengetahui masalah jual beli maka lebih baik orang tuanya yang
mengatur. Orang gila tentu saja tidak boleh dan dipaksa untuk membeli. Transaksi jual beli

4
tidak boleh dilakukan secara terpaksa, namun karena kebutuhan dan sukarela antara dua
belah pihak. Jika tidak maka salah satu pihak akan dirugikan.

2. Barang Bukan Milik Orang Lain

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)

Dari hadist di atas dijelaskan bahwa barang yang dijual bukanlah milik orang lain. Untuk
itu harus pasti, miliknya adalah milik pribadi, atau harta pemberian tidak masalah asalkan
berasal dari sumber yang berkah dan halal, jelas status kepemilikannya.

3. Larangan Jual Beli Hasaath

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan
menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual
beli gharar.” (HR. Muslim)

Hal ini disampaikan dalam hadist di atas bahwa dilarang jual beli dengan kerikil
yang dilempar untuk menentukan barang. Hal ini berarti mereka tidak bisa memilih,
memilah barang yang sesuai keinginan dan sesuai kualitas barangnya.

4. Menjelaskan Cacat Barang

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim
menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan
ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah)

Jika terdapat cacat maka penjual harus memberikan informasi mengenai cacat barang-
nya, tidak boleh ditutupi. Hal ini tentu akan mengecewakan dan menipu pembeli.
Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah dalam hadist berikut,

“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.
Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban)

Begitulah mengenai cara dan syarat untuk transaksi jual beli, sebagaimana Allah
mengalalakan jual beli dan jual beli bukanlah riba. Keuntungan yang didapatkan oleh penjual
adalah sebagai jasa dan hak-nya asalkan benar-benar sesuai dengan perhitungan yang adil dan
tidak mendzalimi salah satu pihak.

5
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(QS. Al-Baqarah: 275)

KHIYAR
A. KHIYAR DALAM JUAL-BELI

Khiyar merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
melaksanakan berbagai aktifitas bisnis, khususnya dalam persoalan jual beli. Saking
pentingnya persoalan ini, maka para ulama fikih (fuqaha’) membahasnya secara panjang
lebar dalam pembahasan tersendiri atau setidaknya dalam sub pembahasan tersendiri pada
bab buyu’ (jual beli). Atas dasar itulah, maka dalam pembahasan kali ini, penulis membahas
persoalan khiyar baik dari aspek definisi khiyar, dasar hukumnya, klasifikasinya,
problematikanya, dampaknya serta hikmah disyari’atkannya khiyar.
Dalam praktiknya, tidak sedikit orang merasa gelo (menyesal) dalam melakukan
transaksi jual beli. Penyesalan tersebut dapat terjadi baik di pihak penjual maupun pihak
pembeli. Penyesalan umumnya dapat diakibatkan oleh tidak adanya transparansi, tekhnik
penjualan yang tidak oftimal sampai persoalan kualitas barang yang ditransaksikan tidak
sesuai dengan harapan, baik karena kesengajaan pihak penjual maupun karena ketidak
cermatan, kurang hati-hati (tergesa-gesa) atau faktor-faktor lainnya dari pihak pembeli.
Padahal salah satu prinsip pokok dalam transaksi jual beli adalah harus didasari oleh
sikap saling suka atau saling ridha (Innamal bai’ ‘an taradin; hanya saja jual beli harus
didasari saling meridhai) sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi. Atas dasar itulah, agama
memberi kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau akad jual beli
untuk memilih antara dua kemungkinan, yaitu melangsungkan transaksi (akad) jual beli atau
membatalkannya, atau yang sering disebut dengan khiyar.

B. PENGERTIAN KHIYAR
Secara lughah (bahasa), khiyar berarti; memilih, menyisihkan atau menyaring. Secara
semantik kebahasaan, kata khiyar berasal dari kata khair yang berarti baik. Dengan demikian

6
khiyar dalam pengertian bahasa dapat berarti memilih dan menentukan sesuatu yang terbaik
dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan pegangan dan pilihan.
Sedangkan menurut istilah, khiyar adalah; hak yang dimiliki seseorang yang melakukan
perjanjian usaha (jual-beli) untuk menentukan pilihan antara meneruskan perjanjian jual-beli
atau membatalkannya.
Khiyar dalam transaksi atau akad jual beli – sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Az-
Zuhaili dalam kitabnya “Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu”, banyak sekali ragamnya. Ulama
Hanafiyah membagi khiyar menjadi 17 macam, dan ulama Hanabilah membaginya menjadi 8
(delapan) macam, yaitu; Khiyar Masjlis, Khiyar Syarat, Khiyar Ghubn, Khiyar Tadlis, Khiyar
Aib, Khiyar Takhbir Bitsaman, Khiyar bisababi takhaluf, dan Khiyar ru’yah. Sementara
Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi 2 (dua) macam (khiyar mutlak dan khiyar
naqishah), yakni apabila terdapat kekurangan atau aib pada barang yang dijual.
Sedangkan Ulama Syafi’iyah berpendap bahwa khiyar terbagi dua; Pertama, khiyar at-
tasyahhi, yakni khiyar yang menyebabkan pembeli memperlamakan transaksi sesuai dengan
seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua, khiyar naqhisah yang
disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam pembuatan atau
pergantian. Agar tulisan ini dapat menjadi sebuah tuntunan praktis, maka dari berbagai
pembagian khiyar sebagaimana dikemukakan oleh para ulama tersebut di atas, di sini hanya
dibahas tiga macam khiyar yang umumnya dijelaskan dalam kitab-kitab fikih mu’tabar dan
banyak dilakukan dalam praktek jual-beli masyarakat. Ketiga macam khiyar tersebut adalah; 
a. Khiyar Majlis (Hak Pilih di Lokasi Perjanjian)
Pengertian khiyar majlis adalah; hak untuk memilih bagi pihak-pihak yang melakukan
transaksi atau perjanjian jual-beli, antara melanjutkan atau membatalkan transaksi/perjanjian
selama masih berada dalam majlis akad (seperti; di toko, kios, pasar dan sebagainya). Atau,
khiyar majlis adalah; kebebasan untuk memilih bagi pihak penjual dan pembeli untuk
melangsungkan jual beli atau membatalkannya selama masih berada ditempat jual beli.
Apabila kedua belah pihak telah terpisah dari majlis maka hilanglah hak khiyar sehingga
perubahan dalam jual beli itu tidak bisa dilakukan lagi .

Dalam ungkapan yang paling sederhana, khiar Majlis adalah tawar menawar antara
penjual dan pembeli pada saat mereka masih berada di tempat transaksi, yang menyebabkan
terjadinya jual beli atau sebaliknya.

7
Dampak dari khiyar majlis adalah, transaksi jual beli dinilai sah dan mengikat secara
hukum semenjak disepakatinya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua
tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk
menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli.

Landasan Hukum Khiyar Majlis

Landasan dasar disyariatkannya khiyar ini berdasarkan hadis-hadis Nabi saw., antara lain:

ِ َ‫ا بِ ْال ِخي‬J‫ ٍد ِم ْنهُ َم‬J‫لُّ َوا ِح‬J‫ َّر ُجالَ ِن فَ ُك‬J‫ ِإ َذا تَبَايَ َع ال‬:‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأنَّهُ قَا َل‬
‫ا‬Jَ‫ا َو َكان‬Jَ‫ا لَ ْم يَتَفَ َّرق‬J‫ار َم‬J َ ‫ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر ع َْن َرسُوْ ِل هللا‬
ْ ‫ر‬J‫ا َولَ ْم يَ ْت‬JJ‫ َد َأ ْن تَبَايَ َع‬J‫ا بَ ْع‬JJَ‫ َع وَِإ ْن تَفَ َّرق‬J‫ب ْالبَ ْي‬
‫ُك‬ َ ‫ ْد َو َج‬Jَ‫ك فَق‬ َ Jِ‫َج ِم ْيعًا َأوْ يُ َخيِّ ُر َأ َح ُدهُ َما اآْل َخ َر فَِإ ْن َخيَّ َر َأ َح ُدهُ َما اآل َخ َر فَتَبَايَ َعا َعلَى َذل‬
‫رواه البخاري ومسلم‬ – .‫ب ْالبَ ْي َع‬ َ ‫اح ٌد ِم ْنهُ َما ْالبَ ْي َع فَقَ ْد َو َج‬
ِ ‫َو‬

“Dari Ibnu Umar ra. dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda,

“Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari
mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih
berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun
jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka
jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah
seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi
(juga).” (HR. Al.Bukhari dan Muslim)

‫ا ِإالَّ َأ ْن‬Jَ‫ا لَ ْم يَتَفَ َّرق‬J‫ار َم‬J


ِ َ‫ا ِن بِ ْال ِخي‬JJ‫ ْالبَيِّ َع‬:‫ا َل‬Jَ‫لَّ َم ق‬J‫ ِه َو َس‬J‫لَّى هللا َعلَ ْي‬J‫ص‬
َ ِ‫وْ َل هللا‬J‫ َأ َّن َر ُس‬:‫ب ع َْن َأبِ ْي ِه ع َْن َج ِّد ِه قَا َل‬
ٍ ‫ع َْن َع ْمرُو ابْنُ ُش َع ْي‬
‫رواه الترميذى والنسائي‬ – ُ‫احبَهُ َخ ْشيَةَ َأ ْن يَ ْستَقِيلَه‬
ِ ‫ص‬َ ‫ق‬ ِ َ‫ار َوالَ يَ ِحلُّ لَهُ َأ ْن يُف‬
َ ‫ار‬ ٍ َ‫ص ْفقَةَ ِخي‬
َ َ‫تَ ُكون‬

“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah,
kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh
meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
b. Khiyar Syarat (Hak Pilih Berdasarkan Persyaratan)
Khiyar Syarat yaitu, khiyar yang dijadikan syarat pada waktu akad jual beli, artinya
pembeli atau penjual memilih antara meneruskan atau membatalkan transaksi sesuai dengan
batas waktu yang telah ditentukan.  Setelah hari yang ditentukan itu tiba, maka jual beli itu
harus dipastikan apakah dilanjutkan atau tidak.

8
Dalil yang dijadikan dasar disyariatkan (kebolehan) khiyar Syarat adalah hadis yang
diriwayatkan imam al-Bukhari, Musllim, Nasa’i dan Abu Dawud:

ِ َ‫ ْالبَيِّ َعا ِن بِ ْال ِخي‬:‫ث ع َْن َح ِك ِيم ْب ِن ِح َز ٍام َأ َّن َرسُو َل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم قَا َل‬
َ ‫ِإ ْن‬Jَ‫ا ف‬Jَ‫ا لَ ْم يَ ْفت َِرق‬J‫ار َم‬J
‫ َدقَا‬J‫ص‬ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن ْال َح‬
ِ ‫ار‬
َ ‫ال َأبُو دَا ُو َد َحتَّى يَتَفَ َّرقَا َأوْ يَ ْخت‬
‫رواه أبو داود‬ – .‫َار‬ َ َ‫ ق‬.‫ت ْالبَ َر َكةُ ِم ْن بَ ْي ِع ِه َما‬
ِ َ‫ك لَهُ َما فِى بَ ْي ِع ِه َما َوِإ ْن َكتَ َما َو َك َذبَا ُم ِحق‬ ِ ‫َوبَيَّنَا ب‬
َ ‫ُور‬

“Dari Abdillah bin al-Harits, dari Hakim bin Hizam bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya
selama mereka belum berpisah,jika keduanya jujur dan keduanya menjelaskannya
(transparan), niscaya diberkahi dalam jual beli mereka berdua, dan jika mereka berdua
menyembunyikan atau berdusta, niscaya akan dicabut keberkahan dari jual beli mereka
berdua. Abu Dawud berkata “sehingga mereka berdua berpisah atau melakukan jual beli
dengan akad khiyar.” (HR. Al-Bukhari-Muslim dan imam ahli hadis lainnya)

‫ا‬JJَ‫ا لَ ْم يَتَفَ َّرق‬JJ‫ا ِحبِ ِه َم‬J‫ص‬ َ ‫ار َعلَى‬J ِ Jَ‫ان ُكلُّ َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما بِ ْال ِخي‬
ِ ‫ اَ ْلبَيِّ َع‬:‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ‫ َأ َّن َرسُوْ َل هللا‬: ‫ع َْن نَافِ ٍع ع َْن اب ِْن ُع َم َر‬
‫رواه مسلم‬ – ‫ار‬ ِ َ‫ِإالَّ بَ ْي َع ْال ِخي‬
“Dari Nafi’ dari Ibnu Umar; bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Dua orang yang
melakukan jual beli, masing-masing mereka memiliki hak untuk memilih atas saudaranya
(teman akadnya) selama mereka berdua belum berpisah kecuali jual beli dengan
menggunakan akad khiyar.” (HR. Muslim).

ٍ Jَ‫ث لَي‬
ِ ‫ِإ ْن َر‬Jَ‫ال ف‬J
َ‫يت‬J‫ض‬ ِ Jَ‫ا بِ ْال ِخي‬JJَ‫ ْل َع ٍة ا ْبتَ ْعتَه‬J‫لِّ ِس‬JJ‫ ثُ َّم َأ ْنتَ فِى ُك‬.َ‫ ِإ َذا َأ ْنتَ بَايَعْتَ فَقُلْ الَ ِخالَبَة‬:‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ َ‫ار ثَال‬J َ ‫ال النَّبِ ُّي‬
َ َ‫ق‬
‫رواه ابن ماجه‬ – .‫احبِهَا‬ ِ ‫ص‬ َ ‫طتَ فَارْ ُد ْدهَا َعلَى‬ ْ ‫فََأ ْم ِس ْك َوِإ ْن َس ِخ‬

“ Nabi saw bersabda: Apabila kamu menjual maka katakanlah dengan jujur dan
jangan menipu. Jika kamu membeli sesuatu maka engkau mempunyai hal pilih selama tiga
hari, jika kamu rela maka ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikan kepada pemiliknya.”
(HR. Ibnu Majah)
Secara faktual, khiyar syarat sebagaimana dijelaskan di atas sangat dibutuhkan oleh
seseorang dengan berbagai alasan dan pertimbangan, sehingga kedua belah pihak merasa
nyaman dan hak-hak mereka terlindungi.

Namun, terkait dengan batas maksimal waktu kebolehan khiyar Syarat, terjadi
perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalam hal ini pendapat para ulama dapat
dikategorikan menjadi tiga pendapat: Pertama:  Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Zhahiri
berpendapat; bahwa tidak boleh bagi kedua belah pihak yang berakad atau salah satunya

9
untuk memberikan syarat lebih dari tiga hari untuk jenis barang apa saja. Jika keduanya atau
salah satunya menyaratkan lebih dari tiga hari, maka akadnya menjadi rusak (tidak sah).
Kedua: Mazhab Hambali, Al-Auza’i dan sebagian ulama Hanafi berpendapat;  kedua
belah pihak boleh mensyaratkan lebih dari tiga hari asalkan penjual merelakannya (ridha).
Sedangkan yang ketiga; Madzhab Maliki berpendapat; bahwa tempo khiyar berbeda-beda
berdasarkan perbedaan barang yang dijual apakah ia termasuk barang yang perlu ada khiyar
untuk mencari informasi atau meminta pendapat keluarga atau pihak yang ahli di bidangnya,
seperti dalam satu, dua atau tiga hari untuk memilih baju, satu bulan untuk membeli tanah,
semuanya ditetapkan berdasarkan keperluan dan pertimbangan barang yang dijual.
Dari ketiga pendapat ulama’ tersebut, tentu yang paling realistis adalah gabungan dari
pendapat yang kedua dan ketiga, yaitu kebolehan untuk melakukan hak khiyar disesuaikan
dengan keperluan dan pertimbangan barang serta keridhaan dari pihak penjual.

Jika tengggang waktu khiyar yang disyaratkan habis tanpa pernah terjadi penolakan atau
meneruskan akad pada saat tenggang waktu masih tersisa, maka khiyar dianggap gugur,
sebab ia terbatas dengan tenggang waktu tertentu, dan sesuatu yang dibatasi dengan batas
waktu (limits) tertentu maka ia dianggap habis jika masa itu tiba.

PERBEDAAN DAN PERSAMAN ANATARA KHIYAR SYARAT DAN GARANSI


Jika mencermati pengertian, tujuan dan maksud disyariatkannya khiyar Syarat, maka
dapat difahami bahwa antara khiyar Syarat dan garansi memiliki perbedaan yang cukup
mendasar sekalipun dalam hal tertentu memiliki sisi kesamaan.

Perbedaan mendasarnya adalah; bahwa Khiyar Syarat merupakan suatu transaksi antara
penjual dan pembeli yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan transaksi jual beli
sesuai dengan kesepakan kedua belah pihak. Sedangkan garansi umumnya merupakan salah
satu bentuk pelayanan pihak penjual untuk menjamin kualitas barang, dimana selama waktu
yang telah ditentukan, penjual memberikan perawatan terhadap barang yang telah dijual jika
terjadi sesuatu, baik menyangkut perawatan maupun kerusakan dan tidak berakibat pada
pembatalan transaksi jual beli.

Adapun persamaannya adalah, baik khiyar Syarat maupun sistem garansi, sama-sama
memiliki motif untuk menjamin hak-hak mereka (penjual dan pembeli) sehingga mereka
tidak merasa dirugikan dan terciptanya kepuasan dan saling ridha antara mereka berdua

10
sesuai dengan spirit yang diajarkan oleh Rasulullah saw “Innamal bai’ ‘an taradhin” (hanya
saja jual beli harus atas dasar saling meridhai).
c. Khiyar ‘Aib (Hak Pilih karena Cacat Barang)
Yang dimaksud dengan khiyar ‘aib adalah; hak untuk memilih antara membatalkan atau
meneruskan akad jual beli apabila ditemukan kecacatan (aib) pada obyek (barang) yang
diperjualbelikan, sedang pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan pada saat akad
berlangsung. Atau dengan kata lain, jika seseorang membeli barang yang mengandung
kecacatan dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak
pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada penjualnya, dengan
meminta ganti barang yang baik atau meminta kembali uangnya, atau sesuai dengan
perbandingan kerusakan dan harganya.

Dalam khiyar ‘aib, pembeli memiliki dua pilihan (hak khiyar) apakah ia rela dan puas
terhadap barang yang dibelinya ataukah tidak. Jika pembeli rela dan merasa puas dengan
kecacatan yang ada pada barang, maka khiyar tidak berlaku baginya dan ia harus menerima
barang yang telah dibelinya tersebut. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang
kepada pemiliknya, maka akad tersebut menjadi batal. Konsekwensinya, bagi penjual harus
menerima pengembalian barang tersebut jika kecacatannya murni dari pihak penjual (cacat
bawaan) dan bukan karena kelalaian ata kesalahan pembeli seperti akibat terjatuh dan
lainnya.

Dalam hal mengembalikan barang yang cacat tersebut, pihak pembeli hendaknya
mengembalikannya dengan segera tanpa menunda-nunda. Karena menunda-nunda waktu
pengembalian – terlebih lagi dalam waktu yang cukup lama – merupakan salah satu bentuk
melalaikan tanggung jawab, sehingga ia dapat dianggap rela terhadap barang yang cacat,
kecuali karena ada halangan yang dapat dibenarkan dan dimaklumi bersama.

Dasar Hukum Disyariatkan Khiyar ‘Aib

Dasar hukum disyari’atkannya khiyar aib dapat dijumpai penjelasannya dalam berbagai
hadis Nabi saw, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Ibnu Majah, ad-
Daruqutni, al-Hakim dan at-Thabrani dari Uqbah bin Amir R.A.:

‫د‬JJ‫هُ (رواه أحم‬Jَ‫هُ ل‬Jَ‫ ِه َعيْبٌ ِإالَّ بَيَّن‬J‫ا فِي‬JJ‫ ِه بَ ْي ًع‬J‫ا َع ِم ْن َأ ِخي‬JJَ‫ ْال ُم ْسلِ ُم َأ ُخو ْال ُم ْسلِ ِم َوالَ يَ ِحلُّ لِ ُم ْسلِ ٍم ب‬ :‫ال‬
َ َ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
)‫وابن ماجة وغيره‬

11
“Bahwasanya Nabi saw bersabda: Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah
bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal
pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskannya”. (HR. Ahmad,
Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani)

C. FAKTOR YANG MENGHALANGI PEMBATALAN AKAD DAN


PENGEMBALIAN BARANG
Ketentuan dalam pembatalan akad dan pengembalian barang cacat telah banyak
dirumuskan dalam kitab-kitab fikih, termasuk faktor-faktor yang menghalangi pembatalan
akad dan pengembalian barang. Dalam pembahasana ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

 Pihak pembeli ridha setelah mengetahui adanya kecacatan barang, baik dengan
mengucapkkannya secara langsung atau berdasarkan petunjuk/indikator lainnya.
Misalnya; membeli buah yang sudah diumumkan atau diberitahukan kecacatannya
oleh pihak penjual seperti sudah layu atau sebagiannya ada yang rusak, lalu pembeli
rela/ridha membelinya setelah terjadi penyesuaian harga, maka  pembatalan dan
pengembalian barang tidak dapat dilakukan (tidak ada hak khiyar ‘aib).
 Menggugurkan Khiyar, baik secara langsung atau adanya indikator/petunjuk lainnya.
Seperti ucapan seorang pembeli, “Aku telah menggugurkan khiyar (hak pilih) ku”,
atau setelah ia mengetahui adanya kecacatan barang, si pembeli tidak mengembalikan
barang tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama atau bahkan barang yang
dibelinya sudah berubah wujud atau habis karena telah dikonsumsi.
 Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya. Seperti
gelas pecah atau retak karena terjatuh oleh pihhak pembeli, atau sebagian barang ada
yang tidak utuh atau hilang akibat kelalaian pembeli.
Namun apabila pembeli dan penjual berselisih tentang pihak yang menyebabkan
terjadinya kecacatan barang, sementara transaksi sudah selesai dilakukan serta tidak ada bukti
yang menguatkan salah satunya, maka menurut para ulama’ pernyataan penjuallah yang
dimenangkan atau yang diterima setelah disumpah. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw:

ِ َ‫ع بِ ْال ِخي‬


‫رواه‬ – .‫ار‬J ُ ‫ا‬Jَ‫اِئ ِع َو ْال ُم ْبت‬Jَ‫وْ ُل ْالب‬Jَ‫القَوْ ُل ق‬J
ْ َ‫ا ِن ف‬J‫فَ ْالبَيِّ َع‬Jَ‫اختَل‬
ْ ‫ِإ َذا‬:‫لم‬J‫ه وس‬J‫لى هللا علي‬J‫و ُل هَّللا ِ ص‬J‫ع َِن ا ْب ِن َم ْسعُو ٍد قَا َل قَا َل َر ُس‬
‫الترميذي و أحمد‬

“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata; Rasulullah saw bersabda: Apabila penjual dan pembeli
berselisih maka perkataan yang diterima adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli

12
memiliki hak pilih “. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad) (imam at-Tirmidzi menjelaskan bahwa
hadis ini termasuk hadis mursal karena salah seorang rawi bernama ‘Aun bin Abdillah tidak
bertemu langsung dengan Ibnu Mas’ud, namun Al-Albani menshahihkannya)

ْ ‫ال فِى ُخ‬J


‫ َّد ِعى َو ْاليَ ِمينُ َعلَى‬J‫ةُ َعلَى ْال ُم‬Jَ‫ ِه ْالبَيِّن‬Jِ‫طبَت‬ َّ ِ‫ ِّد ِه َأ َّن النَّب‬J‫ ِه ع َْن َج‬J‫ب ع َْن َأبِي‬
َ Jَ‫لم ق‬JJ‫ه وس‬JJ‫لى هللا علي‬JJ‫ى ص‬ ٍ ‫ َع ْي‬J‫رو ب ِْن ُش‬J
ِ J‫ع َْن َع ْم‬
‫ – رواه الترميذي‬.‫ْال ُم َّدعَى َعلَ ْي ِه‬

“Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya; bahwasanya Nabi saw bersabda
dalam khutbahnya: mendatangkan bukti (al-Bayyinah) bagi pengklaim/penuduh dan harus
bersumpah bagi yang tertuduh”. (HR. at-Tirmidzi) (hadis ini dikuatkan dari berbagai sumber
yang kuat  baik dengan lafaz yang hampir sama maupun dengan lafaz yang berbeda).

D. HIKMAH DISYARI’ATKAN KHIYAR


Hikmah disyariatkannya khiyar (hak untuk memilih) dalam Islam sangat banyak sekali
dan bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Bahkan khiyar dalam bisnis Islami memiliki
peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjaga kepentingan, transparansi,
kemaslahatan, kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi serta melindungi
mereka dari bahaya dan kerugian bagi semua pihak.

Secara lebih rinci dapat dikemukakan beberapa hikmah disyari’atkan khiyar dalam islam,
antara lain:

 Dapat mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam transaksi
jual beli,
 Mendatangkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak (penjual dan
pembeli),
 Menghindarkan terjadinya penipuan dalam urusan jual beli,
 Menjamin kejujuran dan transparansi bagi pihak penjual dan pembeli,
 Menjamin kesempurnaan proses transaksi,
 Untuk menjaga agar tidak terjadi perselisihan atau pertengkaran antara penjual dan
pembeli, dan lain-lain

RIBA

13
Pengertian riba merujuk secara bahasa (etimologi), riba dalam bahasa Arab bermakna
kelebihan atau tambahan (az-ziyadah). Kelebihan atau tambahan ini konteksnya umum, yaitu
semua tambahan terhadap pokok utang dan harta. Untuk membedakan riba dengan tambahan
keuntungan dari jual beli, pokok utang dan harta (ra’sul mal) ini sendiri lantas dibagi menjadi
dua yaitu: ribhun (laba) dan riba. Ribhun (laba) didapatkan dari muamalah jual beli yang
hukumnya halal. Sedangkan riba adalah hasil dari adanya syarat tambahan pada kegiatan
utang piutang barang (kredit) yang waktu akhir pelunasannya tidak tentu.

Secara makna istilah (terminologi) riba adalah kelebihan/tambahan dalam pembayaran


utang piutang/jual beli yang disyaratkan sebelumnya oleh salah satu pihak. Hukum riba Pada
Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2):275, Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275). Riba dalam
Islam hukumnya haram. Ada banyak efek negatif dari riba yang dipraktikkan selama ini
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, agama samawi semuanya melarang praktik riba.
Mendapatkan keuntungan dari riba dapat menghilangkan sikap tolong menolong, memicu
permusuhan, dan sangat menyusahkan apabila pemberi riba menentukan bunga yang sangat
tinggi.

Dalam salah satu hadis Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dari Jabir RA. ia
berkata: “Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam telah melaknat orang-orang yang memakan
riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang
menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu
semua sama saja.” (HR. Muttafaq Alaih). Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram, serta
Islam tidak memperkenankan hal itu dipraktikkan dalam muamalah. Riba adalah usaha
mencari rezeki yang tidak dibenarkan serta dibenci Allah subhanahu wata’ala.

Jenis riba fiqih muamalah membagi riba menjadi empat jenis, seperti ditulis dalam buku
fiqih Madrasah Tsanawiyah kelas IX yakni:

 Riba fadli Adalah tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak
sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya. Hal yang dilarang
disini adalah kelebihan (perbedaan) dalam ukuran/takaran.
 Riba qardi Adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau
tambahan dari orang yang dihutangi. Sabda Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam:
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba”. (HR. Al- Baihaqi).

14
 Riba yad Adalah jual beli atau pertukaran yang disertai penundaan serah terima kedua
barang yang ditukarkan atau penundaan terhadap penerimaan salah satu barang.
Misalnya jual beli emas, perak dan bahan pangan yang penyerahan barangnya ditunda
 Riba nasi’ah merupakan penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba utang piutang terbagi menjadi 2
macam, yaitu riba Qard dan riba Jahiliyah. Riba Qard yaitu suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang

SERIKAT (PERSEROAN)

Adapun macam-macam syarikat/perseroan itu ada tiga macam yaitu :

Syarikat harta atau dalam istilah agama syirkah Inan ialah akad dari dua orang atau lebih
untuk bersyerikat harta, sehingga terbentuk modal untuk mendapatkan keuntungan bersama.
Adapun rukun dan syarat serta bentuk-bentuknya sebagai berikut :

 Rukun Syarikat "syirkah"


 Sigat (lafal akad) atau surat perjanjian
 Ada orang yang berserikat
 Pokok pekerjaan (modal)

 Syarat syarikat "syirkah"

Lafads akad atau surat perjanjian supaya mengandung arti izin untuk membelanjakan
barang serikat dan penentuan persentase keuntungan. Dengan kata lain anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga jelas, sehingga ada pedoman operasional yang jelas.

Anggota perseroan dan perkonsian harus memenuhi syarat syarat yaitu :

 Orang yang sehat akalnya.


 Baligh, setidaknya sudah berumur 15 tahun.
 Merdeka dan dengan kehendak diri sendiri tanpa ada paksaan

Pokok atau modal harus jelas, dengan ketentuan sebagai berikut :

15
 Jika modal bukan berupa uang, yakni berupa barang, maka barang tersebut dapat
dihitung dengan nilai uang atau dapat diuangkan (dijual).
 Jika terjadi dua jenis barang pokok yang berbeda maka keduanya dicampurkan
sehingga sebelum akad kedua jenis barang itu tidak dapat dibedakan lagi.

Dalam masa syarikat, jumlah modal yang akan diserahkan atau waktu bekerja dari
masing-masing anggota itu boleh saja berbeda akan tetapi hal itu harus disepakati
sebelumnya dan dicantumkan dalam surat perjanjian

QIRAD
Qiradh merupakan salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah qiradh juga
dikenal dengan mudharabah, namun biasa digunakan di kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah.

Dalam buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 2 oleh Ibnu Rusyd,
dijelaskan bahwa qiradh adalah ketika seseorang memberikan hartanya kepada orang kedua
untuk diperdagangkan, kemudian laba dari penjualan itu dipotong untuk dibagikan kepada
orang kedua.

Sedangkan menurut Umar bin Khatab dalam Enseklopedi Fiqh Umar bin Khatab
karangan M. Rawwas Qal’ahji, qiradh adalah persekutuan antara dua orang, di mana modal
atau investasinya dari satu pihak dan pihak lainnya yang bekerja. Lalu, untungnya akan
dibagi berdua sesuai kesepakatan, sementara kerugian ditanggung oleh pihak investor.

Syarat-syarat Qiradh :
Dari buku Hukum Ekonomi Islam oleh Farid Wajdi dan Suhrawardi K. Lubis, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya pelaksanaan qiradh, yaitu:

 Modal hendaknya berupa uang legal, sedangkan menggunakan perhiasan, buah-


buahan, dan barang dagangan lainnya diperselisihkan ulama.
 Pengelola tidak boleh dipersulit dalam melaksanakan jual beli karena menyebabkan
tidak tercapainya tujuan qiradh.
 Laba dibagi bersama antara pengusaha dengan pemilik modal, yang satu mendapat
bagian laba dari jerih payahnya dan yang lain mengambil bagian laba dari modalnya.
 Pembagian laba hendaknya sudah ditentukan dari akad. Akad adalah kesepakatan
dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan hukum tertentu.

16
 Akad hendaknya tidak ditentukan berapa lama karena laba itu tidak dapat diketahui
kapan waktunya. Seorang pengusaha kadang-kadang belum berlaba hari ini, tetapi
mungkin baru akan memperoleh laba beberapa hari kemudian.

JI’ALAH

Pengertian Ji’alah Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau ( ja’l) kepada
orang yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan
yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, mejahit
pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah.

HUTANG PIUTANG

Persoalan hutang-piutang merupakan persoalan manusia dengan manusia yang biasa


dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dari berbagai permasalahan hutang-piutang
penelityi menemukan data yang berkenaan tentang hutang-piutang yang tidak hanya
berdampak pada keharmonisan hubungan keluarga. Namun juga berdampak kehancuran
sebuah hubungan silaturrahmi, beberapa kasus yang ditemukan di antaranya: Kasus seorang
yang melaporkan tetangganya yang bersengketa pada hutang-piutang.

“Tak bayar hutang tetangga dipolisikan, karena tak menepati janji”, tersangka pada
awalnya meminjamkan uang pada korban sebanyak Rp 2,6 juta dan akan di kembalikan uang
tersebut, karena merasa ditipu akhirnya korban mengadukan persoalan tersebut kepada pihak
kepolisian.1 Hutang-piutang, berkonotasi pada uang dan barang yang dipinjam dengan
kewajiban untuk membayar kembali apa yang sudah diterima dengan yang sama.
Mengatakan: “Hutang-piutang yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain dengan
perjanjian, dia akan membayar dengan semestinya.

Seperti menghitungkan uang Rp 2 akan dibayar Rp 2 pula”. Sedangkan menurut bahasa


Arab hutangpiutang sering juga disebut dengan Qiradh. Menurut Sadiq,2 mengatakan, bahwa
yang dimaksud dengan Qiradh ialah harta yang diberikan kepada orang lain yang diqiradhkan
untuk dia memberikannya setelah dia mampu dan sesuai dengan perjanjian

‘ARIYAH

17
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah
menurut Hanafiyah adalah pemilikan manfaat secara cuma-cuma. Menurut Malikiyah ‘ariyah
adalah pemilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan. Sedangkan Syafi’iyah,
‘ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa
yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan
kepada pemiliknya. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan pinjaman
atau ‘ariyah adalah memberikan manfaat sesutu barang dari seseorang kepada orang lain
secara cuma-cuma.

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

18
https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/jual-beli-menurut-islam
file:///C:/Users/user/Downloads/146-Article%20Text-348-1-10-20200803.pdf
file:///C:/Users/user/Downloads/419-Article%20Text-910-1-10-20160323.pdf
http://repository.radenfatah.ac.id/8113/2/skripsi%20BAB%20II.pdf
https://www.ilmusaudara.com/2018/01/pengertian-syarikatperseroan-macam.html
https://tirto.id/apa-itu-riba-dalam-islam-pengertian-macam-hingga-hikmahnya-gihv
https://muhammadiyah.or.id/khiyar-dalam-jual-beli/
https://kumparan.com/berita-hari-ini/qiradh-pengertian-syarat-syarat-dan-dasar-hukumnya-
1wXt4uiDJXM/full

19

Anda mungkin juga menyukai